Twenty Fifth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Napas Lyra memburu. Sambil menahan isakannya, dia terus berlari. Dia tidak peduli dengan teriakan Papa dan Mama yang memecah keheningan malam memanggil namanya.

Dia benar-benar berharap Alfa masih di dekat-dekat sini. Gadis itu tidak tahu harus ke mana lagi. Dia tidak tahu pada siapa dia akan berlari.

Please, Alfa, please ....

Kakinya mulai menginjak tekstur tanah yang berbeda. Setelah sebelumnya dia hanya menginjak aspal terus dan terus, kini kakinya yang hanya beralaskan sandal sederhana itu benar-benar menginjak tanah.

Partikel udara terasa memadat di sekitarnya, terasa lebih lembab. Suasana berubah menjadi lebih gelap. Angin berembus, membuat dedaunan bergesekan. Lyra tidak berhenti berlari.

Danau itu mulai terlihat di matanya. Kembali mengatur napas, Lyra memelankan larinya. Sampai di salah satu pohon itu, dia berhenti, bersandar pada batangnya.
Lyra menutup mulutnya dengan tangan, menahan agar tidak menjerit atau mengeluarkan suara apa pun. Meski begitu, tenggorokannya tetap terasa sakit, tercekik oleh tangis dan teriakan tertahan.

Dia tidak bisa mengalihkan pembicaraan tadi dari pikirannya, saat Mama menggiringnya untuk duduk di meja makan, kemudian mendudukkan dirinya sendiri di samping gadis itu. Papa duduk di seberang mereka.
Lyra menelan ludah. Dia sudah punya tebakan tentang ini, sebuah kemungkinan terburuk yang bisa dipikirkannya. Meski begitu, tetap saja dia tidak ingin orang tuanya benar-benar melakukan apa yang sedang dipikirkannya.

"Lyra, kamu tau sendiri gimana keadaan Papa dan Mama," Papa memulai.
Perasaan Lyra makin tidak enak.

"Mama sama Papa sering bertengkar," lanjut Papa.

Mama pun ikut menimpali, "Kadang, Mama juga ngerasa kamu terganggu dengan pertengkaran Mama sama Papa."

"Bukan cuma kamu yang ngerasa begitu." Papa melirik Mama.

"Memang bukan-"

"Aku juga merasa begitu. Dia anakku juga. Bukan-"

"Tapi aku tahu lebih dulu."

"Ya bukan berarti-"

Perkataan Papa terhenti kala Lyra bangkit dan menggebrak meja. Gadis itu ingin menyingkir dari sana, menghindari apa pun yang akan dikatakan orang tuanya. Makin lama, pembicaraan ini makin jelas arahnya. Dan Lyra belum siap, setidaknya belum untuk malam ini.

Sialnya, Mama menahan tangan Lyra. "Oke, Mama minta maaf."

"Duduk dulu, Lyra." Papa ikut menahannya.

Sesungguhnya, Lyra benar-benar tidak peduli dengan penahanan itu. Namun, tatapan memmohon Mama membuatnya duduk kembali. Dan Lyra juga bisa melihat raut wajah Papa yang terlihat begitu lelah.

Luluh, gadis itu kembali duduk di kursinya. Mengembuskan napas, dia mempersiapkan mentalnya.

"Papa sama Mama mau cerai, Lyra."

Hening. Bahkan tidak terdengar suara helaan napas sama sekali. Mereka semua menahan napas. Papa dan Mama Lyra karena menunggu reaksi Lyra sementara Lyra sendiri karena terkejut.

Tidak. Sebenarnya memang tidak terlalu mangajutkan, tapi tetap saja ....

Lyra merasakan matanya mulai panas. Napasnya sesak. Sesuatu mendesak ingin keluar dari matanya. Napasnya terembus terlalu keras, terdengar seperti rintihan. Dan dia tahu dia tidak akan bisa menahannya.

Jadi Lyra berdiri, lari dari tempat itu. Dia masih berusaha menahan tangisnya, tapi rasanya terlalu berat. Dia tidak sanggup.

Dan di sinilah dia sekarang, mengasihani diri sendiri dengan menagis terisak. Bersandar pada batang pohon, tubuhnya luruh, melorot hingga dia berada dalam posisi terduduk. Dia tahu harapannya tentang Alfa yang masih ada di dekat sini adalah bodoh. Dia tahu, tapi dia tidak bisa berhenti berharap.

Seharusnya, Satria ada di sampingnya sekarang. Pemuda itu sudah berjanji untuk selalu berada di sisinya pada saat-saat terburuknya.

Namun, di manakah dia sekarang sementara Lyra menderita menahan sesak begini? Tidur? Bercengkerama bersama bidadari di surga? Apa pun itu, yang jelas Satria tidak akan merasakan rasa sakit seperti ini.

Mendadak, segumpal amarah muncul di dalam hatinya. Amarah terhadap Satria yang pergi meninggalkannya begitu saja. Juga pada Alfa yang memaksanya untuk pulang tadi.

Menggigit bibir, gadis itu mencengkeram rambutnya. Dia tidak bisa menanggung ini. Apakah mati akan terasa lebih baik? Ya Tuhan, akhirnya dia sadar mengapa Satria tersenyum saat itu, dalam kondisi penuh dengan luka dan darah. Sakitnya pasti tak tertahankan.

Namun, mengetahui bahwa segala rasa sakit itu akan hilang dalam beberapa menit pasti membuat pemuda itu bahagia. Semua rasa sakit, baik fisik maupun nonfisik.

Yah, Lyra tidak mengerti kenapa dia begitu peduli pada status kedua orang tuanya. Namun, yang dia tahu, dia menderita setelah mengetahui bahwa mereka akan benar-benar bercerai.
Lyra melepaskan tangan dari rambutnya. Perlahan, dia mengangkat kepala. Ditatapnya danau itu. Bulan hampir tidak terlihat terpantul di permukaannya. Cahayanya hanya berupa garis tipis melengkung yang berpendar di atas riak air itu.

Sedikit limbung, Lyra berdiri. Dia berjalan mendekati danau itu. Napasnya masih tersengal, tapi air matanya sudah mulai mengering dan hanya menyisakan rasa perih. Selangkah lagi.

Mati kelihatan jauh lebih baik dari hidup dengan rasa sakit ini.

Lyra maju selangkah lagi. Ujung kakinya sudah menyentuh air. Satu langkah lagi. Telapak kakinya terasa basah. Lyra merintih, maju lebih jauh lagi.

Asal perasaan ini hilang, gue bahkan rela hilangin nyawa gue.

Setengah betis Lyra sudah terendam air. Dia berbisik dalam hati, meminta agar kematian itu menjemputnya segera. Napasnya terasa sesak. Tenggorokannya kembali tersumbat oleh tangisan tanpa suara. Memejamkan mata, Lyra menahan napasnya, setengah merasa takut. Apakah kematian dengan cara ini akan terasa sakit?

Pertanyaan bodoh. Yang perlu gue lakuin cuma masuk ke danau itu, dan bernapas di dalamnya.

Lututunya pasti sudah akan terendam air jika seseorang tidak menarik tangannya. Orang itu membawanya menjauh serta meneriakkan kata-kata yang tidak bisa dia tangkap. Telinganya seperti berdenging. Matanya buram.

Satu-satunya indera yang masih berfungsi adalah kulitnya. Dia merasakan kehangatan menembus kulitnya, mulai dari tangannya dan menjalar ke seluruh tubuhnya. Mengikuti kehangatan itu, perasaan nyaman menyapanya. Rasa nyaman yang familiar, seolah dia pernah merasakan itu sebelumnya.

Lyra mencoba melepaskan diri dari rengkuhan hangat itu, tapi tenaganya tidak cukup kuat. Dia masih lebih ingin menghirup air jernih danau itu hingga memasuki paru-parunya dan membunuhnya. Namun, Lyra juga tidak mampu menolak perasaan nyaman ini.

"Sttt. Gue di sini." Samar, dia mendengar seseorang berbisik di telinganya. Suara itu begitu lembut, membelainya begitu jauh, menambah perasaan nyaman itu.

"Nggak apa-apa. Ada gue."

Lyra menikmati perasaan itu. Dia menenggelamkan wajahnya pada sesuatu yang hangat dan berdetak kuat di hadapannya, menyembunyikan tangis dan isaknya.

Untuk malam itu saja, dia membiarkan perasaannya meluap, dengan ditemani oleh seseorang yang baru saja dikenalnya. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro