Twenty Sixth Scence

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Dia kenapa, Alfa?"

Bunda menatap Alfa dengan cemas. Alfa tahu, sngat tidak wajar membawa seorang anak gadis ke rumah pada larut malam. Namun, dia tidak tahu harus melakukan apa lagi selain itu.

"Orang tuanya mau cerai, Bun," jawab Alfa. Pemuda itu mulai menceritakan semua yang dia tahu.

Semalam, setelah pergi dari rumah Lyra, dia kembali lagi. Dia menunggu Papa Lyra masuk, tentunya. Dengan jarak beberapa rumah dari tempat tinggal Lyra, Alfa tidak mendengar apa pun dari sana.

Dia menunggu selama sekitar setengah jam. Dia melihat rumah Lyra sekali lagi sebelum memutuskan untuk pergi. Hampir bisa dipastikan bahwa Lyra baik-baik saja.

Namun, baru beberapa langkah berjalan, dia mendengar suara pintu yang dibanting. Kemudian, sekelebat bayangan melintas dengan cepat di depannya.

Alfa menatap sosok itu. Bahkan dari belakang pun, dia tahu bahwa gadis itu adalah Lyra. Dia ingin mengejarnya. Namun kemudian terdengar suara yang memanggil nama Lyra. Keras sekali.

Alfa berbalik, dan mendapati Papa Lyra sedang berhenti di tengah jalan. Dia pasti mecari putrinya, tapi sayang Lyra sudah hilang dari pandangan.

Keheningan melanda. Papa Lyra terpaku di tempatnya. Wajahny aterlihat lelah dan sedih. Alfa mulai tersentuh. Sedikit ragu, dia menghampiri pria itu.

Papa Lyra sedikit terkejut. Beliau menatapnya tajam. "Bukannya saya sudah suruh kamu pulang?"

"Maaf, Om. Saya cuma ... Yah, begitulah." Alfa menggaruk tengkuknya dan tersenyum kecut.

Papa Lyra mengusap wajahnya, kemudian berkata, "Jadi kamu mau apa?"

Alfa terdiam sebentar sebekum menyatakan niatnya. "Eh, cuma mau tanya, Om. Kalau boleh tau, Lyra kenapa begitu?"

Sorot mata pria pitu melembut. Beliau menghela napas dan menjawab, "Dia marah karena saya bilang mau cerai sama mamanya."

Terkejut, Alfa mengerjap. Keheningan kembali terjadi sampai Papa Lyra kembali berkata, "Dia nggak bakal mau pulang malam ini." Beliau menghela napas. "Saya takut dia ngelakuin yang aneh-aneh, tali kalau saya kejar juga bisa jadi dia malah makin lari."

"Apa Lyra sering begini, Om? Kabur-kaburan begini?"

"Kadang-kadang iya. Tapi dulu saya bisa tenang. Dia punya teman waktu itu. Tapi sekarang temannya itu nggak pernah muncul."

Satria.

Alfa terdiam kala Papa Lyra menatap kosong ke depan. Beliau terlihat begitu resah. Beban yag ditanggungnya pasti sangat berat. "Kami harus benar-benar bercerai. Kaki tidak mau menganggu Lyra dengan keributan kami."

Alfa masih diam, mendengarkan. Dia bisa mengerti mengapa hal itu harus dilakukan. Waktu Lyra di luar rumah lebih banyak dibanding watunya berdiam di rumah. Dan itu karena orang tuanya. Ini mungkin pilihan yang lebih baik.

"Alfa, saya mau minta tokong sama kamu," kata Papa Lyra tiba-tiba.

"Iya, minta tolong apa, Om?"

"Tolong susulin Lyra. Bilang sama dia, kalau orang tuanya sayang sama dia."

Alfa sempat terdiam sehjenak sebelum mengiyakan permintaan itu. Dia akhirnya pamit, kemudian berbalik dan berjalan menuju danau itu. Dia tahu Lyra pasti akan ke sana.

"Kasihan dia. Sampai sempat mau bunuh diri begitu." Bunda merapatkan duduknya pada Alfa. "Dia nggak punya teman, ya?"

Menunduk, Alfa menjawab, "Setau Alfa enggak, Bun. Alfa nggak oernah lihat dia jalan sama orang lain. Selalu sendiri."

"Oh, pantes." Mata Bunda mulai berkaca-kaca menandakan empatinya. "Kamu temenin dia, ya? Jangan dijauhin. Dia pasti butuh temen. Kamu coba ngomong sama dia besok, ya." Bunda tersenyum tipis.

Mengangguk, Alfa dngn yakin berujar, "Pasti, Bunda."

***

Lyra sedang duduk di ranjang Alfa. Gadis itu sekarang sediam biasanya, seperti ketika Alfa belum benar-benar mengenalnnya. Pandangan matanya menatap kosong ke tembok kamar yang berwarna putih bersih.
Alfa menghampirinya, berjalan dengan hati-hati sambil membawa semangkuk sup daging buatan bunda. Duduk di samping gadis itu, Alfa meletakkan mangkuk dan gelas yang dia bawa di nakas.
Pemuda itu menyentuh pundak Lyra. "Ra, makan dulu." Dia meraih mangkuk sup, kemudian memberikannya kepada Lyra. "Mau makan sendiri atau gue suapin?"
Lyra masih tetap diam. Matanya bakan tidak bergerak dari tembok. Alfa menghela napas. Dia mulai menyendok sup itu, lalu mengarahkannya ke depan mulut Lyra. 'Ayo buka terowongannya,," katanya, "atau pesawat ini bakal meledak. Boom."
Masih hening. Mengabaikan gurauan garing Alfa, Lyra bahkan terlihattidak menyadari keberadaan Alfa di sampingnya.
Alfa menghela napas lagi. "Lyra ...," ucapnya, menyebutkan nama gadis itu sedalam mungkin dan begitu penuh arti. Dia kadang masih kagum pada nama Lyra, masih memikirkan alat music bernama lyra itu. Namun kini, kata itu memiliki arti lain di kepalanya: seoramh gadis berambut panjang dan bermata cokelat tanah yang begitu indah.
"Ra, gue tau ini berat. Semalem gue temuin Papa lo."
Hanya kerjapan mata yang diperoleh Alfa sebagai respon, tapim dia tetap melanjutkan. "Gue tau lo sering ke deket danau buat hindarin orang tua lo. Gue tau lo benci lihat mereka berantem. Tapi, lo tetep nggak mau mereka pisah. Nggak ada anak yang mau orang tuanya pisah.
Alfa menghela napas. "Lyra," Dia menyebutkan nama itu dalam desahnya, dan pemuda itu bisa melihat kilauan di mata Lyra.
"Kasih kesempatan orang tua lo buat ngomong. Coba lo lihat dari sudut pandang mereka, coba sesekali lo pikir gimana rasanya jadi mereka. Mereka mungkin Cuma berahan buat lo, tapi mungkin itu malah bikin semuanya jadi makin parah, dan mereka temuin jalan ini."
Alfa bisa melihat tubuh Lyra bergetar kecil. Kilauan di matanya semakin banyak, dan kemudian luruh di pipinya. Menggigit bibir, gadis itu terisak.
"Mereka saying sama lo, Lyra. Mereka mau yang terbaik buat lo, Lyra. Dan lo tau Satria bakal ngomong begini."
Satu desah napas Lyra keluar dengan keras, membuat gemetar tubuhnya makin gemetar. Alfa merengkuh pundaknya, berharap bisa membuat gadis itu merasa lebih baik.
Dan Alfa membiarkan mereka berada dalam posisi itu selama yang Lyra mau, hingga gadis itu berhenti menangis.
***
"Jadi, siap?"
Lyra menarik napas, kemudian mengembuskannya. Dia melakukan itu beberapa kali sebelum menjawab, "Ya."
"Gue tunggu di sini."
"Oke."
Gadis itu melepas tautan tangannya dengan Alfa, kemudian berjalan sendiri menuju rumahnya. Orang tuanya sudah siap menyambut, berdiri bersisian di ambang pintu.
Samar, Alfa bisa mendengar Lyra berkata, "Ma, Pa, Lyra minta maaf."
Selama beberapa detik, mereka bertiga membeku, seolah waktu di dunia ini terhenti. Namun pada detik berikutnya, Mama memeluk Lyra erat, dan disusul dengan papanya. Di bawah siraman cahaya mentari pagi, mereka berpelukan, sejenak menyingkirkan ketegangan yang ada.
Tersenyum, hti Alfa menghangat. Papa Lyra melirik padanya dan mengangguk singkat. Alfa membalas anggukan pri a itu, kemudian berbalik dan berjalan pulang.
Gue seneng mereka bisa baikan, walau sekarang gue harus pulang sendiri. []

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro