iv. akhir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

TW : harsh words, messy timeline (?), slight mention of violence, slight mention of blood, brainwash (?), semi-smut, suicidal, mention of rape.

do not read any further of this if you are triggered by that.

























Akhir ... ya?

Ketika semua ini sudah saatnya datang ke akhir, sanggupkah aku menerimanya?

Tentu.

Aku pasti akan menjawab begitu tanpa ragu-ragu. Maksudku ... bukankah aku yang menginginkan sebuah akhir? Akhir dari cerita yang kami jalani? Aku tidak ingin hanya berputar-putar di satu tempat ini. Aku ingin bebas, tak lagi terkekang meski mereka menyebutnya kirmizi.

Tapi, kini, setelah mengetahui yang terjadi, rasanya tak bisa aku berucap tanpa akhlak bestari.

Matahari bersinar terik lagi. Bukan arunika, maupun swastamita. Hanya bagaskara yang pancarkan pendar mentari. Oh, dan, mungkin, sedikit panasnya bintang paling besar di galaksi ini. Tak lupa dengan mega mendung kecil yang menutupi.

Aku mendongak; rasakan atmosfer canggung yang kentara tatkala larikan mata menuju sorotnya. Apa ... ya? Kehilangan? Ketakutan? Kesenangan? Obsesi? Sepertinya bukan itu.

"Untuk apa menemuiku?"

Ah, benar. Kemalasan.

Ini belumlah berakhir.

"Kenapa tidak boleh? Kau, 'kan, teman lama," jawabku dengan nada menyindir. Pria itu membersihkan tenggorokannya begitu pandangan kosongku menemuinya.

2 Maret 2021.

"Apa ia tahu soal ini?"

Aku menggeleng; menyesap kopiku tenang sebelum melemparkan senyum taksa padanya. "Kau pikir?"

Ia bertopang dagu. "Kau tahu, tidak, kalau sikapmu itu sangat berbeda dengan tubuhmu? Elegan terasa kekanak-kanakan."

Aku tertawa.

"Oh, ya? Tidak ada yang bisa aku salahkan, tetapi," kataku. Ia menyandarkan punggung pada kursi dan bersidekap; mengobservasiku terang-terangan. Intens bak mata elang.

"Kau ... tidak berubah."

"Aku berubah," potongku. Kebingungan tergurat jelas di wajahnya. "Aku berubah. Aku bukan anak yang naif layaknya dulu. Walau ... tubuhku masih seperti ini."

Ia terkekeh. "Sudahlah. Apa yang ingin kau bicarakan?"

Semuanya.

"Semuanya."

Aku berujar lagi, "Karena ini adalah cerita yang kau mulai sendiri."

"Kau masih menyukai lagu itu?" Seringainya muncul. Kenapa ... ya? Pasti, karena ia pikir itu adalah hal yang ironi.

Aku menggigit bibir. Kebiasaan yang muncul ketika air mata hendak mengalir. Entah. Apa karena diri tiba-tiba getir? Akan keadaan yang membuat ketar-ketir. "Ya ... dan ... kenapa?"

Ia menggeleng. "Tidak. Aku hanya merasa, kau sama seperti ibumu."

Aku mengerjap. "Kau—kau tahu tentang ibuku?"

"Mengapa tidak?" Ia mengedikkan bahu.

"Apa—," Aku menarik napas. "Apa hubunganmu dengan ibuku?"

"Sebatas teman lama," balasnya singkat. Itu seperti ia tak ingin membicarakan persoalan ibuku atau ada hal lain yang mengganjal hatinya.

"Aku ... tak bisa tahu lebih banyak?" Aku penasaran. Sangat. Sampai rasanya ingin meledak dan mengungkapkannya. Tentang bagaimana mereka menyembunyikan. Tentang bagaimana mereka mengatakan kebohongan. Atau tentang bagaimana mereka menyimpan rapi bagai kelindan. Oh, Tuhan, tidak bisakah situasi ini menjadi lebih meragukan?

"Ibumu kakak kelas yang baik." Ia akhirnya memberi ujaran. "Saat aku sekolah dasar, kurasa ia berada di tingkat sekolah menengah keatas."

Itu informasi yang banyak.

Senyumku terulas. "Terima kasih."

"Tidak masalah." Ia memandangku tajam. "Omong-omong, aku terkejut karena kau ingat. Apa yang terjadi?"

Aku menutup mulut, mengeluarkan kata dengan gigi yang merapat. "Beberapa hal pribadi, dan ... sesuatu yang tidak boleh kau ketahui."

"Apa itu berarti aku tak boleh mendekatimu?"

"Hah ... ?" Otakku tak bisa memprosesnya. Apa maksudnya?

"Jika kau mempunyai hal yang tak boleh kuketahui, padahal, kita teman, itu artinya kau menjaga jarak dariku." Selaman nayanika biru miliknya membawaku ke laut; jauh, tenggelam; menarik ke ombak tak terbatas yang lingkupi entitas misterius. Dan, kini, benda itu menatapku. Seolah ingin aku dilahap mereka. Seolah ingin memberitahuku, bahwa tak ada hal yang dapat dirahasiakan darinya.

"Teman tidak harus tahu semua hal. Karena ... mereka ... hanya ... teman."

Karena mereka hanya teman.

Benar. Untuk apa tahu semua hal?

"Jadi, aku tak boleh mencintaimu?"

Pernyataan aneh apalagi itu?

Alisku mengernyit, rasakan sensasi tanpa aksama berdesir dalam darah. Tidak pernah aku alami sebelum bersuaranya basirah.

"Apa itu cinta? Tidak ada genre seperti itu di hidupku."

Ia tuliskan cengiran jenaka yang tertera. "Tak ingin, atau tak dapat?"

"Bisa jadi keduanya."

Suasana berubah hening untuk lima detik pening. Sama-sama mencoba selesaikan pertengkaran citta akan siapa yang wajib memulai bicara. Tapi, senandika menyuruhku sebaliknya.

Diam.

Hanya diam.

Mengapa ... ya? Entah. Aku merasa harus melakukannya.

"Aku memberimu pilihan."

Terkesiapnya diriku cukup membuktikan bahwa aku tak siap guna mendengar apa yang selanjutnya ia katakan.

"Pertama, lari bersamaku. Abaikan ia."

Aku menelan ludah. Jemarinya membuka bagian telunjuk—secara ia menghitung memakai gaya Prancis.

"Kedua, akhiri nyawanya. Lari bersamaku."

Tetap lari bersamanya. Apa ... tidak ada pilihan lain?

"Opsi ketiga?"

Ia mengangkat sebelah alis. Sudut matanya tertarik. "Menetap. Tidak lari bersamaku. Terkurung selamanya dalam kandang yang tak membolehkanmu pulang."

Aku terdiam.

"Apa aku ... bahkan ... punya tempat ... untuk ... datang ... ?"

Ia tersenyum miring. "Bahkan, bercabang."

Aku manggut-manggut. Tak tahu harus berkata apalagi, aku menyesap kopi yang sudah dingin; merasakannya mengalir di tenggorokan seraya gumamkan kelegaan kecil.

"Jadi, apa pilihanmu?"

Aku mengangguk. "Boleh aku bertanya satu hal dulu sebelum memutuskannya? Maksudku—ini antara hidup dan mati."

"Mengapa tidak?"

Ah, retorika yang terkandung dalam intonasi suaranya selalu mendapatku telak.

"Kau ... pernah mengalami ini, 'kan?"

Gerakan tangan yang memainkan cangkir di atas meja berhenti. Berarti, yang kumelodikan tadi merupakan hal yang serupa dengan caci maki. Untuk mengejeknya, yang, mungkin, sedang lara hati.

"Kau ... pernah mengalami ini. Sewaktu kau memaksanya membawaku."

"Aku percaya atas apa yang mereka perintahkan padaku untuk percaya."

Dan, itu, sama sekali bukan salah siapa-siapa.

Memangnya, kami punya kehendak untuk melawan mereka yang di atas awan?

Senandungkan lagu favorit selama aku hidup ini, mataku menangkap salah satu hal janggal di luar kafe. Kacanya transparan, jadi aku bisa melihat keadaan luar sesukaku.

"Maitimo, kau tidak punya hak untuk memberitahu hal yang tak seharusnya ia tahu."

Aku menoleh, tatap datar eksistensi seseorang yang telah merawat hingga membohongi ribuan kali; tak terkejut meski ia tahu lokasi kami.

"Findekano, bukan kuasamu untuk lagi memerintahku."

Pertengkaran yang sengit. Tapi, waktuku tidak banyak.

Aku berdiri dari kursi yang kududuki dan mengalungkan tangan pada lengannya, tersenyum manis padanya. "Urusanku di sini sudah selesai. Mari kita pulang?"

Ia mengangkat sebelah alis.

"Aku tidak menyangka kau bisa berkata begitu setelah menyelinap diam-diam."

Aku berpura-pura terkekeh.

"Kau membiarkanku."

Ia berdecak; namun, tetap melingkarkan tangan di pinggang bawahku. Sorotnya tajam tatkala bertemu dengan milik sang teman, pasang raut jauh dari kata menyenangkan.

"Aku pulang dulu," pamitku pada pria yang duduk di kursi sembari menepuk bahunya pelan. Ia berdecih.

"Aku tidak peduli."

Oh, melihatnya merajuk begini sungguh menghiburku.

Anila menyapa muka dengan begitu jatmika, semilir harum bau petrikor yang menguar saat hujan deras mengguyur bumi. Aku merapatkan tubuh padanya supaya payung yang kami kenakan dapat melindungi seluruhnya. Bianglala kecil yang tercipta; adiwarna, yang sayangnya tidak amerta.

"Apa rencanamu setelah ini?" tanyaku, memberikan perhatian penuh untuk sang lelaki yang membukakan pintu mobil. Ia baru benar-benar menjawab ketika sama-sama dari kami sudah aman dari ganasnya petir di luar sana.

"Mengurus sesuatu."

Kalau ia tidak menyebut, itu pasti hal yang tak dibolehkan aku untuk tahu. Tapi, aku tak menyerah. "Sesuatu apa?"

"Sesuatu yang ... kelewat penting," jawabnya. Tangannya sibuk mengobrak-abrik laci mobil dan mengambilkan suatu barang untuk kemudian diberikan kepadaku.

Sapu tangan?

"Bersihkan air matamu. Kau setakut itu padaku?"

Aku mengerjap. Hah?

Benar. Karena nyatanya, likuid bening berperisa asin langsung mengalir begitu aku berkedip. Oh, Tuhan. Aku tidak menyadari tanganku tremor. Hawa keberadaan lelaki ini sungguh memunculkan kengerian tersendiri.

"Maaf ...."

"Tidak perlu minta maaf atas hal yang tak bisa kau kontrol."

Bunyi cuitan kukila yang datang secara tiba-tiba mendapatkanku. Itu milik ponselku. Dengan tergesa-gesa, kuambil benda tersebut dari tas dan mengecek pesan masuk.

Now, or never.

[Sekarang, atau tidak sama sekali.]

Perasaan nostalgia yang kuat. Jemari ketikkan setiap huruf dengan pergelangan tangan yang tak juga berhenti gemetar. Itu pasti darinya.

The first one.

[Yang pertama.]

Pilihanku sudah tepat. Aku tahu, membunuhnya bukanlah hal berarti. Karena dengan begitu, aku juga akan kehilangan diri sendiri.

Lingkaran setan ini belum berakhir.

.

.

.

8 Februari 2001.

"Ibu, kenapa aku tidak sekolah seperti anak-anak lain?"

Sore itu, matahari tidak bersinar terik seperti biasanya. Seolah mengikuti suasana hati ibu yang sering berubah-ubah. Kali ini, ibu tengah menangis. Bukan karena ayah. Tapi, karena aku telah menyelesaikan kuis matematika yang diberikannya minggu lalu dengan sempurna.

Tepat pada hari aku resmi berumur sepuluh.

Ah, kebetulan-kebetulan yang menjengkelkan. Bagaimana mungkin seluruh hidupku berkaitan dengan angka delapan dan dua? Februari adalah bulan ke-dua, sementara aku lahir tanggal delapan. Ibu mengandungku saat usia dua puluh, bulan delapan—bulan Agustus. (Aku lahir prematur, omong-omong.) Dua ditambah delapan? Sepuluh. Pas sekali dengan usiaku sekarang ini.

Oh, Tuhan, rasanya bahasaku jadi lebih mendramatisir selepas membaca banyak buku orang dewasa.

"Ibu tidak mempunyai uang untuk menyekolahkanmu,
êl tithen."

Aku tidak merespon. Bagaimana, ya? Ibu selalu jujur dalam segala situasi. Bahkan, jika situasi tersebut tidak menguntungkannya, ibu tak pernah gentar untuk menyuarakan kebenaran. Ibu tidak menyukai kebohongan putih.

[Re: white lies]

Aku tersenyum simpul. Tapi, itulah yang aku senangi dari ibu. Aku akan menyayangi ibu sampai malaikat maut memisahkan kami.

"Janji, ya, anak Ibu tidak akan meninggalkan Ibu?"

Aku mengangkat alis; bertanya polos, "Mengapa begitu?"

"Karena Ibu tidak bisa menyekolahkanmu."

Aku tertawa. "Ibu, aku ini anak Ibu! Aku sudah pasti pintar walau tidak sekolah."

Ibu menanggapinya dengan senyum kecil dan tepukan lembut di kepalaku. Aku melongok, melihat coretan abstrak ibu yang kali ini berbentuk.

"Ibu, ini apa?"

Tatapan matanya berubah sendu. Uh, apa aku mengatakan sesuatu yang salah?

"Bukan apa, tapi siapa."

Jeda sejenak. Rambutku masih dielusi olehnya.

"Mereka anak teman Ibu. Sekarang, mereka sudah tenang di surga."

Aku menutup mulut, tak menyangka akan jawaban yang datang. 'Tenang di surga' itu ... maksudnya ... meninggal?

"Kau ingin tahu nama mereka?"

Aku mengangguk kecil.

"Maitimo dan Findekano."

Rasanya, aku pernah mendengar nama tersebut. Tapi, di mana, ya?

"Mereka anak-anak kecil yang baik. Namun, Tuhan lebih menyayangi mereka."

Aku tidak mengerti. Jika Dia menciptakan sesuatu hanya untuk diambil kembali, lantas kenapa harus repot-repot membuat eksistensi? Tapi, tidaklah boleh aku mengkritisi Yang Maha Kuasa. Aku tahu, semua yang dilakukan-Nya memiliki berkat untuk para manusia.

"Ibu tidak sayang aku?"

Ibu bergerak mendekap; memelukku hangat. Surai putihnya jatuh di bahu seraya tubuhnya bergetar. "Ibu menyayangimu, sangat. Dan akan selalu begitu," katanya.

Kala itu, aku membuat janji.

"Ibu, ayo berjanji."

Untuk bersama ibu selamanya.

"Aku dan ibu akan bersama dan saling menyayangi selamanya."

Untuk selalu ada bagi sesama.

"Sampai maut memisahkan?"

Untuk saling mengerti asa dalam dada.

"Tidak, Ibu. Selamanya."

Untuk tidak menyimpan asrar bentala yang mencipta nestapa.

"Baiklah. Selamanya."

Untuk—

"Aku tidak akan pernah meninggalkan Ibu."

—berbohong pada pertama kalinya.

Sayang, janji itu membelenggu hingga aku dewasa.

3 Maret 2021.

"JANGAN PERGI!"

Aku terengah-engah, tengok sekitar dengan pikiran penuh. Ini bukan ranjangku. Ranjangku berwarna putih suci tanpa motif dan tak memakai selimut, sementara ranjang ini sebaliknya. Abu-abu dengan motif persegi berkelompok.

"Lapar?"

Memusatkan perhatian pada sosok yang berdiri di pintu, senyumku terukir. Gundah gulana akan ingkarnya aku pada ibu langsung sirna begitu melihat orang ini.

"Maitimo!"

Ia menaikkan alis. "Kau tahu namaku?"

"Maitimo, Maitimo, Maitimo!" ulangku selama tiga kali. Aku menyengir.

Ia menghampiriku dan memberi satu buah roti isi, masih dilapisi plastik. Aku menerima; berterima kasih padanya. Ia mengangguk sebagai respon.

"Omong-omong, bagaimana akhirnya aku dapat tiba di sini?"

Ia menyandarkan tubuh pada dinding. "Kemarin malam—tidak, tengah malam, lebih tepatnya, kau datang dengan kondisi basah kuyup dan darah yang merembes di dahi, memintaku yang menunggu di tempat perjanjian kita untuk membawamu pergi."

Aku tertegun. Diri ini sama sekali tidak mengingat tentang apa yang terjadi. Namun, daripada membahasnya, lebih baik simpan rapat-rapat untuk dikemudian hari.

"Yah, aku tidak mengerti. Tapi, kurasa, aku aman di sini. Benar, 'kan?"

Ia tersenyum miring. "Secara teknis, mustahil baginya untuk menentang aku yang lebih tinggi. Secara kegilaan, mungkin ia akan melakukan segala cara untuk mendapatkanmu kembali."

Aku mengerang.

"Tuhan, kenapa ia sangat menginginkanku?" monologku yang tak akan terjawab sampai kapanpun—hingga aku mendengar gumamannya.

"Because you were her child."

[Karena kau adalah anaknya.]

"Apa?"

Aku tercengang. Mulutku setengah terbuka, tandakan pikiran yang tak paham akan keadaan. "Apa ... yang baru saja kau katakan?"

"Tidak ada." Ia mengedikkan bahu.

Aku menggeleng. Ia berbisik seperti itu! Bagaimana aku tak mendengarnya?

"Sudahlah. Ayo makan."

"Tapi, aku baru saja makan roti isi," rengekku. Ia memutar bola mata; menarikku dari tempat sehingga aku terjatuh di lantai keramik tersebut.

"Aduh! Hati-hati, dong! Aku ini perempuan," gerutuku. Ia hanya terkikik kecil dan berjongkok di depanku; mengejekku.

"Kau seperti nenek-nenek kalau begini."

"Oh? Apa nenek-nenek menyapa seperti ini, 'Selamat pagi, Maitimo!' begitu?" tanyaku seraya bertumpu pada kedua kaki dan tangan, merangkak dan mendongak ke arahnya.

"I-idiot!"

Wajahnya tersampul dengan rona merah sebelum aku tertawa dan berdiri. "Terserah," ucapku.

Kami berjalan bersisian menyusuri lorong rumahnya. Ah, banyak pelayan dan suasana yang ramai membuatku ingat bahwa ini bukan rumahnya.

"Selamat pagi, Nona. Apa yang ingin Anda makan?"

Salah satu pelayan menanyaiku. Aku tidak tahu pasti apa yang ingin aku makan, karena selama ini ia selalu memasakkan makanan terlebih dahulu tanpa bertanya seleraku. Aku menggigit bibir, tidak menjawab.

Ia melihatku, lalu beralih ke pelayan itu. "Bagaimana dengan ikan? Kita masih punya persediaan yang cukup, bukan?"

"Benar, Tuan. Dengan metode apa?"

Ia melihatku lagi. Aku membalas, "Digoreng ...."

"Baik, Nona. Ada catatan khusus?"

Ia melirikku. "Jangan tambahkan cabai. Ia tidak bisa makan pedas." Ia berdehem. "Dan, oh, tolong lunakkan durinya." Pelayan itu mengangguk, membungkukkan badan dan menghilang dari hadapanku.

Uh, bagaimana ia bisa tahu?

Aku menarik kursi dan mulai duduk. Penuh penasaran aku tatap para pelayan yang berlalu lalang, tak mengerti akan apa yang mereka kerjakan. Aku menoel bahu yang berdekatan denganku, bertanya. "Hei, Maitimo, apa tugas mereka?"

Ia menaikkan sebelah alis. "Mereka?"

"Para pelayan."

Ia mengangguk. "Macam-macam."

"Jelaskan padaku!" seruku, bersemangat.

Ia terkekeh. "Ini tidak seperti kau akan melamar pekerjaan sebagai pelayan, 'kan?"

Aku menggeleng.

"Tentu, tidak!"

Lagipula, apa-apaan itu?

Maksudku, hidupku memang lebih buruk dari pelayan (aku tidak bermaksud menyebutkan hidup pelayan itu buruk, tidak sama sekali) dan, bahkan, dua ratus kali lebih buruk, tapi, itu sebelum ia membawaku. (Aku tidak bisa berkata dengan terang-terangan seperti 'ia memungutku' atau aku akan berada dalam bahaya.)

"Mereka memasak, juga mencuci piring. Yang mencuci baju biasanya juga melipat dan merapikannya. Lalu, ada juga yang mengepel dan menyapu. Tugas mereka berkaitan."

"Oh? Tapi, apa ada satu pelayan yang mengerjakan semuanya?"

Ia mengelus kepalaku. "Ada. Kepala pelayan."

"Woah! Itu semacam yang tertinggi, bukan?"

"Benar," ia terkekeh. Melanjutkan, "Tidak kusangka kau tidak tahu hal sesederhana ini." Ia memilin rambut putihku yang sudah agak kusam.

Aku menggerutu, "Di rumah besar itu, hanya ada ia dan aku. Seram." Aku bergidik ngeri sembari membayangkannya. Apalagi, mengingat lorong gelap yang tak henti menghantui, membuatku bersyukur telah pergi.

... atau kupikir begitu.

Disaat berpikir diri ini sudah aman, mimpi tentang ibu kembali datang.

"JANGAN PERGI!"

Aku terengah-engah, tengok sekitar dengan pikiran penuh. Ini bukan ranjangku. Ranjangku berwarna putih suci tanpa motif dan tak memakai selimut, sementara ranjang ini sebaliknya. Abu-abu dengan motif persegi berkelompok.

"Lapar?"

Aku mengerjap. Tunggu, apa ini?

Aku mengulang?

"M-maitimo?"

Ia mengangkat alis. "Benar. Kau berharap siapa? Findekano?" Senyum remeh terlukis di wajah.

Aku menggeleng. "Tidak! B-bukan begitu! A-ada yang salah!"

Ia mendekat, duduk di ujung ranjang sambil menyandarkan punggung di tiangnya. Mata mengobservasiku seperti biasa.

"Jelaskan, apa yang salah dari lari menghindari sikopat sepertinya?"

"Si ... kopat ... ?"

Ia mengangguk. "Benar. Kau tidak ingat kejadian semalam?"

Apa yang kulakukan semalam?

Kau tidak ingat.

Aku menggeleng. "Tidak."

Kau akan melupakannya.

Ia terkekeh. "Lucu sekali. Berminat untuk aku jelaskan?"

Kau tidak akan ingat sama sekali.

Kepalaku pusing.

.

.

.

Akhir ... ya?

Ketika semua ini sudah saatnya datang ke akhir, sanggupkah aku menerimanya?

Tentu.

Aku pasti akan menjawab begitu tanpa ragu-ragu. Maksudku ... bukankah aku yang menginginkan sebuah akhir? Akhir dari cerita yang kami jalani? Aku tidak ingin hanya berputar-putar di satu tempat ini. Aku ingin bebas, tak lagi terkekang meski mereka menyebutnya kirmizi.

Tapi, kini, setelah mengetahui yang terjadi, rasanya tak bisa aku berucap tanpa akhlak bestari.

Matahari bersinar terik lagi.

Apa ... ya? Mungkin karena bumi makin tua. Atau bahan bakarnya memang hampir reda. Atau kelakuan manusia yang tidak lagi jatmika. Atau insan-insan penghancur harsa yang bisanya mencipta lara. Atau gedung-gedung pencakar langit pengundang bencana.

Mega mendung menutupi pendarnya yang kelewat baswara. Untuk lindungi inkarnasi Dewa yang sering gundah gulana. Tak tampak kukila di atas sana, atau mereka benar tak ingin ada? Hanya panas yang mencabar daksa, apa gunanya kepakkan sayap menyusuri bumantara?

Aku mendongak, larikan mata menuju sorotnya. Kepulan kopi panas yang menyapa wajah bagai sedang merapah, habiskan waktu tatapnya menjelajah.

Apa itu? Kesenangan? Ketakutan? Kesedihan? Kebahagiaan?

"Untuk apa menemuiku?"

Ah, benar. Kemalasan.

Tapi, apa yang aku lakukan di sini?

Sepertinya aku perlu kilas balik untuk melihat apa yang terjadi.

2 Maret 2021.

"Because this is the story that I've started."

[Karena ini adalah cerita yang aku mulai sendiri.]

Ini gelap.

Aku tidak tahu, aku ada di mana.

Samar-samar, aku mendengar gumaman resah dari orang yang tidak aku tahu.

"Efeknya harusnya baru akan berfungsi dua puluh empat jam kemudian."

Kali ini, suara yang berbeda. "Apa ia akan ingat kalau aku menyuntilkan itu?"

"Tidak." Suara yang tadi.

Aku menahan napas tatkala rasakan jemari mengelus rambutku. Ah ... itu pasti ia. Aku kenal betul fitur tangannya seperti apa. Kami hidup bersama selama beberapa tahun, jangan ragukan aku.

"Eru ... maafkan aku."

Yang Satu; nama dari Tuhan.

Aku terkesiap.

"A-apa?" Aku terduduk. Tanpa sadar tangan tadi kutepis, ketika aku mulai terisak. Ini ... aku tidak menangis karena merasakan sakit.

Aku menangis ... karena aku tidak merasa sakit.

"Kau bajingan."

Aku tidak bisa menampik bahwa ia memang berpengaruh untukku, bahkan, sangat. Aku hanya tidak mengerti mengapa setelah semua yang terjadi, aku masih membiarkannya memelukku. Sesenggukan dalam dekapan, air mata membasahi kemejanya.

"Maaf."

Apa dengan kata itu, lantas semuanya dapat kembali seperti awal?

Aku tahu ini anitya, sama halnya dengan tidak amerta. Suasana menyebalkan yang terjalin oleh Dewa. Ibu bilang, keresahan akan cepat berakhir. Ibu bilang, Tuhan yang menjalankan takdir. Nyatanya, kalau begitu, untuk apa Dia menciptakan garis hidup penyengsara manusia? Aku tidak paham. Jika hidup ini hanyalah sebuah bekal, akan ke mana kita bermuara nanti?

"Kau tahu, meleth nín, terkadang ada hal yang terpaksa dilakukan untuk mencapai tujuan."

Tapi, aku tidak mengerti. Apa tujuanmu?

"Pantaskah kau mengorbankan semuanya? Keluargaku? Kehidupanku?"

Ia menghela napas. "Kau sadar, bukan, kau tak memiliki kuasa atasnya?"

Aku menggeleng, bersikeras.

"Begitu juga denganmu, hîr vuin. Tuan tidak memiliki kehendak atas hidup saya."

Ia terlihat lelah. Aku tidak peduli. Memangnya, siapa yang tidak lelah dibohongi terus-menerus seperti ini? Hari demi hari berlari tanpa tinggalkan kenangan berarti, porak-porandakan hati yang sadar tak bisa memiliki.

Bukan, bukan memilikinya.

Memiliki bahagia.

Aku hanya ingin bahagia. Apa aku salah?

Ibu bilang, memiliki keinginan untuk bahagia bukanlah hal yang salah. Sesuatu yang kau lakukan terhadapnya yang memutuskan itu bisa menjadi salah atau tidak. Tapi, terkadang, cukup heran aku berpikir. Jika kebahagiaan manusia adalah segalanya, bukankah hal salah bisa menjadi benar?

Orang-orang, di mulut mereka, mungkin bisa berkata kalau mereka bahagia. Tapi, dalam hati, siapa yang tahu? Hanya sang pemilik dan Tuhan. Aku tidak terlalu memusingkan kebahagiaan orang lain, karena di dunia ini, yang kumiliki hanya diriku saja. Namun, dengan begitu, bukannya kemunculan orang sok tahu akan membuat mereka semakin terpuruk? Seperti halnya aku kepadanya. Aku tidak bisa bilang ia bahagia, karena, tentu, aku bukan siapa-siapa baginya.

Ibu juga bilang, hidup akan berakhir indah—atau bahagia. Jika kita tidak merasakan keduanya, maka, hidup kita belum berakhir. Mungkin kau merasa sekarat, tapi, Tuhan tidak akan membiarkanmu mati, kecuali kau sudah merasa bahagia.

Walau, aku bingung. Lina—apa kabar dengannya? Ia kukirim ke surga dengan tangan kecil ini. Aku tidak merasa ia bahagia ketika kutenggelamkan ke danau beberapa bulan lalu. Meski, sebelumnya, ia bersenang-senang dengannya, apa itu bisa disebut bahagia? Dengan sikopat, sepertinya?

Aku bahkan meragu itu bisa disebut bersenang-senang.

"Benarkah?"

Bagus. Sekarang, ia bersikap seolah memiliki hidupku. Memangnya, siapa ia, Dewa?

"Oh, Tuan, selera humor Anda sangat buruk."

Aku mendongak, rasakan tajam tatapannya menusukku. Aku sudah kebal. Aku tidak merasa takut lagi.

"Aku tidak pernah ikut acara komedi," ucapnya, mengelus daguku. Hampir aku mendengkus. "Siapa yang mengajarimu untuk melawan seperti ini?" Mencengkeramnya kuat.

Senyumnya terukir. Aku memegang tangannya. "Oh, Tuan, satu-satunya orang lain di hidup saya hanya Anda."

Dengan itu, ia menghempaskan wajahku. Uh ... gigiku kebas. Bagaimana mungkin ada orang kejam seperti itu? Tapi, tak salah pilihanku untuk melawannya. Ini adalah satu dari sekian banyak cara sebagai awal mula kabur darinya.

"Tuan, maaf atas kelancangan saya." Aku menunduk. Deru napasnya menerpa rambutku. Harum mint, biasanya.

"Lebih baik tidak kau lakukan lagi."

Aku mengangguk, tersenyum manis. Sebelum ia melangkah lebih jauh guna meraih pintu, aku memanggilnya.

"Tuan."

"Jangan formal."

"Baik, Kakak." Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. "Apa Kakak tidak keberatan, kalau besok aku hanya ingin di rumah?"

"Tidak masalah. Yang pasti, besok aku akan pergi."

Aku beranjak dari ranjangku, mendekatinya. "Ke mana, Kak?"

"Suatu tempat."

Oh, ia tak mau memberitahuku.

"Lama, tidak?"

Ia tampak berpikir. "Sekitar dua atau tiga hari, mungkin?"

Kalau begitu aku akan sendirian di sini?

"Kak, boleh aku bertanya?"

"Sudah kau lakukan daritadi."

Aku terkekeh, refleks. "Maksudku, lagi."

"Terus terang."

Aku menggigit bibir, memilin baju putihku. Kulirik vas berisi bunga pemberiannya sebulan lalu, masih segar. Aneh. Padahal, aku tidak merawatnya. Tapi, bisa jadi ia yang menggantikannya untukku.

"Kegiatan yang kau lakukan kepadaku, saat yang aku tahu adalah diriku masih kecil, namanya apa?"

Ia menaikkan sebelah alis. "Kejadian waktu itu?"

" ... Benar."

"Fingering. Kenapa?"

[Memainkan jari-jari.]

"Tidak. Aku hanya merasa perlu mengetahuinya. Kalau begitu, terima kasih."

Ia menatapku, menyelidik. "Kau tidak berniat melakukannya sendiri, 'kan?"

"Kenapa?"

Ia tertawa. "Aku bisa melakukannya untukmu, omong-omong."

Aku memukul lengannya. "Mesum! Sudah, Kakak tidak jadi pergi?" Ini jam delapan pagi—beberapa jam setelah aku 'dibuat' lupa olehnya. Nyatanya, obat itu tak berpengaruh padaku. Semoga.

"Jadi, kok. Jaga diri baik-baik."

"Oke, Kak!"

Ini bukan waktuku untuk bermalas-malasan. Selepas ia pergi dan menutup pintu, aku bergegas menghampiri vas yang tadi kutatap. Kuambil bunganya dan merogoh sesuatu di dalamnya.

"Ponsel!"

Benar, ponsel. Ponsel anti air yang ia belikan untukku sejak tiga tahun lalu. Aku tak tahu apakah ia mengetahui tempat persembunyian ini, aku hanya perlu menghubungi seseorang.

"Nomor yang Anda hubungi sedang sibuk. Silakan coba beberapa saat lagi."

Aku menggeram. Hampir aku membantingnya. Uh, sial. Lagipula, aku berharap apa? Yang kutahu adalah ia sudah mati saat usia bohonganku empat belas, dan tersisa tangannya. Tapi, bisa saja aku salah. Lelaki itu harusnya sama-sama punya kekuatan yang setara dengan ia.

"Nomor yang Anda hubungi sedang sibuk. Silakan coba beberapa saat lagi."

Satu kali lagi saja, dan aku tak akan menelepon lagi.

"Halo?"

Aku terkesiap. "Y-ya?"

"Halo?"

Ini suaranya! Suara yang beberapa tahun lalu aku dengar. "A-apa benar ini dengan Maitimo?"

Maitimo. Itu yang kuingat. Tak terlalu familiar dengan marganya, jadi aku tak mengingatnya. Ia tinggal di komplek yang jauh dariku. Namun, meski begitu, aku masih mengondisikan untuk mendapat nomor ponselnya. Terima kasih pada rekan kerja di kafe yang berbaik hati mencarikannya untukku.

"Benar. Dengan siapa?"

Lelaki ini masih hidup?!

"Kau masih hidup?!"

Terdengar tawa dari seberang sana. "Kau gadis yang bersama dengan Findekano?"

"S-siapa Findekano?"

"Ah, itu julukannya. Kurasa kau tidak tahu. Jadi, kau sudah ingat?"

"J-julukan? Itu bukan namanya?" Aku heran. Bertahun-tahun kami tinggal serumah dan tak satu kalipun aku mendengar namanya. "Ingat apa?"

"Kau akan tahu nanti." Jeda sejenak. Sepertinya ia sedang memikirkan matang-matang tentang apa yang akan diucapkannya. "Aku pikir hal seperti itu tak bisa dibicarakan di telepon. Bagaimana kalau kita bertemu?"

"B-bertemu?"

"Benar."

"K-kalau begitu—aku akan kirimkan alamatnya. Tunggu, ya!"

"Apa ia ada di sini, sekarang?"

Aku menggeleng walau tahu ia tak akan bisa melihatnya. "Aku menelepon diam-diam. Sebenarnya, ia tak memperbolehkanku menyentuh elektronik."

"Wah? Kau akan dalam masalah besar."

"Tidak apa, selama ini bisa membuatku bebas."

Aku yakin ia tersenyum miring. "Menarik. Jangan lama-lama. Kasihan, nanti."

Apanya yang kasihan? Namun, aku tak ambil pusing. Segera kupakai kardigan putih yang sama sekali tak cocok dengan kaus putih, begitu pula dengan celana ketat putih (lagi) sepaha milikku. Kusambar kunci pintu rumah dan berjalan menuju halaman depan.

Aku mengirim pesan kepada salah satu pekerja di kafe.

Saya akan kesana beberapa saat lagi. Jangan tutup dulu.

Tak lama kemudian, aku mendapat sebuah balasan. Cepat juga.

Baik, Bu.

Aku tersenyum. Sudah lama aku tidak bertemu mereka. Anak-anak mahasiswa yang mengenalku sebagai ibu muda pemilik kafe, istri dari pemuda kaya. Walau aku tak terikat pernikahan dengannya, mereka melihat kami sebagai pasangan yang sempurna.

Ia sudah memecat mereka, sebetulnya. Namun, aku yang bersikeras, berusaha mempekerjakan mereka kembali, dengan syarat; tidak menyinggung apapun soal kebebasan di lingkungan kafe. Mata-matanya ada banyak, aku tidak ingin mengambil resiko anak buahku terkena bahaya.

Aku menangkap hal janggal. Semudah ini, aku berhasil keluar? Tak kukira. Aku menghela napas, menyingkirkan segala praduga tak menyenangkan sembari menepuk pipi. Layangkan tatapan pada seluruh penjuru, tidak melihat apa-apa; kekosongan hakiki yang tercipta setelah ia pergi.

Aku sampai di kafe pukul sembilan lebih. Mata ini tampakkan sosok lelaki yang berapa lamanya tak berjumpa, duduk di dalam sana sambil menyeruput kopi favoritnya.

Oh ... Tuhan.

Lingkaran setan ini akan berakhir dengan tanganku sendiri.

Terkadang, ada beberapa hal yang tak seharusnya kita tahu, untuk menjaga perdamaian dunia. Dan aku juga seharusnya paham akan hal itu. Karena dengan begitu, jika aku tetap menjaga rasa penasaranku, aku akan hidup tenang, terjamin, dan sehat selamanya, walau itu berarti aku mengulang hidup tak berhenti. Tapi, kadang, itu juga hal yang membuat semuanya rumit.

Seperti kapan kita akan bertambah tua? Seperti kapan kita akan mati? Atau seperti kapan dan bagaimana kita bisa dilahirkan? Pertanyaan-pertanyaan itu, setengah darinya mempunyai jawaban, dan setengah lagi tidak. Hal-hal seperti 'kapan kita akan mati' tak boleh kita tahu, karena, bukankah itu akan menghilangkan makna dari hidup itu sendiri? Begitu pula dengan 'kapan kita dilahirkan', ini berfungsi untuk bersyukur pada Tuhan akan nyawa yang telah diberikan. Walau, aku berpikir, pasti ada saja orang yang tak ingin lahir di dunia dan menetap di surga, sehingga mereka memilih mengakhiri hidupnya.

Aku bukan termasuk golongan yang ingin menetap di surga meski masa kecilku sudah kacau seperti itu. Bukankah dengan begitu, artinya Tuhan menyayangi kita? Tuhan ingin tahu seberapa banyak kita dapat menahan penderitaan yang Dia beri, dan kemudian mengapresiasi kita untuk bisa bertahan. Apresiasi-Nya selalu jauh dari perkiraan dan berkali-kali lipat mengagumkan. Itu yang membuatku selalu gagal menyayat nadiku sendiri akibat terlalu lelah dengan kelakuan ayah.

Aku tak ingin berpikir hidupku jadi jauh lebih buruk karena tinggal bersamanya. Ia memberiku makan, tempat tidur yang layak, serta kebutuhan yang tercukupi. Tak sekali-duakali ia bertanya kepadaku apakah ia membuatku tak nyaman. Walau, jawabanku selalu sama juga; tidak. Ia tak menggangguku, pun, menjengkelkanku. Aku hanya bersikap wajar padanya sebagai anak yang dibantu oleh sang malaikat.

Ibu pernah bilang; ada salah satu malaikat yang jatuh dari surga. Namanya Lucifer. Aku tak pernah lupa akan hal ini, sebab ceritanya terlalu mengagumkan untuk diingat. Lucifer, kalau tidak salah, membantah perintah Tuhan untuk bersujud pada Adam, manusia pertama yang diciptakan. Maka dari itu, Tuhan mengusirnya dari surga. Iblis itu sekarang disebut Satan, iblis terkuat yang pernah ada.

Aku merasa, ibu menyamakan dirinya dengan Lucifer. Gadis baik hati dari kalangan aristokrat yang hanya perlu menjentikkan jari untuk mendapat semua yang diingin, jatuh ke kubangan lumpur menjijikkan sebab melawan sang mama untuk tidak keluar sampai tengah malam. Walau, aku terheran-heran. Pemerkosaan, bagaimanapun, merupakan salah pelaku. Korban, meski memakai pakaian sependek apapun, sevulgar apapun, tidak akan pernah menjadi yang bersalah dalam kasus tersebut. Tuhan menciptakan manusia dengan akal yang mampu berpikir secara logis, tapi, menggunakannya untuk memerkosa seorang gadis? Hewan, pun, tak akan mau disamakan dengannya.

Secara teoritika, hubungan-hubungan timbal balik antara manusia yang saling merugi agak memusingkan. Atau, hanya salah satu saja yang merugi, sudah cukup membuat sakit kepala. Seperti hubungan antara ayah dan ibu, dan bagaimana mereka beradaptasi, itu yang membuat kepalaku sakit. Tak jarang kudengar ayah menangis tiap malam, merasa bersalah karena menghancurkan hidup ibu. Yang sering membuatku heran, bukankah ia melakukannya atas dasar keinginan sendiri? Aku tak perlu bertanya-tanya apabila ia dalam keadaan mabuk, namun, di kasus ibu, pria itu melakukannya secara sadar, dan aku benci akan hal itu.

Terkadang pula aku berpikir, ada orang jahat di balik kasus ayah dan ibu. Seperti bagaimana bila seseorang sudah mengaturnya? Membuat ayah memerkosa ibu, lalu membuat orang tua menikahkan mereka. Tapi, dugaan itu selalu terbantahkan, sebab tak mungkin hidupku sedrama itu. Pun, apa keuntungan yang didapat dari menikahkan gadis kaya dengan seorang pria miskin tak berpendidikan? Tak ada, menurutku.

Hanya saja ... jika dibalik semua hidupku ternyata ada yang menyusunnya—selain Tuhan, aku akan membunuhnya.

Melihat cinta di mata ibu untuk ayah juga mengherankanku. Maksudku ... bagaimana kau bisa jatuh cinta pada seseorang yang telah mengacaukanmu? Merobek-robek masa depanmu, merusak hal berhargamu. Kalau aku, aku tak akan memaafkannya. Beribu maaf ia layangkan, dan beribu tamparan pula aku berikan. Aku tak perlu basa-basi dengan orang-orang gila yang bisanya mencipta lara, membuat gadis baik-baik sepertiku dan ibu nestapa.

Mereka berdua saling mencintai ... dan itu menyesakkanku.

"Untuk apa menemuiku?"

—adalah kalimat yang menyambutku ketika aku duduk di depannya, mengamati sorotnya lamat-lamat.

Beberapa menit berlalu, tak satupun dari kami yang membicarakan hal berarti. Walau—di setiap yang kami ucap, terkandung makna tersembunyi yang hanya bisa dimengerti kami. Tak kutahu ikatan batin ini kudapat darimana, mungkin spontanitas yang bahkan antah-berantah asalnya.

"Kau tahu nomorku?"

Aku mengangguk. "Tentu," jawabku. Nayanika ini menatap sosok di meja kasir, tersenyum padanya. "Aku mendapat nomormu darinya. Katanya, ia merupakan adik kelasmu dulu." Kusesap susu vanilla hangat di cuaca yang dingin ini, melanjutkan, "Dunia begitu sempit."

"Atau kaupikir begitu."

Ah, hari lain dari suatu kebohongan misterius yang dilontarkan? Aku sudah biasa.

"Oh, ayolah. Jangan membuatku berpikir bahwa semua ini sudah diatur. Bahkan, pertemuanku denganmu. Aku ingin menikmati masa-masa penuh kenaifan ini." Tak kusadari bagaimana kalimat penuh sarkasme ini keluar, tapi, aku cukup menyenanginya.

Ia tersenyum miring. "Kau makin berani, ya, sekarang?"

"Menjijikkan. Kau terlihat seperti ia."

Alisnya terangkat satu. "Kau tak mencintainya lagi?"

Aku mengernyit. Segera kuletakkan gelas penuh kepul tadi, meletakkan tanganku di meja dan mendekat ke arahnya. "Apa tidak bica membenci dan mencinta disaat yang bersamaan?" Hanya retorika biasa yang dikeluarkan untuk menjatuhkan lawan. Aku tidak sebodoh itu untuk tahu jawabannya.

"Pertanyaannya terlalu bodoh. Malas."

Aku tertawa. Oh, Tuhan, adakah yang lebih lucu dari ini? Singgung menyinggung tiada henti, tak lekang oleh waktu dan mengalir bersama musim.

"Jadi, apa pilihanmu?"

Tanyanya, tak terkandung objektifitas yang biasa orang awam udarakan. Ini tentang hal yang sebelumnya kami bicarakan.

Aku mengetuk-etukkan jemari. "Boleh aku bertanya satu hal dulu sebelum memutuskannya? Maksudku—ini antara hidup dan mati."

"Mengapa tidak?"

"Kau ... pernah mengalami ini, 'kan?"

Gerakan tangan yang memainkan cangkir di atas meja berhenti.

Aku berkata lagi, "Kau ... pernah mengalami ini. Sewaktu kau memaksanya membawaku."

"Aku percaya atas apa yang mereka perintahkan padaku untuk percaya."

Dan, itu, sama sekali bukan salah siapa-siapa.

Senandungkan lagu favorit selama aku hidup ini, mataku menangkap salah satu hal janggal di luar kafe. Kacanya transparan, jadi aku bisa melihat keadaan luar sesukaku.

"Maitimo, kau tidak punya hak untuk memberitahu hal yang tak seharusnya ia tahu."

Oh, bagaimana Tuhan bisa menjadi semurah hati ini? Mendatangkan seseorang yang kutahu akan membunuh raga ini nanti.

"Findekano, bukan kuasamu untuk lagi memerintahku."

Kami adalah akhir bagi masing-masing. Serapat apapun itu, semisterius apapun itu, kami sudah tahu, bahwa kami membawa akhir untuk satu sama lain. Maka, yang bisa kami lakukan, adalah berpura-pura tidak melihat 'akhir' bagi yang sama-sama dari kami bawakan.

Dan, untuk mencapai proses itu, dibutuhkan darah yang tumpah serta upaya kuat. Untuk bebas dari satu sama lain, kami perlu kehilangan jati diri terlebih dahulu.

Lingkaran setan ini tidak akan berakhir.

Kecuali kami sendiri yang menginginkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro