v. dari [a]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

TW : harsh words, freedom, mention of blood, brainwashing.

do not read any further of this if you are triggered by













"Does it ever drive you crazy ...."

[Apa itu pernah membuatmu gila ....]

" ... Just how fast the night changes?"

[ ... Begitu cepatnya malam berganti?]

Ibu pernah bilang padaku mengenai satu hal. Tentang adanya beberapa masalah yang perlu disembunyikan, tentang penasaran yang tak perlu diumbar. Tentang banyaknya kebohongan-kebohongan terlontar, atau kekehan-kekehan sinis terudarakan. Tentang dunia yang semakin diluar angan-angan.

Tentang begitu cepatnya malam berganti.

Ia bilang; mau berapa kalipun malam berlalu, ia tetap tak akan melepaskanku. Bahkan, jika itu menyiksa atau menyakiti, ia tak akan membiarkan pergi. Ia berjanji seperti itu. Dan, biasanya ... ia selalu menepati.

Tapi, Tuhan sudah seringkali tak berpihak kepadaku. Jadi, aku pikir, Tuhan mungkin akan memberiku keberuntungan saja. Untuk kabur darinya, atau untuk bebas selamanya.

Salahku ... yang terlalu naif.

Memangnya, aku siapa, bagi Tuhan?

Setitik debu tak berguna yang bisanya membawa bencana. Menyusahkan. Jelek. Dekil. Tak disayangi. Terbuang. Bodoh. Hal-hal negatif lainnya. Bukannya dengan begitu, artinya aku sama seperti mereka?

Bulan bersinar. Lagi. Bedanya, kali ini, aku melihat mangata.

Napasku terengah-engah.

"Tuhan ... tolong sekali ini ... selamatkan aku."

2 Maret 2021.

Hebat. Memori antah-berantah membawaku ke sini. Apa itu? Laut. Benar. Tempat di mana kita bisa melihat mangata dengan jelas hanyalah laut. Tak ada yang lain. Maka dari itu, aku menyukai laut, sebagaimana kumenyukainya dulu.

Aku terlalu abai. Bilamana semudah itu untuk keluar, semudah itu pula untuknya menjadi liar. Maksudku ... secara harfiah. Ia mengamuk, sesampainya di rumah. Aku terlampau paham oleh alasannya. Tak hentinya ia berserapah. Lagipula, aku memang cari mati.

Aku bukan tak ingin lari darinya.

Aku tak bisa.

Tapi, kuharap, hal ini tidaklah abadi. Semoga, suatu saat, ia akan tersadar, bahwa segala sesuatu tidaklah amerta. Semua yang kita punya hanyalah anitya, kekekalan halusinasi yang tercipta oleh imaji.

Lebih dari sejuta masa kumengingatkan pada diri, supaya tidak jatuh akan indahnya lazuardi. Seperti nayanika kucing yang kutemu di jalan, atau binar yang bertatap asing di belokan perempatan. Mereka membuatku tahu, bahwa aku masih hidup. Bahwa aku masih berada di dunia, bahwa aku masih dapat melihat eloknya semesta. Bahwa waktuku masih banyak untuk sekadar mencinta.

Namun, jika ia tak juga sadar, atau tak ingin sadar, maka lebih baik aku meregang nyawa.

Jika aku tak cukup berharga untuknya, lantas mengapa ia membuat janji penuh omong kosong seperti itu?

Mari anggap bahwa aku adalah permata untuknya. Permata murah yang dijumpai kiloan di pasar. Atau, bila aku boleh meminta pada Yang Kuasa, berlian. Pfft. Sepertinya itu terlalu tinggi. Mari anggap saja aku adalah bunga.

Bunga bisa layu kapan saja. Bila tak kausirami, bunga tak dapat mempertahankan hidupnya. Tetapi, bila kaurawat sepenuh hati, akan ia tampakkan apa itu anindhita duniawi. Yang perlu kau lakukan cukup memberinya air, dan, pupuk—jika kaupunya. Letakkan bunga beserta tempatnya di bawah sinar matahari, terpaan bintang itu saja bisa membantunya berkali lipat.

Analogikan aku sebagai bunga. Aku akan menganggap diriku cantik dan butuh dirawat. Selama ini, siapa yang merawatku? Hanya ia. Hanya ia. Apa tidak ada yang lain? Tidak ada. Tidak boleh. Aku butuh apa saja? Karena aku bunga yang cantik, aku membutuhkan pupuk berkualitas dan air sehat. Bukan air keran atau sejenisnya. Aku berwarna apa? Ah, warnaku merah muda, merah pucat, karamel, dan hijau. Bungaku ada berapa? Tiga. Satu mekar, dua lagi masih kuncup.

Kenapa hanya satu yang mekar? Itu menunjukkan bahwa aku masih sepertiga perjalanan dari kehidupan. Usiaku, secara biologis, memang tiga puluh. Tapi, secara psikologis, aku masih dua puluh satu. Ini karena kebohongan-kebohongan yang si sialan itu ciptakan. Oh, ayolah, memangnya aku memiliki kuasa untuk menolak? Yang ada, nanti, aku malah mati.

Aku harus dirawat. Dengan begitu, aku akan menjadi bunga yang cantik.

Tapi, aku tidak mau. Tolong biarkan aku seperti ini. Tolong biarkan aku seperti ini jika itu artinya aku bisa lepas dari belenggu masa lalu.

Aku bukannya tidak berterima kasih. Hampir sepuluh tahun lebih ia membiayaiku, aku tentu sangat bersyukur. Aku juga ikut dengannya memakai kemauanku sendiri. Jadi, secara tidak langsung, akulah yang membawa diriku pada situasi berbahaya macam ini.

Oh? Apa ini berkaitan dengan keluarga, tanyamu?

Aku tidak yakin. Sepenggal kalimat yang mereka ucap waktu ingatan tersebut ditunjukkan kepadaku ialah taksa. Ambigu. Bukan salahku ibuku menjadi pelacur, katanya? Aku lebih dari paham apa maksudnya. Jika dengan itu mereka memiliki kaitan dengan keluargaku, maka aku tidak tahu lagi. Semuanya terlalu rumit.

"Apa kau baik-baik saja?"

Aku mengerjap, mundur selangkah. Tak terduganya seseorang yang menepuk bahu membawaku pada tersandungnya kaki ini ke belakang.

"Aduh ...."

"Maaf. Apa kau baik-baik saja?"

Aku berdecak. "Berhenti menanyakan pertanyaan yang sama!"

Gadis itu terkesiap. "Ah, maaf." Aku mendongak, memicingkan mata.

"Bukankah kau Mayu?"

"Ya? Eh?"

Benar. Gadis itu adalah gadis yang aku jumpai beberapa bulan lalu. Kenapa ia di sini? Tidak mungkin ini kebetulan. Tapi, boleh-boleh saja aku menganggap bahwa ia belum menemukanku. Apa salahnya, bila itu membuatku senang?

"Sedang apa di sini?" tanyanya.

Loh, bukannya harusnya aku yang bertanya? Jangan-jangan, ia dikirim ke sini memang untuk membawaku pulang? Kemungkinan tersebut sangatlah kecil, tapi, mungkin juga apabila tidak terjadi.

"You just had to be there ...."

[Kau hanya harus berada di sana ....]

Gila. Apa yang membuat gadis itu berpikir ia bisa mengatakan kalimat penuh trauma padaku? Ia tidak tahu apa saja yang terjadi di hidupku, dan ia masih memiliki kemampuan untuk mengucapkannya? Cari mati.

"Jalang."

"Hm?" Gadis itu tampak tidak mengerti. Aku terbatuk, mengeluarkan darah. Sial. Apa efek samping suntikan itu separah ini?

"Uh, jelas kau tidak baik-baik saja. Ayo ke rumah sakit," ujarnya, berusaha membopongku. Aku menepis tangannya, berlagak tidak butuh pertolongan.

"Jangan mendekat!" teriakku, memukul-mukul dada. Sesak. Rasanya sesak sekali. Apa sudah saatnya aku mati? "Pergi! Jangan mendekat!" teriakku lagi.

"Kau tahu siapa aku, 'kan? Kenapa kau ingin menolongku?" Gusar aku bertanya, terduduk di hangatnya pasir yang tertimpa temaram bulan. Gadis itu tersenyum. Aku tidak paham. Mengapa ia bisa mengondisikan untuk mengulas senyum di situasi seperti ini? Apa ia meremehkanku? Tidak. Senyumnya tampak tulus. Tapi, siapa yang tahu? Bisa jadi ia sama-sama jago akting sepertinya.

"Aku tahu. Makanya, aku ingin membantumu. Aku bukan mata-mata, kok."

Mustahil.

Ia pernah dibuat hamil olehnya. Aku tidak tahu, bayi itu selamat atau tidak, yang pasti, lelaki itu pernah menyuruhnya menggugurkannya.

Atau ... jangan bilang, adegan tersebut palsu?

Jika ia bisa membuatku lupa, tak menutup kemungkinan ia bisa memanipulasiku. Kejadian-kejadian masa lalu yang kulihat bisalah merupakan fantasiku, atau apa yang ia ingin aku lihat. Aku tidak ingin percaya. Atau terlalu bodoh, lagi.

"Menjauh, brengsek."

Tak tanggung-tanggung aku mengumpat. Oh, Tuhan, aku ingin tahu apakah aku bisa pergi lebih jauh dari ini?

Gadis itu tidak marah. Huh?

"Maafkan aku. Sekarang, ayo ikut aku. Kita harus menyembuhkanmu dulu."

Aku mengernyit. Kita?

Lagipula, sikap sok apa itu? Meminta maaf padahal itu bukan salahnya? Aku ingin muntah. Apa ini episode lain dari aku-gadis-cantik-tidak-bersalah-sedang-dimaki-oleh-gadis-jelek yang biasanya tayang di televisi?

"Kita?"

Aku mengutarakan penuh sarkas, tatap sinis sebelum memulai berdiri dengan keadaan sakit di sekujur tubuh. Gagal. Aku terhenyak. Jadi, ini rasanya berada dalam kondisi penuh depresi? Uh.

"Ayo." Ia membantuku. Kenapa ia begitu baik? Tidak, aku tidak boleh berbaik sangka. Orang-orang (atau mungkin hanya orang) di sekitarku sudah sangat tidak waras, aku tidak bisa percaya pada yang lain. "Kakimu sakit, 'kan? Aku bopong, ya."

Ia bertanya tanpa menunggu pendapatku, menyampirkan tanganku di bahu seenaknya. Aku tidak menolak. Kakiku memang sakit.

Intuisiku menyergap.

Aku melihat mobilnya, di sana. Mobil yang digunakan saat menjemput gadis itu lima bulan yang lalu. Kemungkinannya memang sangat banyak; anantara gadis itu yang menggunakan mobilnya, atau ia memang ada di dalamnya. Tapi, karena aku harus waspada, aku akan menganggap ia ada di dalamnya.

Aku menghempaskan diriku darinya dalam sekejap mata. Ia berteriak, terkejut. Aku jatuh terduduk, masih batuk-batuk. Kemudian, aku melihat seseorang keuar dari mobil itu.

Ia.

Aku harus lari.

.

.

.

Aku pernah terkunci di kamar mandi.

Entah apa sebabnya. Yang kutahu, sensor pintu itu otomatis. Sepertinya didesain untuk langsung terkunci begitu ditutup supaya memudahkan penggunanya ketika sedang terburu-buru.

Aku histeris, kala itu. Aku yang kampungan dengan tidak tahu malunya memukul-mukul pintu tersebut tanpa henti. Tangisku menganak sungai.

14 Februari 2013.

"Tolong aku!"

Aku terjebak. Baru enam hari aku ikut dengannya, dan ketidakberuntungan ini sudah terjadi? Oh, aku yang malang. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa berada di sini. Yang pasti, aku ingin keluar.

"Tolong aku!" teriakku, memukul pintu sekali lagi, memberi tanda agar ia bisa mendengarku.

"Kau di dalam?"

Aku mengerjap. "Iya, benar! Aku terkunci, dan tidak bisa keluar. Bisa tolong aku?"

Kamar mandi ini luas. Seluas rumahku dulu, huft. Ada badkuip berbentuk oval seperti mangkuk dengan warna putih solid, berdiameter luas yang cukup bagus. Di atasnya ada pancuran, sejenis alat untuk mandi yang biasanya memiliki tekanan semprot dan pengaturan suhu yang dapat disesuaikan. Ada pula pancuran berbilik sendiri yang mempunyai model berbeda. Begitu juga dengan kloset duduk canggihnya.

"Tunggu sebentar. Apa kau tahu cara membukanya?"

Aku menggigit bibir. Tentu saja tidak. "Tidak." Suaraku mengecil.

"Baik. Akan aku panggilkan teknisi dulu."

Aku menjawab, "Oke, terima kasih!"

Saat itu, aku benar-benar yakin ia sudah memanggil teknisi dan sedang menunggu mereka kemari. Maka dari itu, ia mengajakku mengobrol, mencari tahu tentang kehidupanku.

"Usiamu berapa sekarang?"

Tanyanya dari balik pintu. Aku tertawa. "Tiga belas tahun, Kak."

Aku mendengar tawa tertahannya. Apa yang lucu? Mungkin, karena aku terlalu kecil.

"Aku dua puluh satu. Salam kenal."

"Salam kenal juga, Kak! Aku baru sadar kita tidak pernah berkenalan dengan benar, ya?" Aku penasaran. Sejak kemarin, ia hanya menyediakanku kamar tidur dan makanan saja. Kami belum berbicara panjang lebar dan hanya saling melempar senyum. Itu, pun, sebagai bentuk formalitasku karena ia sudah bersedia menampungku.

Kamarku di lantai dua. Bagus sekali, sebenarnya. Di hari pertama saja aku sampai tidak tidur karena mengagumi interiornya. Itu juga memiliki kamar mandi dalam, makanya, aku bingung sekali ketika menggunakan kamar mandi ini. Terkunci secara otomatis? Huh, ia benar-benar orang yang tidak main-main.

"Iya. Maafkan aku, kalau begitu."

Aku mengernyit, meski tahu ia tak akan mampu melihatnya. "Ya ampun, Kakak kenapa meminta maaf? Aku harusnya berterima kasih. Terima kasih karena sudah memungutku, Kak."

"Hei ... bagaimana kalau kita buat kesempatan?"

"Ya?" Aku mengerjap, bersandar pada pintu. Ia juga sepertinya begitu, karena aku dapat mendengar suaranya dengan jelas.

"Kesempatan seperti apa, Kak?" tanyaku. Apa ia akan meminta balas budi? Kurasa aku tidak berguna untuknya kecuali menjadi pembantu. Aku pandai bebersih, omong-omong. Ibu sering memanggilku maniak kebersihan sebab aku tak tahan bila melihat debu sedikitpun. "Apa Kakak ingin meminta balas budi? Aku tidak bisa membantu banyak, tapi, menjadi pelayan tentu tidak masalah untukku," ocehku.

Kekehannya terdengar. Apa ada yang salah dari ucapanku?

"Bukan, kok. Aku sukarela membawamu ke sini."

Bohong.

"Ya, Kak? Terima kasih banyak."

Jangan biarkan.

"Jangan gunakan kata memungut lagi, oke? Aku tidak memungutmu. Aku membawamu ke sini dengan sukarela. Sekarang, kau tanggung jawabku. Jangan sungkan untuk meminta apapun padaku, oke?"

Manipulasi.

Aku tertawa. "Baiklah, Kak! Kakak juga harus bilang kalau misalnya aku merepotkan. Terkadang, aku tidak sadar diri."

Mau berapa kali lingkaran setan ini diulang?

"Ha ha. Kau harus berjanji."

Kau sudah jatuh.

"Tentu, Kak! Tapi, kita terhalang pintu. Bagaimana, dong?"

Sadarlah.

"Ucapkan saja."

Tolong.

"Seperti apa, Kak?"

Jangan berjanji.

"Kau tidak akan meninggalkanku."

Kata-katamu menembus langit.

"Sedikit aneh? Tapi, baik. Aku tidak akan pernah meninggalkan Kakak."

Tuhan meraihmu.

"Anak baik."

Tahukah kau apa akibatnya?

"Senang dipuji begitu! Terima kasih."

Kau terjebak.

"Kau terlalu banyak berterima kasih."

Bisakah kau keluar?

"Maaf, Kak. Ini sudah kebiasaan."

Tidak.

"Tidak perlu meminta maaf."

Berapa lama kau akan terjebak?

"Um ... oke."

Entah.

"Apa yang kau sukai?"

Mungkin,

"Menulis."

Selamanya?

"Bagus."

Pintu diketuk dari luar. Aku tahu itu tanda apa. Aku langsung menjauh, dan pintu terbuka. Oh, Tuhan, syukurlah. Walau mengobrol seperti tadi asyik juga, bebas lebih menyenangkan. Aku melihat satu pria berseragam khusus, sepertinya itu teknisi. Kulihat ia menjauh menuju dapur. Aku mengarahkan pandangan pada pria tadi dan tersenyum, menampakkan gigi.

"Rumah Paman ke sini jauh, ya? Sampainya cukup lama."

Pria tersebut agak bingung dengan pertanyaanku. Ia kemudian agak membungkuk dan mengelus kepalaku. "Hei, Dik, Paman baru saja dipanggil. Kalau Tuan yang memerintah, kami berusaha datang secepat mungkin."

Baru saja dipanggil?

"Ada apa?"

Ia bertanya, menggenggam segelas air putih. Aku menoleh, menggeleng cepat. "Hanya berterima kasih pada Paman ini."

Ia meneguknya, cuek berkata. "Sudah kewajibannya."

Aku tertawa canggung.

2 Maret 2021.

"PEMBOHONG! PICIK!"

Ia tampak tidak peduli aku sudah berteriak padanya seperti itu. Oh, Tuhan, jangan lagi.

"Aku tidak membohongimu."

Kepalaku pening sekali. "KAU TAHU TIDAK BETAPA MEMUAKKANNYA DIRIMU ITU? Menggali identitasku diam-diam? Oh, sekarang aku paham! Kau tidak mungkin memungutku kalau aku tidak berhubungan dengan masa lalumu!"

Ia menggeram. "Berapa kali aku ingatkan, kalau aku membawamu, bukan memungutmu?!" Ia balas, hampir membentak. Aku tidak gentar. Biarkan saja. Sudah seperti ini. Terobos saja sekalian. Ledakkan emosinya. Hancurkan pertahanannya. Buat ia mengamuk seperti singa.

"Bermacam-macam topik kau lontarkan supaya hal ini tidak muncul ke permukaan! Oh, Tuanku, kau sangat menyedihkan." Aku memancingnya, memakai nada memelas yang dibuat-buat. Namun, ia tidak marah. Yang ada, ia malah berjalan menuju vas bunga di atas meja. Mataku membola, paham dengan tepat kalau ia sudah mengetahui tempat persembunyiannya.

"Ponsel?" Ia tersenyum miring seolah mengejekku. "Ternyata selama ini kau simpan di sana? Pantas saja. Detektor radiasi milikku selalu menangkap sinyal kecil dari kamarmu, tapi aku tidak pernah mengetahui tempatnya."

Jadi, ia sudah tahu sejak awal?

Cih. Memang sejak awal tak ada yang bisa aku rahasiakan darinya.

"Kalau iya, kenapa? Kau mau mengusirku? Akan dengan senang hati aku menerimanya."

Ia membanting ponsel itu begitu saja. Ponsel berharga senilai tiga puluh juta yang terkenal dengan tiga kameranya, kebanggaan dunia, ia anggap sampah? Pendapatanku sebagai pemilik kafe juga sepertinya tidak dapat membelinya.

"Kau berpikir sangat mudah. Tidak mungkin aku melepasmu. Kau sudah berjanji."

Kepalaku tambah pening. Kalimat penuh kepolosan yang kulayangkan delapan tahun lalu langsung terucap.

"Aku ... tidak akan pernah ... meninggalkan ... Kakak."

Aku memegang kepalaku. Rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Ia mendekat, menutupi cahaya lampu untuk sampai kepadaku. Suaranya tegas. "Apa janji boleh diingkari?"

"Tidak boleh."

Kata demi kata itu terus meluncur melalui mulutku. Seolah sudah terdoktrin selama bertahun-tahun. Padahal, aku tidak menginginkannya.

Benar kata ibu; kita tidak boleh berjanji sembarangan. Bilamana kau tidak dapat menepatinya, Tuhan akan membuatmu suatu saat menepatinya. Seperti janjiku pada ibu, bahwa aku akan bersama ibu selamanya. Namun, sudah genap lima belas tahun aku meninggalkannya. Tuhan tetap membuat kami bersama. Lewat hati, aku seperti terhubung dengan ibu. Nurani-nuraniku ketika membunuh Lina yang meronta-ronta ketika dengan perlahan aku menenggelamkannya, bisa jadi merupakan perasaan ibu.

"Kau tahu, êl tithen? Tuhan selalu bersamamu. Maka dari itu, jangan ragu-ragu meminta pada-Nya, ketika kau membutuhkan pertolongan."

Aku selalu percaya akan perkataan ibu. Bahwa Tuhan selalu bersamaku. Tapi, siapa aku? Aku tidak pernah beribadah. Aku tidak pernah mencoba berdoa di kuil, maupun ikut acara minggu di gereja. Aku selalu di rumah, tidak berguna. Aku selalu berucap 'Oh, Tuhan' padahal menyembahnya tidak aku lakukan sama sekali.

Tuhan, aku sadar aku tidak tahu diri. Tapi, kumohon, tolong selamatkan aku.

Tuhan menjawabku.

Ia berdecak kesal, keluar dari kamarku dengan membanting pintu. Sudah lama ia tak lakukan itu, mungkin hampir bertahun-tahun lalu? Tahun-tahun bersukacita dan tanpa duka, aku rindu setengah mati.

Harusnya, dari awal, aku tak perlu terlalu penasaran. Aku bisa hidup tenang dengannya, menuruti perintah demi perintah dan tetap mendapat tempat tinggal yang layak. Sayang, aku malah merasa dibelenggu, sehingga aku ingin bebas.

Aku berlagak seperti pemeran utama. Padahal, sebetulnya, ia yang porosnya. Poros alam semesta bagiku. Siapa aku? Tokoh sampingan. Tuhan tidak terlalu peduli padaku. Mungkin, aku adalah salah satu dari ciptaannya yang menyebalkan? Yang sudah diciptakan, namun malah tidak menyembahnya?

Aku miris. Miris sekali pada hidupku. Penuh kebetulan memuakkan. Bukannya aku tidak ada sangkut pautnya dengan masa lalunya? Ibuku lah yang berkaitan dengan mereka. Dengan orang yang dijuluki Findekano serta Maitimo, orang asing dari negeri antah berantah yang mengaku menyayangiku.

Aku masih tidak tahu nama asli mereka. Sejujurnya, bukankah itu juga sama sekali tidak penting? Memori-memori tentu tidak akan membawaku menuju jawaban jika Tuhan saja juga tidak menyetujuinya. Aku penasaran. Hubungan ibu dengan mereka, itu, seperti apa?

"Ibumu merupakan kakak kelas yang baik."

3 Maret 2021.

Aku berhenti menggerakkan sumpitku, mulut ini masih mengunyah meski rasanya sulit. Gigiku kebas.

"Aku ingat kau pernah bilang padaku, kau ada di sekolah dasar sewaktu ibuku menginjak sekolah menengah keatas?" Aku kembali makan dengan tenang.

Ia manggut-manggut. "Benar. Beliau membantuku dalam banyak hal."

"Seperti apa?" Aku mengangkat alis.

"Keuangan, pelajaran, masih banyak lainnya. Ibumu sangat baik, dan juga cantik. Seperti bidadari."

Aku meletakkan sumpit, menatapnya heran. "Kenapa kau menyebut ibuku pelacur, kalau begitu?"

Ia terkekeh. "Ia juga menunjukkanmu yang itu?"

"Aku butuh jawaban."

"Baik, baik. Aku memanggilnya pelacur bukan tanpa alasan. Itu karena ...." Ia tidak melanjutkan ucapannya ketika salah satu pelayan menghampiri, menyela dan memberikan sebuah kotak.

"Tuan, mohon maaf mengganggu. Nona Mayu mengirim secarik surat dan sebuah pulpen."

"Kalian membuka kotaknya?" Ia menatap tidak suka. Pelayan itu buru-buru menggeleng.

"Tidak, Tuan. Kepala keamanan yang membuka untuk memastikan tidak adanya benda berbahaya di dalam."

Setelah itu, pelayan tersebut pergi. Aku menatapnya tajam. "Karena apa?"

Ia menarik sudut bibir. "Kita lanjutkan nanti. Apa kau sudah selesai makan?"

Aku melihat piringku yang nasinya masih tersisa banyak. Tak ambil pusing, aku mengambil dua potong ikan goreng dan memasukannya sekaligus ke mulut. Ia berusaha menahan tawa melihat kelakuan konyolku. Aku mengunyahnya lamat-lamat sebelum berbicara, "Sudah. Aku tidak terlalu doyan nasi."

"Benarkah?" Ia tertawa.

Aku menggerutu, "Jangan meledekku seperti itu, dong."

"Kau lucu soalnya."

"Huh, jangan bercanda." Aku mengelap sekitar bibirku dengan tisu, kemudian membuangnya di tempat sampah. Pelayan lain datang membereskan bekas makan kami. Aku ikut membantunya.

"Namamu siapa?"

Kami berjalan beriringan menuju halaman belakang untuk mencuci piringnya di sana. Padahal, di dapur tadi, juga ada wastafel. Mengapa mereka mencucinya di sana?

"S-s-saya?"

Pelayan itu tampak bingung. Aku terkekeh kecil. "Iya, kau. Kenapa terlihat terkejut sekali?"

"M-maaf. Tuan tidak pernah mengajak saya berbicara. H-hanya beberapa pelayan dengan pangkat tinggi saja." Ia menunduk. Aku mengangguk-angguk.

"Jadi?"

"N-nama saya Coco."

Aku tersenyum. "Coco? Nama yang cantik."

Pelayan itu tersipu. "T-terima kasih, Nyonya."

Aku mengernyit.

"Nyonya? Aku masih muda."

Pelayan itu tidak menjawab lagi dan hanya mengulas senyum sopan. Aku tetap mengikutinya seperti anak ayam. "Coco, apa kau tahu siapa itu Nona Mayu?"

Aku tahu, sebenarnya. Aku ingin mencari jawaban. Jika ia mengenal Mayu, tak mungkin temannya tidak. Jika temannya tahu, tentu saja orang-orang rumah ini juga tahu.

"Nona Mayu itu ... wanita yang berwibawa."

Aku mengangkat alis. "Kenapa begitu?"

Tatapannya berubah hangat. Ia meletakkan piring-piring kotor tersebut di wastafel yang lebih besar, terletak di halaman belakang.

"Beliau seperti malaikat. Terkadang, beliau berkunjung ke sini untuk membagikan makanan. Tidak sekali duakali pula beliau membantu pekerjaan kami."

Aku melafalkan kata 'oh' panjang. Ujarannya terdengar begitu jujur. Mayu yang merusak hidupku bisa sampai seperti itu di mata orang lain? Tunggu. Aku lah yang merusak hidupnya, bukan sebaliknya. Dalam pandangannya, pasti aku merupakan orang yang sangat buruk.

"Tapi, saya lebih menyukai Nyonya daripada beliau."

"Um? Kenapa?"

Pelayan itu tersenyum begitu lebar. "Menurut saya, Nyonya memiliki aura positif yang dapat membuat orang di sekitarnya bahagia. Berbeda dengan Nona Mayu, beliau selalu terlihat sedih entah mengapa."

Aku terdiam. Apakah selama ini ... ia juga ikut menderita?

"Ah, maaf. Saya berbicara terlalu banyak, ya? Maaf mengganggu waktu Nyonya. Silakan berkeliling tanpa saya."

Aku tersenyum. "Tidak, kok. Terima kasih."

"Untuk apa, Nyonya?"

"Terima kasih sudah menceritakannya."

Lesung pipinya muncul. "Kapan saja, Nyonya."

Aku tergelak.

"Eru?"

Yang satu; nama dari Tuhan.

"Ya?"

Aku berbalik, mendapati lelaki itu menatapku heran. "Sedang apa di sini?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Mengobrol."

"Bersama pelayan?" Alisnya bertaut.

Alu memutar bola mata. "Memangnya kenapa?"

"Tidak, aneh saja."

"Ck. Jangan sok kaya, dong, Paman!"

Ia mendelik. "Aku bukan Pamanmu!"

Saat itu, aku benar-benar menikmati masa tanpa bahaya tersebut. Padahal, harusnya aku waspada. Bencana bisa menyerang kapan saja, bukan? Tuhan, sekalipun, tidak dapat menghentikannya. Mengapa?

Sebab Tuhan yang mendatangkannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro