10. KABUR?

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum sempat diangkat, dering ponsel Raina berhenti. Tak lama notifikasi pesan masuk.

"Kak, Ayah ditagih orang lagi. Marah-marah pake ngancam juga. Aku takut, mana Ibu nggak ada di rumah."

Bingung dan cemas jadi satu. Segera Raina mengetikkan balasan, supaya adiknya itu tahu apa yang harus dilakukan. Tidak mungkin dia ijin pulang, malas saja kalau harus menghadapi Shaka yang judesnya kumat-kumatan.

"La, kamu tetep di kamar, aja. Jangan keluar, kunci pintu, dan jangan buka pintu kecuali Ibu yang minta. Aku nggak bisa pulang sekarang. Maafin Mbak, ya."

Setelah pesannya terkirim, Raina panik. Lola itu penakut, tidak punya keberanian sebesar Raina untuk melawan Wawan.

"Lola kenapa? Dia butuh duit?" Cika menahan langkah Raina. Cika tahu hal ini tidak mungkin diobrolin di ruang karyawan.

"Aku cerita nanti, aja. Waktunya turun ke area, nanti kena tegur. Males banget kalau harus debat sama Shaka." Raina menahan perasaan, padahal mulutnya sudah gemas ingin cerita.

Cika mengangguk, dia paham betul Raina bukannya tidak mau jujur atau sok main rahasia. Sepenuhnya hak sahabatnya itu untuk cerita atau tidak.

"Rain, kamu tahu harus ke mana kalo mau cerita."

"Ya, Ka. Makasih banyak."

Entah berapa jumlah utang Wawan, Raina tidak tahu. Sudah cukup dia keluar uang untuk bantu utang Wawan sebelumnya, dan sekarang apa dia harus lakukan hal yang sama? Gajinya tidak seberapa, apa cukup tabungannya untuk menutup utang?

Banyak pertanyaan muncul dan tak juga Raina temukan jawabannya. Buntu, semua menumpuk jadi satu dan tanpa solusi berarti. Raina tidak menyadari kalau hal ini akan meledak di saat yang tak terduga.

"Rain, waras dulu, waktunya kerja dan lupain masalah pribadi," gumamnya untuk menyemangati diri.

Sampai di counter betapa kesalnya semua masih berantakan. Barang baru belum di-display, dan Atik malah sedang bicara dengan seseorang. Apa itu pacarnya? Orangnya masih muda, mungkin usia pelajar SMA atau mahasiswa semester awal. Entahlah, bukan urusan Raina juga, meskipun imbasnya dia yang kerepotan sendiri men-display barang baru. Bodo amat-lah, selera Atik memang suka daun muda, kali.

Ingin rasanya melempar salah satu produk dan teriak supaya Atik tahu tempat. Sebelum dirinya repot menegur, koordinator area sudah menegur dengan pedasnya.

"Rasain!" umpat Raina dalam hati. Biasanya dia tidak uring-uringan seperti ini. Begitu matanya tidak sengaja lihat kalender di meja, baru dirasa wajar. Mendekati tanggal menstruasi, mood yang kacau terkadang muncul. Dan gejala lain menyusul, pusing dan perut bagian bawah mulai nyeri.

"Kamu baik-baik saja?"

Macam jelangkung saja, Harris ini datang tidak ada tanda atau ucapan salam. Lah, ucapan salam, dia kan atasan paling atas. Masalahnya laki-laki ini tahu-tahu datang, mana counter masih berantakan. Harris pasti mengira kalau Raina lemot kerjanya.

"Nggak apa-apa, Pak. Biasa penyakit perempuan." Raina tidak peduli, Harris akan paham atau tidak.

"Pak, maaf sebelumnya, saya lanjutin beresin barang dulu, apa boleh?"

"Ya, silakan! Yakin kamu lagi nggak sakit?"

Ini kenapa, ya? Shaka nggak ada, tapi Harris seperti menggantikan perannya buat kepo. Hari ini sudah dua kali Harris datang, bantu bawa barang dan menanyakan kondisinya.

"Saya yakin sehat-sehat aja, Pak. Jadi boleh kan, saya ...."

Harris mengangguk, tatapannya beralih ke Atik yang sedang ditegur koordinator area. Ada gurat marah yang tertahan di wajahnya. Firasat Raina buruk, semoga saja dugaannya tidak jadi kenyataan. Atik tidak biasanya seperti ini, meskipun kesal Raina tidak mau kalau posisi Atik terancam. Seperti dirinya, Atik juga pasti masih ingin terus bekerja.

Setelah dapat teguran langsung dari koordinator dan store manager Atik balik lagi dan minta maaf. Dia berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Raina tidak memperpanjang masalah, setelahnya mereka membereskan barang tanpa bicara. Tak butuh waktu lama dan banyak intruksi, semua selesai.

Atik pintar menata display, Raina tidak meragukan kemampuannya memadumadan warna, sehingga pajangan produk di fixture selalu segar dan menarik perhatian. Buktinya tak lama counter mereka didatangi customer. Raina yakin bulan ini penjualan akan melebihi jauh di atas target.

Meskipun kekhawatiran soal rumah masih ada, Raina anggap ramainya penjualan hari ini sebagai obat dan penghibur hatinya. Jangan ada yang bilang, kalau capai target penjualan, maka bonusnya naik, dan itu pertanda dia harus bantu Wawan lagi untuk bayar utang. Big NO!

***

Melihat pintu kamar Lola terbuka sedikit, Raina mengetuknya perlahan. Dilihatnya gadis itu tertidur di karpet warna biru samping kasur. Buku soal-soal masuk perguruan tinggi negeri dan kertas-kertas berserakan disekitarnya. Adiknya itu rajin sekali belajar. Demi dia Raina akan lakukan apa pun supaya Lola bisa lanjut kuliah. Rini juga pasti mendukungnya.

Perlahan, semua kertas dan buku, Raina rapikan dan diletakkan di meja kecil, tempat Lola menyimpan buku dan semua perlengkapan sekolahnya.

"La, pindah ke kasur, jangan di bawah." Raina menepuk lengan adiknya supaya mau bangun. Karpet yang terpasang di kamarnya dan Lola bukan jenis karpet tebal dan hangat. Fungsinya cuma buat pelapis saja, sekaligus supaya kasur tanpa dipan tidak langsung nempel di lantai. Kalau tidur di situ tetap keras dan dingin kalau malam tiba.

Mata Lola terbuka setengah, kantuknya masih menggelayut, berat sekali bangkit dan memindahkan badannya.

"Ayo, ntar kamu masuk angin kalau tidur di sinj." Raina lebih kencang mengguncang tubuh Lola.

"Iya, iya!" Akhirnya usaha Raina berhasil juga. Lola bangkit dan langsung saja menjatuhkan badannya tanpa memikirkan bantal di sebelah mana. Tak lama dengkuran halus terdengar lagi.

Saat Raina hendak keluar, adiknya itu mengigau.

"Mbak Rain, jangan mau, ya, nikah sama bapak brengsek itu. Kita kabur aja kalau dipaksa."

Raina terhenyak, meskipun terdengar seperti gumaman ngawur, tapi cukup jelas di telinga Raina. Tanpa sadar Raina menanggapi pernyataan Lola.

"Ya, La. Kita akan kabur sama Ibu, kalau sampai dipaksa nikah."

"Hmm." Lola kembali tenggelam dalam lelap. Sebaliknya Raina susah memejam hingga lewat tengah malam. Otaknya terus berputar, kalau sampai kejadian, mereka akan kabur ke mana? Tinggal di mana? Apa Rini setuju dengan solusi itu?

Bersambung

Tarik napas, embusin. Sabar, ya. Raina lagi butuh 'support' , nih.

Semoga lancar untuk semuanya. Semangat!
💕👍🏻



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro