9. BANTUAN DADAKAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Harris terlihat santai saja mengatakan hal yang tentu saja mengundang rasa ingin tahu banyak karyawan.

"Makasih tawarannya, Pak. Saya biasa sendiri." Raina menolak dengan halus. Matanya tak berani menatap orang nomor satu di Sunny Departemen Store itu. Ditambah suara bisik-bisik di sekitarnya, makin membuat Raina risih dan ingin segera menyingkir.

Namun, reaksi Harris membuat situasi makin sulit. Dia mengangkat karton barang milik Raina dan tanpa banyak bicara dia mengambil satu troli lagi dan menaikkan sisa karton yang tersisa.

"Mas, saya pakai dua trolinya dulu." Pihak ekspedisi tidak bisa menolak permintaan Harris. Tidak masalah juga apalagi memang barang milik Raina cukup banyak.

Melihat Raina yang malah terdiam kikuk di tempatnya, membuat Harris menghampiri lalu menepuk pundaknya perlahan.

"Ya?" Sentuhan pelan itu seharusnya tidak mengejutkan, tapi karena Raina melamun dan berpikir terlalu banyak hal membuatnya hilang fokus.

"Fokus, Raina. Trolinya juga mau dipakai yang lain. Jadi kita pakai dulu buat barang kamu, biar bisa gantian sama yang lain."

Raina menemukan kesadarannya lagi. Harris cuma sekadar membantu, supaya pekerjaan cepat selesai. Apa yang dilakukannya saat ini masuk akal dan dia yakin tidak ada maksud lain.

"Barang sebanyak ini mau kamu bawa sendiri, jangan sok kuat, Rain. Minta bantuan sama OB bisa, kan?"

Harris ini memang tidak tahu atau pura-pura, kalau minta tolong OB harus kasih uang tip. Masa tenaga mereka dibayar cuma-cuma. Tetapi jawaban itu hanya sampai di bibir Raina. Dia mana berani jawab begitu, gengsi juga sebenarnya. Masalah keuangan keluarganya kan bukan konsumsi publik.

"Lain kali saya minta OB bawain, Pak. Makasih udah dibantuin."

Semua karton sudah diturunkan di area counter Raina. Harris memanggil salah seorang OB yang kebetulan melintas.

"Trolinya tolong balikin ke ekspedisi, ya. Makasih!" Dua OB itu langsung menjalankan perintah Harris.

"Sepertinya sudah beres, saya tinggal, ya."

"Sekali lagi, makasih, Pak Harris," ucap Raina sambil mengangguk sopan.

Tak diduga Harris menanggapi dengan menepuk puncak kepala Raina. Perlakuan macam apa ini? Customer yang lewat, karyawan yang tak sengaja melihat bereaksi nyaris sama. Mereka terkesiap lalu senyum-senyum. Sedangkan Raina sendiri mematung, hingga Harris pergi reaksinya masih sama.

Tepukan keras Cika di punggung yang membuat Raina tersadar. Tatapan Cika menuntut penjelasan. Ekspresi Raina langsung manyun sambil mengomel, dia juga bingung. Tiba-tiba jet lag gara-gara Harris.

***

"Apa yang harus dijelasin sih, Ka? Kan sudah kubilang nggak ada apa-apa. Semua terjadi dadakan aja, gitu. Aku udah nolak tapi Pak Harris keukeuh. Lagian alasannya masuk akal, kok!" Raina memasukkan dompet, notes dan pulpen ke kantong.

Cika meneliti wajah sahabatnya itu. Bahkan sampai irit berkedip biar tak terlewat apa pun. Dan yang dilihatnya, Raina memang jujur.

"Oke, aku percaya. Rain, ada kemungkinan nggak kalau dia suka sama kamu?"

Raina menghentikan langkahnya. "Suka gimana maksud kamu?"

"Ya, suka naksir, gitu!" Cika agak memelankan suaranya.

Raina langsung menabok lengan Cika.

"Aw, sakit, Rain!" Cika meringis sambil mengusap lengannya.

"Nggak sekencang itu kali, aku mukulnya. Lagian kamu ngawur, mana mau laki-laki kaya dia sama aku, perempuan banyak masalah. Shaka aja, masih belum kelihatan hilal-nya." Suara Raina juga memelan saat mengatakan soal Shaka. Shakanala dan Harris adalah dua orang paling penting di toko. Orang pasti menganggapnya halu.

"Maksudku kan baik, Rain. Solusi masalah kamu itu ya, cari laki-laki yang mapan. Soal tampang mereka yang luar biasa, itu bonus buat kamu."

Raina tidak menganggap Cika serius dengan ucapannya. Idenya untuk menarik perhatian Shaka sebenarnya ingin dilakukan. Tetapi kehadiran Lisa membuatnya ragu. Meskipun dugaan waktu itu belum tentu kebenarannya, Raina seperti mendapat firasat kalau kehadiran Lisa ada sangkut pautnya dengan Shaka.

"Udahlah, kita mau makan apa, nih?" Lebih baik mereka isi perut dulu, baru membahasnya lagi. Cika memilih tempat yang sesuai dengan isi kantongnya. Setelah menentukan pilihan, keduanya masuk ke warung tenda sederhana di belakang toko.

"Sudah lama kita nggak ke sini. Kangen sama lontong opornya." Cika segera memesan dua porsi ke ibu penjualnya.

Warung tenda ini tempatnya nyaman, bersih dan murah harganya. Bukan hanya karyawan biasa yang datang, bahkan orang kantoran dan manajemen SDS juga makan di sini.

"Rain, aku nggak ada di posisi kamu, tapi sebagai sahabat aku nggak mau semua ini berlarut-larut. Kalau kamu masih ingin sendiri dan fokus kerja, kenapa nggak ngobrol sama ortu?"

Cika menumpuk piring kami supaya meja lebih luas dan kami leluasa bicara.

"Kamu pikir ayahku mau dengar? Utangnya itu yang membuatku puyeng. Kalau aku nggak cari pacar atau calon suami, dia bakal nikahin aku sama pria kurang ajar itu."

Cika merasa ada yang aneh. Kenapa Raina disuruh cari pacar untuk cepat nikah? Seharusnya kan, lebih baik cari uang atau pinjaman untuk menutup utang.

"Ada yang nggak bener, deh! Alasan Om Wawan tuh, aneh menurutku." Cika sudah macam detektif yang berusaha memecahkan kasus. Dia berusaha mencari celah dari tuntutan Wawan. Siapa tahu ada solusi untuk mengubah situasi jadi lebih baik.

Raina tahu alasan lain di balik persoalan utang. Apa yang dibilang si pria kurang ajar itu, benar adanya. Dia hanya beban dan diharapkan segera pergi dari rumah. Kalau masih mau tinggal dia harus mau ikut membayar keperluan rumah, yang sewajarnya harus dipenuhi Wawan.

"Bukan rahasia lagi, Ka. Mungkin aku bukan anak kandung mereka. Gila, ya, sampe mikir gitu!" Raina tersenyum kecut, menertawai nasibnya.

Ponsel Raina berbunyi, ada telepon masuk dari adiknya. Hhh, sepertinya masalah uang lagi.

To be continue

Harris? Dia ngapain, dah? Jangan bikin anak orang mikir macem-macem. Dia udah banyak masalah.

Sabar, Bu! Tenang, kita pikirin buat bab berikutnya aja.

We'll see.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro