8. MELEWATI BATAS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Langkah Raina terhenti. Tatapannya jatuh ke lengan yang masih dicekal sang mantan.

"Lepasin!" desis Raina. Demi meredakan debar yang tak karuan, Raina harus tegas pada dirinya. Luka hatinya pun masih perih seiring debar yang muncul.

Dirga melepaskan cekalannya. "Di luar hujan, biar aku antar."

"Kita sudah putus, lo nggak amnesia, kan?" Raina memaksa kakinya melangkah pergi, meskipun hati ingin tahu kabar Dirga sekarang.

"Bodoh! Buat apa peduli sama pengkhianat macam dia? Bodoh bodoh bodoh!!"

Setelah cukup jauh berjalan, gerimis berhenti turun. Awan hitam masih bergelayut di langit, siap memuntahkan air yang sepertinya sudah penuh di atas sana. Raina tidak ingin kehujanan, karena sudah pasti disambut omelan Wawan atau Rini begitu kaki menginjak teras rumah. . Untung baginya hujan deras mengguyur tepat setelah dia sampai di halte bus.

Ojek online jarang mau ambil order kalau hujan seperti ini. Untungnya halte itu cukup nyaman, atapnya lebih lebar, jadi air hujan tidak mengenai orang yang duduk di sana. Raina tidak sendiri, ada seorang ibu dan anak sekolah juga berteduh. Rasanya lega tidak sendirian menunggu, meskipun mereka sibuk dengan ponsel masing-masing.

Buku kecil yang sering dibawa Raina sudah beberapa kali ganti, karena sudah penuh. Kali ini dia beli yang agak tebal, agar lebih banyak hal yang bisa dia tulis di sana. Sebagai pengusir sepi, Raina membuka dan menulis sesuatu di sana. Sekadar tentang hujan, mantan dan mantan teman dari masa lalu.

***

"Dari mana? Anak perempuan kok, suka keluyuran. Mending nikah, nggak perlu kerja, mau apa-apa tinggal minta suami." Wawan mulai nyerocos soal pernikahan.

Raina menaruh sepatu di rak, menahan amarah yang sudah sampai di ujing bibir. Sempit sekali cara berpikir Wawan. Belum juga sampai di kamar dan melepas penat, terjadi keributan di warung.

"Allah!! Siapa yang berani ambil uang di warung?" Rini keluar dari warung dan langsung menuding Wawan. Dia tidak bisa lagi bersopan santun, menghargai atau apa pun itu namanya. Kesabarannya sudah habis.

"Maksudmu apa melotot ke suami? Kamu nuduh aku yang ambil?" Wawan tak kalah kencang, dia mengelak.

"Kalau bukan kamu siapa lagi? Anak-anak jelas nggak ada di rumah, cuma kamu yang ada di rumah. Dan kamu juga tahu di mana aku naruh uang." Rini terduduk lemas.

Raina langsung turun, bahkan seragamnya masih terpakai.

"Memangnya berapa yang hilang, Bu?" Dia tidak tahu harus bagaimana. Yang pasti Wawan tidak akan sudi mengatasi masalah yang terjadi.

"Lima ratus ribu. Uang itu buat bayar tagihan sales." Suara Rini bergetar, ditahannya amarah yang sudah memuncak. Amarah itu akhirnya menjadi isak tangis.

"Ya sudah, nanti pakai uang Raina dulu."

Wajah Wawan seketika semringah mendengar kalimat Raina. Itu artinya anaknya sedang pegang uang.

"Kamu lagi banyak uang, ya? Sini, Bapak juga minta bagian. Lagian uang lima ratus ribu mana cukup."

Raina menatap tajam Wawan. Sudah cukup bapaknya itu bersikap seenaknya.

"Hoo, jadi benar tuduhan Ibu, kalau Bapak yang nyuri uang warung, kan. Keterlaluan!! Jangan harap Raina mau kasih uang ke Bapak!!"

Banyak hal lain yang ingin Raina ucapkan, tapi Rini menahannya. Sudah cukup keributan terjadi. Masalah sementara teratasi, dan mulai sekarang Rini harus lebih hati-hati. Dia akan ubah semua kebiasaannya.

Rumah seharusnya menjadi tempat pulang yang nyaman. Tetapi tidak lagi dirasakan Raina. Semua berubah seiring perekonomian keluarga yang menurun. Wawan seperti tidak bisa menerima kenyataan kalau mereka sedang berada di tituk kehidupan terbawah. Saatnya pengeluaran harus lebih hemat dan sesuai tempatnya.

Raina membuka buku kecilnya yang tersimpan di laci meja. Dibukanya lagi catatan yang pertama kali dia buat. Tiba-tiba saja muncul niat ingin menulis cerita. Dari semua catatan, kutipan dari novel, dan perasaan yang sedang tak menentu, Raina coba tuangkan menjadi draf pendek. Semua mengalir tanpa mampu dicegah.

Masalah utang selesai, Raina lega seiring rasa kantuk datang. Gadis itu tertidur dengan pulpen masih berada di tangannya.

***

Akhir minggu yang melelahkan. Menjelang liburan usai, biasanya produk kebutuhan sekolah yang ramai. Tetapi penjualannya juga ikut naik, Raina anggap ini sebagai penghibur lara karena masalah hidupnya.

"Rain, ada panggilan tuh, dari ekspedisi. Ada barang datang, kali." Informasi dari Cika memmbuat Raina harus menghentikan kegiatannya.

"Oke, Ka. Thanks!" Raina mengambil pulpen lalu bergegas naik ke lantai empat.

Sampai di sana bukan cuma dia yang datang. Hari itu sepertinya barang datang dikirim serentak dari berbagai brand. Terbukti ruang ekspedisi penuh SPG dan pramuniaga laki-laki yang sedang mencocokkan jumlah barang dengan surat jalan. Saking banyaknya orang, Raina berniat balik ke counter dulu.

"Raina!" Langkahnya tertahan dan berbalik.

"Mau ke mana? Ini barang kamu dicek dulu." Ternyata salah seorang petugas memperhatikan kedatangannya.

"Ya, Mas." Tak menunggu lama Raina segera melihat surat jalan dan memastikan semua warna motif, dan harganya sesuai. Setiap karton berisi dua belas kemeja dengan berbagai ukuran.

Ada sepuluh karton, ukurannya tidak terlalu besar. Kalau hanya satu atau dua karton, Raina masih bisa membawanya sendiri ke counter. Kalau sepuluh karton, nanti dulu, deh! Mending pinjam troli saja, ekspedisi menyediakan beberapa troli untuk para SPG yang kerepotan seperti Raina.

Setelah dapat ijin Raina menaikkan karton ke atas troli. Perlu dua kali balik untuk membawanya. Perlu usaha lebih keras menaikkan karton lalu mendorong troli ke barang karena bawahan seragamnya rok dengan panjang pas di lutut.

"Perlu bantuan, Raina?"

"Pak Harris?"


Kebangetan Wawan, nih! Ish ish ish, sini aku bantu cubit ginjalnya. Ups! Nggak boleh emosi kan, ya.

Memang utang harus dibayar, tapi kalo kita nggak ikut pake gimana? Itu yang Raina rasain sekarang.

Kejutan apa lagi setelah ini. Ketemu di part berikutnya, ya.



Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro