12.NGERI BERUJUNG SEDAP

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Lagi banyak tamu, Bu?" Pembeli itu menuliskan sesuatu di kertas tanpa ada yang tahu. Keberadaan showcase menutupi tindakan orang itu. Dia pura-pura tidak peduli dengan suasana di dalam rumah. 

Rini menerima lipatan kertas kecil yang diberikan beserta uang kertas. Dia berusaha melakukan hal yang sama, pura-pura hanya melayani pembeli. 

"Iya, ada tamu tak diundang." Rini sadar gurauannya tak lucu, tapi usahanya lumayan juga karena tak sedikitpun mengundang curiga Dodi dan anak buahnya. 

Secepat kilat Rini membaca isi kertas itu. 

Jangan panik, tetap tenang! Saya akan bantu. Usahakan jangan ada yang terluka. 

Rini menatap heran ke arah pria bermasker itu.  Dia mengangguk meyakinkan. Kesempatan itu tak ingin disia-siakan Rini, situasinya sangat memerlukan bantuan. Semua serba salah karena Raina disandera. 

Setelah pria itu pergi, tak lama ada suara sirine terdengar. Makin lama makin dekat dan berhenti di depan rumah Raina. 

Raina merasa tidak asing dengan suara pembeli tadi, tapi dia abaikan mungkin saja hanya mirip. Lehernya mulai terasa perih, apalagi saat sirine terdengar, pisau itu makin menekan lehernya. 

"Jatuhkan pisau itu atau kami tembak!" Tiba-tiba saja ada polisi datang. 

Dodi kaget dengan kedatangan polisi. Dia langsung menyuruh anak buahnya melepaskan Raina. Selama ini aksinya aman terkendali, sekarang dia harus rela ditahan cukup lama karena bisnis kotornya. Meminjamkan uang dengan bunga tinggi, dan beberapa tindakan pidana yang pasti sudah disimpan pihak yang berwajib. 

"Mbak Raina terluka, lebih baik kami antar ke rumah sakit." 

Raina menolak, memang sakit tapi dia bisa mengobati lukanya sendiri. 

"Saya akan obati sendiri, Pak. Terima kasih bantuannya." 

"Sama-sama, Mbak. Berkat laporan dari Pak Shakanala, kami bisa datang tepat waktu. Komplotan Dodi ini sudah lama jadi target kami. Dan Pak Wawan juga harus kami bawa untuk dimintai keterangan." 

Iya, Wawan dibawa juga karena dicurigai jadi komplotan mereka. Di luar persoalan utang, ternyata Wawan malah masuk jaringan rentenir yang suka menebarkan pinjaman online. 

Suasana rumah kacau, tetangga ada yang datang menawarkan bantuan ada pula yang hanya basa-basi ikut prihatin, padahal cuma ingin menambah bahan gosip dengan ibu-ibu yang lain. Rini tidak pernah ambil pusing semua reaksi itu. Raina melihat Lola, memastikan adik perempuannya baik-baik saja. 

"Mbak Raina beneran nggak mau ke rumah sakit? Takut dalam lukanya." Lola memijat kaki Raina sambil menunduk. Dia sedang menahan air mata yang ngeyel mau turun. 

"Kan udah diobati sama bidan tadi. Katanya nggak perlu dijahit. Mbak nggak apa-apa, La." 

Lola tak bisa lagi menahan air matanya, keluarga yang dia punya cuma ibu dan kakaknya. Ayah sudah berubah sejak di PHK dari kantor. Dan sejak sakit, makin tidak peduli sama keluarga. 

"La, ikut Ibu dulu, yuk!" Rini menghampiri Lola dan mengajaknya keluar. 

"Ada teman kamu mau jenguk, Rain. Ibu suruh ke sini atau kamu yang ke depan?" 

"Siapa, Bu?" 

Setelah tertatih berjalan keluar, Raina terhenyak, Shaka datang dengan penampilan yang selalu membuatnya tampan maksimal. Raina segera sadar diri, Shaka hanya atasan atau sebatas rekan kerja saja. Soal Shaka selalu membuatnya lupa diri. 

"Pak Shaka, kok, tahu rumah saya?" 

"Ya, tahulah. Kan tanya HRD dulu baru ke sini." Suara Shaka ketus, tapi tangannya menyerahkan buah dan buket bunga. 

Duh, jawabnya gitu banget, sih! Raina menahan diri tidak kesal atau ngomel. Luka di leher cukup menyita ruang geraknya. Dia juga tak punya cukup tenaga untuk debat. 

"Pak, kalau datang ke sininya nggak ikhlas mending pulang, aja." 

"Ditengokin tuh, bilang makasih, malah ngusir. Nggak disuruh masuk, nih?" Shaka melihat suasana rumah Raina, berbeda dengan rumah yang dulu. Sehebat ini masalah yang ditanggung gadis tercintanya. 

"Masuk, Pak!" 

"Shaka, aja. Kan nggak di toko." 

Tangan Raina mengepal, hampir saja mau diacungkan ke Shaka, tapi keburu orangnya berbalik dan mendekatkan wajahnya. Raina mundur, bingung juga bosnya ini mau apa. 

"Saya cuma mau lihat luka kamu. Masih sakit?" 

Tatapan Shaka melembut, seketika dia kembali jadi Shaka yang dulu. Sahabat yang menyenangkan dengan tatapan lembut dan peduli. 

"Na, saya tanya, loh! Kalau masih nyeri kita ke rumah sakit sekarang." 

"Oh, nggak perlu, Pak eh, Shaka. Udah minum obat juga tadi." 

Raina mengajak Shaka duduk. Rini meletakkan dua gelas teh hangat dan sedikit kue yang dia buat tadi pagi. 

"Tante Rini sehat, kan?" tanya Shaka lalu menyalami tangan Rini. 

"Kamu Shaka teman sekolahnya Raina, kan? Ya Allah, maaf, Tante pangling. Maklum udah tambah tua, Nak. Orang tua kamu sehat semua, kan?" 

Raut muka Shaka berubah. Dia paling malas dan enggan membahas tentang orang tua, terutama papanya. 

"Eh, Bu. Tadi ada yang pesan telur sekilo minta langsung diantar ke Pak RT." Raina menyadari perubahan ekspresi Shaka. Untung memang ada pembeli yang pesan, tapi sama Lola. 

Rini segera membungkus pesanan dan pamit pergi sebentar. 

Selepas Rini pergi, Raina mencoba membuka pembicaraan lagi. Kali ini dia harus berani mencoba. Tidak peduli apakah waktunya tepat atau tidak. Raina tidak peduli akn dianggap mengobral hati atau apa pun itu. Dia hanya peduli perasaannya harus jelas, berbalas atau tidak. 

"Nal!" 

Sontak Shaka menoleh mendengar panggilan itu. Tanpa sadar bibirnya terangkat dan muncul senyum di sana. Panggilan masa sekolah, cuma Raina yang memanggilnya begitu. 

"Saya ingin tanya sesuatu, boleh?" 

"Tentang apa? Kalau soal kedatangan saya ke sini, jangan mikir macem-macem dulu." 

Deg! Raina sudah dihalangi pagar sebelum sempat mengetuk. 

Bersambung

Ternyata Shaka, ya ...
Sekarang pertanyaannya, cuma kebetulan atau memang dia sudah tahu. Terus dari mana?

Kita cari tahu di next part, ya. Ketemu lagi...


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro