13.CONFESS

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Apa Raina harus menyerah? Waktunya memang tidak tepat, setelah situasi kacau dan ayahnya sedang ditahan polisi, Raina diserang keraguan besar kalau perasaannya bisa berbalas. Bahkan belum diomongin pun Shaka sudah memberi batasan. 

"Kok, nggak jadi ngomong?" 

Sikap Shaka benar-benar membingungkan, dia terkadang ketus dan menunjukkan kekuasaannya kalau dia bos. Tetapi Shaka juga bisa manis dan perhatian. 

"Saya harus ngomong formal atau pake cara ngomong sama sahabat saya sendiri?" 

Shaka berbalik, tehnya sudah habis bahkan dia sudah melahap tiga potong kue. Dia menaikkan alis dengan malas, dan Raina tahu artinya. 

"Nal, aku tahu waktunya nggak tepat. Tapi aku harus ngomong, kalau aku sayang sama kamu. Sejak dulu sebelum Lisa masuk di antara kita." 

"Kenapa kamu baru ngomong sekarang?" 

Dugaan Shaka benar, Raina punya rasa yang sama dengannya. Lalu apa, sekarang situasinya rumit dan tidak semudah itu bisa bersama. 

"Dulu aku takut persahabatan kita rusak, apalagi waktu itu kamu lebih pilih Lisa. Aku mana berani bilang, Lisa lebih cantik dan menarik." 

Belum ada perubahan ekspresi dari Shaka, dan hal itu membuat Raina berpikir banyak hal. Dari awal dia sudah siap dengan segala kemungkinan. Tetapi kalau boleh memilih Raina ingin Shaka menerimanya. Selain karena dia menyukai sudah sejak lama, Raina ingin membahagiakan Rini. 

Banyak tetangga yang nyinyir dan bergosip tentang dirinya. Bekerja di toko jadi SPG mereka anggap sebagai pekerjaan yang juga meladeni pria-pria hidung belang. Mungkin kalau dia menikah, bisa membungkam mulut-mulut jahil mereka. 

Pengakuan Raina seharusnya jadi kabar gembira bagi Shaka. Iya, dia bahagia tapi ada satu masalah yang belum selesai. Dia harus selesaikan masalah papanya dan Lisa. Kalau dia terima Raina sekarang, saat masalah ini terkuak, dia khawatir Raina akan sakit hati dan terluka. Yang lebih parah bisa saja Raina akan membencinya. 

"Maaf, Na. Sementara ini kita sebatas sahabat saja kayak dulu. Aku lebih nyaman hubungan kita sebatas itu, nggak lebih." 

Ada kecewa dan lega sekaligus. Kecewa karena perasaannya tak berbalas, dan lega apa yang disimpannya bertahun-tahun akhirnya dia ungkapkan pada Shaka. Baiklah, Raina harus terima. Status mereka cuma sahabat, dan atasan sama bawahan di tempat kerja. 

"Sorry, Na! Aku harus lakuin ini, demi kebaikanku dan kamu juga." Shaka tidak pernah tega melihat betapa mendung raut muka gadis tercintanya. Tetapi lagi dan lagi dia harus lakuin itu. Semua harus selesai lebih dulu. 

"Aku pamit, kamu butuh istirahat. Toko kasih kamu cuti dua hari. Take your time, Na. Istirahat yang cukup." 

Raina hanya mengangguk. Dia menunduk supaya tak harus menunjukkan kalau pipinya sudah basah. 

Shaka tahu gadis di depannya menangis. Ingin direngkuhnya tubuh mungil itu, tapi urung. Kalau dia lakukan itu, sama saja dia memberi harapan tanpa kejelasan. 

***

Waktu berjalan terus. Wawan dinyatakan tidak bersalah, karena dia hanya terlibat utang saja. Dia sama sekali tidak terlibat dalam mencari nasabah untuk ikut meminjam uang. Kecurigaan polisi tidak terbukti. 

Raina dan Lola mau tidak mau harus mau terima Wawan. Rini memberi kesempatan pada suaminya untuk kembali dan memperbaiki kesalahannya. Wawan sepertinya kapok beberapa minggu ditahan polisi. Dia sepertinya benar-benar tobat dan terlihat lebih banyak membantu Rini dan mulai mencari pekerjaan di luar. 

Meskipun usia Wawan mungkin jadi kendala, tapi dia mau bekerja di posisi apa pun. Raina lebih tenang masalah keluarga selesai, dia bisa bekerja dengan tenang, menabung lagi dan membantu biaya sekolah Lola. 

"Aku senang akhirnya sahabatku ini semringah lagi." Cika langsung menghampiri begitu melihat Raina muncul dari mesin presensi karyawan. 

"Memang aku yang kemarin kenapa, Ka?" 

Cika berdecak, sahabatnya pura-pura lupa kalau sebelum ini galau habis karena masalah keluarga dan ditolak Pak ASM mereka. Raina tidak lupa, dia hanya tidak ingin membahasnya lagi. Sering bertemu dengan Shaka di tempat kerja sudah cukup menyesakkan. 

Masalah hatinya belum kelar. Dan masalah baru datang lagi dengan tuntutan Wawan untuk segera menikah. Lama tidak diungkit-ungkit persoalan itu terpaksa muncul karena pergunjingan emak-emak kampung makin santer dan Rini terganggu. 

Keduanya sekarang kompak mencarikan jodoh untuk Raina. Kali ini cari yang sesuai, yang penting bukan laki orang. 

"Ya sudahlah, namanya cari jodoh kan nggak kayak cari kendaraan. Banyak yang harus dipikirin," hibur Cika. 

Raina memukul-mukul kepalanya supaya lebih rileks. Lehernya tegang dan membuatnya sedikit pening beberapa hari ini. 

"Kepalanya kenapa?" Harris datang dengan penampilan yang berbeda. Sepertinya rambutnya baru dipotong. 

"Aku duluan ya, Rain. Harus beresin laporan mingguan." 

"Eh." Raina tak sempat menahan, padahal dia juga mau turun ke area. 

"Are you, ok?" Harris masih menatap Raina khawatir. 

Perhatian Harris ini membuat Raina merasa tidak nyaman. Tidak jarang tatapan karyawan menaruh curiga dan tidak suka. 

"Kepala saya sehat kok, Pak. Beneran. Tadi cuma kelupaan sesuatu, aja." 

Harris mengangguk ragu. Dia tidak yakin itu jawaban yang jujur. Dia maju sambil mengulurkan punggung tangannya ke dahi Raina. Dia tersenyum setelah tahu karyawannya tidak sakit atau demam. 

"Kamu sudah pake make up lengkap, kan? Saya tadi cemas karena wajah kamu pucat, pukul-pukul kepala, lagi. Kecurigaan saya makin bertambah." 

Duh, ini tidak bisa berlanjut. Bel tanda masuk ke area kerja berbunyi. Raina terselamatkan, dia tidak perlu lebih lama lagi ada di sana. 

"Saya turun duluan ya, Pak. Permisi!" 

"Saya juga mau turun, kok! Bareng, aja!" 

Setelah tangga tidak terlalu banyak karyawan, Raina baru turun. Sengaja dia cepat-cepat supaya tidak jalan barengan sama Harris. 

"Jangan buru buru, Raina! Ingat heels kamu tinggi." 

Gemas sekali mendengar bos satu itu terus menerus bicara. Bahkan dia jadi terkesan kurang ajar karena mengabaikannya. Tetapi Raina tidak tahu bagaimana menanggapi rentetan perhatian dari Harris. 

"Iya, Pak Harris. Saya akan baik-baik saja. Makasih banyak." Raina menyembunyikan kesalnya dengan senyuman, pasti terlihat kaku banget. Apalagi semua kata yang keluar diucapkan penuh penekanan. 

Sampai-sampai bibir Harris tertarik garis lengkung ke atas. Tanpa sadar, perasaan spesial itu menyerobok dan makin kentara di hatinya. Pantas atau tidak dia tidak tahu, karena usianya cukup jauh di atas Raina. 

Di balik salah satu pilar Shaka sempat melihat adegan tadi. 

Bersambung

Cemburu nggak, sih, Shaka?
Notabene Harris lebih tajir, kayaknya, ya. Tapi belum tentu Raina-nya mau.

Stay tune, ya. Dan makasih yang sudah mampir ke sini. Ketemu di part berikutnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro