24.MENCINTAI DIRI SENDIRI DULU (END)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Raina tidak menyangka akan ditinggalkan Wawan secara tiba-tiba. Mungkin ini yang disebut takdir, sakitnya pun hanya demam, dan sempat mereda saat dia tinggal ke kamar sebentar.

Para tetangga, silih berganti datang. Kali ini semuanya ikut merasa berduka. Entah ada keajaiban apa, orang-orang yang biasanya nyinyir dan bergunjing meminta maaf bahkan sambil memeluk Rini. Apa ini salah satu hikmah dari kehilangan.

Di ujung gang, Harris melihat bendera kuning terpasang. Tampak orang berbondong-bondong datang dan pergi dari gang rumah Raina. Kalau bukan karena ponsel yang tak bisa dihubungi, dia tidak akan berada di sini. Firasatnya pun buruk kali ini.

Wajahnya menegang, bendera yang sama juga terpasang di depan rumah Raina. Siapa yang meninggal? Harris sudah berkeringat dingin, pikirannya berusaha mengusir dugaan buruk yang datang terus tanpa diminta.

"Pak, ma-maaf. Siapa yang meninggal?"

"Oh, Pak Wawan. Mendadak meninggalnya. Karena tetangga terdekat nggak ada yang tahu beliau sakit."

Oke, yang meninggal ayahnya Raina. Tetapi bukan berarti itu jadi kabar bagus. Raina pasti sedih sekarang. Harris menguatkan dirinya untuk masuk. Saat Raina menyadari kedatangannya dengan langkah gontai, muka pias, mata bengkak, dia menghampiri.

"Ayah ...."

Harris tak bisa menahan dirinya lagi. Raina direngkuh dan membiarkan tangis gadis itu pecah di dadanya. Harris ikut hancur menyaksikan semua pemandangan ini. Baru pertama kali masuk, Harris sudah disuguhi bagaimana keluarga ini kehilangan.

Rini cukup tegar meskipun sesekali dia mengusap air mata yang lolos di pipi. Lola juga menangis terus, seperti Raina. Bagaimanapun tabiat Wawan saat hidup, masa terakhir sebelum meninggal, beliau berusaha keras memenuhi kewajibannya. Meskipun hasilnya tidak banyak, tapi suasana rumah kembali ceria dan penuh tawa.

Pemakaman berjalan lancar. Orang-orang yang sering nongkrong dengan Wawan juga turut mengantarkan ke peristirahatan terakhir. Harris tak bisa melepaskan Raina sendiri. Sekuat-kuatnya dia menahan sedih, pasti rapuh juga.

"Mas, semuanya sudah selesai. Terima kasih sudah bantu sampai sejauh ini."

"Aku masih mau di sini, Rain. Jangan diusir, dong!"

"Siapa yang ngusir, Mas?"

Harris diam. Dia sudah minta Cika dan semua tim tetap bekerja maksimal. Sialnya Shaka juga tidak masuk hari ini. Dia pikir mereka berdua ini janjian tidak masuk. Ternyata semua salah dan faktanya menyedihkan. Sempat ingin menanyakan keberadaan Shaka, tetapi tidak tepat waktunya.

"Toko gimana, Mas? Hari ini siapa yang ngawasin? Besok saya masuk pagi, deh!"

"Kamu ini, masih berduka kenapa mikirin kerjaan, sih? Semuanya aman, saya sudah atur tiap bagian dengan detail. Tim kita paham tugas masing-masing. Jadi, take your time, Raina."

Harris pamit pulang dan janji akan datang lagi untuk ikut pengajian. Raina mengiyakan lalu mengantarnya hingga ke mobil.

"Telepon saya jam kapan pun kamu butuh teman curhat."

Raina mengangguk. Seharian dia tidak sedikitpun membuka ponsel, karena situasi yang tidak kondusif.

Rini dan Lola baru bisa tidur setelah pulang dari makam. Sebenarnya matanya juga berat tetapi otaknya terus berpikir. Tidak tenang rasanya. Mungkin karena sosok yang diharapkan datang, tidak kelihatan.

"Nal, kamu di mana?"

***

Sudah berlalu masa berkabung Raina. Setelah tiga hari tidak masuk dia bekerja lagi. Event masih berlangsung. Banyak chat masuk, selain ucapan berkenaan dengan perginya Wawan, ada juga chat yang mengabarkan semua baik-baik saja.

"Na, tunggu!" Raina menoleh dan mendapati Shaka tergopoh mendekat. Buket bunga langsung diberikan.

"Kamu baik-baik saja, kan?"

"Saya duluan, Pak Shaka. Bunganya bisa ditaruh ruangan Bapak saja."

Tidak ingin jadi pusat perhatian karena bertengkar, tak ingin pula dia lebih marah dan sampai berkata kasar. Jadi Raina memilih menghindari Shaka dulu. Hubungan mereka, Raina rasa ada yang salah.

Shaka tidak mungkin mengejar Raina. Dia sendiri harus kembali mengecek areanya setelah kemarin absen. Sebagai anak dia tidak sanggup menolak keinginan mamanya, untuk cek kesehatan dan terapi lagi.

"Kamu baik-baik saja?" Harris mendatangi Raina untuk memastikan semua aman. Pekerjaannya lebih cepat selesai sekarang. Pusat meminta laporan dikirim setelah event selesai.

"Saya baik, Pak. Tak pernah merasa sebaik ini. Kami semua sadar harus bisa move on. Lola sudah sekolah lagi, dan warung juga sudah dibuka."

Tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi. Dia akan kembali fokus dan membebaskan Raina. Sebesar apa pun perasaannya tetap saja gadis itu tidak memilihnya. Shaka beruntung, tetapi sayang dia abai dengan kejadian kemarin. Padahal dia sudah mengabari supaya datang segera. Tetapi pesannya dibaca pun tidak.

"Ris, gue butuh bantuan lo."

"Kali ini apa lagi, Ka. Raina marah sama lo?"

Shaka mengangguk. Harris geregetan melihat Shaka yang berubah jadi tidak memahami kekasihnya sendiri. Bahkan mereka sudah kenal lama.

"Dia ngambek dan nggak jelasin apa-apa."

"Lo nggak tahu dia marah kenapa? Gue kayak nggak kenal sama lo. Kalian sudah kenal lama tapi nggak saling memahami. Terutama lo."

Shaka mengaku dirinya salah. Tapi mamanya juga penting.

"Lo tahu pasti kenapa gue nggak datang ke rumahnya waktu itu, kan? Ponselnya dihubungi nggak bisa, pesanku nggak dibalas."

Harris tidak menjelaskan lebih lanjut lagi. Mereka sudah dewasa, kalau dia ikut campur masalahnya akan tambah rumit. Harris tahu pasti rasanya ditinggal orang yang kita cintai. Karena dia pernah mengalami hal itu.

"Nggak etis kalau gue yang jadi perantara. Kalian harus beresin sendiri."

Harris melangkah keluar, meninggalkan Shaka dengan kesendiriannya. Dia harus bisa berpikir.

Lebih baik dia fokuskan pikiran ke pekerjaan. Ada meeting sampai malam hari. Dia merasa tidak perlu mengabari Raina. Status berteman tidak sesering dan detail saat berkomunikasi.

Keadaan toko aman terkendali. Dan Raina sudah ada Shaka yang akan menemaninya. Sekarang hati dan pikirannya yang membutuhkan refresh.

Tetapi saat dia ingin menghindar, justru Raina mengiriminya pesan.

Raina:
Mas, saya perlu pendapat soal paket parcel dan buket. Pesanan overload, kalau kita tutup saja, gimana?

Harris:
Oke, lakukan saja, Rain. Saya ada meeting di luar sampai malam.

Ada rapat di luar dan belum waktunya makan siang. Semoga Harris memedulikan perutnya.

Raina:
Jangan lupa makan siang, Mas. Kalau sampai lewat, nanti sakit.

Harris tersenyum, Raina menuruti permintaannya untuk tidak menjauh.

"Jadi lo masih mendekati Raina?" Shaka sudah berdiri di belakang Harris. Niatnya ingin minta maaf malah jadi amarah.

"Kami cuma teman. Gue mundur dan merelakan lo sama dia. Amnesia, lo?"

Tanpa menjawab, Shaka memukul Harris. Sebagai sahabat dan orang yang memegang jabatan tertinggi, Harris memanggil security untuk menahan pergerakan Shaka sampai dia pergi. Tidak ingin membalas dan membuat keributan.

Situasi tak terkendali. Shaka emosi karena tidak bisa mengendalikan situasi. Sudah jelas orang tuanya belum merestui, nekat kasih harapan pada Raina.

"Sejak kapan Shakanala jadi pengecut?" Raina langsung menemui Shaka di ruangannya. Sudah cukup Raina diam saja. Kali ini semua akan dia bereskan.

Shaka terhenyak saat Raina menumpahkan segala amarah yang dia simpan. Shaka ternyata menyepelekan kejadian Wawan meninggal. Dia merasa orang tuanya lebih penting.

Shaka memang jadi sahabat dan pria yang baik, dulu. Tetapi sekarang, saat dirinya sudah kembali bersama keluarganya, Shaka juga berubah.

"Kita sudahi saja, Nal. Oh, Shaka. Kamu akan lebih bahagia bersama orang lain. Kita putus."

Bersambung

Bab ini jadi bab terakhir di Wattpad, ya. Akan ada tambahan dua sampai tiga bab di versi ebook nanti. Jadi kalian bisa tahu sama siapa Raina akan bahagia.

Namanya romance, pasti happy ending, dong. So, thank you for reading.







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro