23.KEEP STRONG, RAINA

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Akhirnya kamu mau luangin waktu buat aku, Na." 

"Langsung saja, Nal. Kamu mau apa?" 

Entahlah, Raina merasa Shaka terlalu lama mengabaikannya. Seharusnya dia inisiatif lebih dulu karena Raina hanya bisa menunggu. Rasa cinta kalau kelamaan dibiarkan akan hambar dan hilang. Seperti itu yang Raina rasakan sekarang. 

"Keinginanku masih sama, Na. Kasih aku kesempatan kedua, please!" 

"Orang tua kamu nggak setuju, Nal. Hal itu yang kuingat saat kita kelulusan dulu. Sekarang apa hal itu berubah?" 

Shaka sendiri belum tahu hal itu. Yang pasti hubungan mereka sudah membaik. Dia pikir dengan progress yang positif ini akan memuluskan niatnya mendekati Raina lagi. Restu papanya pasti juga dengan mudah didapat. 

"Kamu pernah membahasku pada mereka?"

Shaka menggeleng. "Semua bisa kita lakukan pelan-pelan, Na. Setelah semua event selesai, aku akan ajak kamu ketemu mereka." 

"Tanpa kamu konfirmasi dulu sama mereka?" 

"Tapi mereka pasti setuju dengan pilihanku." 

"Apa jaminannya, Nal? Sebelum ini mungkin aku yang terlalu naif dan berharap lebih. Ternyata dari kamu juga nggak ada usaha timbal balik. Cuma aku yang berusaha bertahan. Sendirian." 

"Karena itu kasih aku kesempatan. Aku jamin semuanya aman terkendali. Termasuk restu Papa."

"Kamu masih cinta sama aku, kan?" Shaka menatap Raina dengan penuh harap. 

Raina mengangguk, tapi sakit hatinya membuatnya takut memulai hubungan. 

Shaka meraih tangan Raina dan merengkuhnya dalam pelukan. Hangat dan terasa nyaman. Baiklah, tidak ada salahnya memberi kesempatan hatinya untuk merasa bahagia, dicintai oleh pria yang selama ini hanya jadi gebetan saja. 

***

Event dimulai dengan pemotongan tumpeng dan berdoa bersama. Semua karyawan datang jam 7 pagi karena ada acara ini. Secara bergiliran dan merata nasi tumpeng dibagikan. Raina terharu melihat hasil dari rancangan idenya. Dia tak menyangka kalau semuanya akan terealisasi dengan lancar. 

"Hari pertama eksekusi kenapa malah mellow." Shaka berdiri di samping Raina dan mengulurkan beberapa lembar tisu. 

Raina tersenyum malu. Diusapnya air mata yang begitu saja mengalir. 

"Makasih. Aku cuma terharu." 

"Kamu hebat, Na. Sekarang jangan pernah minder dan nyembunyiin kemampuan kamu. Lihat sendiri, idemu membuat parcel dan buket ucapan Natal dan Tahun baru membludak. Padahal satu jam dibuka, SDS harus tutup pemesanan hingga seminggu ke depan." 

"Kita harus siapin bahan dasarnya dulu, kan. Bahkan beberapa request harus menunggu barang datang lagi." 

Melelahkan tapi Raina senang. "Aku turun sekarang, sepuluh menit lagi buka toko. Jangan terlalu capek." 

Shaka melihat sekitarnya, setelah memastikan tak ada orang lain, Shaka melingkarkan lengannya ke punggung Raina supaya mendekat. Dengan cepat Shaka mendaratkan kecupan di bibir Raina. Hanya sedetik, tapi membuat Raina terkesiap dan menahan napasnya. 

"Raina, ambil napas." 

"Ya? Hufth." 

"Kita akan lanjutkan lain waktu. Selamat bekerja." 

Shaka meninggalkan Raina dengan wajah semringah. Wajah datar dan sikap dingin masih tercetak di dirinya. Susah dihilangkan tapi hatinya sangat berbahagia sekarang. 

Raina tersadarkan dengan suara dari bagian informasi. Toko dibuka dengan delapan orang karyawan menyambut di dekat pintu utama. Tim kreatif membuat paduan hiasan Natal yang spektakuler. Pengunjung seperti diajak belanja dengan nuansa liburan di luar negeri. Ornamen bunga salju ala-ala animasi Frozen tersebar dan tergantung di langit-langit. 

Setiap arena dibuat gabungan luar negeri dan lokal. Kebiasaan orang Indonesia tidak luput disentuhkan juga di ornamen yang mereka buat. 

"Selamat pagi!" Seorang pria paruh baya dan seorang perempuan duduk di kursi roda menyapa. 

"Selamat pagi, Pak, Ibu. Selamat datang. Bisa saya bantu?" Dengan ramah dan telaten Raina mendengarkan keinginan keduanya. 

"Kami ingin bertemu dengan Shakanala, apa benar dia bekerja di sini?" 

Raina terdiam sejenak. Selama ini dia belum pernah bertemu langsung dengan orang tua Shaka. Tapi anak buahnya yang dulu datang dan memberi peringatan supaya jangan berteman lagi dengan Shaka. Hh, kenangan buruk itu … 

"Iya, Pak. Beliau jadi asisten manajer toko. Bapak dan Ibu mau menunggu di ruangan beliau? Saya akan bantu panggil Pak Shaka." 

Raina minta bantuan salah seorang security mengantar keduanya. Sedangkan dia melipir ke luar area untuk menghubungi Shaka. Entah apa yang terjadi setelah ini Raina tidak ingin berspekulasi sendiri. 

Sampai tutup toko, Shaka tidak mengabari lagi. Bahkan ponselnya susah dihubungi. Mungkin baterainya habis dan dia lupa mengisi daya. Berusaha berpikir positif sangat sulit dilakukan sekarang. Pikiran buruk, dugaan yang kebanyakan negatif memenuhi otaknya. 

"Rain, masih di sini?" Harris datang dengan jaket kulit hitam sambil menenteng helem. 

"Saya …." 

"Saya antar pulang. Sudah malam juga." 

"Tapi saya …." Raina tidak ingin ada salah paham karena dia diantar cowok lain. 

"Perlu saya hubungi Shaka dulu? Dia akan marah besar kalo biarin kamu malam-malam pulang sendirian." 

Harris tampak tulus ingin membantunya. Melihat Raina tidak pakai jaket, Harris melepas jaketnya dan dipakaikan ke Raina. Setiap Raina mau nolak, kalimat andalannya otomatis keluar. 

"Nggak ada penolakan." 
"Nggak boleh nolak." 

Semacam itulah, dan selalu berhasil membuat Raina bungkam. 

Hampir tengah malam, udara dingin mulai datang. Harris tidak menduga akan mengantar Raina dengan motornya. Beberapa waktu terakhir dia selalu naik motor ke manapun pergi. Selain menghindari macet, ada sensasi dan pelampiasan saat hati sedang tudak baik-baik saja. 

Dia merelakan Raina bersama Shaka, karena bukan dengannya Raina bisa bahagia. Tetapi hari ini, belum genap seminggu mereka jadian, Raina sudah galau. Kelihatan banget wajahnya sedih, tapi ditutupi dengan menyibukkan diri. 

"Makasih, Pak! Ini jaketnya." 

"Jangan panggil Pak, Raina. Kita kan sudah deal. Apa pun namanya hubungan kita sekarang tetap seperti ini. Kita berteman, remember that!" 

"Ya, Mas. Maaf, ya." 

"Nggak ada yang salah. Jangan lupa kabari Shaka kalau kamu pulang sama saya dengan selamat." 

Raina mengangguk. Motor Harris sudah menghilang. 

"Raina, ayah mau ketemu di kamarnya." Lola menghadang langkah Raina yang baru saja memasuki rumah. 

"Ayah kenapa, La? Tumben jam segini belum tidur." 

Raina curiga ada yang tidak beres. Dia sempatkan untuk membersihkan diri dengan kilat, baru menuju kamar orang tuanya. 

"Bu, Ayah sakit?" 

"Kesini, Rain. Ayah mau bicara." 

Raina menurut dan menerima uluran tangan Wawan. Ayahnya agak demam. Seperti paham Raina akan menanyakan kondisi Wawan, Rini menjelaskan dengan singkat. 

"Ayah sudah minum obat, tapi dari sore nungguin kamu pulang pengen ngomong, katanya." 

"Ayah kenapa? Kita ke rumah sakit, ya?" 

Wawan menggeleng. "Kamu kan sudah tahu Ayah sakit apa. Nggak perlu ke sana, lebih baik tabung uangnya." 

Raina mengompres ayahnya dengan air hangat. Rini melangkah keluar untuk membawa air kompres yang sudah dingin. 

"Ayah mau minta maaf sama kamu Rain. Tolong ikhlaskan semua kesalahan yang Ayah buat." 

"Ayah ngomong apa, sih. Sekarang Ayah istirahat, Raina temenin, deh." 

"Harus sekarang, Rain. Jadi, kamu mau ikhlas maafin Ayah?" Suara Wawan mulai bergetar. Wajahnya pucat. 

"Raina sudah maafin Ayah. Ikhlas karena Allah. Sekarang Ayah turuti Raina, istirahat, ya." 

Wawan mengangguk. Demamnya mulai turun, Raina ke kamarnya sebentar untuk melihat ponselnya. Baterainya  tinggal 10%, untung ketahuan, jadi bisa langsung di-charge. 

"Mbak, Ayah udah ditemenin Ibu. Mbak pasti capek, sekarang tidur di sini aja." 

Raina mengangguk. Badannya memang lelah luar biasa. Tapi belum sempat terpejam, teriakan Rini dari kamar membuat Raina langsung berfirasat buruk. 

Bersambung

Ada apa ini?

Than you for reading. See you, Guys. Bentar lagi tamat, nih.





Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro