DELAPAN

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

•Odiodidi•
©Elsy Jessy

"Di, lo jadi ke ekskul bulutangkis?" tanya Rani sambil memasukkan buku-buku ke dalam tas.

"Jadi, dong. Bang Gery mau nganterin gue," jawab Odi sembari sesekali menengok jam tangan warna kuningnya.

"Tapi nih udah lewat sepuluh menit dari bel pulang sekolah. Kok Bang Gery belum nyamperin juga?"

"Iya, nih. Bang Gery nggak mungkin lupa, kan."

"Mendingan lo telepon aja, deh."

Odi mengambil ponsel di sakunya. Menekan nomor yang sudah dia hapal di luar kepala.

"Hallo, Bang. Lo di mana?"

"Hallo, Di. Sorry, ya. Lo pulang duluan aja. Gue lagi ada nugas sama Ical."

"Oh, terus berarti lo nggak jadi nganterin gue ke ruang ekskul badminton, nih?"

"Oh, iya. Gue lupa. Sorry, Di."

"Ya udah, lo kasih tau aja di mana ruangannya."

"Di gedung B, ruang paling pojok deket perpus. Pintu biru."

"Oke. Ya udah gue ke sana sendiri."

"Sorry, ya."

"Iya, nyantuy aja, Bang."

Odi menekan ikon warna merah. Kemudian menghela napas.

"Kenapa, Di? Bang Gery nggak bisa mganterin?" Rani ingin tahu.

"Iya, katanya dia lagi nugas sama temennya. Lo aja yang anterin gue ya, Ran."

"Haduh, gue mau kumpul PMR, Di. Sorry." Rani memasang ekspresi menyesal.

Odi mengerucutkan bibirnya. "Yah, berarti gue sendirian, deh."

"Waktu ke ruang ekskul cheers lo bisa sendiri, masa ke ruang ekskul bulutangkis nggak berani, sih?"

Akhirnya Odi ke tempat itu sendirian. Memang tak sulit mencari, karena hanya ada satu ruangan di sebelah perpustakaan. Ruangan dengan pintu warna biru itu tampak sepi.

Odi mengetuk pintu. Tak ada jawaban. Dia mencoba mengetuk lagi. Kalau kali ini tak ada jawaban juga, dia akan meninggalkan ruangan itu. Setelah beberapa kali ketukan, akhirnya pintu itu terbuka. Keluarlah seseorang dari ruangan itu, dengan wajah mengantuk. Sepertinya Odi membangunkan tidurnya.

"Lo siapa? Ada perlu apa?" tanya laki-laki tadi sambil menguap.

"Gue Maudi Wulandari kelas sepuluh IPS satu, mau tanya-tanya tentang ekskul badminton," jawab Odi.

Laki-laki itu tampak terkejut, dia buru-buru mengubah gestur wajahnya menjadi sok keren. Dan berhasil membuat Odi memutar bola matanya.

"Oh, Gue Dava." Laki-laki itu memperkenalkan diri seraya mengulurkan tangan.

Tak membalas, Odi hanya tersenyum kaku.

Merasa tangannya tak bersambut, buru-buru Dava berkata, "Yuk, masuk. Ada anak-anak lain juga, kok."

Odi masuk ke ruangan itu. Matanya mulai berkeliling. Ruangan itu lebih kecil dari ruang latihan cheers yang pernah dia lihat. Ruangan berukuran tiga kali empat meter persegi itu, hanya berisi satu meja besar dan beberapa kursi disekelilingnya. Ruangan ini lebih pantas disebut ruang rapat bukan ruang ekskul olahraga. Odi melihat struktur organisasi pada whiteboard yang terpasang di sisi dinding sebelah utara pintu. Tertulis nama Dava Satria menjadi ketua. Sekarang Odi tahu, ternyata laki-laki yang membukakan pintu tadi adalah ketua ekskul ini.

Di ruangan itu ada dua orang lainnya. Salah seorang dari mereka berwajah familiar. Ah, Odi ingat. Dia Joshua, teman sekelas Gery. Mereka pernah bertemu sekali di rumah Gery. Joshua agak kaget melihat Odi. Tapi kemudian dia tersenyum.

Dava melihat Joshua tersenyum pada Odi, lalu bertanya, "Lo kenal dia, Jo?"

"Dia Odi, adeknya Gery, Va," jawab Joshua.

Ya, Odi memang sering dikenalkan Gery sebagai adik pada teman-temannya. Karena mereka tumbuh bersama dari TK sampai sekarang.

"Gery mana punya adek, Jo. Adek ketemu gede kali," timpal laki-laki bertopi sebelah Joshua.

"Seriusan lo adeknya Gery?" Dava kali ini bertanya pada Odi.

"Iya, gue adeknya Bang Gery. Bukan adek kandung, sih. Tetanggaan tapi emang dari kecil bareng terus," jawab Odi.

Dava menggerakan alisnya ke atas dan ke bawah, sambil tersenyum dia berkata, "Oh, berarti gue masih punya kesempatan, nih."

Odi diam mendengar godaan dari Dava. Hatinya dongkol. Karena ekskul badminton tak seperti yang dia pikirkan. Kenapa Gery tak memberitahunya, jika ekskul ini punya ketua menyebalkan macam Dava. Kalau tahu begini, Odi seharusnya mengikuti saran Rani. Mengurungkan niat mendaftar ekskul ini. Dia menyesali perbuatannya karena ingin bergabung. Tapi nasi sudah menjadi bubur.

"Oke, sekarang lo duduk," perintah Dava sambil mengeser kursi untuk Odi. Kemudian Dava duduk di kursi seberang meja bersama kedua temannya.

"Di ekskul ini, nggak ada seleksi-seleksian. Semua boleh ikut. Cuma ngisi formulir terus berangkat setiap Sabtu jam sepuluh di GOR GCT daerah Warung Buncit," jelas Dava.

"Bukan di sekolah mainnya?" cicit Odi.

"Sekolah nggak punya lapangan badminton, lagian lebih nyaman latihan di luar." Dava mengambil formulir dan menyerahkan pada Odi.

"Isi, besok lo serahin ke sini atau cari gue di kelas sebelas IPS tiga," lanjutnya.

Cowok bertopi di sebelah Joshua yang diketahui bernama Chandra itu, memperhatikan Odi dengan seksama. "Eh, bentar, deh. Kayaknya lo yang waktu itu berantem sama Bella di kantin, kan?"

Odi kaget. Kemudian dia mengangguk pelan.

"Wah, ati-ati lo, Dav. Lo bisa abis sama dia, belum lagi si Gery nambahin. Bahaya, Dav." Chandra berkomentar lagi sambil tertawa.

Bukannya takut atau risau, Dava justru semakin antusias. "Seriusan? Lo yang cakar-cakaran sama Bella?"

Odi menanggukkan kepalanya lagi. Lalu meringis.

Berita itu ternyata belum surut. Padahal sudah hampir sebulan yang lalu. Sebenarnya dia malu dikenal sebagai orang yang bertengkar dengan Bella di kantin. Ah, mau bagaimana lagi. Odi harus cepat populer agar berita itu tak terdengar lagi.

***

Kini Odi berada di depan gerbang utama sekolah. Odi sedari tadi melihat formulir pendaftaran ekskul bulutangkis di tangannya. "Apa harusnya gue batalin aja, ya."

"Tapi, ini salah satu kesempatan gue buat populer dan ngalahin Kak Bella."

"Bodo, ah. Gue sebel sama ketuanya yang sok kecakepan itu." Ketika Odi hendak merobek formulir itu tiba-tiba ojek pesanannya beberapa menit yang lalu, datang. Dia akhirnya tak jadi mengoyak kertas itu dan malah memasukkan ke dalam tas.

"Mbak Maudy, kan."

"Iya, Mas."

Supir ojek itu menyerahkan helm pada Odi. "Ini helmnya, Mbak."

Odi segera mengambil dan memakai helm. Kemudian buru-buru naik ke motor. "Cepetan jalan, Mas. Saya laper, nih."

Tanpa membalas, supir itu melajukan motornya.

Di perjalanan menuju rumah, Odi tak sengaja melihat Ical berboncengan dengan seorang gadis.

"Lho, katanya Bang Gery lagi nugas sama Ical. Ini kok malah Ical malah sama ceweknya, sih. Ah, mungkin udah selesai nugasnya, kali," batin Odi.

Akhirnya setelah beberapa menit, Odi sampai ke rumah.

"Makasih, Mas. Gue kasih bintang lima." Odi mengeluarkan selembar uang dua puluh ribuan dan memberikan pada driver ojek itu. "Kembaliannya ambil aja."

Odi melirik garasi tetangga sebelah rumahnya. Tapi dia tak melihat vespa Gery terparkir di sana.

"Lho kok, nggak ada? Apa Bang Gery belum pulang?"

"Bodo ah, gue laper." Odi langsung membuka gerbang lalu berlari masuk.

Bersambung...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro