10# Menantu-able

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Luka tidak memiliki suara, karena airmata jatuh tanpa berkata

*
*
*

Suara denting sendok beradu dengan piring lebih mendominasi meja makan. Siena dan Shaka duduk berseberangan. Bertiga di meja makan, hanya Siena dan Shaka yang sibuk mengisi perut, sedang Sintya hanya duduk menemani Shaka ... dalihnya.  Sedang semua orang sudah lebih dulu makan malam saat Shaka dan Siena keluar bersama Cherry.

Suasana tak enak sudah dirasakan Siena sejak tadi. Aura horor dari tatapan Shaka melebihi atmosfer tanah petilasan. Lebih menyeramkan dibanding sekumpulan cerita horor bertema malam jumat kliwon, bagi Siena.  Perutnya tidak terasa lapar. Dia duduk di ruang makan ini hanya untuk menghormati Tante Ratih. Tidak sopan rasanya menolak titah perempuan yang dia hormati itu, padahal Tante Ratih sudah sangat baik sekali.

Tadinya Siena ingin cepat pulang, tapi Tante Ratih menahan, tidak dibolehkan kalau belum makan malam dulu.

Lelaki itu masih sama ternyata, sifat dingin dan ketusnya sangat menyebalkan. Siena meralat pemikirannya, Arshaka di matanya tidak jadi baik, justru sebaliknya. Sifat lelaki itu gampang sekali berubah. Sebentar baik, sebentar menyebalkan, sebentar ketus, sebentar melucu. Sudah seperti siklus iklim saja, selalu berubah mengikuti mata angin.

Masih lekat tadi saat Siena jabarkan bahwa tadi dia tanpa sadar menilik benda dari masa lalu, netra Arshaka langsung   berkilat tajam ke arahnya, manik cokelat lelaki itu seolah mata elang yang siap memangsa buruannya. Siena bergidik. Ngeri sendiri. Shaka ternyata tipe orang yang pendendam ... pikirnya.

Sintya bertopang dagu duduk tepat di sebelah Shaka. Gadis itu berkedip beberapa kali memonitor dengan tatapan mengarah pada Shaka, "Ka, kamu makan atau ngapain, dari tadi nasinya diaduk mulu?" Tanyanya. Heran, mungkin. Siena tak acuh. Malas menegur Shaka yang memainkan isi piringnya sejak tadi. Andai itu nasi bisa ngomong, mungkin Shaka sudah kena gampar, betapa kurang-ajarnya manusia yang mempermainkan rezeki.

Shaka tak acuh. Satu potongan daging yang berhasil dikoyak menggunakan garpu dimasukkan ke dalam mulutnya.

"Keknya enak ya, Ka. Jadi pengin, tapi aku ga makan malam, takut gendut." Sintya masih bermonolog sembari menggerutu, merasa badannya yang sudah seperti lidi sapu akan gendut jika dia makan.

"Makan aja Mbak kalau laper, daripada sakit cuma gegara ga mau gendut." Siena menukas. Dia paling gemes dengan perempuan yang terlalu jahat sama tubuhnya sendiri. Padahal badan sudah langsing, menjurus kurus, masih saja mengatakan kalau takut gendut. Makan lima sendok nasi nggak akan membuat tubuh menggelembung, kan.

Sintya berdecih. Matanya melirik tidak suka ke arah Siena.

"Cobain deh, enak lho masakan mama." Shaka mengarahkan sendok berisi nasi dan potongan rendang ke mulut Sintya. Gadis itu langsung membuka mulutnya lebar, menerima suapan Shaka dengan senyum semringah.

"Aaah-kamu romantis banget sih, Ka." Sintya hiperbola.

Siena berdecih. Sungguh, adegan yang sangat romantis sekali. Liriknya tersenyum miring. Siena kembali menyuap dengan cepat agar bisa melengang pulang dan berlalu dari hadapan orang-orang menyebalkan ini.

"Saya permisi Pak, mau pulang." Siena beranjak dari duduk. "Tidak usah diantar, saya sudah pesan ojek online. Palingan sudah di depan gerbang ojeknya."

Shaka baru akan mengangkat suara tapi sudah didului oleh Siena. Gadis itu melengang pergi tanpa menunggu persetujuan Shaka.

***

Rinai hujan hadirkan sepercik ingatan lalu. Petala menggelap, tertutup awan gelap. Ibarat hati Siena yang saat ini menggerimis.
Tidak terasa buliran bening jatuh membanjiri tebing pipinya. Masih-tentang Arshaka. Kenapa Tuhan harus membuatnya bertemu kembali dengan laki-laki itu, kalau pada akhirnya hanya rasa kesal yang Siena dapatkan. Dia sebal, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Siena kalah telak.
Padahal sudah tersusun dalam batok kepala, kalau nanti menunggu waktu tepat akan berbicara empat mata dengan Shaka, menjelaskan kembali kenapa dulu Siena melakukan kesalahan lampau itu. Meminta maaf dan berdamai. Paling tidak mereka bisa menjadi seorang teman tanpa ada seringai dendam atau kilat kecewa, pikir Siena. Dia-pun tidak berharap keadaan akan sama seperti dulu. Sangat mustahil. Siena cukup tahu diri.

Siena memejamkan mata, berharap saat bangun esok pagi, perasannya sudah jauh lebih baik. Dia butuh tetap waras untuk berhadapan dengan Arshaka setiap hari. Panas dada jika Siena mengingat pedasnya sikap Shaka yang kini adalah Bosnya.

Sayup azan subuh menginvasi lelap Siena. Gegas dia buka mata, akan beranjak ke kamar mandi untuk siap-siap tunaikan kewajiban sebagai muslim. Siena sudah menyampir handuk, baru teringat kalau dia sedang mendapat haid.

Pukul 6.30 Siena kelar dengan urusan rumah. Andra sudah pari dengan seragam sekolah serta menggendong ranselnya. Adik Siena itu pamit berangkat.

"Nggak sarapan dulu, Ndra?"

"Dibawa aja, Kak. Hari Jumat, ada ekskul rohis." Andra buru-buru mencium tangan Siena dan beranjak pergi.

Siena melanjutkan aktivitas. Usai bersiap dengan setelan celana bahan berwarna hitam, tunik batik warna oranye dan pashmina senada. Menuntaskan sarapan paginya agak tergesa, Siena tidak ingin telat pagi ini. Dia harus sampai lebih dulu sebelum Shaka.

Menggendong ransel dan akan mengunci pintu, Siena terkejut saat telinganya mendengar sapaan.

"Pagi, Na."

"Bang Zidni, ada apa, Bang?"

Zidni. Lelaki itu datang lagi pagi ini menemui Siena.

"Bareng aja yuk, Na."

Siena menggeleng cepat. Masih teringat tragedi ban bocor kemarin, dia menjadi ragu menerima tawaran Zidni.

"Tenang Na, motornya udah ganti, bukan yang kemarin." Zidni seperti bisa menebak kekhawatiran Siena.

"Nggak usah, Bang. Aku udh pesen ojek online, kok."

"Maaf ya, Na. Kemarin nggak bisa nganterin kamu sampai kantor." Zidni duduk di atas jok motornya. Siena menggeleng sembari tersenyum.

"Tidak apa-apa, Bang. Malahan aku yang minta maaf main pergi gitu aja." Siena tidak akan lupa adegan 'sok' heroik Arshaka yang memaksa untuk berangkat bareng dengan mobilnya. Sok manis, tapi setelahnya malah 'menyiksa' dengan begitu banyak perintah dan intimidasi.

"Na, nanti malam kamu sibuk, nggak?"

"Kenapa Bang?"

"Boleh aku main ke sini?"

Siena mengangguk lagi. Dia tidak punya alasan untuk melarang Zidni main ke rumahnya - selama ada Andra di rumah. Tidak masalah, yang penting dia tidak berduaan saja dengan Zidni.

Zidni mengulas senyum. Rautnya nampak semringah, sejurus pamit pergi saat ojek online pesanan Seina datang.

***

Shaka malas-malasan menuruni anak tangga menuju meja makan. Aktivitas yang tidak boleh dilewatkan saat pagi adalah berkumpul di meja makan. Mama, Papa dan Arshaka.

Ratih tersenyum menyapa putranya, "Ka, udah mandi apa belum sih, muka kucel banget," desisnya melihat penampilan Shaka yang kurang segar. Rambut acak-acakan, kantung  menggantung di bawah kepolak matanya.

Bukan tanpa alasan. Semalam Arshaka mendadak terkena syndrom insomnia hanya gara-gara terus kepikiran tentang Siena yang tanpa sengaja menemukan barang-barang pemberian gadis itu dulu.

Bego - bego - bego ...

Shaka terus merapal kata itu sejak semalam. Harusnya dia tidak panik waktu mama datang mengetuk pintu kamarnya. Harusnya Arshaka bisa memindahkan dulu barang tersebut. Kalau begini pasti Siena bakal ke-ge-eran dan berpikir kalau Shaka belum move on darinya .... pikir Shaka.

Ratih menaruh setangkup roti panggang isi selai kacang di piring Shaka, "Ka, kantung mata kamu tebel banget sih!" Lagi -mamanya protes tentang penampilan wajah putranya.

"Mama ini, anaknya dibully terus dari tadi." Shaka mencebik, sejurus mulai menyuap sarapannya.

"Skincare-an yang rajin dong, perawatan tuh bukan cuma buat perempuan saja, Ka. Laki-laki juga wajib. Papa kamu aja rutin ikut mama treatment sama facial. "

"Skincare terbaik adalah bergelimang kekayaan, Mam," sahut Shaka. 'Kalau kata anak jaman now, Lo ganteng kalau Lo kaya. Gitu aja sih prinsipnya Shaka." Jawaban asal Shaka mendapat hadiah jeweran di telinga dari Ratih.

"Nurut sama mama, Ka. Lagian perawatan bukan cuma biar kelihatan glowing, tapi biar kulitnya sehat." Handaru yang usai menyesap kopinya ikut berkomentar.

"Ka, nanti mama ke kantor kamu ya." Ratih memandang putranya dengan binar cerah.

"Ngapain, Ma?"

"Pinjem Siena bentar, boleh ya?"

"Dia orang, Ma, bukan barang."

Pletak ...

Satu jitakan Ratih di kepala Shaka, sampai di empunya kepala mengaduh.

"Anak kecil juga tau kalau Siena itu orang. Maksud nama, nanti ke sana sama Cherry, mama mau ajak Siena nemenin nyari baju gamis sama jilbab-jilbab gitu. Mama mau minta tolong bantu pilihin." Kalimat Ratih penuh pengharapan.

"Mama ribet. Kenapa harus Siena, kan ada Sintya itu. Ajak dia aja, Mam."

"Males Ka, Sintya nggak sefrekuensi sama mama. Semalam saja mama dianggurin, makanya mama baca-baca cerita buat ngalihin bosen."
Kalimat Ratih terdengar seperti sebuah curhatan. "Boleh ya, Ka? Bentar aja kok, pas jam makan siang."

Shaka menjawab iya. Lagian apa sih yang nggak buat ibu ratu kesayangannya. Selama bisa membuat mamanya senang, Shaka pasti lakukan hal tersebut.

"Mama beli gamis sana jilbab buat kado siapa, Ma?" Shaka baru sadar. Perasaan mamanya tidak cerita kalau mendapat undangan dari temannya. Biasanya Ratih tidak pernah terlewatkan bercerita segala kegiatannya pada Shaka dan Handaru.

Ratih tertawa pelan, kedua tangannya menangkup di mulut, "Buat mama, Ka. Semalam sudah ngobrol banyak sama papa, gimana ya, kalau mama mulai membiasakan pakai gamis sama jilbab." Ratih bercerita dengan antusias. "Makanya mama mau minta temenin Siena. Ka, mama ada satu permintaan lagi, kabulin ya," sambung Ratih meneleng ke arah Shaka.

"Apa, Ma?"

"Nikahin Siena gih, mama udah cocok sama dia. Menantu-able banget. Anaknya rajin, ramah, yang paling penting hobinya sama kek mama." Ratih mengedipkan matanya beberapa kali di depan Shaka. Sebaliknya Shaka reflek terbatuk kecil.

"Uhuuuk ... Mama nyuruh nikah udah kek nyuruh beli cabe. Ga segampang itu, Ma." Protes Shaka mencak-mencak.

"Kamu nggak mau kabulin permintaan mama? Kalau ini permintaan terakhir mama gimana?" Wajah Ratih dibuat memelas.

"Mama ngomongnya ... Astaga. Kalau ini permintaan terakhir mama. Biar papa aja nanti yang nikah lagi," sahut Shaka kurang ajar. Tangan Ratih mendarat lagi di kepala Shaka. Handaru hanya tersenyum geleng-geleng melihat kelakukan istri dan anaknya. Sudah tidak kaget. Pemandangan biasa menyaksikan Shaka dan Ratih adu debat dibumbui candaan.

***

Pagi ini cerah. Semilir angin sesekali berembus. Sama seperti di rumah, memasuki gedung perkantoran Shaka melangkah gontai. Tidak semangat. Padahal biasanya hari Jumat begini Shaka terlihat antusias.
Di depan pintu ruangan Shaka bertemu Baim. Lekaki itu tersenyum menyapa.

"Pagi Pak Bos, mukanya ditekuk mulu, lecek. Makanya disetrika dulu sebelum berangkat kerja."

Shaka tak acuh dengan candaan Baim. Pagi yang terlalu berharga untuk diawali dengan debat tak bermartabat. Apalagi sekadar menanggapi humornya Baim yang sekelas recehan. Padahal candaan Shaka tak ubahnya sekelas teri.

Memutar handel pintu lalu masuk, mata Shaka melirik sekilas Siena sudah duduk rapi di kubikelnya.

"Pagi, Pak," sapanya dengan nada datar. Tidak menjawab, Shaka melengang ke kursinya.

Shaka duduk dengan tidak nyaman. Sebentar-sebentar menggeser posisi duduk. Ada hal mengganjal di hati. Seperti pasir yang mengotori retina.  Semua gara-gara Siena. Arshaka tidak pernah merasa seperti ini pada mantan-mantannya yang lain. Iya sih, pacaran paling lama cuma satu bulan. Tidak ada kesan istimewa atau hal penting yang bisa diingat.

Shaka berdiri. Tidak boleh dibiarkan. Dia harus tegaskan pada Siena kalau barang-barang itu masih ada hanya karena mubazir jika harus dibuang. Shaka berdiri, mengayun kaki mendekat kubikel Siena, "Kamu ....!" Ucapan Shaka menggantung. Mata layunya menatap Siena dengan malas. Siena mendongak.

"Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?"

"Kita harus bicara."

"Dari tadi bukannya kita sudah bicara, Pak," cerca Siena melihat gelagat bosnya pagi ini super aneh.

"Maksudnya, kenapa semalam kamu lancang merhatiin barang-barang saya di kamar?"

Siena melirik malas, "Pak ini kantor, bisa profesional, kan. Masa urusan luar di bahas di jam kerja."

"Bos-nya siapa?" Hardik Shaka.

"Pak Shaka. Berarti harus kasih contoh yang baik buat karyawan, kan, benar, Pak?"

Shaka reflek mengangguk, "Iya benar."

"Kalau di kantor pantang membicarakan apa, Pak?"

"Pantang membicarakan urusan di luar kerjaan --" Shaka cengo. Tatapan matanya berkilat geram, merasa dikerjai asistennya. Kalah telak! "Kamu ...!" Shaka mengacak rambutnya, frustasi. Busan napasnya terdengar berat, dia melangkah ke balik meja kerjanya dengan sorot dendam membara.

🌻🌻🌻

Kak Chan narget 200 vote tapi ga terpenuhi. 😭😭😭
Mau update nunggu sampai tercapai, tapi Kak Chan ga tega sama Reader Kesayangan semua. Apresiasi kalian yang sudah kasih vote dan spam komen, rasanya kok jahat kalau kak Chan lamain update lanjutan.

Doakan ya, semoga yang sider kembali ke jalan yang benar. Eh, mau muncul maksudnya.

Happy baca. Semoga ga bosan.

1900
Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro