8# Papa-able

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


CLBK itu
Cinta Lama Berakhir Ke pelaminan
*
*

Siena terlihat cergas dan cekatan sekali membantu Ratih menata menyiapkam hidangan di meja makan. Meja sudah penuh dengan pelbagai aneka masakan. Ada yang dimasak sendiri oleh Ratih ada juga menu tambahan yang pesan lewat jasa gofood

Ratih banyak sekali mengajak Siena bertukar pikiran. Obrolan mereka mengalir santai, kadang diselipi candaan. Ratih orangnya humoris, mirip dengan Shaka. Pantas Shaka suka becanda dan melempar humor ... tapi dulu saat Siena masih dekat dengan lelaki itu. Kalau sekarang, jangan tanya, Arshaka seperti ber-evolusi menjadi lelaki menyebalkan dengan mulut pedas dan nyelekit di hati .... di mata Siena. Tidak tahu kalau dengan yang lain.

Ratih banyak bercerita tentang putra tunggalnya, bahwa Shaka itu belum pernah sama sekali membawa gadis ke rumah ini. Siena agak terkejut, tapi berusaha biasa saja. Sembilan tahun berlalu, agak muskil laki-laki seperti Shaka tidak sekalipun membawa gadis untuk sekadar dikenalkan pada orangtunya. Tetapi menilik raut Ratih yang serius, Siena mempercayainya.

"Tante, saya pamit pulang ya," ujar Siena. Semua pekerjaan sudah kelar. Meja makan sudah siap, gelas piring dan peralatan makan sudah disusun rapi juga.

Ratih menggeleng keras, "No-no-no! Sudah di sini itu artinya kamu harus ikut makan malam, ya."

Siena bingung harus menjawab apa. Menolak juga tidak enak, tapi dia merasa badannya sangat lengket dan bau keringat. Ingin cepat mandi, mengguyur kepalanya yang lepek dengan air dingin, lalu mengganti pakaiannya yang lembab.

"Terima kasih Tante, tapi keknya saya pulang saja, belum mandi juga, masih kucel. Tadi pulang ngantor langsung ke sini." Siena memilih jujur saja, agar Ratih mengizinkan pulang.

Ratih menebar senyum, "Oh, kalau gitu mandi di sini aja, ya." Ratih memberi saran ... ah bukan, lebih terdengar seperti permintaan yang tidak mau dibantah. "Tenang saja kalau soal baju ganti, Tante ada gamis, oleh-oleh temen Tante dari Turki, belum kepake sama sekali. Buat kamu saja, ya." Sambungnya kembali.

Siena tidak punya pilihan. Menolak juga tidak sampai hati saat melihat kilat cerah di mata mamanya Arshaka. Dia mengangguk tanda setuju.

"Yuk, ikut, Tante antar ke kamar Shaka."

Siena membeliak, "Ma-maap Tante, kenapa ke kamar Pak Shaka?"

"Oh, kamar mandi tamu sedang diperbaiki, saluran airnya macet. Kalau kamar mandi di kamar Tante belum dibersihin, jadi pakai kamar mandi di kamar Shaka saja, ya."

Ratih menaiki tangga diikuti Siena di belakangnya. Sepanjang ayunan kaki Siena mendadak jantungnya berdebar-debar. Tidak tahu kenapa dia merasa gugup sendiri. Guna menetralkan rasa salting, mata Siena mengedar ke sekeliling, memonitor segala sudut yang tertangkap netranya. Dia takjub dengan tata letak serta desain ruangan di hampir setiap sudut rumah Arshaka. Rumah berlantai dua dengan balkon menjorok ke sisi depan. Ada dua kamar di lantai atas. Salah satunya kamar Arshaka.

Tiba di depan kamar Shaka, Ratih langsung mengetuk daun pintu kamar putranya. 

"Ka ... Mama nih, buka dong," Ratih setengah berteriak pada Shaka. Biasanya anak lelakinya itu kalau sudah di kamar, sukanya menyumpel kupinya menggunakan headset sampai dipanggil dua-tiga kali baru membuka pintu.

"Kenapa Mam ...." Shaka menggantung kalimat. Dia tercenung melihat sang mama berada di depan kamarnya bersama ... Siena.

"Ka, numpang pakai kamar mandi kamu, ya. Ini Siena mau mandi, kamar mandi tamu kan, belum dibetulin pipa airnya."

Shaka menatap mamanya, panik karena tiba-tiba saja mengarahkan Siena ke kamarnya. Mama benar-benar Memnag harus disadarkan ... ke jalan yang benar.

"Mam, kenapa ga kamar mandi mama saja sih?"

"Kotor, Ka. Habis buat mandi tadi, air di bath-up belum mama keluarin. Lupa," sahut Ratih dengan santai. Siena hanya diam menunggu mama dan anak itu menuntaskan pembicaraan mereka.

"Nggak sopan Ma, apa kata orang, masa ada perempuan masuk kamar Shaka."

"Halaaah. Peduli amat sama omongan orang, Ka. Lagian siapa yang mau lihat, di dalam rumah ini. Pikiran kamu saja nih yang kemana-mana." Ratih menatap putranya dengan sorot menyelidik.

"Ga gitu juga konsepnya, Mam. Maksud Shaka--"

"Ah, kelamaan kamu Ka, yuk Siena masuk aja, langsung ke kamar mandi, biar Tante ambilkan baju ganti buat kamu," titah Ratih. Siena masuk sesuai isyarat Ratih, sejurus Shaka yang baru akan melangkah ditarik kerah poloshirt-nya oleh sang mama.

"Mau ke mana, kamu?" Pendelik Ratih masih dengan tangan menarik kaus Shaka.

"Tidur, Mam. Shaka capek."

"Enak aja!  turun ke bawah, tungguin kalau papa sama Om Herlambang datang!" Perintah Ratih. "Eh, tapi Ka." Ratih meralat ucapannya. Shaka bergumam pelan.

"Kenapa lagi, Ma?" Wajahnya menyirat malas.

"Kalau kamu mau masuk ke dalam nggak pa-pa deh." Mata Ratih menyorot jail. Shaka mengangkat sebelah alis. "Nanti biar mama panggil pak RW sekalian penghulu," sambungnya dengan tawa puas melihat wajah pias sang putra. Ucapan Ratih tidak main-main agaknya, ingin menjadikan Siena kandidat calon menantu.

"Mama becandanya nggak lucu. Anak sendiri mau main gerebek."

"Kalau nggak gitu, kapan kamu nikahnya Ka, mama kapan dapet cucunya?"

Shaka melenggang sembari menggumam lagi, "Kapan-kapan, Ma."

***

Kata orang, cinta pertama itu paling melekat di hati. Apa kamu percaya? Siena tidak tahu. Tetapi setelah memerhatikan ruang pribadi Shaka, secara tak sengaja mata Siena menyendu menatap benda-benda pemberiannya sembilan tahun lalu kasih tersimpan rapi di sisi Arshaka. Siena masih ingat sekali benda yang dia beli di salah satu stationary saat merayakan tanggal jadiannya yang pertama kali dengan Shaka. Sebuah mug keramik bergambar karakter serial One Piece karena Shaka memang penggemar berat anime tersebut. Sementara Shaka memberi Siena bando berpita karakter favoritnya powerpuff girl.

Siena menatap langit-langit kamar Arshaka. Dia menggeleng sepintas. Keadaan sudah berubah. Tidak ada gunanya dia mengingat-ingat kembali masa lalu. Kini hubungannya dengan Arshaka hanya sebatas bos dan karyawan. Tidak lebih.

Siena mematut diri di depan cermin, membetulkan letak jilbab pashmina yang dipakai. Tadi Tante Ratih membawakan gamis berwarna biru navy senada dengan heejab model pashmina-nya. Sangat pas di badan Siena, apalagi kulit Siena yang berwarna terang, kontras dengan gamis yang dipakai. Terlihat anggun dan cantik.

Siena turun ke bawah. Dilihatnya Tante Ratih duduk di ruang tengah, tapi tidak sendirian. Ada perempuan lain yang mengobrol dengan Tante Ratih sembari memangku gadis kecil.

"Eh, yaampun pas banget gamisnya di badan kamu, Na." Ratih berbinar cerah melihat Siena, tangannya menepuk sebelahnya isyaratkan agar Siena duduk di sana. "Kenalin Na, ini Noni ponakan Tante, sepupunya Shaka. Kalau si kecil yang cantik ini, Cherry, putrinya Noni." Ratih menjelaskan. Siena langsung menyalami Noni dan mengajak kenapa Cherry. Gadis itu kecil yang lucu itu langsung menurut saat Siena memangkunya.

"Udah lama kenal Shaka, Na?" Mbak Noni memulai obrolan. Siena terbatuk kecil. Dia bingung harus menjawab apa. Kalau ditanya berapa lama kenal, jawaban sebenarnya sudah dari lama. Tetapi Siena tidak mungkin mengatakan tentang kisah lalunya dengan Shaka.

"Hmm, baru Mbak."

"Semoga betah ya kerja sama Shaka. Dia itu anaknya bossy banget. Jangan kaget. Tapi Shaka itu perhatian banget lho. Penyayang juga, ini si Cherry nempelnya sama Shaka. Sama Om-nya yang lain nggak mau dia." Mbak Noni masih bermonolog. Siena menyimak sesekali menyahut.

Cherry berlari ke arah Shaka yang duduk di kursi depan. Gadis kecil itu merengek minta diajak beli eskrim.

"Besok saja Cherry, Papa Chaka lagi capek banget." Shaka menyahut malas. Cherry memang sudah terbiasa memanggil Shaka dengan sebutan papa. Bibir Cherry mencebik, matanya berair, sepertinya akan menangis. Siena yang tidak tega menghampiri.

"Cherry beli eskrimnya sama Tante saja gimana? Mau?" Tawarnya pada Cherry.

"Mau Tantee ...." Sorak Cherry kesenangan.

"Biar adil, perginya bertiga saja." Suara Ratih menukas. Rupanya mamanya Shaka diam-diam mengawasi sejak tadi. Shaka mendengkus. Meski malas-malasan tapi dia tidak membantah kalimat sang mama.

Melangkah bertiga, Cherry minta digandeng di tengah-tengah. Shaka sebelah kanan, Siena sebelah kiri. Bagi yang tidak tahu, pasti mengira kalau mereka pasangan ayah, ibu dan satu anak yang lucu.

Memasuki minimarket. Cherry langsung antusias memilih beberapa eskrim favoritnya. Shaka menunggu di kursi yang ada di deretan depan minimarket. Asyik memainkan ponselnya saat suara seseorang menginterupsi.

"Hai, Ka." Sapa seorang gadis. "Kamu pasti ga ingat ya sama aku." Gadis tersebut langsung memberondong Shaka dengan pertanyaan. Shaka mengernyit, tanda dia memang tidak tahu soal yang dibicarakan Sintya.

"Kemarin kita sempat ketemu di salah satu kafe. Kamu sama temen kamu, hmm, aku lihat kamu sih, dari deretan kursi arah jam tiga," jelas si gadis lagi. Shaka baru ingat sekarang. Rupanya tempo hari saat berada di kafe bersama Baim, dan merasa sedang diawasi seseorang Shaka tida sepenuhnya salah.

"Dari mana kamu tau, kalau itu saya?" Tanya Shaka agak heran. Pasalnya mereka belum pernah bertemu sama sekali.

"Oh, itu, papa yang ngasih foto kamu. Makanya aku bisa ngenalin kamu waktu di kafe. Aku Sintya, anaknya Pak Herlambang." Gadis bernama Sintya mengulurkan tangan menyalami Shaka. Shaka tetap bergeming, meski dia penasaran kenapa anaknya Om Herlambang bisa ada di sini. Bukannya di rumah dan sedang ada acara makan malam.

"Kamu pasti bingung ya, kenapa aku bisa di sini. Jadi, tadi aku udah sampe rumah kamu sama papa, tapi Tante Ratih bilang kamu lagi keluar, makanya aku putusin buat nyusul ke sini."

Shaka hanya ber-oh-ria. Dia tipe lelaki yang tidak suka dikejar. Shaka sukanya mengejar. Baginya perempuan yang sengaja ingin mendekat padanya, tidak beda jauh dengan para mantannya yang hanya bertahan seminggu itu.

"Btw, kamu ngapain di sini, Ka?" Sintya rupanya termasuk cewe yang bawel ... menurut Shaka.

"Nemenin keponakan beli eskrim." Mata Arshaka melirik dari sekat kaca ke arah gadis kecil berbaju merah maroon digandeng perempuan di dalam minimarket sana.

"Oh iya, wah, mana ponakan kamu?" Mata Sintya memonitor ke dalam minimarket.

"Ada di dalam sama asisten saya." Mata Shaka masih sibuk dengan ponsel di tangan. Sama sekali tidak melirik atau memandang Sintya saya gadis itu berbicara.

"Yang pakai baju merah itu pasti ya, ih cantik banget ponakan kamu, Ka."

"Hmm," sahut Shaka singkat.

"Oh, itu ya asisten kamu. Penampilannya kok norak banget sih, Ka. Kayak ibu-ibu." Sintya tertawa mengejek. Kalimat Sintya mereaksi Arshaka. Lelaki itu menghentikan guliran pada layar ponsel, tatapannya mengarah pada Sintya.

"Iya, kan calon ibu. Kenapa memangnya? Dia cantik menurutku, penampilannya tertutup rapat, itu tanda kalau dia menghargai tubuhnya sendiri, dengan tidak memamerkan di depan banyak orang." Menohok. Balasan Shaka cukup nyelekit. Dia tidak peduli dengan andai Sintya tersinggung.  Shaka paling anti pada orang yang suka menjelekkan sesama. Apalagi ini, perempuan, memandang rendah sesama kaumnya.

"Iya sih, kamu benar. Tapi aku kurang setuju. Harusnya dia bisa menyesuaikan penampilannya sama kamu. Jangan sampai malu-maluin. Apalagi dandannya terlihat kurang berkelas. Pasti cantiknya juga cuma karena make-up."

Shaka mengembuskan napas panjang. Kemudian menggumam sendiri.
"Lo pikir makeup fungsinya buat apa! Kalau ga buat mempercantik diri? Menghias iman?!" 
Dalam hati.

Bagi Arshaka meski dia sendiri kadang suka menilik seseorang dari penampilan, apalagi kemarin saat sering gonta-ganti pacar. Tetapi dalam kamus hidup seorang Shaka dia paling anti untuk  menghina fisik atau tampilan orang lain. Dua kali Sintya gagal meracuni pandangan Shaka dengan ideologi-nya. Malah menurutnya yang aneh itu Sintya. Baru kenal kenapa berani sekali terlalu banyak bicara. Bawel dan berisik.

Siena membuka pintu minimarket yang terbuat dari kaca dengan mendorongnya menggunakan salah satu tangan. Sebelah tangannya sibuk menahan berat Cherry yang mengeluh ngantuk dan minta digendong.

"Cherry ngantuk, Pak. Keknya kita pulang saja." Siena tersenyum pada Sintya.

"Cherry berat, siniin biar aku aja yang gendong." Siena menurut, memindahkan Cherry pada Shaka. Hati-hati meletakkan kepala Cherry pada bahu lelaki itu.
Cherry lelap dalam gendongan Arshaka. Kedua tangan mungilnya mengait erat di lehernya. Sesekali tangan Shaka lakukan gerakan mengelus punggung Cherry dengan sayang. Siena menatap takjub polah bosnya. Dibalik sikap menyebalkan ternyata benar kata Mbak Noni, Shaka itu sangat menyayangi anak-anak. Papa-able sekali.

"Mau bareng mobilku, Ka? Biar ga capek gendongnya." Sintya ikut berdiri di sisi Shaka. Menawari bareng.

Shaka menggeleng, "No, thanks. Cherry bisa rewel kalau belum lelap tidurnya. Biar kami jalan kaki saja, dekat juga dari rumah. Silakan duluan, Sin."

Sintya mengangguk, sejurus memasuki mobilnya dan melaju meninggalkan parkiran minimarket. Shaka dan Siena berjalan bersisihan. Hening. Hanya terdengar deru napas Arshaka yang terlihat kelelahan berjalan sembari menggendong Cherry yang memiliki tubuh montok. Tiba-tiba saja dada Siena berdentum keras. Apalagi saat terngiang tadi Shaka kembali menyebut panggilannya dengan 'aku' pada Siena.

🌻🌻🌻

Temans, aku mau narget.
Bisa ya, kalau vote dapat 200?
Keknya bisa ya, soalnya view selalu lebih dari 200.
Nanti kalau target terpenuhi, vote 200 dan komen 100, aku bakal update cepet ya.

Oh iya, sekalian pengumuman, yang belum baca ceritaku Ketika Cinta Bersanding, sama CinTajwid, sila dibaca. Dua hari lagi bakal aku unpub sebagian karena proses terbit novel digital atau ebook.

1950
Tabik
Chan

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro