Tiga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ada yang aneh."

Harvey duduk di kasurku sembari membawakanku bubur ikan.

"Kau benar. Tentang Sophia kan?"

Aku mengangguk dengan cepat. Lalu segera memikirkan semua hal yang kuingat sebelum aku pingsan sampai pengakuan aneh ibuku.

"Jadi begitu ya."
Aku mengangguk-angguk dengan cepat lagi. Harvey pun mulai menyuapkan sendok bubur ke mulutku.

"Sebenarnya, aku berpapasan dengannya usai menyelamatkanmu. Aku mendengar sesuatu."

Hampir saja aku menyemburkan dengan semangat karena tidak menyangka Harvey juga punya bukti keanehan Sophia.

"Apa itu?"

"Dia gila," katanya singkat sembari menyuapi aku satu sendok bubur lagi. Aku kesal langsung mengambil dan memakannya sendiri.

"Kalau itu, aku rasa semua orang sudah tahu. Katamu sendiri dia penulis problematik kan. Ah buburnya enak, kamu yang masak?"

"Bukan, bukan yang seperti itu. Ini lebih seperti pikirannya penuh, tidak beraturan dan ya ada yang tidak beres."

Aku kesal ia mengabaikan pertanyaanku.

"Oh, ya aku yang membuatnya. Enak kah?"

Aku mengacungkan dua jempolku padanya. "Saat aku sakit buatkan aku ini lagi."

"Tidak."

"Kotoran angsa, sialan."

"Heh, mulutnya."

Aku mendengus dan menyantap sesuap besar sendok bubur terakhir. "Yasudah, kalau begitu kita harus berharap semoga si Sophia ini segera pergi dari desa ini. Aku mengeri harus dekat dengannya."

"Dia mirip Isla." Harvey mengatakannya sembari menatapku.

Aku terdiam dan segera mendorongkan mangkok bersihku padanya.

"Pergilah, dan terimakasih buburnya. Aku akan tidur." Aku masuk ke selimut dan menutupi wajahku dengan selimut.

"Duduk dulu sebentar jangan langsung tidur. Biarkan perutmu mencerna." Harvey menarikku untuk duduk dan aku jadi sebal.

"Iya, Harvey bawel!"

Seusai Harvey pergi dari kamarku. Aku langsung masuk ke dalam selimut dan mulai menangis.

Benar, snagat mirip. Bagai pinang dibelah dua. Aku enggak terima. Kok bisa-bisanya ada seseorang yang mirip sekali dengannya.

Sophia Bentley, dari rambut dan perawakannya sangat mirip meski dari warna mata khas Isla dan bentukan wajah, ia sedikit berbeda. Namun, yang membuatku sakit hati dan menangis seperti ini adalah. Cara jalannya seperti orang yang tidak pernah hidup tenang. Dia berjalan cepat, lincah tetapi di saat yang sama selalu terlihat ragu-ragu untuk melangkah.

Aku harap, ia segera pergi dari desa ini. Hatiku sakit Isla tidak diingat semua orang. Apalagi kalau ia bersliweran di sekitarku.

Namun sepertinya takdir tidak berpihak padaku. Aku mendengar berita buruk pagi ini. Sophia akan beristirahat di desa ini satu bulan.

Satu bulan!

30 hari!

Dan itu sampai liburan musim panas high season!

Ugh, liburan sebelum high seasonku terganggu.

Itu semua tentunya tidak berani kuucapkan, karena aku hanya tersenyum sembari mengantarkan dia ke hotel The Swan.

"Wah, hotel yang cantik," katanya padaku.

Aku mengiakan.

"Maafkan aku ya. Namamu Esme kan? Maafkan aku, gara-gara aku-"

"Ah, tenang, lihat, aku Esme itu tahan banting. Enggak selemah itu." Kutunjukkan otot-otot lenganku karena bekerja di peternakan ikan Trout keluargaku. "Aku tidak selemah itu."

Sophia tersenyum tipis seakan sangat merasa bersalah sekali padaku. Aku yang tidak enak pun merasa perlu mengalihkan pembicaraan."Oh ya, karena aku yang akan memandumu mengelilingi desa. Besok kamu akan kujemput jam 10 pagi."

Sophia tiba-tiba merengut tanganku dan menggenggamnya di depan muka kami.

"Kamu sangat baik! Terimakasih Esme. Kuharap kamu bisa menjagaku kedepannya. Terimakasih."

Pipiku langsung memerah, rasanya agak malu menerima ucapan terimakasih seperti ini. Aku hanya mengiyakan sembari mengajaknya masuk ke pintu lobby hotel.

Koper yang ia bawa tidak terlaku besar, tidak seperti orang yang akan tinggal di sini satu bulan. Aku jadi bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya mau ia lakukan di sini, saat sepi.

"Sampai ketemu besok, Esme!" katanya bersemangat. Aku pun mengiakan dan segera pergi meninggalkan hotel

Keesokan harinya ada yang aneh lagi, aku tidak mengerti apa hanya aku yang merasakannya. Tapi ini betul-betul aneh! Benar, pagi yang aneh banget!

Pagi itu aku bangun pukul enam, mandi lalu makan. Ada kejadian di dapur. Ibu membuat roti gosong yang asapnya sampai mengepul dan membuat dapur sedikit kacau. Kotoran roti hitam sialan itu membuatku hampir datang terlambat untuk mendatangi hotel.

Bahkan ada yang membuatku hampir terlambat datang. Aku ditarik-tarik oleh wisatawan untuk foto bersama. Ini aneh.

Aku bukan tour guide dan yang membantu desa ini. Aku hanyalah warga lokal. Terlebih aku melihat semua simpul aneh berkelit kelit di mereka dan menuju pada satu arah.

Itu hotel dan itu membuat pandanganku terganggu sekali pun aku menembus mereka.

Kuremas simpul tali yang mengarah pada satu arah itu dan alih alih menghilang bak asap sebelum aku berhasil menyentuhnya, nyatanya malah bisa putus.

Setelah itu mereka melepaskanku dan bertindak sebagai wisatawan yang menghormati warga lokalnya yang terburu-buru seperti aku ini.

Aku sampai di hotel dengan keterlambatan lima menit yang membuatku malu pada Sophia. Sophia sudah duduk duduk di taman dengan wajah yang tak kumengerti.

"Maafkan keterlambatanku. Dunia ini banyak kotoran menyebalkan sehingga aku telat."

Sophia menatapku horor. Aku jadi semakin khawatir apa jangan jangan ia marah padaku.

"Yang penting kamu selamat." Dia melemaskan mukanya begitu menyentuh bahuku. Aku hanya manggut manggut lega mengingat semua keanehan yang terjadi padaku.

"Ayo kita duduk. Kita batalkan saja mengelilingi desa. Ada yang ingin kutanyakan padamu."

Awalnya aku merasa upayaku berusaha datang kemari menjadi tidak masalah dan digantikan dengan duduk-duduk. Namun, aku di sini tidak ingin terlaku dekat dengannya, bagaimana bisa aku berpikir demikian?

Kupegang bahuku yang tadi dipegang Sophia dan melihat ada benang yang berhasil kusentuh lalu memudar dan lenyap.

Kutatap ia yang tak mengerti bersamaan dengan aku yang melihat buku catatan hariannya. Ada namaku yang ia tulis mengobrol ceria dengannya di sana.

...

Aku merasa akan mengikutinya dulu.

"Kenapa kamu menatapku penuh dengan emosional yang tidak kupahami?"

Pertanyaan Sophia sangat menyudutkanku. Apanya obrolan ceria, ini obrolan penuh emosionalitas yang tidak ada cerah-cerahnya. Sebenarnya kotoran apa sih yang ditulis Sophia di buku catatannya itu.

"Ah, setiap kali melihatmu aku merasa selalu teringat dengan sahabatku yang bodoh."

"Apakah menurutmu aku bodoh seperti sahabatmu?"

Kohe! Kotoran hewan!

"Tidak, bukan seperti itu. Justru kamu adalah orang yang keren dan hebat sekali!" kataku dengan bersemangat meyakinkannya agar ia tidak tersakiti dengan perumpamaanku pada Isla.

"Hahahahaha, kau berlebihan." Ia tertawa kecil yang membuatku menelan ludah.

Astaga apakah itu lucu.

"Kalau begitu, bisa kau ceritakan tentang dirimu Esme? Kau orang seperti apa? Sejujurnya aku ingin dekat denganmu."

Demi kotoran ikan yang dimakan dikira pelet dan menjadi kotoran ikan lalu dikira pelet lagi oleh ikan. Apa-apaan ini. Aku takut.

Tuhan, dewa, atau apapun itu. Selamatkan aku. Bulu kudukku sudah meremang dari tadi. Perasaanku bahkan sudah tidak enak.

"Rupanya kau di sini, Esme!"

Aku langsung menoleh secepat kilat. Itu Harvey dengan segala hal tentang kotoran dan berantakan menempel padanya yang kurindukan.

"Erm, itu agak kelewatan Esme. Jadi, kau Sophia ya?" Harvey menoleh padaku sesaat kemudian menjabat tangan Sophia.

Sophia menatap kami dengan makin horor. Aku tidak tahu kenapa itu. Yang jelas. Langsung saja aku menarik Harvey duduk di kursi taman bersamaku.

"Sophia ini, Harvey, teman kecilku, dia bekerja di Pub, tetapi kemarin tidak bisa datang karena ya dia sekolah di luar kota. Eh, hei, terus kenapa kau di sini Harvey?"
Aku teringat dengan keberadaan absurdnya di siang bolong seperti ini

"Oh, aku cuti sakit."

"Kau kan tidak sakit. Memangnya siapa yang sakit?"

"Kamu."

Normalnya aku langsung memerah, tetapi di sini ada Sophia. Jadi, aku langsung mencubit bahu Harvey.

"Kudengar kalau kau membantu Sophia untuk mengelilingi desa, sedangkan kau sendiri usai mendapatkan sesuatu yang tidak enak kan. Jadi, ya, aku berjaga-jaga siapa tahu ada hal buruk yang menempel padamu."

Harvey mengatakan itu tidak sambil menatapku tetapi ia menatap Sophia.

Sophia berdehem sesaat. "Yah, aku merasa sebentar lagi akan hujan. Jadi sekarang kembali lah. Mungkin besok saja kita bisa memulai turnya. Terimakasih atas bantuannya kutunggu kedatangan kalian besok. Aku Sophia Bentley. Undur diri dulu."

Sophia berdiri dari kursi dan mengambil buku catatan serta pensilnya itu.

Kini tinggal aku dan Harvey yang menatap punggungnya pergi.

"Dia berbahaya Esme. Dia sangat berbahaya." Harvey berbisik seperti itu pelan lantas mulai mengajakku pergi meninggalkan taman. Meski sebenarnya tidak benar-benar meninggalkan taman.

Ia mengajakku ke suatu tempat terlebih dahulu.

Tempat kami pernah menemukan Isla pingsan di sini. Di bawah jembatan hotel the Swan.

"Kenapa ke sini?"

"Aku yakin dia akan meminta bantuan kita," kata Harvey yang sangat tidak kumengerti sembari merapatkan jarinya begitu kuat di tanganku.

[A/N]
OHOKKK

SAIA IRI DAN BILANG 🥲

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro