Dua

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Selamat siang, boleh aku tahu di mana kamar kecilnya?"

Saat itu aku tengah kabur ke bagian dekat dapur, tidak melakukan apa-apa hanya tengah bergosip apa yang baru di Bibury dengan beberapa teman Harvey--Josh, Morgan, Frank--di pintu dapur yang mengarah ke luar halaman.

"Oh, Anda bisa lurus lalu belok ke situ," kataku menunjukkan letak kamar mandi di dalam pub ini.

"Terimakasih," katanya yang kemudian pergi meninggalkanku dengan teman-teman Harvey. Kulihat punggung dan cara berjalannya yang seperti tidak pernah hidup tenang, sangat familiar. Hal ini membuatku mulai menitikkan air mata lagi. Pikiran untuk mencubit atau menendang pun hanya jadi sebuah angan yang tidak pernah tega kulakukan.

"Kau kenapa Esme?" tanya salah satu teman Harvey yang bernama Morgan. Ia melongok ke arah mana aku menatap dan terlihat bingung. Itu punggung Sophia Bentley yang menjauh.

"Dia mirip Isla, bukan?" retorisku yang kemudian disanggah dengan kurang mengenakkan olehnya. Hal itu membuatku kesal.

"Maksudmu, anak misterius yang meninggal di rumah keluarga Marshall itu? Tidak semirip itu tuh, sewaktu aku datang ke pemakamannya," katanya acuh dengan sangat mudah.

"Dia anak keluarga Marshall! Dia Isla Marshall! Dan memang kau mengenalnya sampai datang ke pemakamannya?!"

Aku kesal, karena aku tidak hadir saat itu. Ya, karena aku belum mengingatnya saat itu. Aku sendiri tahu ada berita aneh mengenai kematian seorang anak misterius di rumah keluarga Marshall. Namun, aku tidak tertarik untuk datang. Aku bodoh saat itu. Andai aku jadi orang yang lebih peduli sekitar.

"Tentu aku datang. Kejadian waktu itu heboh banget. Siapa sih yang enggak penasaran? Polisi saja sampai datang. Meski dari pihak keluarga Marshall yang katanya tidak mengenalnya pun memutuskan untuk menguburnya dengan baik tanpa otopsi lebih lanjut. Ya, walau aku masih penasaran kenapa dia ada di sana dan siapa sebenarnya dia. Meski kita tahu dia Isla, penduduk desa ini, Apa kaitannya dengan keluarga Marshall. Bunuh diri di sana pula."

"Dia anak keluarga itu," kataku sembari memijiti keningku yang berkerut akibat deduksinya yang panjang kali lebar itu. Terlebih kalimat terakhirnya berupa fakta awam yang tidak bisa dijelaskan lebih lanjut kebenaran detailnya. Itu menyakitiku sekali, karena itu sebenarnya bukan bunuh diri tetapi pengorbanan.

"A-anak simpanan? A-astaga."

Aku tidak meladeninya lagi. Lelah dengan semua omong kosong ini, aku segera mendatangi Sophia Bentley yang terlihat bingung usai dari kamar kecil.

"Apakah kau melihat manajerku? Aku mencarinya sedari tadi sampai ke sini juga, tetapi tidak melihatnya. Dia membawa sesuatu yang penting."

Sophia Bentley terlihat cemas alih alih bingung mencari manajernya--Ia tidak celingukan mencari ke mana manajernya pergi. Aku pun menawarinya bantuan untuk membantu mencari manajernya.

"Dia wanita 30 tahunan, berkacamata tebal dan dia membawa sesuatu."

Sophia mulai menggigiti jarinya tidak tenang.

"Dia membawa boneka babiku. A-aku takut, dia melakukan sesuatu pada itu karena aku menolak mengikuti permintaannya."

Aku terperangah sesaat dan menjadi teringat dengan rumor mengenai dirinya. Rumor ini kudapat dari Harvey pagi tadi.

Sophia Bentley, dia seumuranku, mungkin homeschooling juga atau barang kali tidak melakukannya. Ia tinggal dengan manajer dari penerbitnya. Memiliki pribadi yang sulit, dan juga katanya ada sesuatu yang aneh di sekitarnya. Maksudnya, ketika kau membaca tulisannya kau akan mengerti. Maka dari itu ia disebut penulis jenius.

Entah apa kaitannya, aku hanya bisa mengakui sebagian dari rumor itu benar.

Aku menyuruh ia untuk tenang dan fokus kembali pada acara yang tengah berlangsung, karena aku yang akan mencarikan untuknya.

Morgan kupanggil untuk mengantarkan Sophia kembali ke halaman pub dan aku pergi keluar pub untuk mencari manajernya.

Tonggeret terasa berbunyi lebih nyaring ketika aku melewati berbagai tempat, padahal belum resmi masuk musim panas. Ditambah cuaca hari ini cukup terik sampai membuatku mengidamkan es limun ajaib buatan Harvey. Aku ingin mendinginkan kepalaku dari keruwetan ini--pencarian manajer si Sophia. Aku sendiri juga sudah gatal untuk menahan berbicara jelek. Apalagi aku mulai berhalusinasi yang tidak-tidak.

Seorang wanita yang tengah menaruh kepalanya ke dalam sungai dengan sebuah boneka babi yang dipeluk.

"Oh, kotoran babi ajaib."

Aku langsung berlari, melompati pembatas dinding dan masuk ke sungai. Aku berusaha menarik tangan wanita itu tetapi ia memberontak enggan.

Simpulnya biru kehitaman, seperti simpul orang kerasukan. Namun berbeda, ia bersikeras mendorongku hingga membuatku terjerembap jatuh duduk ke sungai.

Kukira itu akhirnya membuat ia berhenti dan menyerah karena merasa bersalah padaku. Nyatanya tidak, ia malah mendatangiku. Mencekikku tiba-tiba sembari membenamkan kepalaku ke air sungai semata kaki.

"Kau mengganggu. Atau barangkali lebih baik kita pergi bersama?"

Aku tahu beberapa angsa ada yang kemari dan menyerangnya, tetapi itu tidak menghentikan wanita yang kupikir manajer Sophia ini berhenti menghentikan napasku dengan berkali kali mencelupkan kepalaku ke dalam air sembari menekan leherku.

Aku sesak, dan pandanganku memburam karena air, sekalipun aku berusaha menendangnya dan kepala sedikit menyembul ke udara, meski kemudian ditekannya lagi sampai tenggelam, ia benar benar menindihi tubuhku dengan tubuhnya. Napasku ...

Napasku ...

Air telah masuk.

Simpul biru kehitamannya jadi terlihat jelas masuk ke dadanya. Tidak tahu bagaimana caranya, aku yang biasanya tidak bisa menyentuh itu jadi bisa menyentuhnya. Dengan sangat lemas aku menyentuhnya dan itu terurai begitu saja.

Cekikan wanita itu mengendur tetapi aku sudah terlanjur tenggelam, dan semua jadi gelap.

"Argh!" Aku terbangun mendadak dan napasku tersengal-sengal sembari mendapati aku bangun dari ranjangku. Ibu rupanya yang tidur di sampingku jadi terkaget.

"Esme!" Ia memeluk dan membelaiku sembari menangis.

Aku menjadi kikuk dan kemudian menanyai bagaimana nasib manajer itu dan apa yang terjadi ketika aku pingsan dan sedikit tenggelam.

"Harvey kebetulan pulang mendadak dan tengah mencarimu. Ia kaget saat melihat kamu tenggelam di sungai dengan seorang wanita yang agak kurang waras."

"Bagaimana pun, aku bersyukur air sungai Coln tidak sedalam itu di akhir musim semi ini. Kau tahu sendiri airnya cukup dalam saat musim gugur hingga musim dingin."

"Ibu, harusnya ibu lebih bersyukur, anakmu tidak mati dicekik dan ditenggelamkan ke sungai."

Ibu mendesis dan malah memukul pahaku. "Dasar kau. Kenapa juga kau harus berurusan dengan orang gila itu sih. Aku sudah dengar sedikit kisah dari Nona Sophia mengenai manajernya itu."

Aku tertegun, eh?

"Tapi, Sophia tidak memberitahu apapun kalau manajernya agak tidak waras."

"Eh, bukankah sudah? katanya dia sudah mengatakannya tetapi kamu bersikeras membantunya mencari boneka kesayangannya."

"Ah, sungguh, Morgan kurasa juga mendengar sendiri kalau ia tidak menginformasikan sedikit pun soal kalau manajernya agak bermasalah."

"Justru aku sudah menanyai Morgan, bahwa kau bersikeras."

Aku tertegun dan hanya mampu terdiam sampai Ibu kemudian memukul pahaku lagi. "Sudahlah, ayo aku akan suapi buburmu. Kamu pingsan seharian. Aku takut sekali kau kenapa-kenapa."

Aku hanya menuruti permintaan Ibu dan memakan bubur yang kemudian ia ambil dari bawah.

Namun, tentu saja, aku jadi kalut. mengapa Sophia dan Morgan mengatakan hal aneh seperti itu. Jelas-jelas Sophia hanya meminta tolong padaku untuk menyelamatkan boneka kesayangannya. Ia tidak pernah memberitahu lebih lanjut soal manajernya. Lebih-lebih ternyata manajernya ada sedikit kelainan. Hanya saja ...

Ada apa ini?
Ada yang aneh....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro