Satu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Kamu enggak apa?"

Pertanyaan ini meluncur dari Harvey ketika aku hanya mengamati es limunku yang mencair di meja Katherine wheel.

"Semuanya melupakannya. Bahkan makamnya tidak ada nama keluarganya," kataku yang kemudian menyandarkan kepala di meja.

"Dia sendiri yang ingin seperti itu." Harvey kini duduk di sampingku, melepaskan apronnya dan ikut menyandarkan kepalanya pada tangan menghadapku.

"Itu keterlaluan tahu enggak sih, bahkan aku dibuat lupa juga selama 3 bulan. Benar. Tiga bulan! Kotoran kambing menyebalkan!" Aku bangun mendobrak meja sedikit, untungnya tidak ada banyak orang di sini karena low season.

"Pada akhirnya enggak kan? Kamu mendapatkan surat darinya dan ya ... akhirnya kamu ingat."

Aku terdiam dan duduk dengan tenang kembali. Itu benar. Isla memang mengirimiku surat yang sengaja ia sesatkan agar sampainya agak lama padaku--entah alasannya apa. Sebuah surat yang berisi tentang semua rahasianya. Surat bagaimana ia menjadi seorang penerima berkat roh kehidupan seperti aku, dan Harvey. Lalu pengorbanannya untuk membantu seseorang yang dia sukai.

Kotoran lebah!

Kenapa dia melakukan itu sih? Dan ternyata itu om-om pula.

Aku tidak habis pikir dengan Isla yang bahkan sampai menghapuskan identitasnya agar tidak melukai perasaan Tina, adik tak tahu dirinya itu, beserta orangtuanya. Lalu juga menghapus ingatanku tetapi mengapa Harvey tidak!? Ini tidak adil. Aku marah. Dan untuk apa?!

"Esme, tenanglah dulu. Dia juga menghapus ingatanku tetapi karena aku mendengar pikirannya yang sedang berbicara entah dengan apa saat terakhirnya--kupikir aku ada di dekat sana waktu itu. Aku jadi tidak tahu mengapa bisa lebih cepat ingat."

Harvey lagi-lagi mendengarkan pikiranku. Meskipun demikian karena aku sudah terbiasa aku jadi tidak marah. Sebenarnya setahun sudah berlalu dan pekan depan adalah ulang tahun Isla. Namun, yang membuatku marah dan mengangkat topik ini adalah aku masih tidak terima pengorbanannya itu tanpa membicarakan terlebih dahulu padaku, sahabatnya.

Rasanya sangat menyakitiku.

"Jadi apa yang akan kamu lakukan?"

Harvey membuatku terdiam.

"Enggak tahu!" kataku kesal sembari memainkan bulir-bulir embun es di gelas kaca limunku.

"Kau tidak ingin kembali ke sekolah? Lyona bagaimana?"

Aku menggeleng, "Aku menyabotase surat untuknya, jadi dia tidak ingat mengenai Isla, dan aku masih merasa tidak ingin meninggalkan Isla dari desa ini. Aku masih merasa marah padanya."

Kutenggak sekali minum es limunku yang tinggal sedikit dan aku merengut masam.

"Ah, tau dah. Aku sebal. Aku pulang," kataku bangkit dan segera beranjak ke kasir, Pamannya Harvey.

Jalanan terasa begitu lenggang ketika aku pulang dan berhenti di pinggiran sungai Coln, ingatanku menerawang pada masa lalu.

Ketika aku, Harvey dan Isla mencari telur angsa di sini.

Kotoran udang!

Aku kesal dan melempar kerikil di tanah ke sungai. Bagaimana bisa Isla begitu jahat pada sahabat satu-satunya ini, ditambah salam dari Daisy yang malang hanya dilewatkan melalui surat. Aku kesal! Tidak hanya itu, aku kesal akan segala hal tentang Isla!

Namun ...

Dia sudah pergi.

Kekesalanku pun percuma....

Aku mulai menangis sembari menduduki dinding pembatas sungai untuk melihat matahari yang mulai tenggelam. Ronanya yang kemerahan membawa suasana melankolis begitu menyeruak.

"Kamu jahat, Isla," lirihku.

"Iya, Isla jahat."

Seseorang memelukku dari belakang, dan aku tahu itu Harvey. Saat aku membalikkan badanku padanya, emosiku mulai meronta-ronta lagi. Harvey merapatkan badannya padaku agar aku tidak jatuh. Aku pun mulai menangis sembari memeluk Harvey dengan menyumpahi Isla. Awas saja di kehidupan selanjutnya aku akan mengomeli dan memarahinya terus!

"Sudah mendingan?" tanya Harvey ketika aku sudah cukup lama menangis dan berhenti. Aku pun mengangguk malu. Wajahku bengkak dan merah.

"Besok ada festival literasi Bibury, biasanya dilakukan di gereja Mary kan tiap tahun. Tapi, kebetulan tahun ini ada perpindahan dadakan dan karena sudah terlanjur mengundang orang penting...."

Harvey menatapku ragu-ragu karena mengubah topik secara drastis. Aku tahu ini caranya untuk menghiburku. Sekaligus mungkin topik yang tertunda untuk dibicarakan tadi.

"Jadi kegiatan itu dipindahkan di halaman Pub. Kamu mau membantu? Mungkin itu bisa mengalihkanmu dari rasa kesalmu pada Isla ... Meski aku tidak bisa ikut karena harus kembali ke asrama."

Aku menimang tawaran Harvey, memang aku tidak ada kegiatan saat pagi karena aku homeschooling saat sore hari. Dan jujur rasa frustasiku belakangan teringat akan Isla benar-benar menjadi. Mengingat sebentar lagi hari ulang tahunnya. Hanya saja....

Aku merasa ada yang tidak enak.

"Aneh ya, kenapa tahun ini dilakukan festival saat low season? Biasanya diadakan menjelang musim panas saat lagi peak."

"Ada penulis problematik yang meminta diadakan di musim semi, padahal festivalnya juga bisa saja diundur sehari karena gereja sedang dipakai. Namun, Penulisnya tetap kekeh meminta besok. Jadi enggak ada pilihan lain memindahkannya di lokasi lain." Harvey geleng -geleng kepala. Di bayanganku orang seproblematik seperti itu adalah orang yang paling menjengkelkan bagi Harvey sedunia. Ini karena Harvey jadi harus berpikir tiga langkah kedepan untuk mencegah masalah timbul. Ia malas berpikir katanya sekaligus ia sebenarnya tidak bisa tinggal diam saja kalau ada masalah mengganggu di sekitarnya.

"Baiklah, aku akan membantu. Siapa tahu aku bisa ketemu seseorang yang wajahnya mirip Isla."

"Lalu akan kamu apakan?" Harvey terlihat menatapku was was.

"Tentu saja, mencubitnya, atau menendang lututnya," kataku tertawa jahat.

"Jangan terlalu keras." Harvey mengusap puncak kepalaku. Aku menghormatinya sebagai wujud ia memahami penderitaanku ditinggal sahabat.

"Tentu saja tidak. Yang penting sampai dia menangis," kataku dengan percaya diri yang membuat Harvey meringis dan mendorong tubuhku untuk segera turun dari dinding pembatas sungai.

"Ayo, aku antar pulang," katanya lembut padaku.

Aku mengiyakan dan berjalan pulang dengan perasaan sedikit lega. Meski belum semua, tetapi lihat saja kalau ada seseorang yang cukup mirip dengannya akan kucubiti ia sampai menangis kalau perlu aku tendang-tendang. Aku marah. Benar-benar marah, sebal, dan emosi!

***

Tidak terlalu butuh banyak tenaga bantuan rupanya saat festival literasi yang diadakan di pub tertua di Bibury ini. Alih-alih membantu, aku malah disuruh ikut duduk sebagai tamu oleh Paman Harvey. Ini semua karena terlalu sedikit orang yang datang. Meski tamu penting yang dimaksud Harvey tetap datang.

Dan aku baru tahu kalau penulis yang datang di sini adalah penulis hits. Ia ke sini sekalian untuk mempublikasikan novelnya yang lain. "A Place That She Thought was There."

Dia Sophia Bentley, dan mata kami bertatapan. Mata biru yang teduh, alis sedih dengan rona pucat di wajah. Ditambah rambut tergelungnya yang sudah jelas sebenarnya keriting menggantung seperti milik seseorang yang kukenal.

Penulis itu tersenyum padaku dan aku dengan kikuk membalas senyumannya dengan anggukan.

Dia ...

Mirip Isla.

"Isla ... Kau, Kau hidup kembali?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro