TRIAL

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Pada tahun 2022 seorang profesor melakukan penelitian ilegal. Dia mencoba membuat manusia dari tubuh manusia yang sudah mati. Rasa ingin tahu yang semakin besar membuatnya semakin nekat. Dia membunuh adiknya sendiri dan mencoba menghidupkannya. Tapi, dengan kapasitas otak yang berbeda. Karena lama kelamaan mayat tersebut membusuk, profesor terpaksa membuang tubuhnya di sungai.

Rasa penasaran yang tak kunjung terpuaskan membuat dia kembali mencoba. Dia membunuh teman seangkatannya, seorang profesor di universitas Burggeston. Mencoba mengolah otaknya. Penelitian gila itu lagi-lagi gagal.

Dia tak menyerah, mencoba membuat ulang. Dari hanya beberapa nyawa yang dia renggut, kini menjadi puluhan.

Koran, majalah, berita, radio, brosur-brosur dan internet membahas soal kejanggalan ini. Setelah diselidiki, polisi menemukan bukti yang mengejutkan. Puluhan mayat berserakan di rumahnya. Belatung, tikus, kecoak, dan hewan menjijikan lainnya tinggal di rumahnya. Alat-alat elektronik yang tidak pernah dilihat sebelumnya juga ditemukan. Polisi mengamankan lokasi dan menangkapnya.

Hukuman mati menunggu. Rumah yang dia tinggali dibakar. Profesor tak melawan saat ditangkap maupun dipukul. Dia hanya duduk diam di dalam penjara dengan memar di wajah dan tubuhnya.

Berita ini semakin meluas. Namun, polisi melakukan pencegahan untuk terbukanya kasus ini. Semua stasiun televisi yang menayangkan berita ini diminta agar menghapus segera data. Berita tertulis dimusnahkan edarannya. Polisi takut akan ada yang mencoba penelitian ini. Karena, setiap orang memiliki rasa penasaran, bukan?

Hingga saat ini, tak ada satu pun informasi soal kasus itu. Nama Johanes Acker dicatat sebagai orang gila terpintar di dunia.

***

17 Juli 2029.

"Felix Calvert?"

"Iya. Profesor Layn?

"Senang bertemu dengan Anda."

Mereka duduk saling berhadapan. Lelaki paru baya itu memberikan secarik kertas kepada Felix.

Felix hanya mengangguk saat membaca isi kertas tersebut. Dia menaikkan satu alisnya. Layn memerhatikan sambil memainkan jarinya. Dia terlihat khawatir.

"Apa yang bisa saya bantu soal kasus ini Profesor?"

"Anda ahli komputer, 'kan? Tolong cari siapa pelakunya. Saya sudah memberitahukannya kepada kepolisian."

Felix meletakkan kertas di atas meja.

"Saya tidak yakin. Tapi, saya akan mencobanya."

"Baiklah, terima kasih."

"Ya. Permisi."

Felix keluar dari kafe itu. Berjalan pelan sambil memikirkan sesuatu. Dengan sekali usapan di udara. Layar kecil muncul. Dia mengetik sesuatu. Kemudian menutup layar itu.

Perjalanan ke rumahnya cukup jauh. Setelah turun dari kereta bawah tanah, dia harus berjalan selama 30 menit untuk sampai di rumahnya. Satu-satunya rumah yang terletak di arah barat yang tertutup oleh pepohonan besar.

Dia duduk di kursi. Memutar musik klasik, memainkan jemarinya mengikuti irama. Menutup mata terhanyut dalam lantunan lagu yang dia putar.

Matanya tertutup semakin kuat, mencengkeram tangan kursi. Urat di tangannya terlihat perlahan.

Bruk!

Dia membuka matanya. Kembali tenang seperti biasa. Berjalan ke ruang kerjanya.

"Kau sudah mati tapi masih merepotkan," ucapnya sambil mengangkat mayat yang terjatuh.

Dia membalikkan badan mayat tersebut. Mengambil kaca pembesar dan melihat isi organ dalam dengan teliti.

"Belatung."

Dia menarik napas berat. "Aku harus mencari tubuh baru."

Membuang mayat itu ke jurang yang berada di belakang rumahnya. Kembali ke ruang kerja dan menyelesaikan sisa pekerjaan. Memegang flashdisk, memutar-mutarnya dengan tangan.

"Harus bagaimana?"

Wajahnya menunduk.

"Jika menghidupkan terlalu mustahil, maka harus mencoba di orang memang masih hidup? Jika yang akanku ubah adalah otak dan tenaganya ...." Dia berpikir sejenak. "Alat. Alat pengendali yang kubutuhkan."

Dia berdiri, menepuk tangannya, bangga akan dirinya.

"Aku memang jenius!"

Mengusap udara dua kali, layar monitor besar muncul tepat di hadapannya. Menekan tombol keyboard yang ada di layar. Memasukkan kode-kode. Dia pergi ke gudang, mencari alat yang dia butuhkan. Puluhan kabel, alumunium dia rangkai. Baterai dan kabel penyambung ke monitor juga tak lupa. Terkadang dia berhenti sejenak untuk mengistirahatkan diri.

Tiriri tiriri

"Ya, halo."

"Soal kasus itu. Apakah kau sudah menyelidikinya?"

"Sudah. Kemungkinan besar pelakunya pergi ke luar Negeri."

"Kami juga menduga seperti itu. Masalahnya mayatnya. Mayatnya tidak dapat ditemukan."

"Mungkin dia membakarnya atau menyimpannya."

"Yah, baiklah. Terima kasih Tuan Felix."

Dia melirik jam. Sebentar lagi jam 12 malam. Dia harus beristirahat sekarang.

Keesokan harinya.

Felix dipanggil untuk bertemu dengan pihak kepolisian. Mereka membahas soal kasus pembunuhan yang terjadi di dini hari. Setiap seminggu sekali pasti ada laporan mengenai orang hilang, namun polisi menduga itu pembunuhan bukan penculikan.

"Felix, apa alamatnya tidak dapat di lacak?"

"Sayang sekali, tidak," ucapnya mengerutkan kening.

Felix hanya duduk diam memangku kaki. Polisi tua berambut putih duduk sambil membaca berkas-berkas. Tersentak ketika melihat berkas kasus 7 tahun lalu yang dia temukan.

"Profesor Layn," panggil polisi tua itu.

Layn menengok. "Ada apa Pak Han?" tanyanya penasaran.

"Apa reinkarnasi itu benar-benar ada?"

"Apa Anda mempercayainya?" Layn bertanya balik.

Felix memerhatikan percakapan mereka. Di dalam ruangan itu hanya ada lima orang. Satunya adalah polisi senior dengan umur yang sudah tua, dan satunya lagi polisi muda yang baru bekerja satu tahun.

"Tentu saja saya tidak mempercayainya," jawab Pak Han. "Ah, sudahlah. Saya hanya sedang lelah."

"Apa Anda berpikir, kasus itu berhubungan dengan Johanes Acker?"

Polisi itu tertegun, bersamaan dengan polisi senior.

Hening.

"Mari hentikan pembicaraan soal dia."

"Baiklah." Profesor Layn mengalihkan pandangannya. "Felix, apa kau lelah?"

"Hm, tidak juga. Aku menyukai pembicaraan kalian. Lanjutkan saja, aku ingin mendengarnya."

"Nama itu bahkan dilarang untuk disebut."

Felix terkikih melihat ekspresi Layn. "Apa kau baik-baik saja, Layn?"

"Ya, aku hanya sedikit khawatir."

Felix berdiri. Berjalan mengambil berkas kasus 7 tahun lalu. "Sepertinya kalian harus menjaga otak Einstein," ujarnya santai.

"Kenapa? Bukankah yang dia incar adalah orang yang masih hidup?"

"Johanes Acker membunuh seorang profesor untuk diambil otaknya. Jika dia mengincar orang pintar, kenapa tidak dengan Bapak relativitas? Sang jenius yang diketahui seluruh dunia." Dia duduk kembali di kursi sambil membaca berkas yang dia ambil tadi.

Memangku kakinya dan berkata, "Jika bukan karena Thomas Stoltz Harvey, maka otak Einstein sekarang hanyalah abu yang disebar di tempat rahasia."

Mereka hanya diam. "Haruskah kami melakukan pengamanan di area museum?"

"Tentu."

"Baiklah," jawab polisi itu sambil mengelap keringat di wajah.

Profesor Layn hanya melihat Felix heran.

"Ada apa, Prof?"

"Tidak. Tapi, apa otak dia lebih penting dari pada warga yang akan di bunuh nanti subuh?"

"Polisi kita tidak sedikit. Kami akan membagi tugas."

"Kita tidak tahu siapa korban selanjutnya. Jumlah warga lebih banyak dari pada polisi." Layn melirik Felix sejenak. "Apa kau yakin?"

"Ya," jawab Felix singkat.

"Jika aku adalah pelakunya, maka ak-"

"Lakukan saja semampu kalian, pelakunya bukan orang yang mudah ditebak. Bahkan dia saja susah dilacak," potong Felix beranjak pergi.

"Pak Han."

"Iya?" jawab polisi tua itu.

"Jika aku tidak salah, maka korban selanjutnya adalah ... aku."

Polisi itu terkejut. Dia tidak paham akan hal ini.

"Bisakah Pak Han melindungiku? Datang jam empat pagi di rumahku." Dia mengambil secarik kertas, menuliskan alamat lengkapnya.

***

Felix berjalan pelan menuju rumahnya. Pepohonan yang tinggi menjulang dilewati oleh langkah panjangnya.

"Jam tiga." Mengulang ucapannya lagi dan lagi.

Dia duduk bersandar di kursi yang berada di ruang kerjanya.

"Suntikan penenang, menyalakan alatnya. Sembilan puluh persen akan membuat otak tak berfungsi. Kemudian memasukan isi data dari flashdisk ke otaknya. Tapi, jika aku membunuhnya, maka ...," gumamnya sambil menutup mata. "Memindahkan datanya? Sulit. Sayang sekali otaknya yang cerdas itu jika tidak digunakan."

Dia membuka matanya. "Dua orang. Itu bagus!"

Kembali mengetes alat yang dia buat. "Ini bekerja cukup bagus. Kau memang jenius, Felix!"

***

"Ini sudah jam dua. Jam berapa dia akan datang membunuhku?" Profesor Layn berkata dengan cemas. Jantungnya berdetak tak wajar. Dia hanya berjalan mondar-mandir di kamarnya.

Profesor Layn berjalan ke dapur, dia haus. Bayangan jangkung terlihat di depannya. Jantungnya berdetak tak karuan, dia ketakutan setengah mati. Berbalik dan mencoba menghindar secepatnya.

***

"Layn?"

"Layn?"

"Layn?

"Periksa seluruh ruangan."

Polisi yang datang ke rumah Profesor Layn jam empat subuh tidak menemukannya. Pihak polisi berniat menyergap rumah Felix.

Pintu rumah Felix tidak dapat di buka, didobrak pun susah. Jendela rumahnya berpelindung besi. Polisi terpaksa memotong pintu kayunya menggunakan gergaji mesin.

Mereka bergegas memeriksa seluruh ruangan.

"DIAM DI TEMPAT!" teriak salah satu polisi dengan pistol berjenis SIG-Sauer P226R yang dipegang dengan kedua tangan.

Polisi tak menyangka Felix akan melakukan hal itu. Tubuh Profesor Layn ditancapkan kabel dan satu lagi tubuh warga yang sedang tertidur pulas. Bukan hanya itu, aroma darah menyapa indra penciuman mereka.

Felix yang sedang melakukan kerjaannya sangat terkejut. Karena ruangannya kedap suara, dia tidak mengetahui keberadaan polisi. Dengan cepat dia menggambil pistol yang berada di meja kerjanya. Mengarahkannya dan menarik pelatuknya secepat mungkin.

Satu polisi mati ditembak. Di susul polisi lainnya. Pak Han terpaksa menembak tangan Felix. Pistolnya jatuh dia tak bisa melawan.

Pak Han memasang borgol. Membawa Felix ke ruang yang seharusnya.

Profesor Layn dan satu warga yang tertidur dilarikan ke rumah sakit. Sayangnya, nyawa mereka tak tertolong. Racun yang di suntikan membunuh mereka perlahan.

Interogasi sudah dilakukan. Dia hanya duduk diam menunggu ajalnya.

Saat itu, nama Felix Calvert di anggap sebagai reinkarnasi Profesor Johanes Acker.


END

Don't forget to click star button. Free~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro