Chapter 6

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Derap langkah kaki memenuhi lorong rumah yang sangat sepi. Manik merah darah seorang gadis kini tengah menelisik sinar rembulan.

Hangat dan damai, itulah yang ia rasakan saat ini. Rembulan sudah seperti ibunya sendiri. Saat ia ada masalah, ia selalu menatap rembulan hingga ayahnya memergokinya yang berbicara seorang diri.

"Sudah ayah duga jika kau dalam masalah."

Suara itu membuat sang gadis melihat arah sumber suara yang menampilkan seorang pria paruh baya dengan manik yang sama dengan dirinya. Namun, perbedaannya hanyalah pada rambutnya yang pendek.

"Ayah," sapa sang gadis dengan senyuman terbaiknya.

"Kemari lah, Ritska," ucap pria itu sembari menepuk bantal disebelahnya. Dan dengan riangnya, sang gadis pun berbaring dalam pelukan sang ayah.

Sakuma Ritska, ia adalah anak dari Sakuma Ritsu. Ia sangat manis, bersemangat dan selalu tersenyum saat bertemu dengan siapapun. Sungguh berbanding terbalik dengan Ritsu, hingga beberapa orang mengira jika Ritska bukan anak dari Ritsu.

"Ayah tidak sibuk?" tanya Ritska yang senantiasa menatap manik sang ayah. Ritsu pun bergeleng seraya berkata, "Ayah selalu ada disisi mu, kapan pun itu."

"Ayah memang yang terbaik," puji Ritska yang telah nyaman dalam pelukan ayahnya dan disambung, "Ayah ...."

"Hm?"

"Nandemonai," jawab Ritska cepat.

"Jangan memikirkan hal-hal yang rumit sendirian. Karena Ritska tidak sendiri," ucap Ritsu sembari mengelus surai anaknya.

"Ayah, aku merindukan Ibu. Apakah Ibu benar-benar akan pulang?" gumam Ritska.

Mendengar ucapan anaknya membuat hati Ritsu serasa ditikam oleh ribuan pedang dalam hitungan detik. Namun, ia tak bisa menunjukkan kesedihan dihadapan anaknya. Ya, ia harus ikhlas.

"Daijoubu. Ibumu pasti pulang, disaat yang telah Ayah janjikan dulu," ucap Ritsu dengan senyuman lembut.

Ritska tersenyum lembut. Tangannya pun mulai menggenggam tangan ayahnya yang dingin seraya berkata, "Aku sayang Ayah."

"Ayah juga," balas Ritsu lalu ia mengecup kening Ritska dengan penuh kasih sayang.

"Ayah, bolehkah aku request untuk sarapan esok?"

"Silakan, Ritska sayang. Ayah akan usahakan yang terbaik untukmu," jawab Ritsu.

Ritska pun tertawa pelan saat mendengar jawaban ayahnya dan mulai berkata, "Bolehkah aku minta masakan favorit Ibu saat sarapan?"

Ritsu pun mengiyakan permintaan anaknya dengan suka cita lalu memintanya untuk segera tidur agar esok cepat mengetahui makanan favorit ibunya saat sarapan. Ritska pun menurut, ia langsung tidur dalam pelukan hangat ayahnya.

Setelahnya, Ritsu pun memutuskan untuk tidur disebelah anaknya. Bukan bermaksud apapun, ia hanya ingin menguatkan dan menata hatinya yang sempat roboh. Ia tak menyalahkan anaknya ataupun mendiang istrinya, ia hanya menyalahkan dirinya sendiri. Selalu seperti itu.

*****

"Ayo, lari!"

"Cepatlah lari! Jangan hanya teriak-teriak saja!"

"Ih, cepatlah lari! Sudah tahu kalau digigit bisa jadi zombie."

"Hayaku! Hayaku!"

Kedua gadis itu masih setia menghadap layar laptopnya yang menayangkan sebuah film yang telah lama mereka nantikan tapi tak dapat mereka lihat. Hingga tanpa sadar, ayah mereka telah berdiri dibelakang mereka.

"Graaaawwwhhh!!!"

"Kyaaaaaaaa!!!!"

Kedua gadis itu pun langsung berteriak dan langsung melempar bantal yang mereka peluk setelah menghadap sang sumber suara. Saat mereka tahu siapa pelakunya, mereka langsung mengatur nafas serta detak jantungnya yang tak karuan.

"Bisakah Ayah muncul dengan normal?" ucap sang gadis dengan rambut ponytail. Dan disambung oleh gadis berambut twintail, "Ayah bisa membuat jantung kami berhenti berdetak."

Mendengar pengakuan anaknya, Yuuta dan Hinata pun tertawa puas. Mereka tak menyangka jika anaknya bisa sangat terkejut seperti itu.

"Sedang menonton apa?" tanya Yuuta yang kini telah duduk disebelah putrinya.

"Quarantine 2008," jawab gadis berambut ponytail, Fuka yang notabenenya adalah anak dari Hinata.

"Hmmm, film horor ya?" tanya Hinata.

"Iya, cerita tentang zombie yang diakibatkan dari rabies. Lalu, mereka harus bertahan dalam apartemen itu hingga para petugas bisa memastikan aman. Tapi mereka semua sudah menjadi zombie duluan," jelas gadis berambut twintail, Fuyu yang notabenenya adalah anak dari Yuta.

"Bad ending?" tanya Yuta sembari menatap layar laptop anaknya. Dan kedua gadis itupun menjawab dengan anggukan secara serempak.

"I hate bad ending," ucap Fuka sembari memukul bantal yang telah diambilkan oleh ayahnya.

"Bad ending always make my heart sick," sambung Fuyu.

"Tapi, tidak selamanya bad ending membawa kesedihan atau penyakit," ucap Hinata dengan riang yang membuat kedua gadis itu menatap dirinya.

"Itu benar. Bad ending selalu mengajarkan kita untuk selalu antisipasi dan waspada akan kehidupan agar tidak terkejut jika kejadian yang sama atau serupa akan terulang lagi," jelas Yuta dengan wajah sedikit sedih.

Setelah penjelasan Yuta, mereka pun menjadi hening. Mereka larut pada pemikirannya.

"Ayah, apa yang membuat kami bingung?" tanya Fuka yang mendapat tatapan bingung dari Yuta maupun Hinata.

"Ayah bilang pada Tomoe-san jika apa yang ia katakan bisa membuat kami bingung. Memangnya, apa yang akan membuat kami bingung?" tanya Fuyu.

Mendengar penjelasan kedua anak itu, baik Yuta maupun Hinata pun hanya bisa tersenyum lalu tertawa sebentar.

"Tenanglah. Hanya untuk menghentikan tingkah Tomoe-san agar tidak menjadi-jadi," ucap Yuta.

"Soalnya, kalian tahu sendiri kan, jika Tomoe-san terkadang melakukan hal-hal yang membingungkan," ucap Hinata sambil mencubit hidung Fuka dengan gemasnya.

"Benarkah? Tidak ada yang lain?" tanya Fuka dengan tatapan tak percaya.

"Benar. Percaya lah pada ayah," ucap Yuta dengan riang.

"Baiklah, siapa yang mau lanjut nonton?" tanya Fuyu dengan riang.

"Menonton? Menonton apa?" tanya Hinata dengan penuh antusias.

"Quarantine 2," jawab Fuyu dengan lebih antusias.

"Quarantine? Kalian tidak bosan?" tanya Yuta.

"Oh ayolah Ayah, ini akan menarik," ucap Fuka dan disambung oleh Fuyu," Ini tidak ada kaitannya dengan Quarantine 2008."

"Baiklah, kami akan ikut menonton. Asalkan, setelah satu film ini ... kalian langsung tidur," ucap Hinata.

Kedua gadis itupun tampak menimang perkataan ayahnya. Pasalnya, mereka masih menyimpan satu film lagi yang belum sempat mereka tonton. Tetapi, berhubung ayahnya disini, mau tak mau mereka pun mengiyakan permintaan ayahnya.

Dan pada akhirnya, Fuka menekan tombol 'play' lalu mereka pun mulai menonton film dengan camilan yang telah ayah mereka bawakan sebelum Fuka menekan tombolnya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro