Chapter 7

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Pergilah dari sini!"

"Kau kan punya segalanya!"

"Bilang pada ayahmu, kalau kau harus pindah dari sini!"

"Eh? Ku dengar, ayahnya melarikan diri."

"Pantas kau aneh, ayahmu sudah tidak pulang-pulang! Ibu pun tidak punya!"

"Hahaha lucunya."

"Kasihan sekali, hahahaha."

Seorang gadis kecil bersurai merah pun tak sengaja melihat kejadian itu dan ia pun berlari ke tengah kerumunan seraya berteriak, "Hentikan!!! Kalian tidak boleh seperti itu padanya! Bagaimanapun, dia teman kita!"

"Teman? Kita teman? Hah? Aku salah dengar sepertinya."

"Tidak ada yang mau berteman dengan gadis aneh sepertinya."

"Memangnya, kau ini siapanya, Amagi-san? Jelas-jelas, dia sudah tidak punya ibu. Dan ayahnya pun tidak peduli padanya. Bukankah itu artinya dia anak pungut?"

"Anak pungut? Hahahaha, julukan yang bagus."

(Name) pun menatap seorang gadis yang berdiri dibelakangnya dengan kepala tertunduk. Poni oranye miliknya telah menutup separuh wajahnya yang membuat (Name) tidak bisa melihat raut kesedihan darinya.

"Tapi ... Tapikan dia anak dari salah satu idola terkenal! Ayo, Tsukinaga-san! Katakan pada mereka jika kau tidak anak pungut seperti yang mereka katakan!" bela (Name) yang berusaha menyemangati gadis dibelakangnya. Namun, gadis kecil itu hanya diam seribu kata.

"Lihat kan, hahahaha. Dia tidak bisa bicara, berarti apa yang ku katakan itu benar."

(Name) pun naik pitam saat mendengar pembicaraan sang pembully yang makin menjadi-jadi. Pada akhirnya, (Name) memberanikan diri untuk menarik sang gadis dari kerumunan tersebut dan memarahinya karena ia tidak berani seperti ayahnya.

"Arigatou ...," lirih gadis bermarga Tsukinaga.

(Name) baru saja membuka mulutnya. Namun, ia tak bisa mengeluarkan suara karena gadis bermarga Tsukinaga ini telah ditarik ke alam sadarnya.

"Hujan seperti ini kok melamun?" tanya seorang wanita yang memiliki surai yang sama dengan dirinya. Bedanya, surai wanita dihadapannya sedikit bergelombang.

"Tidak kok, Tante. Ah, omong-omong, Tante Ruka tidak sibuk?" tanya sang gadis pada tantenya. Ruka pun tersenyum mendengar pertanyaan keponakannya seraya berkata, "Untuk Yui-chan, akan tante usahakan luang."

"Tante bisa saja," ucap Yui sembari tersenyum dan ia pun kembali mengalihkan perhatiannya pada rinai yang tiada henti-hentinya bermain dengan bumi.

Tapi, ia sangat tidak bahagia melihatnya. Karena ia akan melihat pemandangan anak tetangganya yang dengan riangnya bermain hujan dengan ayahnya.

Berbeda dengan dirinya yang selalu seorang diri sedari kecil. Bahkan, saat kunjungan ke ES pun ia tidak melihat ayahnya di sana. Sungguh, ia tak tahu harus mencari ayahnya kemana.

"Papa ... bagaimana kabar papa, Tante? Apa aku sudah boleh mengunjunginya?" tanya Yui dengan raut penuh harapan. Namun, harapannya pupus saat melihat tantenya bergeleng dan memberitahunya jika papanya belum bisa dilihat olehnya.

Keheningan pun terjadi diantara mereka, utamanya Ruka. Ia merasa sangat bersalah pada gadis dihadapannya, karena ia tidak diizinkan untuk memberikan informasi tentang kakaknya.

Ia paham jika kakaknya masih terpukul. Tapi, ini sudah terlalu lama untuk merasa terpukul.

Ruka pernah memaksa kakaknya untuk keluar dari kegelapan yang menyelimuti dirinya. Namun, ia tidak mau dan justru sedikit membentak dirinya.

"Tante, jika Papa sudah bisa dihubungi ... tolong katakan padaku," ucap Yui dengan perasaan sedih. Ruka pun tergerak, menggenggam tangan Yui erat seraya berkata, "Tante janji padamu, Yui-chan."

*****

Hujan memang membasahi bumi. Namun, hujan tidak mampu memadamkan semangat ketua dan para pengurus OSIS untuk meninjau tempat yang akan mereka gunakan.

Berbagai tempat telah mereka susuri. Tetapi, hanya satu tempat yang mereka anggap sangat cocok, halaman belakang sekolah ini.

"Jadi, menurut Anda ... tempat ini paling cocok?" tanya (Name) yang tengah mengamati halaman belakang bersama perwakilan dari ES yang sangat dipercaya oleh Eichi, Tsumugi Aoba.

"Iya. Karena, tempat ini paling luas untuk menampung para penggemar. Selain itu, kita masih bisa menaruh beberapa vending machine di sudut-sudut tertentu atau membuka tenda untuk menambah tempat jualan," jelas Aoba sembari memperhatikan tanah yang telah basah oleh tangisan langit.

"Tsumugi-san sangat teliti ya," puji (Name) yang kagum akan ilmu kira-kira dari lawan bicaranya.

"Sikap teliti memang penting, Amagi-san. Tanpa teliti, kita bisa terjatuh dalam jurang yang sama," ucap Aoba dengan senyum sedih yang tak mampu dilihat oleh lawan bicaranya.

"Omong-omong, bagaimana Morie? Apa ia membuat ulah?" tanya Aoba.

"Morie-san, dia sangat membantu disaat seperti ini," ucap (Name).

"Papa! (Name)-chan!"

"Nah, baru saja dibilang pun dia datang. Panjang umur," ucap (Name) yang membuat Aoba tertawa pelan.

"Are? Kenapa Papa tertawa?" tanya Morie yang baru saja tiba ditempat mereka.

"Tidak, tidak ada apa-apa," jawab Aoba dan disambung, "Papa hanya senyum saja."

Morie tidak percaya pada ayahnya. Ia pun langsung menatap (Name) untuk meminta jawaban yang benar. Namun, (Name) telah berpura-pura jika tidak mendengar atau melihat apapun yang dilakukan oleh pasangan ayah dan anak disebelahnya.

"Kalian pasti membicarakan ku," ucap Morie sembari menyipitkan matanya.

"Sebentar, kurasa Ayumu memanggil, dah~," ucap (Name) yang langsung meninggalkan mereka begitu saja.

"Hei, (Name)-chan!"

Morie hendak menyusul (Name), namun ia tidak bisa melakukannya. Tangannya telah terlebih dahulu ditahan oleh ayahnya.

"Papa pasti lelah," ucap Morie yang disambut dengan senyuman dari ayahnya.

"Papa tidak lelah. Selama ada anak papa disini, papa tidak lelah," ucap Aoba sembari merangkul anaknya.

"Ah, papa. Tadi aku mendapat tugas untuk memantau perpustakaan, sama seperti ayah dulu. Hanya saja, aku tidak menemukan daftar murid yang pernah bersekolah disini," ucap Morie dengan curiga.

"Benarkah?" tanya Aoba sembari menatap putrinya dengan tatapan lembut. Morie pun mengangguk sebagai jawaban dan dia pun berkata, "Aneh, biasanya selalu ada daftar itu."

"Mungkin, kau belum mencarinya dengan teliti. Jadinya, bisa saja buku itu tersimpan di suatu tempat yang sulit diraih," jelas Aoba.

"Um, sangat sulit diraih, seperti Papa," ucap Morie.

"Itu ... gombalan untuk papa?" tanya Aoba dengan nada heran.

"Temanku yang mengajarinya. Tapi yang pasti, bukan (Name)-chan. Dia terlalu polos untuk masalah rayuan-rayuan maut," jelas Morie.

Namun, tanpa dijelaskan pun Aoba telah tahu siapa dalangnya. Tentunya, seseorang yang telah Aoba kenal sejak lama.

"Ingin masuk? Papa rasa, OSIS telah menyiapkan kejutan lain untuk kita," ucap Aoba.

"Pasti. Setelah ini, pasti si Tenshouin itu memberi kita jurnal yang harus ditelaah," eluh Morie.

"Tenanglah, akan papa bantu," ucap Aoba sembari menggandeng anaknya untuk kembali ke tempat dimana mereka berkumpul sebelumnya.

Dan, sesuai dengan dugaan anaknya, mereka langsung disambut dengan beberapa buku tebal serta setumpuk proposal yang harus disetujui. Tentunya, para pengurus OSIS sedang mengurus semuanya. Tapi, Aoba merasa tidak tega pada mereka dan ia pun memutuskan untuk membantu tugas para OSIS.

'Biarlah ia dimarahi Eichi karena terlambat kembali. Namun, membantu anak-anak yang tidak bersalah adalah tugasnya,' begitulah pemikiran Aoba.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro