1 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 1 || 1998 words ||

| Buat cerita dengan tema pengalaman pertama |

| Escapade - Cerita Lepas |
|| Cal dan Orang Mati ||

Ini pengalaman pertamaku menemukan mayat dalam gentong air.

Aku betul-betul berharap takkan ada pengalaman kedua untuk itu. Cukup satu kali saja.

Meski orang-orang bilang aku adalah anak yang pemberani, bukan berarti aku tidak punya rasa takut. Aku hanya menahannya. Bagaimana pun, aku masih 7 tahun dan kadang punya imajinasi aneh tentang hantu atau monster dalam laci bajuku, atau tentang mayat hidup di jalanan, terutama karena rumah kami berada dekat dengan Tembok W yang berbatasan dengan Neraka Zombie di luar sana. Namun, sejak Ayah meninggal, aku harus tampil seberani ibuku.

Sementara Ibu menambah jam kerjanya dan bolak-balik ke kota, aku diam-diam masuk hutan sendiri untuk mencari herba atau membuat jebakan kelinci seperti yang dulu diajarkan ayahku. Saat malam turun, setelah memastikan perut anaknya kenyang, ibuku langsung tepar di dipannya dan mengorok nyaring hingga tidak menyadari aku keluar rumah, dalam kegelapan dan berkawan kelelawar, sambil menimba air sumur dan mencuci baju yang kami pakai seharian.

Jadi, saat teman-temanku menyebarkan cerita hantu wanita dalam sumur, aku bisa dengan percaya diri menampik itu—soalnya akulah yang membuat suara-suara yang mereka dengar tiap malam.

Orang mati tidak membuatku segentar itu. Bukan berarti aku tidak merasa takut atau apa, hanya saja aku masih bisa menahan diri agar tidak menjerit-jerit seperti anak lain. Aku masih bisa menyembunyikan ketakutanku pada orang mati. Toh, aku sudah pernah melihat jasad ayahku sebelum dimakamkan, dan dia tidak pernah menghantui kami. Jadi, sementara anak-anak seusiaku menangis ketakutan dengan cerita-cerita seram, aku masih bisa tertawa.

Setidaknya sampai aku melihat mayat dalam gentong itu.

Saat itu kami sedang main petak umpet. Aku dan seorang temanku ingin bersembunyi dalam gentong air berlumut dan retak-retak yang kelihatannya sudah dibuang di ujung jalan. Saat aku membuka tutupnya dan melihat seorang pemuda berbaring melingkar di dalamnya, aku berbisik ke temanku, "Sudah ada yang menempatinya. Ayo, cari persembunyian yang lain."

Kami meninggalkan gentong tersebut tetap terbuka, lalu menghampiri salah satu orang dewasa yang kami lihat di jalan. Aku memberi tahu orang itu, "Pak, ada seseorang tidur dalam gentong di sana."

Pria itu kebingungan sesaat dan memintaku menunjukkannya. Lalu, kehebohan terjadi. Pemuda dalam gentong itu rupanya sudah mati, kaku dan dingin hingga badannya tidak bisa diluruskan lagi. Kelopak matanya tertutup seolah dia hanya sedang tertidur, tetapi ada bekas luka menganga di leher belakangnya, meninggalkan jejak darah yang sudah mengering di sepanjang punggung bajunya.

Nama mayat itu Zayed, 19 tahun. Aku tidak mengenal pemuda yang sudah mati itu, tetapi aku kenal orang tuanya. Mereka penghuni desa sebelah, yang biasanya menjual susu kambing dan keju olahan. Ibunya pernah mengantarku saat aku tersesat karena main kejauhan sampai ke desa mereka. Ayahnya sering ke desa kami untuk mencari angkutan menuju kota.

"Kenapa Zayed bisa mati di sini?"

"Mayatnya tidak berbau sama sekali."

"Luka apa itu?"

"Mungkin digigit hewan buas."

"Tapi kenapa bisa di dalam sana?"

"Mungkin saat dikejar hewan yang menyerangnya, dia berlindung di sana dan mati."

"Siapa yang menemukannya?"

"Cal kecil yang menemukannya."

"Anak gadis mendiang Callahan? Anak malang."

"Kau tidak apa-apa, Cal?" Ibuku bertanya begitu belasan kali setelah aku menemukan mayat Zayed. Aku mesti jawab apa agar dia berhenti khawatir? Biasanya, apa yang bakal diucapkan seseorang sehabis menemukan mayat dalam gentong bekas? Ah, biasa saja? Oke banget?

"Aku oke," jawabku sambil mengangkat bahu, tetapi rupanya itu malah membuat Ibu tambah cemas.

Zayed dimakamkan di TPU yang jaraknya tak jauh dari gentong air tempatnya ditemukan. Aku sempat melihat ibunya yang masih tersedu-sedu dan ayahnya tertunduk rendah-rendah, mengantarkan anak mereka ke peristirahatan terakhir. Kudengar, keduanya pun tak tahu mengapa Zayed bisa berakhir dalam gentong buangan di desa kami. Anak itu hanya pergi untuk menjual keju-keju olahan keluarganya suatu pagi, lalu tak pulang seharian.

Seusai pemakaman, ayah dan ibunya berkunjung ke rumahku. Gestur sopan santun yang biasa, untuk anak yang pernah mereka antarkan karena tersesat dan kini menemukan jasad anak mereka. Keduanya bicara dengan ibuku untuk beberapa menit, berbagi ungkapan duka-cita dan sebagainya. Setelah keduanya pulang, barulah ibuku menyadari ibunya Zayed meninggalkan payungnya di belakang pintu.

Mulanya aku tidak setakut itu karena menemukan mayat. Namun, omongan orang-orang membuatku ikut waswas. Mereka membicarakannya seolah aku bakal tertular sial atau sejenisnya. Mau tak mau, aku jadi terbayang mayat Zayed dalam gentong dan betapa aku hampir saja menyentuhnya dengan ujung jariku, mengira pemuda itu hanya ketiduran di dalam sana. Aku jadi sering teringat wajahnya, bekas lukanya, dan pose melingkarnya di dalam gentong air bekas.

"Cal, kau tidak apa-apa?" tanya Ibu lagi malam itu.

"Duh, Bu, aku oke banget! Biasa saja!" Kudesak agar dia pergi tidur lebih dulu. Lalu, aku pergi ke sumur seperti biasa, bergegas mumpu bulan masih bersinar penuh dan belum tertutup awan. Jalan di desa kami nyaris tidak ada penerangannya, dan aku hanya meninggalkan sebatang lilin di atas batu di depan rumahku untuk jaga-jaga kalau bulan tertutup awan sebelum aku sampai rumah.

Aku baru mengambil air seember saat melihat Zayed berdiri di seberang jalan, menatap lurus ke arahku.

Beberapa detik pertama, aku terpaku saja dan balas memandangnya. Beberapa detik setelahnya, jantungku sepertinya berhenti berdetak, lututku gemetar, dan jari-jari tanganku terasa dingin, yang kemudian menjalar sampai ke perut. Saat itulah aku mengetahui arti ketakutan yang sesungguhnya.

Aku melepaskan tali katrol sumur, berbalik meninggalkan ember-ember menggelimpang, dan berlari mati-matian tanpa berani melihat ke belakang. Lilin di atas batu kutendang sampai apinya padam, lalu aku tersandung di teras. Wajahku membentur pintu. Suara debumnya mungkin membangunkan ibuku karena beberapa saat kemudian dia sudah keluar menyambutku.

Aku masih terbaring tengkurap saat tangan Ibu memegangiku. Aku sempat menjerit karena tidak tahu tangan milik siapa itu, lalu menangis keras-keras dan memeluknya. Untuk pertama kalinya seumur hidupku, aku memekik, "IBU, AKU TAKUT!"

Kurasa, itulah yang paling ingin ibuku dengar. Mungkin seharusnya aku tidak perlu menyembunyikannya.

Semalaman aku tidak bisa tidur dan terus dibayangi ketakutan Zayed akan datang mengetuk pintu rumah kami, atau melompat masuk lewat jendela, atau muncul begitu saja di sudut ruangan. Ibuku terus memelukku, tetapi lekuk bayangan dirinya di dinding pun membuatku kaget. Tidak ada satu pun kata-katanya yang mampu menenangkanku atau membuatku tidur. Kami bergadang semalaman.

Esok paginya, Ibu membawaku ke Renjani, membujukku menginap di rumah temannya: Bu Miriam dan Pak Gun. Mereka orang-orang baik dan baru-baru ini punya anak laki-laki, namanya Ilyas. Aku suka Ilyas. Dia asyik diajak main dan aku selalu menang melawannya.

"Aku sungguhan melihat hantu Zayed!" seruku meyakinkan Bu Miriam. "Waktu aku ambil air ke sumur! Dia berdiri memandangiku!"

"Tentu, Cal." Bu Miriam mengelus rambutku dengan lembut. "Tapi kau tidak perlu takut di sini. Di sini terang dan banyak orang."

"Aku tidak takut, tuh." Kulipat kedua lenganku di depan dada. Kutunjuk Ilyas di belakangnya. "Tapi Ilyas kelihatannya takut waktu kuceritakan."

Ilyas sedang membaca salah satu buku paling tebal yang pernah kulihat. Alisnya mengerut untuk sesaat dan matanya menyorot jengkel padaku, lalu dia berpaling kembali ke bukunya.

"Tuh, 'kan, Ilyas takut."

Ilyas mencengkram bukunya. Suaranya bergetar saat menyahut, "Aku tidak takut. Kau yang takut."

"Kau nangis waktu dengar ceritaku—"

"Kau bohong," ujarnya lagi. "Hantu itu tidak ada. Orang mati tidak bisa bangkit lagi."

"Masa kau lupa di luar sana banyak zombie—"

"Itu wabah," tegasnya lagi. "Mereka tidak mati. Mereka sakit. Penyakit membuat mereka jadi monster. Tapi tidak ada orang mati yang hidup lagi."

"Ada! Zayed—aku melihatnya."

"Bohong."

"Datang saja ke rumah kami kalau begitu," tantangku. "Kau lihat sendiri hantunya Zayed."

Ilyas menciut di balik bukunya.

Mudah bagiku bertingkah pemberani saat siang hari, terutama saat Ilyas gemetar ketakutan mendengar cerita-cerita seramku. Saat dia berlari ke arah Bu Miriam dan mengadu bahwa aku mengganggunya, aku merasakan ketakutanku menguap entah ke mana.

Ibu sempat memarahiku karena membuat Ilyas ketakutan. Aku tidak mau jadi anak jahat. Sungguh. Bukan berarti aku merasa lebih baik dengan ketakutan Ilyas, tetapi ini persis seperti saat ibuku menangisi ayahku, dan aku terpaksa menahan kesedihanku agar tidak menambah dukanya, lalu berusaha menghiburnya—untuk sesaat aku melupakan dukaku sendiri. Ibu juga sama. Dia menahan air matanya agar bisa menenangkanku saat pertama kali kabar duka tentang Ayah sampai ke rumah kami.

Kurang lebih, saat ada yang merasa sedih atau takut di dekatku, aku mendapat dorongan untuk jadi orang pemberaninya di antara mereka. Begitulah yang kurasakan saat melihat Ilyas ketar-ketir, aku melupakan rasa takutku sendiri dan berhasil mengalihkan diri dengan menenangkannya—atau menggodanya. Lalu, aku akan dimarahi Ibu habis-habisan soalnya Ilyas tukang adu.

Lalu malam turun. Aku kembali ketakutan. Seluruh tubuhku tersembunyi di bawah selimut. Tiap kali memejamkan mata, aku teringat sosok Zayed di seberang jalan. Aku yakin matanya memelotot ke arahku. Aku ingat jelas sisa lumpur di kakinya, bekas tanah di bahunya, jejak darah di lehernya. Bulan sedang terang-terangnya saat itu. Zayed nyaris telanjang bulat, kain kafan kotor masih terseret-seret di kakinya.

Imajinasiku mencoba membunuhku. Aku tidak tahan lagi dan langsung melompat keluar dari selimut, menerjang keluar karena tidak bisa menemukan ibuku di kamar tamu tempat kami seharusnya tidur, lalu berhenti di samping tangga saat mendengar suara Bu Miriam.

"—kuburannya benar-benar kosong?"

Lalu suara ibuku, "Ya. Dini hari, malam yang sama saat Cal melihat Zayed di seberang sumur, penduduk setempat menemukan kain kafan kotor di antara bebatuan, lalu melacak jejak lumpurnya sampai ke TPU. Makam Zayed sudah dalam keadaan terbongkar."

Hah?

Aku mencondongkan badan sedikit dan melihat keduanya sedang duduk-duduk di dapur, cangkir teh mengepulkan asap hangat di atas meja.

"Karenanya kubawa Cal ke sini. Tolong jangan bilang ke anak-anak. Mereka bisa tambah takut."

Bu Miriam melambaikan tangannya. "Tidak akan. Ilyas sudah terlalu kagetan dengan bayangannya sendiri. Dia tidak boleh tahu cerita-cerita mengerikan seperti ini."

Aku harus ceritakan ini ke Ilyas!

"Miriam ..." lirih ibuku. "Apakah ... menurutmu, mereka kembali?"

"Maksudmu para zombie?" Bu Miriam meragu sesaat. "Tidak. Kurasa bukan itu. Kau bilang, payung yang ditinggalkan oleh ibunya Zayed hilang dari rumah kalian, bukan?"

"Ya."

Hah?

"Dan kemarin sore, kau dengar dari kepala desa, bahwa ibunya Zayed dibawa ke institusi gangguan mental di Kotatua oleh suaminya."

"Ya," sahut Ibu lagi, "sambil membawa-bawa payung itu. Ibunya terus-terusan mengoceh bahwa Zayed mendatanginya suatu malam setelah pemakaman dan menjatuhkan payung itu di depannya. Wanita itu langsung berlari ke luar untuk mengejar anaknya, tapi tak menemukannya di mana-mana."

"Wanita malang." Bu Miriam menggeleng simpati. "Jelas sekali, wanita itu begitu sedihnya kehilangan anak semata wayang, melihat hal yang tidak nyata, berjalan keluar di malam hari, menggali kuburan anaknya, dan masuk ke rumah kalian untuk mengambil payungnya sendiri. Duka membutakannya. Dia mengira, anaknya yang sudah mati yang melakukan itu. Barangkali dia tidak mengingatnya, entah dia kemanakan jasad anaknya sendiri."

"Entahlah, Miriam. Cal ... dia benar-benar yakin melihat Zayed. Kau tahu, anak itu tidak pernah seperti itu. Dia ... tidak pernah takut. Dia seperti ayahnya. Malam itu dia menjerit-jerit seolah sungguh-sungguh melihat setan."

"Anakmu pemberani—itu benar. Tapi, Isma, dia masih 7 tahun. Anak pemberani bukan berarti mereka tidak punya ketakutan pada apa pun. Dia habis menemukan jasad seseorang di dalam gentong air bekas. Itu pasti memengaruhinya. Lagi pula, Isma, coba pikirkan betapa konyolnya—zombie yang mengantar payung ibunya? Zombie tidak memiliki kemampuan menalar seperti itu. Aku justru akan lebih percaya kalau Cal sungguhan melihat hantu—bukan berarti aku membenarkan bahwa itu adalah hantu Zayed."

"Kurasa kau benar." Ibuku meneguk tehnya, lalu beranjak berdiri. "Terima kasih, Miriam. Aku ... benar-benar tidak tahu harus bagaimana membalas semua kebaikanmu—"

"Kita teman." Bu Miriam ikut berdiri dan merengkuh ibuku. "Apa pun itu, aku akan membantumu."

Mereka berpelukan beberapa detik lamanya sebelum ibuku pergi ke kamar mandi. Aku tinggal sedikit lebih lama karena kakiku terasa lemas. Kulihat Bu Miriam terduduk kembali di balik meja, matanya menerawang ke gelas tehnya.

Lalu, Pak Gun muncul dari balik pintu kamarnya, nyaris memergokiku andai pria itu tidak sedang menggosok muka dengan tangannya yang besar. Aku buru-buru menarik diri ke balik tangga, mendengarkan saat Pak Gun menghampiri Bu Miriam di dapur.

"Maaf, tidak bermaksud menguping."

"Kau dengar ucapan Isma tadi?" Bu Miriam mendesah. "Kedengarannya ... ini serius."

"Tidak, penjelasanmu tadi sudah benar. Bisa saja wanita itu hanya berhalusinasi melihat anaknya yang sudah mati."

"Aku meyakinkan Isma, tapi aku sendiri tidak yakin saat mengatakan itu," tukas Bu Miriam. "Bisa kau percayai konyolnya penjelasanku? Wanita itu berjalan tengah malam di tengah keadaan duka dan menggali kubur anaknya seorang diri? Aku terus-terusan teringat ... tentang ceritamu. Saat kau melakukan penggalian tahun lalu. Proyek di bawah Kotatua, jalur salurannya mengarah ke distrik mereka, bukan? Kau bilang, kalian menemukan—"

"Sst." Pak Gun memotongnya. "Sudah kubilang, itu bukan apa-apa. Jangan cemas. Ini tidak ada hubungannya. Lagipula, itu bukan pertama kalinya kami menemukan hal-hal aneh di bawah tanah. Perlawanan orang-orang sebelum kita terhadap gelombang zombie di masa lalu masih meninggalkan jejak yang tak tergali. Itu saja."

Tarikan dan embusan napas Bu Miriam terdengar bergetar.

Aku mengendap ke tangga, naik ke kamar Ilyas. Dia tidak mengunci pintu kamarnya, jadi aku bisa langsung masuk dan menotol-notol kakinya di balik selimut.

Anak itu melonjak terbangun dan hampir menjerit. Buru-buru kutangkupkan tanganku ke mulutnya.

"Yas," kataku sambil masih memegangi wajahnya. "Aku sebetulnya takut."

Saat aku melepaskan mulutnya, Ilyas bernapas keras, lalu menghardik dalam bisikan, "Aku yang takut! Apa yang kau lakukan di kamarku jam segini?!"

"Tahu tidak?" Aku naik ke atas tempat tidurnya, mendesaknya sampai terpojok ke dinding, lalu masuk ke dalam selimutnya. "Tadi ibu kita bertukar cerita seram."

Aku menceritakannya. Ilyas menudingku berbohong, dan aku menuduhnya penakut.

Kami berdua gemetaran bersama dalam selimut sampai pagi.

Yos '-')9 tengah malam, jiwa horor saya malah meliar. Saya haus, tapi takut ambil minum keluar.

Next>>> 2 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro