2 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 2 || 4007 words ||

| Buat cerita dengan tema lucid dream |

| Paranormal, Teen-fiction |
|| Tiket Lucid Dream ||

Disclaimer:
Cerita ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun cerita, itu adalah kebetulan semata yang barangkali agak disengaja.

Aku ingin nonton konser boyband 'Anak-anak Nyasar'. Kakak laki-lakiku ingin nonton konser girlband 'Dua-Kali'. Budget-nya tidak cukup jika kami mesti pergi ke tempat konser yang berbeda karena tersandung transportasi. Kami sekeluarga biasanya menyisihkan uang jajan masing-masing tiap minggu, agar bisa liburan keluarga tiap enam bulan sekali. Salah satu dari kami harus mengalah dan tahun ini aku betul-betul ingin ke konser idolaku.

Aku tidak mau mengalah. Tahun lalu aku sudah mundur saat Kak Uzaid pakai budget liburan kami untuk menemui pacar LDR-nya. Harusnya dia tahu diri. Namun, mengharapkan kakakku mengalah karena dia berutang budget liburan itu sama seperti minta politisi turun jabatan habis korupsi. Dia malah makin menjadi dan masih saja merasa berhak memutuskan kami mesti ke mana.

Orang tua kami malah berkonspirasi menentang kami berdua karena mereka sendiri habis bertengkar masalah yang serupa—Ayah ingin melihat konser reuni girl-group lawas, 'Cewek-cewek Cabe'. Sedangkan Ibu sudah janjian dengan teman-teman arisannya ingin datang ke konser comeback-nya boy-group 'Cowok-cowok di Gang Belakang'.

Akhirnya, budget liburan itu dibawa lari oleh Nenek suatu subuh dan dipakai untuk menghadiri Siraman Qalbu Emak Dedek. Tidak ada yang bisa marah karena, pertama, takut dosa; dua, takut kualat; tiga, Nenek selalu ikut menyumbang budget liburan tapi belum pernah memakai hak suaranya menentukan tempat liburan. Akhirnya kami merelakan acara liburan semester ini.

Tetap saja aku merasa kecewa. Tadi malam aku sampai bermimpi hadir di konser itu dan bisa naik ke atas panggung, dipeluk Dexter, personel Anak-anak Nyasar favoritku. Dexter hampir memberiku kecupan di pipi saat Kak Uzaid menerobos masuk kamarku dan menyentil jidatku, "Del, bangun! Sekolah!"

Kami bertengkar lagi sampai lempar-lemparan sepatu.

Saat masuk kelas, aku sudah berusaha tampil semangat seperti diriku yang biasanya, dengan senyum cerah dan mata berbinar ceria, tetapi Cantika—sahabatku—malah menyapaku dengan sebuah tamparan tiker konser di pipiku, "Delilah! Aku dapat satu tiket habis war tiket tadi malam, Del! Kyaaaaaaaaak!"

"Sahabat anj—" Aku menangis dramatis, mati-matian menahan diri untuk tidak merebut dan mengunyah tiketnya.

Saat mata pelajaran TIK, aku duduk di sebelah Idlan di lab komputer. Cantika bilang, Idlan sepertinya naksir padaku. Teman-temannya bahkan sering mengejeknya saat kami berdekatan. Idlan sendiri tidak repot-repot menyembunyikan kenyataan dia sedang berusaha PDKT padaku. Gara-gara itu aku jadi sering kepikiran sampai suka salah tingkah sendiri saat kami bersenggolan sedikit.

"Lagi musim konser, ya," ujar Idlan seraya tengok kanan-kiri. Guru kami sedang keluar dan anak-anak lain heboh membicarakan war tiket konser. Bahkan anak di belakangku menggunakan komputernya untuk browsing tiket konser NCt-Mimpi di web calo. "Kayaknya bulan ini memang bulan bagus untuk penglaris artis-artis."

Idlan sebetulnya lumayan cakep, tetapi inilah alasan aku masih maju-mundur untuk benar-benar jatuh hati padanya. Keluarganya percaya hal-hal gaib, ayahnya secara terbuka membuka toko yang menjual barang-barang mistis, dan ibunya bahkan rutin mendirikan stan ramal-ramalan saat ada pameran atau festival di alun-alun tengah kota. Saat orang-orang sibuk jualan sosis panggang dan kentang spiral, Idlan membantu ibunya membaca nasib orang lewat kartu Uno.

"Ini tarot." Dia pernah meralatku saat aku salah sebut itu kartu remi. Soalnya aku betul-betul awam masalah begituan.

"Aku mau nonton Anak-anak Nyasar," rengekku sambil menyedot ingus. "Konsernya masih lama tapi tikernya sudah habis. Musnah sudah harapanku. Ketemu di mimpi saja enggak bisa. Gara-gara Kak Uzaid."

Idlan menengok layar komputerku dan membaca brosur yang sedang kubuat iseng di photoshop, menampakkan foto Cantika dan Kak Uzaid. "Dijual: teman akhlakless, bisa disuruh jadi jenglot untuk jaga rumah. Harga grosir kalau beli sepaket dengan kakak cowok jadi-jadian." Idlan tertawa. "Jenglot itu untuk mengundang uang, Del."

"Kamu jual suvenir yang bisa bikin kita nikah sama idola, enggak?" tanyaku putus asa. "Atau paling enggak alat yang bisa buat ngelanjutin mimpi?" Tinggal sedikit lagi aku bakal dicium Dexter.

Idlan mengabaikan kalimat pertamaku dan hanya menjawab yang kedua, "Kamu tahu lucid dream?"

"Apa tuh?"

"Kalau kamu mengalami lucid dream, kamu bisa mengatur apa yang terjadi dalam mimpimu itu. Tempatnya, orang-orangnya, skenarionya. Kamu sadar lagi bermimpi dan bisa mengendalikan mimpi itu." Idlan mengeluarkan sesuatu dari saku samping tasnya. Mulanya, kukira itu tiker konser Anak-anak Nyasar, tetapi rupanya bukan. "Ini barang baru. Kalau kamu simpan ini di bawah bantal sebelum tidur, kamu bisa melakukan lucid dream. Promo, nih, gratis dariku."

"Kedengarannya ..." kutahan lidahku untuk tidak bilang kayak penipuan, "... keren."

Kuterima saja tiket itu. Setidaknya dia tidak memberiku jenglot.

Tiket desainnya sangat meriah, hampir norak. Tulisan "Lucid Dreamer" tertera dengan huruf tegak bersambung. Ada logo DC di pojok kanan bawahnya. Seingatku, nama toko ayahnya juga DC.

"DC itu, 'kan, tempat bermukimnya Batman dan kawan-kawan," cetusku.

"Beda. DC ini perusahaan ayahku dan teman-temannya. Mereka membentuk perkumpulan sendiri antar kolega bisnis dalam bidang spiritual dan paranormal."

"Apa kepanjangannya?"

"Dukun Corporation."

Malamnya, kusimpan tiket itu di bawah bantal. Bukan karena aku percaya. Aku cuma putus asa. Orang putus asa biasanya melakukan hal tolol.

"Mau ketemu Dexter," bisikku ke bantal yang sarungnya kusablon ke tukang sablon dengan wajah Dexter.

Begitu tertidur, aku sedang berdiri di tengah ruangan putih kosong. Ada Dexter di hadapanku.

Dexter sungguhan. Tampan, tinggi, langsing berotot, pakai kaus hitam dan jaket hoodie cokelat serta celana denim yang membuatnya tampak rupawan.

Selayaknya seorang penggemar yang baik, aku segera melompat memeluknya, menjerit di telinganya, mengunci lehernya di lenganku, dan melonjak-lonjak di atas kakinya. Kulontarkan ucapan gombal betapa aku mencintainya dan menyukai lagu-lagu band-nya.

"Terima kasih," balas Dexter dengan senyum bisnis. Aku sadar benar dia meringis sejak tadi. Aku tahu wajahnya itu diatur, persis seperti Dexter yang asli, untuk melayani kegilaan penggemar. Namun, rasanya aku tidak peduli. Dexter yang ini benar-benar persis dengan yang ada di dunia nyata.

Namun, aku sadar ini mimpi. Dexter bertahan kupeluk karena aku yang menginginkannya. Kalau dia ini asli, pastilah dia sudah ilfeel. Tangannya tidak mendorongku. Kakinya bertahan meski kuinjak-injak.

Malam itu adalah malam terbaik seumur hidupku. Aku mengobrol dengan idolaku semalaman. Dia menyanyikan beberapa lagu Anak-anak Nyasar favoritku. Satu kali, aku memunculkan spidol dari udara kosong, memintanya menandatangani jidatku.

Ketika aku terbangun paginya, aku merasa bahagia. Sayang sekali, tidak ada tanda tangan Dexter di jidatku. Padahal aku agar berharap.

Di sekolah, aku membujuk Idlan untuk menjual lebih banyak tiket Lucid Dream padaku.

"Enggak boleh sering-sering, Del." Idlan menolak. "Barang itu ada efek sampingnya."

"Efek samping?" Aku berdengap. "Menyerang otak? Atau jangan-jangan mimpiku terhubung ke mimpi Dexter asli?"

Mungkin aku kebanyakan membaca fanfiksi Anak-anak Nyasar. Namun, separuh hatiku agak berharap memang demikian. Separuhnya lagi berdoa mati-matian mimpi itu tidak terhubung ke orang aslinya karena aku bakal malu. Aku betul-betul bersikap udik tadi malam.

"Enggaklah, Delilah. Kalau begitu, jatuhnya guna-guna, dong. Kalau bisa begitu, sih, tiketnya bakal dipakai orang-orang tertentu untuk berbuat jahat ke orang yang enggak mereka suka."

Bahuku turun. Sekilas, terpikir di benakku kalau Idlan bisa saja menaruh guna-guna padaku dari dulu, membuatku cinta mati padanya atau apalah.

Atau ... dia bisa saja memakai tiket itu dan memimpikan hal-hal tidak pantas dengan melibatkanku di dalamnya. Setelah menyaksikan sendiri kebenaran mistis di balik barang jualannya, pemikiran itu membuatku merinding.

Kuatur ekspresi wajahku susah payah. "Jadi, efek sampingnya apa?"

"Hal mistis selalu punya konsekuensi," ujarnya. "Kamu mau pakai itu untuk ketemu idolamu, 'kan? Jangan lupa, yang ada di mimpimu itu sosok buatanmu—imajinasimu. Kalau kamu terlalu sering membentuknya, bagaimana kalau dia jadi punya jiwa sungguhan? Atau lebih parah, bagaimana kalau di menyerap jiwamu?"

Kugigiti kuku jari tanganku. Mungkin saja Idlan hanya ingin menakut-nakutiku. Mungkin dia cemburu.

"Ini terakhir kali," bujukku. "Kubeli dengan harga dua kali lipat."

"Tidak boleh, Delilah."

Kukeluarkan kartu as-ku. "Kutraktir ke bioskop. Kita nonton berdua, film apa pun yang mau kamu tonton. Dan makan malamnya kutraktir lagi."

Idlan menegakkan punggungnya. Rahangnya mengencang. Sesaat dia tampak tergoda. Namun, dia meneguhkan diri dan berujar, "Enggak, Delilah. Sudahlah, jangan keterusan halu. Enggak sehat. Idolamu itu jauh. Yang di mimpimu itu enggak nyata. Kamu bisa saja menciptakan sosok yang kamu sempurnakan sendiri, padahal orang aslinya mungkin psikopat. Kamu bayangkan anggota-anggota boyband kesayanganmu itu saling menyayangi dan sayang sama fans-nya, padahal bisa saja mereka aslinya membenci satu sama lain dan menganggap penggemarnya mengganggu. Ketemu dia dalam mimpi itu hanya untuk menghiburmu, bukan untuk membuatmu berharap yang tidak-tidak seperti ini."

Setelahnya, aku mogok bicara dengan Idlan. Ucapannya itu keterlaluan. Aku tahu dia bisa saja benar, tetapi dia tidak perlu menggamparku dengan kenyataan sesadis itu.

Berita kian dekatnya konser Anak-anak Nyasar membuatku patah hati dan aku butuh pelarian. Jadi, kuhabiskan uang tabunganku dan pergi ke toko ayahnya Idlan tanpa sepengetahuannya, lalu memborong tiket Lucid Dream.

Namun, saat bermimpi malam ini, kudapati Dexter mengernyit menatapku, tampak jengkel.

"Kamu lagi," ujarnya. Dia memandang sekelilingnya. "Bagaimana caraku keluar dari sini?"

Aku menelan ludah. Mungkin efek samping itu sungguhan. Mungkin sosok Dexter yang ini betul-betul mengembangkan kesadaran sendiri sekarang. Namun, tidak masalah, selama dia tidak menyedot jiwa lewat ubun-ubunku.

"Aku enggak bisa nonton konsermu," lirihku. Aku duduk lesehan di lantai dan memeluk lutut. "Maaf, aku enggak akan memaksamu. Aku cuma mau menghabiskan waktu dengan idolaku, setidaknya dalam mimpi. Kamu boleh melakukan apa saja di sini, aku enggak akan mengganggumu."

Ekspresi wajahnya melunak, lalu pemuda itu duduk di sisiku. Barangkali alam bawah sadarku memang menginginkan ini. Aku agak merasa bersalah pada Dexter jadi-jadian karena sepertinya aku masih mengendalikannya.

"Kalau begitu, ayo mengobrol saja. Kau bilang namamu kemarin Delilah, 'kan? Kau masih SMA?" tanyanya.

Kami mengobrol tentang sekolahku, keluargaku, dan kehidupanku sebagai penggemar boyband-nya. Kubayangkan sosok Dexter yang asli pasti juga kepingin sekolah, karena profesinya membuatnya tidak bisa sekolah seperti anak biasa. Bayangan itu seperti terefleksikan ke sosok ini karena Dexter jadi-jadian tampak tertarik sekali dengan ceritaku dan sesekali menampilkan wajah sedih sekaligus berharap.

"Teman-temanmu kedengarannya mengasyikkan." Dexter mengangguk-angguk. Saat dia menarik sudut-sudut bibirnya, lekuk pipinya tampak nyaris menyerupai lesung pipit. Rahangnya kokoh dan kulitnya kencang, otot-otot lehernya tampak kuat. Ini satu-satunya perbedaan yang barangkali terbentuk sendiri mengikuti seleraku terhadap anak cowok. Soalnya, Dexter yang asli biasanya tampil lembut dan punya baby face.

"Teman-teman band-mu juga pasti asyik-asyik." Aku menepukkan tangan. "Aku lihat di satu video lucu waktu kalian menjaili satu sama lain—"

Dexter meringis. "Video yang itu? Kami berkelahi setelahnya. Prank itu agak keterlaluan dan kami akhirnya saling menyalahkan. Kami sebetulnya melakukan itu sesuai arahan direktur."

Aku mengerjap. Sepertinya ini gara-gara ucapan Idlan yang mempengaruhiku bahwa personel band favoritku sebetulnya membenci satu sama lain. Aku tertunduk, agak kecewa, "Jadi, kalian sebenarnya enggak seakrab itu, ya?"

Dexter buru-buru mengubah nada suara dan sikapnya. "Oh, kami akrab, kok. Bagaimana pun kami selalu bersama saat ada tour, bekerja di studio .... Hanya saja, pasti ada masalah-masalah internal. Kami kadang bertengkar, berbaikan, lalu bertengkar lagi. Seperti ... yah, seperti kau dan kakakmu."

Sepertinya Dexter yang ini akan mengatakan apa saja yang alam bawah sadarku inginkan.

"Kalau begitu," kusulap udara kosong di depan kami dan memunculkan vokalis lain dari band-nya. Berdiri di hadapan kami, Riftan, Elliot, dan Adler, berkostum necis karena tanpa sadar aku terbayang penampilan mereka di salah satu mv Anak-anak Nyasar. "Karena ini mimpi, katakan apa yang mau kamu katakan. Lampiaskan saja."

Dexter berdengap menatap teman-teman boyband-nya. "Benar tidak apa-apa?"

"Ya. Lihat saja, mereka kayak patung, enggak merespons apa-apa."

Dexter mendadak berdiri dan mengepalkan tangannya, lalu meninju pipi Riftan. Aku mematung menyaksikannya.

"Ini buat komentarmu tentang wajah tanpa make up-ku waktu itu." Dexter menunjuk Riftan yang terduduk dengan pipi lebam. "Aku tahu kau cuma bercanda, tapi persetanlah."

Lalu Dexter menendang Elliot sampai menabrak Adler. "Kalian berdua bersekongkol mengadukanku waktu aku pacaran diam-diam. Sialan. Aku diancam pihak manajemen sampai kami harus putus. Bukan salahku, ya, kalau kalian sendiri enggak laku dan aku lebih tenar."

Karena ketiganya tidak merespons, Dexter mulai menggebuki mereka habis-habisan. Setelah dia selesai membuat ketiganya berdarah-darah, Dexter menoleh padaku dengan mata nyalang dan bertanya, "Kau kecewa? Idolamu sebetulnya seperti ini—tempramental, kasar, dan pernah punya pacar tanpa sepengetahuan kalian."

Aku melonjak berdiri dan menangkup dadaku. "Enggak. Aku suka bad boy. Kayak tokoh cogan di Wattpad favoritku: cowok mafia yang ternyata suka main cewek tapi kemudian terobsesi ke satu cewek—kamu tipeku banget."

Dexter mendadak menyengir dan berderap ke arahku. Tidak ada tanda-tanda Dexter yang lembut dan baby face, atau yang tersenyum manis pada fans-nya. Hanya sosok yang kusempurnakan sesuai tipe cowokku, mengenakan wajah Dexter. Dia lantas meraih bagian belakang kepalaku dan menciumku.

Aku bahagia. Rasanya aku tidak mau bangun lagi.

Di ruangan putih itu, kami menghabiskan waktu bersama. Mengobrol, menggibah, sesekali pakai fitnah. Aku agak melebih-lebihkan saat menceritakan keusilan kakak laki-lakiku, membuatnya terdengar lebih jahat dari yang seharusnya. Tidak masalah, 'kan. Toh saat Dexter menjelek-jelekkan teman-teman artisnya, itu semua pasti tak benar juga. Dia mengatakannya persis seperti harapanku—dia menjelek-jelekkan semua artis yang kubenci, termasuk Merry, vokalis band favoritnya Kak Uzaid yang sempat digosipkan dekat dengan Dexter.

Di akhir mimpi itu, Dexter bersedia membuat konser mini untukku dengan Riftan, Elliot, dan Adler.

Aku suka lucid dream.

Besok malamnya, kami menghabiskan waktu bersama lagi. Dexter menceritakan padaku betapa lega hatinya karena kini dia tidak lagi digerogoti rasa ingin membogem saat melihat wajah teman-teman band-nya.

"Mereka betul-betul tidak tahu aku menghajar mereka habis-habisan dalam mimpi ini." Dexter bercerita dengan semangat. Dalam hati, aku merasa sedih melihatnya mengira bahwa dirinya ini sungguhan. Seolah di luar mimpi ini, dia punya kehidupan nyata bersama teman-teman boyband-nya. "Awalnya aku takut mereka mengalami mimpi yang sama. Ternyata tidak. Saat aku mengarahkan obrolan kami agar membicarakan mimpi apa kami tadi malam, Riftan bilang dia bermimpi membajak sawah. Elliot bermimpi dikejar fans-nya. Dan Adler mimpi jorok."

Saat Dexter memintaku untuk memunculkan teman-teman band-nya lagi, aku terpaksa menolak. Aku tidak mau sosok-sosok itu mengembangkan kesadaran seperti Dexter karena terlalu sering kubentuk.

Namun ... sepertinya oke juga. Kadang aku kepingin punya harem. Lalu, Dexter merangkulkan satu tangannya di bahuku, dan aku pun jadi lupa tadi sedang memikirkan apa. Yah, Dexter saja sudah cukup.

Malam-malam selanjutnya obrolan kami jadi makin intens. Dexter menceritakan tentang keluarganya yang kacau, ayahnya yang pemabuk, dan ibunya yang abusive. Ini persis seperti yang sudah diberitakan dan sudah kuketahui, tetapi rasanya tetap saja berbeda karena aku mendengar langsung nada suaranya, melihat sorot matanya, dan tangannya yang merangkulku mencari sandaran.

Satu kali, Dexter melakukan gestur paling romantis. Dia mengecup punggung tanganku dan berkata, "Aku lelah di dunia nyata. Aku ingin di sini terus, denganmu. Bisakah kamu terus tinggal di sini? Pakai kekuatan tiket Lucid Dream yang kau ceritakan itu agar tidak keluar lagi dari sini?"

Aku membuka mulut, hendak mencari alasan untuk menolak, tetapi sorot matanya yang memelas seolah menghipnotisku. Kudapati diriku balas mengecup punggung tangannya, "Aku akan coba cari cara."

Beberapa hari sebelum konser Anak-anak Nyasar, Idlan mengonfrontasiku. Tentu saja dia akhirnya tahu aku memborong tiket Lucid Dream dari ayahnya.

"Kamu harus berhenti, Del. Kamu kira aku enggak sadar lingkaran gelap di bawah matamu? Warna auramu jadi beda dari biasanya. Sosok itu pasti mempengaruhi energi kehidupanmu!"

Kutunjuk dada seragamnya. "Itu. Bukan. Urusan. Kamu."

Saat pulang ke rumah, aku langsung bersiap untuk tidur siang. Kukecup wajah Dexter di sarung bantalku. Aku tidak lagi betah terjaga di siang hari. Aku tidak puas hanya menemui Dexter tiap malam. Aku ingin menghabiskan waktu dengannya tiap saat.

Namun, saat aku kembali ke ruangan putih itu, ada Idlan di sana. Di mimpiku. Berhadap-hadapan dengan Dexter.

"Apa yang—"

"Aku pakai tiket Lucid Dream sendiri di bawah bantalku." Idlan mengakui. Lalu, dengan lagak segan, dia mengakui, "Pakai fotomu. Jadi mimpi kita terhubung."

Kutuding wajahnya. "Aku tahu dari dulu kamu bakal pakai guna-guna terhadapku."

Idlan tampak tersinggung. "Kalau aku mau, sudah dari dulu kamu kubuat cinta mati padaku! Tapi aku enggak serendah itu!"

"Oh, maksudmu, aku rendahan karena pakai cara mistis untuk menggaet Dexter?!"

"Aku enggak bilang begitu! Kamu tahu maksudku!" Idlan berbalik kembali ke Dexter. "Lihat penampilannya? Wajah pucatnya? Tingkah lakunya? Kamu menyedot jiwanya!"

Kutarik bahu Idlan. "Kamu enggak ada hak mengaturku—"

Idlan menampik tanganku. Tangannya mendorong Dexter menjauh. "Kamu bakal membunuh Delilah pelan-pelan seperti ini! Dia punya keluarga dan teman-teman di dunia nyata! Delilah anak supel, periang, dan punya banyak teman! Agak halu tapi dia sebenarnya anak yang baik! Sekarang, dia jadi menarik diri! Dia tidak pernah menyapa teman-temannya lagi dan terpaku padamu! Bebaskan dia!"

"Idlan—"

Namun, Idlan langsung menarik lenganku dan menyeretku menjauhi Dexter. Aku meronta, berusaha meraih kembali sosok Dexter, tetapi Idlan membawaku menuju sudut ruangan yang tampak bercahaya kemerahan.

Sekilas, kulihat Dexter ikut mengulurkan tangannya ke arahku, sorot matanya tampak terluka. Namun, pada akhirnya dia menurunkan kembali tangannya dan menundukkan pandangan hingga aku tidak bisa melihat ekspresi wajahnya.

Begitu terbangun, wajahku basah oleh air mata. Nenek sedang duduk di sudut ranjangku, memegangi tanganku.

"Delilah?" tanyanya dengan suara cemas. Keriput di wajahnya bertambah. "Mimpi buruk? Kamu kelihatan tidak sehat belakangan ini."

Aku langsung memeluk Nenek dan menangis. Kalimat berhamburan dari mulutku, tentang betapa inginnya aku nonton konser Anak-anak Nyasar, obsesiku pada idola yang bahkan tidak sadar aku hidup, dan Idlan yang begitu jahat memisahkan kami dalam mimpi. Nenek pasti tidak bakal paham apa yang kuocehkan.

"Maafkan Nenek karena membawa uang itu untuk Nenek sendiri, ya," ujar nenekku sambil membelai kepalaku, membuatku merasa bersalah.

"A-aku tidak marah tentang uang itu, Nek. Kami justru senang Nenek yang memakainya."

"Benarkah?" Nenek menampakkan senyum dikulum tanpa giginya, matanya agak berkaca-kaca. "Sebetulnya Nenek sengaja memakai uang itu karena kalian terus memperebutkannya berhari-hari. Jika dipakai kakakmu, kau pasti akan sangat marah padanya. Jika dipakai olehmu, kakakmu yang akan marah padamu. Begitu juga orang tuamu—mereka pasti akan marah pada satu sama lain jika salah satunya mendapatkan uang itu. Nenek lebih senang kalau kalian marah pada Nenek saja, setidaknya kalian tidak akan bertengkar satu sama lain."

Aku menangis makin keras dan mengatakan padanya bahwa kami menyayanginya. Mustahil kami marah padanya.

Nenek memanduku ke kamarnya dan memperlihatkan album foto keluarganya. Dia meraih salah satu foto lawas yang sudah kekuningan dan memudar—foto dirinya dan saudara-saudaranya saat mereka anak-anak. Aku tahu Nenek punya tiga saudara, tetapi ini pertama kalinya aku sadar bahwa dirinya punya dua saudari kembar, lalu ada satu adik laki-laki. Nenek tidak pernah menceritakan tentang keluarganya padaku dan Kakak. Orang tua kami juga entah mengapa tidak pernah mengatakan apa-apa.

"Sudah empat puluh tahun kami tidak bertemu atau saling bicara." Nenek mengakui dengan air mata menggenang di pelupuk. "Kami sebenarnya sangat akur. Tapi, hanya karena masalah sepele—lebih tepatnya pembagian harta warisan orang tua kami—kami mengatakan hal-hal yang menyakiti satu sama lain. Pada akhirnya, tidak ada yang mendapatkan rumah peninggalan orang tua kami. Dan hubungan kami tidak pernah sama lagi. Nenek menyesalinya. Nenek bahkan tidak tahu mereka di mana sekarang dan apakah mereka masih hidup. Kadang, Nenek suka bermimpi bisa bertemu dan bersama lagi dengan mereka. Tapi Nenek sadar, semua itu hanya mimpi. Andai saja saat itu kami lebih menghargai dan menoleransi satu sama lain—kebersamaan itu pasti tidak akan jadi mimpi semata."

Aku menyimak sepenuh hati sementara Nenek menceritakan kisah-kisah lucu tentang saudara-saudaranya saat mereka masih anak-anak. Suaranya dipenuhi kerinduan, jari-jari rentanya meraba penuh damba pada sosok-sosok dalam foto tersebut.

"Nama Nenek tuh, Lala, 'kan?" tanyaku. "Nama adik-adik Nenek siapa?"

Nenek menunjuk dua saudari kembarnya berturut-turut, "Lili, Lulu—"

Aku menunjuk adik laki-laki bungsunya dan menerka, "Lele?"

"Mubarok," ralat Nenek.

Di tengah-tengah obrolan kami, Kak Uzaid muncul di ambang pintu, memberi tahu padaku bahwa ada temanku di teras depan.

Langit sudah oranye saat matahari makin rendah menuju senja. Udaranya panas dan siapapun pasti akan berpikir enam belas kali untuk keluar rumah di saat seperti ini. Namun, Idlan, meski bersimbah keringat sampai wajahnya memerah, berdiri di ambang pagar rumah kami yang terbuka. Kelihatannya dia berlari dari rumahnya ke rumahku.

"Siapa tuh? Pacarmu?" selidik Kak Uzaid. Matanya melirik ke dalam rumah, mendengarkan suara gempuran air dari dalam kamar mandi—kurasa Ayah baru pulang kerja dan langsung membasuh dirinya. "Kalau ketahuan, bisa digeprek Ayah. "

"Ih, bukan!" bisikku kesal seraya mencubit pinggangnya. "Itu cuma teman."

Aku menghampiri Idlan, mengabaikan Kak Uzaid yang masih berdiri di ambang pintu rumah dengan kedua lengannya terlipat di depan dada, mengawasi kami.

"Ngapain kamu—" Ucapanku terputus saat Idlan mengangkat dua lembar tiket di tangannya. Bukan tiket Lucid Dream.

Tiket konser Anak-anak Nyasar.

"Ada seorang ibu-ibu datang ke toko ayahku, mencari jimat yang bisa membuat anaknya diterima masuk perguruan tinggi." Idlan menggoyangkan tiket di tangannya. "Dia lalu curhat pada ibuku tentang anaknya yang membeli tiket ini diam-diam sampai mencuri uangnya. Sebagai gantinya, aku dan ibuku membaca garis tangannya dan memberinya nasihat mendidik anak, dan kuminta tiket ini sebagai bayaran. Kalau kamu mau, kita bisa pergi bersama—"

Aku meluncur dan langsung merengkuh lehernya. Air mataku menggenang.

"Aku pasti kelihatan cuma lagi merayumu buat tiket itu," kataku, "dan aku enggak menyalahkanmu kalau berpikir begitu. Tapi aku—sungguh-sungguh ... minta maaf. Dan makasih. Makasih banyak."

Saat aku menarik diri, Idlan sedang melarikan tatapan matanya ke samping. Wajahnya merah sampai ke telinga. Jakunnya turun-naik menelan ludah. Suaranya kecil sekali dan agak serak saat berkata, "Asalkan kamu janji tidak akan memakai tiket Lucid Dream itu lagi."

"Aku janji." Aku tertawa sambil mengusap air mata.

"Kalau begitu, sampai jumpa besok malam," ujarnya seraya menyerahkan tiket itu ke tanganku. Saat Idlan menegakkan kepalanya, matanya membelalak ke atas puncak kepalaku.

Perlahan, Idlan mengangkat kedua tangannya sejajar kepala, lalu mundur teratur. Kemudian, dia berputar dan lari pontang-panting di pinggir jalan, pulang kembali ke rumahnya. Saat aku aku berbalik dan melihat alasannya melakukan itu, kudapati Kak Uzaid dan Ayah yang masih berhanduk di pinggang, menatap punggung Idlan seperti siap menggepreknya.

***

Susah sekali meyakinkan Ayah dan Kak Uzaid untuk mengizinkanku pergi ke konser, terutama setelah drama pelukan sore itu. Namun, akhirnya aku bisa pergi setelah meyakinkan mereka kalau Cantika juga akan ikut. Kuperlihatkan bukti chat kami, dan foto Cantika sedang memegangi tiket konser Anak-anak Nyasar.

Kumasukkan semua tiket Lucid Dream yang tersisa ke dalam tas untuk dikembalikan ke Idlan nanti. Siapa tahu bisa di-refund.

Aku baru akan mengancingkan tasku saat Kak Uzaid tiba-tiba menyelipkan beberapa lembar uang ke tanganku.

"Buat kalian jajan," ujarnya. Saat aku menghitungnya, jumlahnya sama dengan uang jajan yang kusisihkan tahun lalu untuk budget liburan kami—yang dipakai untuk menemui pacarnya. Tidak mungkin kebetulan.

Aku menyengir dan mengucapkan makasih sambil mencubiti pinggangnya, yang dibalasnya dengan wajah jijik dibuat-buat.

Malam itu, jiwa penggemarku menggila. Cantika dan aku ikut menyanyi sepanjang semua lagu, lalu menjerit sejadinya tiap lima menit. Idlan di sampingku sepertinya akan pingsan ditekan energi barbar dan aura warna-warni para penggemar.

Di akhir konser sebelum lagu penutup dibawakan, Anak-anak Nyasar membawakan sebuah lagu baru yang mereka bawakan perdana. Lagu itu baru ditulis oleh ditulis oleh Dexter, ungkap mereka.

Lagu itu dibawakan secara akustik. Di tengah lagu, aku sadar liriknya terasa begitu personal. Tentang seseorang yang merasa lelah dengan hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya, hampir menyerah, lalu bangkit lagi karena pertemuannya dengan sosok misterius dalam mimpinya. Bridge terakhir lagunya memiliki lirik berbeda, di mana sosok misterius dalam mimpi itu menghilang dan dia harus merelakannya untuk kembali ke hubungan yang melelahkan. Melelahkan namun nyata.

Judul lagu itu Lucid Dream meski tidak ada frasa tersebut dalam liriknya.

Mungkinkah ....

Ah, tidak mungkin.

Saat lagu terakhir dibawakan, aku bertanya pada Idlan, yang kelihatannya sudah jenuh. "Tiket Lucid Dream bisa di-refund?"

"Enggak." Idlan mengangkat bahunya. "Lagipula, ayahku berhenti menjual itu. DC—Dukun Corporation—mendapat beberapa keluhan perihal tiket itu. Efek sampingnya terlalu besar. Dan ada beberapa laporan penyalahgunaan."

"Hah?"

"Seperti saat aku menghubungkan mimpi kita dengan menaruh fotomu di bawah bantal bersama tiket. Ada yang menyalahgunakan tiket itu dengan cara yang sama. Dia menyimpan foto orang yang dibencinya di bawah bantal, lalu menyiksa orang dalam foto itu dalam mimpinya. Orang yang disiksa itu bukan sosok buatan alam bawah sadarnya, melainkan orang yang bersangkutan. Orang yang disiksanya melihat mimpi yang sama dan jadi gila. Tiketnya berhenti diproduksi."

Hmm. Foto, ya. Sudah kuduga mustahil Dexter melihat mimpi yang sama. Aku, 'kan, tidak menyimpan fotonya di bantalku saat melakukan Lucid Dream.

Kukeluarkan semua tiket Lucid Dream yang tersisa saat konser selesai, lalu merobeknya jadi kecil-kecil, membiarkannya terbang diterpa pendingin udara stadium dan arus orang-orang yang akan pulang.

Saat itulah, di antara carikan tiket Lucid Dream di udara, mataku bertemu dengan mata Dexter. Dia sudah setengah jalan untuk turun panggung, tetapi kini tampak terpaku, bibirnya menggumamkan sesuatu, yang kelihatannya seperti namaku. Namun, itu mustahil.

Pasti dia sedang melihat seseorang yang lain. Barangkali cewek seksi yang sedang selfie di belakangku. Atau saking lelahnya, dia sedang pingsan dalam keadaan berdiri, dengan mata terbuka.

Namun, dengan kehaluan tingkat tinggi dan kepedean luar biasa, kuanggap dia sedang menatapku. Kuberikan dia kecupan jarak jauh. Mungkin ini bayanganku saja, tetapi dia seperti hendak mengulurkan tangan meraihku, bibirnya sekali lagi bergerak berucap, "Delilah."

Kemudian aku berbalik, menyusul Idlan dan Cantika, tak pernah menoleh lagi.

LUCID DREAM kalo di pecah per hurufnya jadi:

Lala, Lili, Lulu, Mubarok
Uzaid
Cantika
Idlan
Delilah

Dexter
Riftan
Elliot
Adler
Merry

Bonus:

Next>>> 3 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro