12 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 12 || 2900 words ||

| Pilih salah satu fabel di Indonesia. Recreate dengan latar waktu tahun 2075 |

| Modern Fable, Dystopia |
|| Misi untuk Kucing ||

Januari, tahun 2075, Kerajaan Rimba kembali mengirimkan para agen penyusup ke Belantara Manusia—sepasang kucing, selusin burung berkik dan burung potoo, tiga ekor bunglon, tiga tupai, sekawanan lebah, dan seekor jaguar. Objektif penyusupan tahun ini: cari informasi perihal bangkitnya para manusia berprofesi pemburu dan gagalkan proyek mereka.

"Akhirnya kita dikirim juga tahun ini," bisik Leon, si kucing jantan putih belang cokelat. "Barangkali ini akan mengakhiri persekusi kaum kucing."

"Jangan naif, Leon," tukas Laura, kucing betina putih yang menjadi partnernya. "Kaum kita dipersekusi karena dulunya kita sekutu manusia. Satu-satunya alasan kita dikirim dalam misi tahun ini adalah misi bunuh diri—Raja Rimba butuh sepasang kucing untuk jadi umpan untuk ditumbalkan demi keberlangsungan misi ini."

"Kau harus lebih optimis seperti ibumu, Laura."

"Ibuku masuk RSJ, Leon."

"Karena tak seorang pun mempercayainya. Tapi aku percaya." Leon mengangkat dagunya percaya diri. Ekornya bergoyang kanan-kiri. "Ibumu memang pendongeng andal—setiap kisah yang keluar dari mulutnya adalah kebohongan yang dibuat untuk menghibur. Tapi menurutku, pasti ada kebenaran di dalamnya."

"Ibuku menyebar kebohongan bahwa umat manusia itu dulunya budak kucing. Kau kira ada kebenaran di dalam semua kalimat konyol itu?" Laura mementung kepala Leon dengan cakar depannya. "Mimpilah terus!"

"Tapi ada satu kisahnya yang menurutku benar!" Leon menyergah. "Kisah tentang leluhur kita yang mengalahkan Raja Rimba paling pertama. Leluhur kita kala itu menantang Raja Rimba I bahwa dia mampu mengecoh anjing-anjing pembelot yang berpihak ke manusia. Raja Rimba I menertawakannya dan berkata bahwa dia akan makan kotoran si leluhur kalau benar berhasil. Dan dia berhasil mengecoh anjing dan manusia untuk saling bunuh! Tapi, leluhur kita itu takut kalau hari itu Raja Rimba I makan kotorannya, mungkin esoknya si raja akan memakan ekornya, lalu esoknya lagi kakinya, kemudian badan dan kepalanya. Itu masuk akal. Kau tidak bisa memberi seekor singa satu pun bagian tubuhmu—mereka akan minta tambah. Maka, sejak itulah kita para kucing selalu mengubur kotoran kita di pasir untuk meneladani nenek moyang yang takut kotorannya dimakan singa."

"Cerita tolol." Laura mendesis, meski dirinya sendiri cukup bangga dan percaya dengan cerita ibunya yang satu itu.

"Hei. Buktinya, Raja Rimba sekian generasi selalu dendam pada kita—aku yakin itu juga salah satu alasan mereka mempersekusi kita."

"Leon, diamlah. Sebentar lagi giliran kita menghadap Raja Rimba."

Begitu tiba giliran Leon dan Laura menghadap Raja, Damnatio sang Singa segera saja mengeluarkan ejek-ejekan seperti yang selalu dilakukan pendahulunya.

"Apa kalian berdua sudah cukup umur untuk misi ini? Ah, aku lupa kalian para kucing memang sekecil ini!"

"Leon—sungguh berani atau mungkin dungu ayahmu itu, memberikan nama seekor singa kepada kucing kecil sepertimu."

"Laura—ah, kucing manis, andai kau bukan kucing, kau bisa jadi selirku yang ke-7. Apa kabar ibumu yang gila itu?"

"Apakah kalian ini saudara atau sepasang kekasih? Oh, tunggu, apa bedanya? Ha-ha. Leon, kudengar, ayahmu adalah kakakmu sendiri, ya?"

Laura, yang tak tahan lagi dengan berbagai penghinaan itu, mengangkat kepalanya dan menatap langsung kepada sang Raja.

"Yang Mulia Raja Rimba, mohon izin bicara—"

"Oh, si kucing kecil bisa bicara!" gelegar sang singa, membuat tawa khalayak pecah. "Ya, ya, kucing kecil. Silakan bicara!"

"Ibu saya dikirim dalam ekspedisi ke Belantara Manusia lima tahun silam, namun tak pernah menerima kompensasi yang layak atas pencapaiannya—ibu saya yang membawakan informasi berharga tentang keberadaan sekelompok manusia yang memihak kita, para hewan! Namun, saat itu ucapannya dianggap dongeng belaka hanya karena profesinya yang seorang pendongeng! Saat ekspedisi berikutnya membawa konfirmasi atas informasi itu, ibu saya masih tak mendapat kompensasi maupun pernyataan maaf dari kerajaan! Malah, ibu saya berakhir di rumah sakit jiwa hanya karena membawa kisah tentang silsilah manusia yang pernah jadi budak para kucing!"

Raja Rimba menggerung angkuh. "Kalau ibumu mau dipercaya, harusnya dia jangan menjadi pendongeng!"

"Kalau kerajaan ingin menerima informasi yang bisa mereka percaya, harusnya mereka tidak mengirim seorang pendongeng!" balas Laura, membuat khalayak berdengap—sependapat tetapi takut menyatakannya. "Maka dari itu, saya ingin Anda bersumpah atas nama leluhur Anda—jika kami bisa menyelesaikan misi ini, pulihkan nama baik ibu saya dan berikan semua kompensasi yang layak didapatkannya!"

"Oh, aku bersumpah." Raja Damnatio melambaikan cakarnya dengan sikap menyepelekan. "Malah, jika kalian bisa pulang hidup-hidup, aku bersedia makan kotoran kalian berdua!"

Diiringi tawa khalayak yang menghadiri upacara pelepasan prajurit penyusup, mereka berderap meninggalkan Kerajaan Rimba yang makmur, menuju Belantara Manusia yang penuh limbah.

***

"Hei, ini tidak terlalu buruk!" Leon mulai mengoceh begitu para prajurit berpencar ke pos masing-masing. "Saat melihat peta yang dirancang para kera, kukira wilayah ini gersang dan seram. Tapi ada hutan lebat seperti ini juga rupanya. Yah, memang banyak sampai, dan ada puing-puing bekas peradaban juga, tapi tetap saja ini hutan hijau. Kurasa, aku mendengar suara aliran sungai di kejauhan di sana."

Laura terus melirik kanan-kiri dengan kalut. "Sungai berarti berita buruk, Leon. Kenapa kau senang?"

Leon mengerjap. "Oh, betul juga. Kita, 'kan, takut air."

"Terus waspada. Kita ini hanya dua kucing kecil di wilayah para predator yang keji, kotor, tak beradab, pemakan daging, dan evolusinya mundur. Kita juga tak tahu apakah masih ada hewan-hewan pembelot yang mereka gunakan—"

Laura terdiam. Keduanya sontak terhenti di bawah naungan semak liar. Tak jauh dari mereka adalah sebuah glade yang disiram cahaya matahari. Tampak seorang manusia duduk di atas batu besar. Si manusia tengah mengunyah suatu daging setengah gosong yang ditusuk tombak dengan rakus. Di sisinya, anjing cokelat ceking dan kotor tengah mengoyak daging gosong lainnya di tanah.

Dari atas pohon tempat kamuflasenya, seekor burung berkik turun ke bawah semak, menghampiri Laura dan Leon.

"K-kalian lihat itu?" desis Diana si burung berkik, salah satu anggota penyusup Rimba yang dikirim bersama mereka.

"Ya, mereka kembali memberdayakan anjing untuk jadi pemburu." Laura berbisik gelisah. "Bukankah sedekade lalu Kerajaan sudah menyelamatkan semua anjing yang terjebak di Belantara Manusia dan memberi mereka grasi?"

"Grasi itu tidak pernah ada." Diana mengakui. "Para anjing itu dijadikan budak bangsawan yang bekerja untuk raja. Tiap tahun, selalu ada anjing-anjing yang melarikan diri. Kurasa, ke sinilah mereka kabur—berpihak ke manusia. Lagi."

"Aku membenci pembelot, tapi aku lebih jijik pada Raja yang membuat mereka membelot. Iya, 'kan Leo—hei, Leon!" Laura mendesis jengkel saat mendapati partnernya tengah terdistraksi oleh daun-daun semak. Si kucing jantan tengah meraih-raih dedaunan yang tumbuh liar dengan cakar depannya. "Leon, fokus! Diana, omong-omong, mana partnermu?"

Dengan sayapnya yang gemetar, Diana menunjuk ke tengaah bukaan hutan. Laura membelalak saat menyadari daging apa yang tengah disantap si manusia dan anjing pemburunya.

"Selain tombak itu, dia juga punya senapan." Diana berdengut-dengut gugup. "A-aku akan pergi ke pos selanjutnya untuk menemui yang lain dan membuat laporan—"

"Tunggu!" Laura mencegat si unggas sebelum ia mengembangkan sayap. "Salah satu tugas kita adalah membawa bukti. Kita harus bawa pulang bangkai si anjing itu—dia pasti sudah sekarat. Kita juga harus bawa kepala si manusia, juga senjata mereka kalau bisa!"

"Dan untuk melakukan itu, kita butuh Shadow," decit Diana, yang segera saja terbang untuk menemui sang jaguar.

"Pengecut," decak Laura. "Leon, sekarang tinggal kau dan aku. Ayo kita berburu manusia dan anjing."

***

Laura dan Leon mengintai dari arah berlawanan. Perlahan namun pasti, mereka mendekat, dan terus mendekat, sampai keduanya masuk ke jarak penciuman si anjing.

Anjing itu menegakkan badannya, lalu menggonggong ke dua arah berbeda. Sesuai rencana, Leon segera berindah ke semak lain sementara Laura menyelinap ke belakang batu.

Anjing itu menggonggong berputar-putar. Ia baru akan menoleh pada si manusia untuk memberi tahu tentang dua penyusup di dekat mereka, ketika si manusia melemparkan tombaknya sampai menancap tembus badan si anjing.

"Berisik," gerung si manusia. "Kebetulan aku masih lapar dan burung yang tadi itu terlalu kurus."

Si manusia berdiri untuk menghampiri si anjing yang terengah-engah sekarat, kemudian membeku ketika Leon menyeruak keluar dari tempat persembunyiannya. Ketika manusia itu berderap melangkahi si anjing untuk mengejar Leon, Laura melompat keluar dari balik batu dan menarik senapan yang sejak tadi teronggok di sana.

"Bantu aku," desis Laura seraya menaikkan senapan ke atas tubuh si anjing yang sekarat. "Aku janji pengorbananmu takkan sia-sia. Jika kau yang menarik pelatuknya, ini bisa jadi bukti kerja sama kaum anjing dan menarik simpatisan untuk membebaskan kaummu dari perbudakan di Kerjaan Rimba."

Anjing itu mendengking, lalu menggerakkan moncong kurusnya, berusaha menggigit pelatuk senjata yang diarahkan oleh Laura. Tepat saat si pemburu berbalik, tembakan di lepaskan. Si manusia tumbang, tewas tertembak senjatanya sendiri.

"Kerja bagus. Siapa namamu, pahlawan?"

Anjing itu mengeluarkan suara lenguhan sekarat terakhir tanpa sempat menyebutkan namanya.

"Laura!" Shadow berlari dari arah hutan yang lebih gelap, diiringi Diana dan beberapa ekor burung potoo. "Tembakan apa itu tadi? Kau dan Leon terluka!"

"Kami berhasil mengamankan barang bukti!" Aku melambai kepada mereka. "Seekor anjing membantuku! Kita harus bawa jenazahnya agar Kerajaan bisa mengidentifikasi pahlawan ini dan mengembalikannya ke keluarganya!"

"Laura!" Terdengar pekikan Leon yang jeri sisi lain hutan yang jauh lebih gelap dan rapat. Segera saja Laura merasa ngeri akan kecerobohan mereka. Suara gonggongan si anjing dan tembakan barusan pasti menarik perhatian kawanan manusia lainnya yang juga berada di dekat sini.

Laura menoleh pada Shadow yang masih melompat semak dan bebatuan. "Leon dalam bahaya! Kupercayakan barang bukti ini pada kalian!"

"Laura, tunggu, sebaiknya jangan gegabah!" Shadow berderap lebih cepat untuk menghentikannya, terapi Laura kepalang berlari ke arah suara Leon untuk menyelamatkan temannya.

Namun, segera saja Laura menyesali keputusan itu. Dilihatnya Leon terperangkap dalam kurungan kecil berjeruji, dikelilingi lima ekor manusia yang menjulang dengan senjata-senjata mereka. Shadow mungkin punya kesempatan, tetapi apa yang bisa dilakukan dua ekor kucing melawan mereka semua?

Selama beberapa saat, Laura berlari dan meloncat ke sana kemari, berusaha menghindar saat para manusia bengis mencoba menangkapnya. Kucing betina itu mencoba memanjat pohon, tetapi salah satu manusia meraih senjatanya dan menembak.

Sesuatu menancap di sisi tubuh Laura, dan kucing betina itu jatuh ke tangan sang penembak.

***

Laura terbangun di atas bantal tua berdebu yang anehnya nyaman dan empuk. Saat dia bangkit dan menggeleng-gelengkan kepalanya untuk menyadarkan diri, dilihatnya Leon sedang mendesis dengan bulu-bulu terangkat ke arah seorang pemuda.

"Kau!" Laura menuding si pemuda, yang langsung menoleh saat mendengarnya. "Kau yang menembakku!"

Saat itulah Leon melompat dan mendaratkan tiga cakaran brutal ke pipi si pemuda. Leon melompat kembali ke meja dan bersiap untuk serangan susulan.

"Bagus, Laura! Alihkan terus perhatiannya!"

"Tunggu! Tunggu! Aku tidak berniat menyakiti kalian!" Si pemuda mengangkat kedua tangannya. "Lagi pula, yang kutembakkan itu hanya bius. Itu hanya membuatmu tidur. Aku minta maaf sudah menakut-nakuti kalian, tapi dengarkan aku dulu! Aku di sini untuk rencana gencatan senjata—"

"Tampolan maut!" Leon mencakar lagi, lalu mundur kembali ke meja. Pantatnya bergoyang untuk ancang-ancang serangan selanjutnya.

"Leon, sebentar!" Laura mengangkat salah satu cakar depannya, lalu menoleh pada si pemuda. "Lanjutkan, manusia."

"Sudah sepuluh tahun aku membantu beberapa penyusup dari kerajaan kalian." Pemuda itu menjelaskan, lalu mengeluarkan beberapa gulungan peta yang Laura kenal jelas. "Ini pemetaan wilayah ini. Draft pertamanya. Aku pernah memberikan ini pada beberapa agen kalian bertahun silam. Para kera itu melengkapi beberapa wilayah yang tidak bisa kueksplor sendirian."

"Kenapa kau membantu kami?" Laura bertanya seraya kembali duduk miring di atas bantalnya yang nyaman.

"Karena, percaya atau tidak, di antara para manusia masih ada pencinta hewan. Aku salah satunya. Tidak dapat dipungkiri juga, umat manusia tidak bisa bertahan hidup tanpa hewan. Aku, dan beberapa manusia lainnya, ingin kita hidup berdampingan lagi seperti dahulu."

"Dan kenapa kami mesti memercayai primata pemakan daging barbar tak beradab sepertimu?"

Leon melompat ke atas kepala si pemuda, lalu menggigiti ubun-ubunnya. "Betul itu! Kau cuma butuh daging kami!"

"Aku vegetarian." Pemuda itu mencubit Leon di tengkuk, lalu memaksanya turun kembali ke meja. "Aku tidak makan daging. Yang kukonsumsi dari kaum kalian paling-paling adalah susu, telur, atau madu."

"Hah! Memang itu lebih baik?" Leon menggerung. "Coba kugigiti puting susumu dan kusedot semua darahmu dari sana! Kumakan embrio bayimu dan kuambil bahan pangan yang susah payah kau kumpulkan di sarangmu!"

Leon mencoba menggigiti tangan si pemuda, tetapi manusia itu berkilah dan mengalihkan tangannya ke leher Leon. Saat jari-jarinya menggelitik dagu si kucing, Leon menurunkan cakarnya dan secara refleks menyundulkan kepala ke tangan si pemuda.

"Biarkan aku mengambil alih dari sini," ujar sebuah suara. "Laura, lama tidak bertemu."

Laura dan Leon terpana saat menyaksikan seekor kucing baru melenggang keluar dari sebuah dus di sisi meja. Kucing itu memiliki bulu seputih salju mirip Laura.

"A-anda, 'kan, ayahnya Laura yang hilang dalam ekspedisi 7 tahun lalu." Leon tergagap. "Salah satu anggota harem yang dimiliki ibunya Laura."

"Yah ... sebetulnya aku juga merangkap sebagai kakeknya Laura."

"Oh, reuni keluarga ..." desah si pemuda, lalu dia mengerjap. "Tunggu, bagaimana caranya kau jadi ayah sekaligus kakek dari si putih ini—"

"Jadi begini," ujar si kucing tua. Dia menepuk-nepukkan cakar depannya ke lengan si pemuda. "Pada ekspedisi 7 tahun lalu, Raja Rimba tahu betul kucing tua penyakitan sepertiku takkan selamat, tapi dia tetap mengirimku. Dia ingin menghabisi para kucing di kerajaan. Aku pasti sudah mati andai Gunther muda ini tidak menyelamatkanku."

Si pemuda mengangkat jari telunjuknya. "Sebetulnya, namaku Gerald."

"Menurutku, Gunther lebih cocok," tukas si kucing tua, lalu dia kembali melanjutkan. "Gunther dan teman-temannya merawatku. Mereka bahkan memberi penanganan pada partnerku yang diabetes—sayang sekali dia tak ada di sini sekarang karena pada akhirnya partnerku yang malang tidak bisa menang melawan penyakitnya. Tapi, di sinilah aku, sehat, berkat pada manusia ini. Mereka juga menyembunyikanku dari manusia lain yang tak beradab. Apa yang tidak bisa kita dapatkan dari raja kita sendiri, para manusia ini bersedia memberikannya pada kita."

"Tapi, Ayah—" Laura berhenti sebentar. "Aku harus memanggilmu Ayah atau Kakek?"

"Aku bisa jadi suamimu—"

"Fel," ujar si pemuda seraya mengusap kepala si kucing tua. "Aku sudah memotong bolamu, ingat? Kau tidak bisa kawin lagi."

Fel si kucing tua mendengkus. "Panggil aku Tuan Fel, kalau begitu."

"Fel," lanjut Laura. "Meski kita bisa memercayai segelintir manusia, kita tidak bisa memercayai mereka semua. Kita mungkin akan diburu lagi seperti dulu."

"Kita juga tak bisa memercayai semua hewan." Fel mengangkat dagunya, memperlihatkan sepetak lahan botak di sana. "Lihat ini? Ini luka yang diberikan seekor koyote yang ada di misi yang sama denganku. Raja menyuruhnya menghabisiku diam-diam. Kaum koyote yang sesama hewan saja memakan kaum kita, Laura. Undang-undang perlindungan spesies dari kerjaan hanya berlaku pada segelintirnya saja. Bangsa kucing yang selalu dipersekusi takkan dipedulikan meski kau membawa kasus ini ke pengadilan raja."

"Leon, menurutmu bagaimana—" Namun, Laura batal bertanya pada partnernya saat melihat Leon tengah disibukkan daun catnip yang dimainkan Gerald/Gunther. Laura mendengkus dan kembali memandang Fel. "Apa rencana kalian?"

"Para manusia ini akan membantu kita menggulingkan para singa yang telah mendominasi tahta sekian generasi itu. Sebagai gantinya, kita akan membuat gencatan senjata dengan umat manusia."

Gerald/Gunther menimpali, "Tentu keadaan takkan langsung berubah total hanya karena kepemimpinan kalian berganti, tapi itu bisa jadi permulaan. Kita awali dengan pertukaran—misal, produk yang kalian hasilkan akan kami bayar dengan harga tertentu."

Leon menginjak daun catnipnya dan mendesis marah. "Aku takkan memberikan telur-telurku pada manusia, tak peduli dibayar semahal apa pun!"

"Leon, Nak, kita tidak bertelur," koreksi Fel. "Pikirkan, Laura. Aku jamin kau juga tidak akan bisa pulang sekarang. Kawanan ekspedisimu sudah berderap pergi ke perbatasan dan pulang ke kerajaan kalian. Mereka tak menunggu kalian sama sekali. Meski mereka memperlakukanmu dan Leon dengan baik, kalian tetap kucing—bagi mereka, kalian tetap kaum kelas dua yang mengalami persekusi."

"Yah, si jaguar itu sempat mencari-cari kalian untuk beberapa jam," kata Gerald/Gunther. "Tapi dia harus menarik pasukannya mundur karena sekawanan manusia mulai memburu mereka. Lagi pula, mereka membawa karung berisi bangkai anjing dan kepala manusia serta satu senapan—mereka harus bergerak cepat."

Laura mengembuskan napas lega. "Jadi, mereka sudah kembali dengan selamat?"

"Dari yang kulihat di kamera pengintaiku, sih, begitu. Bahkan si jaguar itu segera meminta pertemuan dengan raja untuk membahas sesuatu ... tentang membuat nisan untukmu dan Leon, juga sesuatu mengenai kompensasi untuk ibumu?"

"Kamera pengintai," kata Fel lagi. "Si manusia cerdik ini memata-matai kita dari lama. Kalau mereka ingin menyerbut dan melukai kita, mereka sudah melakukannya sejak lama. Tapi Gunther memilih pendekatan lain untuk gencatan senjata. Nah, ini bukti kaum manusia tidak seratus persen umat jahiliyah yang memukuli kepala satu sama lain pakai galah kayu."

"Baiklah," kata Laura, membuat Leon menegakkan dirinya tak percaya. "Percayalah, Leon, kita lebih aman di sini. Kalau kita pulang, Raja Rimba harus makan kotoran kita. Kau yang bilang, kita tidak bisa memberikan sedikit bagian tubuh kita ke singa—mereka akan minta lebih."

"Manusia juga sama!" Leon menukas. "Mereka juga serakah! Hari ini kita beri mereka telur-telur dan susu, besok mereka akan minta iga dan paha kita!"

"Aku malu mengatakan ini, tetapi kau benar, kucing kecil." Gerald/Gunther mendekati Laura, mengulurkan tangannya, dan membiarkan si kucing betina mengendus buku-buku jarinya sebagai perkenalan. "Beberapa manusia memang serakah. Mungkin aku termasuk salah satunya. Tapi aku janji, kita akan sama-sama mencoba mencapai kesepakatan yang tidak merugikan kedua belah pihak."

Laura membiarkan Gerald/Gunther mengelus kepalanya, membuat pemuda itu melonjak-lonjak sendiri. "Bulumu lebih lembut dari si Tua Fel. Kau juga ratusan kali lebih menggemaskan darinya."

"Jangan sampai aku pecah kongsi denganmu, Anak Muda." Fel menggerutu sebelum berelnggok kembali ke dalam dusnya.

Laura mengeong puas saat si pemuda memberinya sebungkus makanan benyek mirip kotoran tapi baunya sedap. Gerald/Gunther bilang, itu makanan basah untuk kucing.

"Oke, Gilbert, kau memenangkanku." Laura berputar di sekitar tangan si manusia.

"Eh, namaku Gerald—"

"Gilbert lebih cocok." Laura melompat kembali ke atas bantalnya. "Bisa kau ambilkan catnip lain buatku?"

"Meonganmu adalah perintah bagiku."

"Laura! Kita tidak bisa—" Ucapan Leon terputus saat Gerald/Gunther/Gilbert mengambilkannya bantal lain yang senada dengan bulunya. "Baiklah, Gibran, kurasa tak masalah kalau kami menginap beberapa hari di sini."

Dongeng lama sang ibu mengiang di sudut benak Laura sementara si pemuda tampak gembira memangkunya dan menggelitik puncak kepalanya dengan sayang.

Oh, Ibu, lihatlah aku, pikir Laura sambil menyundul sayang lengan teman manusia barunya, aku menemukan budakku.

Yos, baru kali ini saya bikin fabel, ternyata asyik, tapi semoga saya tidak menyeberang ke dunia furry '-')9

Anyway, cerita ini berdasarkan fabel berjudul "Kecerdikan Kucing" yang saya temukan di buku "Kumpulan Fabel Nusantara Favorit", pinjem di ipusnas.

Mau tau cerita aslinya gimana? Hayuk baca! (Bukan sponsor)

Next>>> 13 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro