13 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 13 || 2028 words ||

| Buat cerita yang diawali dengan kalimat terakhir cerita kalian di hari ke-6 |

| Iridescent - Cerita Lepas |
|| MAAP GA SEMPAT MIKIR JUDUL ||

"Pemandangan terakhirku adalah seekor ikan buntal yang membengkak dan spons kuning di balik roda setir. Tamat!" Olive tersenyum lebar dari balik ponselnya usai membacakan cerita favoritnya di suatu lapak kepenulisan online. "Gimana, Grey? Asyik, 'kan?"

Wajahnya penuh antisipasi untuk reaksiku. Antusiasmenya membuatku pening. Mesti bagaimana aku memberitahunya bahwa cerita yang barusan itu payah luar biasa?

Pertama dia keranjingan cerita fanfiksi idol Korea, lalu satu kali aku memergokinya membaca cerita romansa picisan seorang CEO yang mengejar-ngejar asistennya, sekarang dia memamerkan cerita humor murahan bertema isekai dengan latar Bikini Bottom yang ditulis satu lagi orang tidak jelas di internet. Pacarku gini amat.

"Begini, Olive ...."—Perhalus kata-katamu, Grey, kuperingatkan diriku sendiri dalam hati. Terakhir kali kami bertengkar, aku membuatnya menangis karena salah bicara. "Menurutku, cerita barusan itu ... em, bagaimana, ya ... yah, agak—"

"Absurd."

"Betul." Aku mengangguk spontan. Lalu, dengan kaget aku menoleh, mendapati Wilis tengah berdiri di belakangku sambil merengkuh bola basket.

"Enggak jelas." Wilis mencecar lagi. "Apaan tuh, isekai ke Bikini Bottom? Enggak ada tempat lain? Isekai itu ke dunia sihir, jadi ksatria, membunuh monster naga, menyelamatkan pemeran utama cewek lalu memacarinya sambil diam-diam mesra sama teman seperjalanannya—"

"Itu kesukaanmu!" Olive mendadak berdiri gusar menatap kakaknya. "Tidak semua orang suka bacaan brutal dengan MC fakboi berkekuatan tidak realistis dan dikelilingi cewek-cewek picak yang entah bagaimana ceritanya bisa tertarik sama dia!"

"Eh! Jangan menghina bacaan kesukaan orang lain—"

"Duh! Lihat siapa yang bicara!"

"Hei ...." Aku berusaha menengahi pelan-pelan. "Sudah, sudah—"

"Kau tadi bilang betul, Grey." Wilis menyambar. "Kau setuju denganku. Tidak usah bohong demi kasih adikku kepuasaan sesaat. Cewek halu butuh ditampar ke dunia nyata sekali-sekali."

"Sekali lagi, lihat siapa yang bicara." Olive mulai melangkah maju. "Cowok halu yang pernah naksir hantu dan sampai sekarang masih menyangka bisa menikahi waifu 2D."

"Olive," kataku memperingatkannya sembari menahan dada Wilis yang sepertinya benar-benar marah—adiknya telah menyinggung topik sensitif di antara mereka. Yah, di antara kami. Karena aku sendiri bukannya tak memahami bagaimana rasanya pernah naksir cewek yang sudah mati, tetapi Olive belum tahu masalah itu.

"Kenapa kau memihak Wilis terus?" Olive menekan bibirnya jadi garis lurus. Alisnya mengerut dalam. "Kau tidak menegurnya seperti ini saat dia bicara seperti tadi padaku, Grey."

"Persahabatan cowok itu lebih erat." Wilis mencerocos meski aku sudah mendorongnya untuk mundur. "Beda sama kalian para cewek. Sahabatmu saja membuangmu hanya karena mantan pacarnya naksir padamu, 'kan?"

Untuk yang ini, perlu kuakui Wilis yang keterlaluan. Aku sudah menyiapkan diri untuk yang terburuk—Olive tersedu-sedu dan barang kali melempari kami pakai bantal sofa yang sedang didudukinya. Keributannya bisa menarik perhatian ibu mereka yang sedang nonton sineton azab di lantai atas.

Namun, Olive tidak melakukan itu semua. Matanya merah dan lehernya kencang menahan tangis, tetapi justru ekspresi wajah macam inilah yang membuatku paling takut. Yang kali ini sungguhan, bukan tangisan yang biasanya begitu gampang keluar darinya.

Gadis berderap menaiki tangga, meninggalkanku dan Wilis yang membeku. Setelah Olive lenyap dari pandangan, Wilis dan aku mulai saling sikut.

"Kenapa tidak kau kejar? Kau pacarnya."

"Kau kakaknya," desisku. "Lagi pula yang barusan itu salahmu—kata-katamu keterlaluan."

"Kau tidak menghentikanku!"

"Sekarang bagaimana?"

Kami memandangi tangga seperti sepasang idiot, seolah menunggu Olive muncul dan bergulng turun dari atas sana. Sepertinya Olive mengurung diri di kamarnya.

"Biarkan dia dulu, deh." Wilis meraih bola basket di belakang pintu. "Paling-paling nanti sore pas Ayah pulang bawa camilan, mood-nya bakal baik lagi."

***

Mood-nya tidak kunjung membaik.

Saat aku dan Wilis main basket di halaman belakang rumahnya, aku tidak bisa konsentrasi. Biasanya Olive menonton kami, bersorak buatku, memfotoku dari berbagai sudut, menambah rasa percaya diriku sampai aku bisa mengganyang Wilis.

Aku terus-terusan kepikiran raut wajahnya tadi, alhasil bola basket terus-terusan memantul ke daguku karena dribble-ku lepas.

Kenapa tadi aku tidak membelanya? Maksudku, kata-katanya tadi memang menyebalkan, dan sejujurkan aku ikut tersentil meski yang dia maksud itu Wilis. Itu bukan salahnya.

Mulut Wilis juga tidak punya rem. Seharusnya aku menepuk wajah temanku itu. Atau, lebih baik lagi, sebelum dia masuk ke obrolan, mestinya aku bisa tegas.

Tegas ...? Terakhir kali aku bermaksud tegas, Olive marah besar. Saat itu dia meminta pendapatku tentang baju barunya, yang menurutku membuat dia mirip ibunya saat berdaster. Kalau dia meminta pendapatku, bukankah seharusnya dia menerima saja apa yang keluar dari mulutku asalkan itu jujur? Kenapa dia harus kesal? Dia sendiri—

Olive sendiri ....

Tunggu, pernahkah Olive benar-benar membuatku kesal sebelum ini?

Jika kuingat lagi, tanpa aku perlu menanyakan pendapatnya, dia selalu memuji apa yang kupakai. Bahkan saat aku terpaksa mengenakan sarung konyol dan baju koko model bapak-bapak untuk keperluan drama dalam tugas kesenian, dia cuma terkikik sedikit sebelum membenarkan kerah bajuku. Aku yakin aku benar-benar jelek hari itu, tetapi Olive hanya berkata, "Bepenampilan bapak-bapak fake begini saja sudah cocok. Gimana nanti kalau jadi bapak beranak empat sungguhan?"

Komentar itu, alih-alih menyakitiku, malah membuat wajahku terasa panas, karena aku ingat Olive pernah mencerocos dia kepingin punya empat anak kalau sudah menikah nanti—biar bisa bikin boyband atau girlband, ujarnya.

Juni lalu, aku terlalu bersemangat usai menonton piala dunia. Olive tidak tertarik pada hal-hal semacam itu dan tidak tahu apa-apa masalah tim-tim bola yang kubicarakan, tetapi dia tetap menyimak. Bahkan saat apa yang kuucapkan seharusnya membuatnya bingung, Olive hanya berkomentar bahwa bakal keren sekali kalau aku jadi salah satu pemain bola itu, atau menimpali bahwa aku juga pernah mencetak gol mirip pemain anu saat melawan kelas sebelah.

Kalau dipikir lagi, tidak adil betapa aku heran karena dia kesal pada kata-kata jujurku yang terarah padanya. Aku sendiri tadi sempat jengkel saat dia menyindir Wilis—itu juga termasuk kejujurannya, dan bahkan tak ditujukan padaku.

Duh, cowok-cowok dilema karena pacarnya. Kudengar beberapa ianfu gentayangan penghuni rumah ini cekikikan, duduk-duduk di tempat biasanya Olive berada. Kadang beberapa hantu lebih sensitif pada isi hati manusia lebih dari si manusia itu sendiri. Manis sekali! Mana kekasihmu yang biasanya menyorakimu di sini? Kau sudah campakkannya, ya?

Aku berhenti men-dribble bola basket, lalu beranjak meninggalkan Wilis.

"Grey! Mau ke mana?"

"Kenapa mesti menunggu ayahmu pulang bawa oleh-oleh?" kataku saat Wilis menyusulku sambil mengepit bola di ketiak. "Bagaimana kalau dia tidak bawa apa-apa hari ini? Aku bakal beli kue sendiri—minggu lalu, aku lewat kafe dekat SMP kakakku dan mereka punya menu baru. Kue cokelat. Olive suka cokelat."

"Ya sudah, aku ambil kunci motor dulu. Kau kembalikan bola basket ke belakang pintu."

Aku menyentuh bola basket itu sesaat, lalu teringat ketiak Wilis berkeringat habis main basket, dan dia memakai kaus tak berlengan. Mendadak aku kangen aroma parfum Olive yang lembut dan bau sampo yang selalu menguar dari helai rambutnya.

Buru-buru kelemparkan kembali bola itu ke tangannya. "Kurasa, kita berdua harus mandi dulu."

Mata Wilis berdekut, tampak ngeri. "Bareng?"

"Najis."

***

Aku sedang mengantre di kasir saat Wilis menghampiriku dan memperlihatkan layar ponselnya.

"Olive lagi sama temannya." Wilis menggulir layar ke bawah, memperlihatkan status Emmerald, sahabat Olive yang dulu membuangnya hanya karena Navy mendadak naksir Olive. "Kenapa mereka malah baikan?! Aku kurang suka sama si Em—dia terang-terangan menolakku waktu aku coba-coba PDKT dengannya!"

Aku mengerutkan wajah. "Kau mencoba memacari sahabat adikmu sendiri?"

"Hah! Lihat siapa yang bicara!" Wilis mendengus-dengus jengkel. "Bukannya aku dendam sama cewek ini karena ditolak sebelum bertindak. Aku paham kalau dia enggak suka penampilanku, tapi menurutku dia pasti rabun, malah naksir yang bentukannya aneh kayak Navy Nalayudha!"

Yah, aku tidak bisa menyalahkan cewek-cewek yang pernah jadi pacarnya Navy. Kadang, meski fisikmu tidak enak di mata, bisa saja ada sesuatu yang menutupi itu. Misal ... kemampuannya bicara. Perlu kuakui, Navy pandai menggombali perempuan. Dia pandai membuat orang lain merasa spesial meski dia mungkin tak memercayai kata-katanya sendiri. Misal, meski di dalam hatinya, wajah seseorang mirip kuda, dia bisa memainkan kata-katanya dan membuat seolah-olah orang itu segagah kuda balap. Yang tidak mempan dirayu olehnya sepengetahuanku hanya Olive.

Aku tidak pernah pandai menggombal. Aku bisa mengeluarkan kata-kata manis sesekali kalau itu jujur, tetapi aku tidak pandai merayu—buktinya saja, Olive sering sakit hati pada kata-kataku atau caraku bersikap.

Jika kuingat lagi, Kak Nila pandai menggombal. Memang, sih, kakakku seringnya menuliskan hal-hal sinting yang membuat pembacanya mimpi buruk. Anehnya, saat dia mau, dia bisa menuliskan puisi-puisi cinta yang membuatmu kepingin buru-buru kawin. Kata-katanya tidak selalu tajam, kadang kakakku juga bisa menuliskan hal-hal lembut berbau pujian dan pujaan. Kemudian, dia akan menutupinya dengan sarkasme karena pada dasarnya, dia tidak terbiasa memuji orang. Yah, untuk yang terakhir itu, kami agak mirip.

Tukang gombal dalam hubungan kami biasanya Olive.

"Cinta pertama itu biasanya tidak bisa langgeng." Wilis masih membaca status Emmerald. "Sisters before misters. Laki-laki adalah babi. Lihat, Grey, Emmerald pasti sedang mencuci otak Olive supaya kalian putus—karena cinta pertamanya adalah Navy dan hubungannya sendiri tidak berjalan mulus."

Begitu kami pulang ke rumahnya membawa kue cokelat itu, aku langsung mengetuk pintu kamar Olive. Wilis, yang malas menunggu direspons, langsung membuka pintu kamar Olive begitu saja, membuatku berdengap, "Tolol! Bagaimana kalau adikmu lagi tidur atau lagi ganti baju—"

Ada Olive dan Emmerald di dalam. Kedua gadis itu sedang leyeh-leyeh di atas kasur Olive, mengenakan celana pendek dan baju kaus lengan panjang kembaran, tengah menertawakan sesuatu, sambil menjajarkan kaki-kaki telanjang mereka yang kukunya mengilap habis dicat. Tangan Olive memegangi ponsel, tangan Emmerald memegangi sesuatu yang kukira adalah cotton bud yang mereka pakai untuk mengecat kuku satu sama lain.

Tidak ada yang sedang ganti baju, tetapi entah kenapa aku merasa malu dan buru-buru mengalihkan pandang. Wilis sendiri tergagap sebentar, lalu mencecar Olive, "Bilang-bilang kalau ada temanmu datang, dong!"

"Kakak sendiri kenapa langsung masuk sebelum diizinkan?" sambar Emmerald. Suaranya halus, tetapi nadanya tajam. Wajahnya yang sinis agak mengingatkanku pada Kak Magenta. "Tahu privasi, tidak? Lagi pula, aku yakin banget Kak Wilis sendiri tidak pernah repot-repot bilang ke Olive kalau teman-teman cowokmu bertandang, 'kan?" Matanya melirikku singkat—terlalu singkat sampai kesannya dia seperti jijik melihatku lama-lama. "Kenapa Olive harus lapor temannya datang ke Kakak?"

Wilis membuka mulutnya lebar-lebar, tetapi gagal berkata-kata. Dengan dengap napas dramatis, temanku menghentakkan kakinya dan berderap pergi.

"Olive," kataku, "bisa keluar sebentar?"

Aku berencana mengangkat bungkus kue di belakangku kalau dia tidak mau keluar, tetapi gadis itu hanya mengembuskan napas dan turun dari tempat tidurnya.

"Apa?" tanyanya saat kami berdiri di balkon ujung lorong. Dulu ini jadi tempat kami kabur saat kebakaran besar. Sekarang balkon ini jauh lebih kuat usai diperbaiki.

Kuberikan bungkusan kue cokelat yang kubeli. "Aku ingin minta maaf."

"Minta saja. Kalau masih ada, bakal kukasih."

"Olive," desahku. "Aku minta maaf. Kalau kau tidak mau memaafkanku, tidak apa-apa, tapi aku betul-betul minta maaf."

Olive memicingkan matanya. "Untuk?"

"Untuk perkataanku waktu itu yang—" Kukecilkan suaraku—"bilang kau mirip ibumu saat berdaster." Aku menarik napas. "Juga karena aku tidak membelamu waktu Wilis mengejek selera bacaanmu. Padahal kau tidak pernah mengejekku meski selera bacaan dan tontonanku mirip kakakmu." Kukeluarkan ponselku dan memperlihatkan pada Olive. "Lihat. Aku juga sudah follow akun penulis yang tadi kau perlihatkan. Setelah kubaca lagi selama antre kue ini, ternyata ceritanya tidak buruk-buruk amat. Isekai ke Bikini Bottom ternyata asyik—"

Olive mengeluarkan suara tawa tertahan, lalu mengubahnya jadi suara batuk dipaksakan.

"Jadi ..." kataku ragu-ragu. "Apakah aku tetap bakal diputuskan?"

Olive benar-benar menahan cengirannya kali ini sampai pipinya mngerucut. Dia akhirnya menyambut kue yang sejak tadi menggantung di tanganku. "Enggak, kok. Emm meyakinkanku kalau kau mungkin hanya butuh waktu dan sedikit pembelajaran. Dan, yah ... dia benar."

Aku mengerutkan wajah. "Temanmu itu? Kukira dia meyakinkanku buat putus denganku."

"Tadinya iya, dia sempat ingin mengenalkanku ke salah satu teman cowoknya supaya aku bisa move on darimu."—Kugertakkan gigiku tanpa sadar—"Tapi setelah itu dia bilang mungkin kau tidak sepenuhnya buruk. Dia tahu kau pernah menggebuki Kak Navy, dan dia bilang dia ingin berterima kasih, tapi gengsi."

Aku mengernyit. "Aku kurang suka sama temanmu itu."

"Kebetulan." Olive melirik saat Wilis berembus lewat, terbirit-birit ke pintu toilet di belakang kami. "Aku juga kurang suka sama temanmu."

Aku menggaruk tengkuk dengan canggung. "Apa ini artinya aku dimaafkan?"

"Ajak aku ke tempat kamu beli kue ini besok, pulang sekolah. Kumaafkan sorenya."

Gadis itu mengetuk-ngetuk pipiku dengan jari telunjuknya, kemudian berlalu kembali ke kamarnya. Kupandangi pintu kamarnya yang masih terbuka, tanpa sadar menyengir sendiri.

Kemudian, dari pintu toilet tempat Wilis bersemayam, terdengar suara letusan gas alam dan desah lega Wilis, diikuti semerbak ampasnya yang tetap lolos keluar meski pintu toilet itu tertutup rapat. Para gadis menjerit. Olive muncul seketika untuk membanting pintu kamarnya sampai tertutup.

AAAAA SAYA JADI DEADLINER

Next>>> 14 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro