14 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 14 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah tokoh cerita kalian sedang pdkt dengan crush-nya sesuai dengan love language kalian masing-masing

Coba tebak love language-nya si MC dan crush-nya apa sebelum ceritanya habis. Antara physical touch, quality time, words of affirmation, act of service, receiving gifts

Yang curang pake ngintip ke author note duluan sebelum selesai baca, saya sumpahin besok tengah jalan ketemu meng oren yang punya love language "physical attack"

|| 4962 Words ||

|| RavAges - Cerita Lepas ||

Warning:
Disturbing Content for Mature Audience
This piece of fiction contains strong language, abuse, assault, and unusual humor which is unsuitable for children

Bungker bawah tanah itu ternyata benar-benar terletak di bawah tanah. Jalan masuknya bahkan harus lewat gorong-gorong—lubang galian besar yang dijejali pipa raksasa, becek, bau, lembap, dan tampaknya pernah jadi TKP pembunuhan berantai. Di ambangnya saja, aku bisa melihat bangkai tikus dan noda-noda yang kukhawatirkan adalah darah yang sudah mengering.

Raios sudah jalan duluan di depan. Jangankan menunggu, dia bahkan tidak menoleh.

Aku berpaling sebentar dan menatap hutan Garis Merah. Aku bahkan tidak mampu mempertimbangkan kesempatanku kabur darinya. Tempat ini asing dan aku sudah tidak punya siapa-siapa. Untuk sampai ke sini pun, realita menamparku berkali-kali—takkan ada Fervent yang mau menolong sukarela dan tidak ada manusia normal yang peduli. Aku benar-benar hanya punya Raios sekarang.

Saat kami menyusup ke kapal NC, Raios harus tetap menyandera tiga orang awak kapalnya sampai kami berhasil menyeberang. Di sarang Teleporter, cuma ada Neil yang benar-benar berniat membantu—sisanya tidak waras. Bahkan, Neil hanya bisa meneleportasikan kami ke Kompleks 3 karena wilayah bungker ini belum masuk ke dalam lingkup penjelajahannya (Teleporter hanya mampu berteleportasi ke tempat yang mampu diingatnya). Sesampainya di Kompleks 3, Raios membantai satu tim Pemburu dan menyandera seorang anak hingga permintaannya untuk sebuah kendaraan dan akses ke Kompleks-kompleks terdekat dipenuhi. Begitu mendapatkan keinginannya, Raios hampir menghabisi semua yang terlibat supaya tidak ada saksi, termasuk anak kecil yang dia tawan—aku berhasil membujuknya untuk pergi saja dan meninggalkan anak itu di perbatasan. Hatiku hancur saat mendengar anak itu menangis sendirian di depan portal.

Akhirnya, kami sampai di Garis Merah yang berada di antara kawasan Kompleks 7 dan Kompleks 4. Begitu melihat lanskap tempat ini, kami pun sadar kami harus jalan kaki karena tidak ada kendaraan yang cocok untuk melewatinya. Mobil jip milik NC mungkin bisa saja mengarungi jalannya, tetapi aku menghentikannya sebelum Raios kepikiran untuk merampok NC lagi.

Pasti aku sudah gila karena kepikiran ini, tetapi ... aku kangen Giok. Dia masih di seberang laut sana, entah bagaimana kondisinya setelah matanya dicolok Raios.

Yang menyiapkan bungker ini, kudengar, adalah kawanannya Giok. Yah, Raios menyebutnya 'kawanan', Giok menyebut mereka 'anak buah'. Aku tidak tahu mana yang benar. Giok punya banyak koneksi. Dia bahkan berkawan dengan beberapa orang NC dan masih terhubung dengan beberapa orang yang memberontak melawan NC. Sudahkah aku bilang Giok itu mirip ular?

Omong-omong, ular ....

"Raios ..." panggilku dengan suara merengek. Kudekap tasku ke dada erat-erat. Mataku mengamati kulit ular yang mengering di ambang gorong-gorong.

"Apa?" tanyanya sembari menoleh.

Apa dia bilang? Aku bukannya minta digendong atau sejenisnya—aku paham dia membawa sebagian besar tas-tas kami dan mengalungi banyak senjata, tetapi setidaknya dia bisa saja menungguku!

"Kau yakin tempat ini aman?" tanyaku seraya melirik mulut pipa. "Kenapa banyak bangkai binatang di sini?"

Raios akhirnya berbalik arah ke arahku. "Bukankah bangkai-bangkai ini berarti di dalam aman? Artinya semua yang mencoba masuk tidak ada yang bisa benar-benar masuk atau keluar hidup-hidup. Tidak akan ada Pemburu yang bisa ke sini."

Duh, aman banget, tuh, Bang. Aku meringis, "Bisakah kau membantuku melewati tempat ini?"

Meski pencahayaannya buruk di bawah satu-satunya senter yang terikat di ranselku, aku bisa melihatnya mengerutkan alis. "Kau mau aku melakukan apa?"

Kuulurkan satu tanganku ragu-ragu. "Gandeng aku?"

Dia sungguhan melakukannya. Meski kelihatannya lebih seperti dia menangkapku di pergelangan tangan, tetapi Raios tidak mencengkramku terlalu keras. Satu tangannya masih di saku, salah satu tali ransel di tangan yang menggandengku agar merosot, dan senjata di punggungnya berkelotak mengerikan. Namun, aku harus melakukan ini kalau mau bertahan hidup.

"Tetap jalan di sebelahku," kataku lagi. "Atau satu langkah di depanku. Jangan cepat-cepat."

Dia betul-betul melakukannya.

Setelah berhari-hari merasa fisik dan mentalku dipereteli oleh tatapannya, akhirnya aku merasa aman saat menatap bahu dan punggungnya meski pemandangan itu dicemari senjata yang disandangnya.

Langkahku sama sekali tidak lebar dan cara jalanku canggung karena aku mesti melangkahi macam-macam hal, jadi aku sungguh terkejut karena sepanjang jalan Raios tidak mengeluh atau pun menuntutku jalan lebih cepat di bawah moncong senjatanya. Tangannya tidak melepaskan tanganku sama sekali.

Namun, tidak enak juga rasanya jalan dalam keheningan.

"Raios," panggilku sambil memutar otak.

Apa yang mesti kuucapkan buat mencairkan suasana? Apa yang pantas diobrolkan sepasang muda-mudi di dalam gorong-gorong penuh bangkai dalam perjalanan menuju bungker bawah tanah? Topik apa yang bisa membuka percakapan di antara kami yang tidak akan mengarah pada percobaan pemubunuhan? Apakah kami bahkan punya kesamaan?

"Raios, kau suka makan apa?"

Ah, bagus banget, Meredith! Kurutuki diriku sendiri. Kepada cowok yang pernah mengancammu pakai pisau mentega, berusaha membunuh orang pakai garpu plastik, dan sekarang berduaan dengannya di dalam tempat sempit terisolasi penuh bangkai—kau malah menanyakan makanan favoritnya!

"Daging," jawabnya, dan itu membuatku agak panik. "Segala olahan daging—semur, dendeng, bistik, tumisan. Apa pun itu. Selama ada daging di dalamnya."

Aku menelan ludah dan mengamati lengan serta lingkar pinggangku. Kuharap aku kurusan belakangan ini, dan harapan ini tidak semata demi alasan kencantikan. Ini urusan nyawa.

"Daging apa yang kau suka?" tanyaku memastikan. Dalam hati, aku berdoa, Jangan daging Meredith. Jangan daging Meredith.

"Daging sapi atau domba."

Oke, sip. Meredith bukan sapi atau domba. Aku bernapas lega. Kulompati segenangan air kecokelatan dan kembali menatap bagian belakang lehernya. Aku mengerjap bingung karena keheningan menyelimuti kami lagi meski langkah kami tidak berhenti.

"Kau seharusnya balas bertanya aku suka makan apa," kataku.

Dia menoleh sedikit sampai sudut matanya menangkapku. "Begitukah cara kerjanya?"

"Iya, begitu cara kerjanya."

Baru kemudian aku kepikiran ... cara kerja apa? Memang kami apa? Partner bisnis? Pacaran? Kumpul kebo?

Kugelengkan kepalaku. Aku tidak boleh mengasosiasikan diriku dengan kerbau. Raios baru saja berkata dirinya suka daging sapi.

"Kau suka makan apa?" tanyanya kemudian.

Aku berpikir sejenak. "Salad sayur atau salad buah buatan ayahku. Itu makanan terenak di dunia. Ibuku tidak pandai memasak. Tapi satu kali dia berusaha. Cuma mi instan, tapi dia mencampurnya dengan telur, cabai, sayur kol, wortel, irisan daging ayam, jamur kancing, dan potongan daun bawang. Itu juga makanan terenak yang pernah kumakan. Oh, perkedel kentang yang pertama kali kubuat juga enak! Kau harus mencobanya sesekali—nanti kubuatkan."

Aku terus mengoceh panjang lebar sampai akhirnya kami sampai di bungker itu. Ketika Raios membuka pintu bajanya, ocehanku berhenti dan senyumku jadi turun. Apakah dia bahkan mendengarkanku sepanjang jalan? Dia tidak menyahut, tidak menoleh, dan tiba-tiba sudah melepaskan tanganku.

Bungker ini, meski dari luar mirip wahana rumah hantu, dalamnya terlihat cukup bagus. Layak huni, tepatnya. Tembok besi, lantai yang tertutup karpet, sofa-sofa dan meja kopi, dapur di sisi lain ruangan, lalu dua pintu lain yang kutebak adalah toilet dan kamar tidur. Penerangannya cukup bagus. Udaranya, sungguh mengejutkan, lumayan bersih. Tidak ada semerbak tinja atau aroma hewan mati.

"Buat dirimu nyaman," ujar Raios setelah melempar tas-tas bawaannya ke sofa, lalu berjalan lagi ke pintu.

"Tunggu!" kutarik lengannya. "Kau mau ke mana?"

"Kompleks 4," jawabnya.

"Buat apa?"

"Mencari teman Giok yang akan menyediakan kebutuhan yang belum kita punya di bungker."

"Aku boleh ikut?"

"Tidak."

Dia menarik lengannya, lalu pergi seraya menutup pintu di belakangnya. Kutatap pintu itu lama, lalu air mataku mulai menetes. Kuambil bantal-bantal di sofa dan melemparkannya ke pintu.

"Tidak berperasaan!" isakku sembari melemparkan tas jinjing yang entah berisi apa ke pintu. "Egois! Semaunya sendiri! Teganya meninggalkanku di sini! Bagaimana kalau bungker ini ada hantunya?!"

Aku mengangkat ranselku sendiri ke atas kepala dan bersiap melemparnya saat pintu itu terbuka lagi. Raios masuk, tetapi terhenti saat melihatku. Aku sendiri buru-buru mengayunkan ransel itu sampai menimpa tas jinjing yang tertungging di lantai.

"Fuh, berat," desahku kehabisan napas. Kuhapus air mata di pipiku, lalu menyeka jidat, seolah ini semua hanya keringat. "Aku mencoba membereskan barang-barang kita—semua ini berat. Ehehe. Ah, um ... apa yang membawamu lagi ke sini? Ada yang ketinggalan?"

"Hanya memastikan kau tidak ke mana-mana," katanya. "Giok sempat bilang, kau mungkin akan mencoba kabur saat aku lengah."

Giok. Bahkan saat kau absen, kau masih duri dalam daging.

"Memang kenapa kalau aku kabur?" dengkusku jengkel. "Kau sendiri, sekarang ini, sedang mencoba meninggalkanku sendirian di sini. Kalau kau sendiri boleh pergi, kenapa aku tidak boleh?"

Lalu, kusadari Raios sudah benar-benar masuk ke dalam, tidak lagi berada di ambang pintu. Sosoknya menjulang di hadapanku. Tatapan matanya yang menusuk, andai berbentuk secara harfiah, pasti sudah melubangi wajahku. Sepertinya aku sudah salah bicara.

"A-aku tidak serius. Aku tidak akan kabur," janjiku. Namun, dia masih menunduk menatapku tanpa bersuara sedikit pun sampai aku terduduk di bawah sorot matanya. "Raios, c-coba kau pikir ... tempat ini asing bagiku. Bagaimana caranya aku kabur?"

"Kau melihat rutenya." Akhirnya Raios buka suara. Rasanya sepanjang tulang punggungku dijalari sesuatu yang dingin mendengarnya. "Dan aku tahu kau pandai mengingat lokasi. Kau langsung menghafal wilayah Herde di hari pertamamu. Saat lari dariku di Garis Merah kau bahkan mengarah ke perkampungan terdekat. Kau melihat jalur tiap Kompleks dan Garis Merah dalam perjalanan kita ke sini—seharusnya aku menutup matamu sepanjang jalan."

Napaku berhenti sebentar. Lalu, aku mulai panik lagi. Kutahan diriku agar tidak memeluk kakinya. Kuberanikan diriku mendongak menatap matanya meski itu akan memberiku mimpi buruk malam ini. "Raios, aku bisa kabur ke mana?" tanyaku seraya memegangi tangannya. "Aku bahkan tidak bisa masuk bungker tanpa kau tuntun. Kau kira aku berani pergi ke Garis Merah seorang diri?"

Dia masih menatapku skeptis.

"Raios," kataku lagi seraya berdiri tegak. "Aku tidak bakal meninggalkanmu. Aku janji."

"Bagus," balasnya, lalu berbalik dan menutup pintu. Dia sungguhan pergi kali ini sementara aku terduduk lagi di tengah-tengah ruangan.

***

Aku tidak betah-betah amat di dalam bungker, tetapi kurasa aku tergolong beruntung. Aku tidak perlu adu nyawa di Garis Merah. Aku tidak pernah berhadapan lagi dengan orang NC secara langsung. Segala kebutuhan sehari-hariku terpenuhi. Raios juga tidak berada di bungker sesering itu.

Perlu kuakui, meski sering merasa ketakutan di dekat Raios, aku juga merindukannya saat dia tidak ada. Raios satu-satunya bentuk kehidupan yang bisa kulihat beberapa minggu ini ... yah, selain bunga-bunga dalam pot kecil yang kuminta padanya. Tiap Raios ada di bungker, selalu kupastikan untuk duduk di sebelahnya dengan dua gelas teh tersaji dan setidaknya semangkuk atau sepiring camilan di depan mata. Kutanyai Raios apa yang dia lakukan selama berada di luar, apakah dia menemukan apa pun yang dicarinya, siapa saja yang dia temui, dan apa saja yang terjadi padanya.

Kadang, Raios akan bercerita dengan tangan bersedekap dan tatapan lurus ke kakinya—itu artinya dia sedang banyak pikiran, dan cerita-ceritanya memang dipenuhi adegan kejar-kejaran dengan NC atau Fervent liar. Kalau Raios bercerita sambil bersandar santai dan menatap mataku tanpa niat membunuh yang menusuk-nusuk, itu artinya dia mendapatkan semua yang dia mau di luar sana—dia bahkan tertawa sesekali. Lalu, ada masa-masa di mana Raios tidak mau bicara sama sekali, jadi hanya aku yang bercerita mengenai keseharianku dalam bungker meski aku ragu dia mendengar—itu artinya, seseorang mengusik atau membuatnya marah di luar sana, dan bajunya memang selalu belepotan darah saat itu terjadi.

Suatu hari, Giok datang ke bungker—akhirnya dia bisa menyeberang kemari. Matanya sudah sembuh, barangkali berkat Cyone yang ditemuinya sebelum menyeberang ke sini. Dia dan Raios mengobrol seperti biasa seolah tidak ada yang terjadi. Seolah-olah Raios tidak pernah memencet mata Giok dan membuatnya hampir buta.

Saat melihatku, Giok dengan kurang ajarnya berkomentar, "Kau gemukan, ya, Mer."

Komentar itu mempengaruhiku seharian. Bahkan saat kami makan, kutaruh banyak lemak ke bagian Giok sampai kelihatannya dia nyaris muntah. Kutaruh semua porsi daging yang empuk dan enak ke piring Raios. Sementara aku hanya mengisi piringku dengan sedikit kuah dan sayur.

Raios berjengit melihat porsi makanku. "Bukankah dagingnya masih banyak?"

"Ada yang berkata aku gemukan," kataku sambil menatap Giok sengit. Dia masih fokus menyingkirkan semua lemak ke ujung-ujung piringnya. "Dan sepertinya, orang itu juga tidak suka masakanku."

Raios menjawil semua lemak di ujung-ujung piring Giok sampai bergulingan kembali masuk ke kuah. Air kaldunya sampai tampak beku oleh warna lemak.

"Apa—"

"Makan semuanya," gerung Raios, membuat Giok dengan patuh menelan semua yang ada di piringnya. Raios kemudian menukarkan piringku dan piringnya. "Tidak ada yang peduli kau gemuk atau kurus."

"Aku peduli," lirihku.

"Kenapa?"

Nanti aku dimakan. Namun, aku hanya bisa menjawab, "Memangnya kau masih suka padaku kalau aku gemuk atau kurus?"

"Tentu," jawabnya begitu saja. Dia mulai menyendok jatah makannya sendiri sambil masih memasang raut wajah tak habis pikir. "Perkataanmu tidak masuk akal, Meredith."

Dengan pipi yang terasa hangat dan sudut bibir berkedut, aku mulai makan juga. Karena merasa bersalah, kusisihkan beberapa potong daging di piringku dan kuberikan pada Giok. Meski aku membencinya setengah mati, aku tetap tidak mau dia trauma dengan masakanku.

Setelah Giok pergi, Raios juga menyiapkan sarung senjata dan tasnya. Dia tengah memasang sepatu saat aku berjongkok di belakang punggungnya.

"Raios," kataku. "Ajak aku keluar juga sesekali."

"Tidak."

"Kenapa?"

"Pemburu sering berkeliaran di sini."

"Tapi kau akan melindungiku."

"Tetap saja di luar berbahaya."

"Apa, sih, yang lebih berbahaya dari kau di sekitar sini?" kekehku, lalu matanya mendelikku, membuat tawaku surut. "Aku bercanda."

Dia menggertakkan rahangnya. "Menurutmu aku berbahaya walau berminggu-minggu belakangan kau hidup sehat dan tidak seujung jari pun aku menyentuhmu—"

"Raios, aku bercanda!" Kukalungkan lenganku ke lehernya dan kujatuhkan wajahku ke bahunya. Dulu, saat merasa takut pada sesuatu, aku akan memeluk Ibu atau Ayah atau teman-temanku. Sekarang aku cuma punya sumber ketakutanku buat dipeluk. "Jangan marah .... Aku hanya bergurau denganmu. Aku ... tidak sungguhan menganggapmu berbahaya. Kau melindungiku dan aku bersyukur untuk itu."

Bahunya tidak setegang tadi dan dia meletakkan satu tangannya di punggungku. Saat itulah aku juga bisa lebih relaks memeluknya.

"Kalau begitu," kataku di bahunya, "jangan pergi. Sehari ini saja. Sudah berminggu-minggu aku tidur sendirian—bungker ini mungkin ada hantunya."

Di luar dugaanku, dia benar-benar melepaskan sepatunya dan menanggalkan sabuk-sabuk senjatanya. Jadi, aku buru-buru ke dapur dan membuat teh serta camilan untuk kami berdua. Suasananya sudah tidak sekaku tadi saat kami duduk berdua di sofa.

"—terus, aku mencoba menghidupkan lagi sulur mawar yang kemarin kau bawakan." Di pertengahan cerita, kusadari Raios ketiduran. Matanya memejam rapat, satu tangannya di sofa, tangannya yang lain di atas perut.

Mulanya, aku kesal. Tehnya bahkan belum habis. Kemudian aku tersadar ... ini pertama kalinya aku melihat Raios tidur di sini. Apakah selama ini dia pergi ke luar di jam tidurku untuk tidur di tempat lain?

Aku bersandar di sisinya. Kutatap wajahnya lekat-lekat. Saat matanya tidak terbuka begini, dia sama sekali tidak menakutkan. Terbaring tanpa perlawanan, tidak memegang apa-apa untuk jadi senjata, dan tidak mengawasiku dalam diam dengan pandangan paranoid.

Kutempelkan pipiku ke bahunya. Kupandangi tangan kami yang bersisian, hampir bersentuhan. Aku senang dia tidak mempermasalahkan kalau aku gemuk atau kurus. Lalu, aku jadi kepikiran ... sejak kapan aku peduli apakah dia menyukaiku atau tidak? Padahal saat pertama kemari, aku hanya tidak mau dia memandangku sebagai mangsa. Namun, belakangan ini, saat menunggunya, atau saat duduk di sebelahnya, atau mengobrol dengannya ... kudapati diriku ingin dipandang sebagai perempuan yang diinginkan olehnya.

Aku menegakkan posisi dudukku. Kudekatkan wajahku ke wajahnya, hidungku menyentuh pipinya ringan. Lalu, entah setan apa yang menggerakkanku, kunaikkan posisi badanku, kuselipkan helai rambutku ke telinga, dan kucium bibirnya singkat. Hanya sentuhan kilat yang seharusnya tidak terasa sama sekali olehnya jika dia benar-benar tidur.

Namun, Raios membuka matanya. Aku bahkan belum menarik wajahku menjauhinya saat tangannya menyelip di pinggangku. Aku mengerjap merasakan napasnya di wajahku saat Raios berkata, "Kau yang memulainya."

***

Saat aku terbangun, Raios sudah pergi lagi. Sekujur badanku sakit. Ada bekas merah tangan Raios di lenganku. Dia memelukku seperti mencoba mematahkan punggungku—untunglah tidak patah sungguhan. Kusentuh bibirku yang terasa kebas—agak bengkak, dan sepertinya sempat berdarah.

Kupeluk diriku sendiri. Setidaknya aku masih hidup. Aku belum bisa menyusul Ayah dan Ibu sekarang. Kalau mati sekarang, aku pasti masuk neraka. Aku harus hidup untuk menebus dosa-dosaku. Aku membunuh mereka saat kekuatanku lepas kendali. Aku juga bersalah atas semua pembunuhan oleh Raios yang kuabaikan. Sebenci apapun aku mengakuinya, Giok benar—aku juga sudah jadi sekutu Raios dan secara langsung atau tidak langsung membantunya membunuh beberapa orang.

Sembari menatap langit-langit bungker, kurenungi keadaan ini dan menyadari bahwa sekali lagi Giok benar. Dunia macam ini menguntungkan orang-orang seperti Raios. Konsepnya, NC menginvasi kami untuk mengekang para Fervent agar tidak ada yang menyalahgunakan kekuatannya, agar tidak ada manusia seperti Raios, tetapi kenapa pada praktiknya orang-orang seperti Raios malah keliaran bebas? Kenapa aku dikurung dalam bungker, Giok harus menempeli Raios untuk bertahan hidup, dan ribuan remaja lain masih terkurung dalam Herde?

Kalau dunia masih berjalan seperti sebelumnya, tidak ada pos militer atau tembok pembatas antara Kompleks dan Garis Merah, tidak ada Herde, tidak ada Pusat Karantina, dan para Fervent membaur di antara manusia normal ... bukankah Raios seharusnya sudah berada di penjara sekarang? Atau minimal rumah sakit jiwa. Atau dia terpaksa menyembunyikan tabiatnya dan korbannya barangkali akan lebih sedikit dari ini.

Kupejamkan mataku sebentar dan berusaha menyusun pikiran. Sebetulnya, aku ini maunya apa? Separuh diriku ingin Raios masuk penjara, atau mati sekalian, tetapi separuh lagi menunggu dirinya pulang padaku.

Dengan kepala pening dan kaki gemetaran, aku masuk ke kamar mandi. Saat membersihkan kakiku yang penuh memar, aku pun sadar periode bulananku datang. Aku lupa mengatakan pada Raios aku kehabisan pembalut.

"Raios ...." Aku memanggilnya sekeluarnya aku dari kamar mandi, lalu teringat dia tidak ada. Kubongkar kotak obat, tetapi apapun yang kutelan tidak bisa seketika menghentikan cenat-cenut di kepala atau pendarahanku di bawah sana. Cyone-ku tidak berguna untuk luka-luka macam ini karena hanya berfungsi terhadap tumbuhan. Hanya Raios yang bisa mengobatiku.

Kukenakan jaketku, lalu mengambil kunci cadangan yang disembunyikannya di samping kulkas. Dalam keadaan setengah sadar, aku terseok-seok ke pintu dan mulai menjelajahi pipa raksasa dengan ingatan samar-samar akan rute yang kami ambil berminggu-minggu silam.

Sesampainya aku di luar, aku terdiam. Cahaya cat semprot membuat mataku sakit—seharusnya aku membawa senter.

Aku berjalan menjauhi mulut gorong-gorong dan mati-matian mengingat arah Kompleks terakhir yang kami kunjungi sebelum ke sini. Rasa sakit di sekujur tubuhku pasti membuatku tidak bisa berpikir jernih lagi karena saat ini aku bahkan tidak peduli jika aku tertangkap Pemburu atau dijebloskan ke Herde lagi sesampainya di Kompleks. Aku bahkan tidak peduli jika Raios kena masalah. Aku hanya ingin seseorang menolongku sampai rasa sakit ini hilang.

Kemudian, aku melihat cahaya. Ada siluet dua orang pria bersaragam NC, duduk membelakangiku di atas bebatuan. Kuteguhkan niatku untuk mendekati mereka.

Namun, saat salah satunya melihatku, dia langsung menyiagakan senjatanya dan berteriak, "Kolonel! Fervent liar—arah jam 6!"

Aku tersaruk mundur dan tersandung akar yang menonjol. Aku jatuh di atas pantatku, seketika membuat air mataku berlinangan karena rasa sakitnya. Darah yang mengaliri kakiku masih merembes.

"Tunggu." Pria satunya—sang Kolonel—menyetop kawannya. Tangannya terulur menghalangi moncong senjata dariku. Dia melangkahkan satu kaki ke depan, membuatku menyeret diri mundur dengan suara merengek menyedihkan, dan entah kenapa itu membuatnya berhenti. Pria itu kemudian mengangkat kedua tangannya. "Saya tidak bersenjata. Boleh saya mendekatimu?"

Sang Kolonel bahkan melepaskan senjatanya dan meletakkannya di tanah, lalu kembali mengangkat kedua tangan sejajar kepala untuk memperlihatkan padaku bahwa dia benar-benar tidak bersenjata. Rekannya mendesis protes, tetapi sang Kolonel tidak menggubrisnya.

"Saya akan mendekat, oke?" Saat dia mendekatiku, barulah aku melihat wajahnya—kulit kecokelatan, bola mata sehitam rambutnya, dan tatapan selembut mata ibuku. Kapan terakhir kali aku ditatap seperti itu?

Baru kusadari sang Kolonel masih sangat muda. Dia tidak mungkin di atas 20 tahun. Tentu saja ada banyak remaja yang bekerja buat NC sejak invasi, tetapi yang kuketahui tidak pernah ramah, apalagi kalau dia manusia normal.

Saat melihat keadaanku, pemuda itu menyuruh temannya memanggilkan Cyone. Barulah aku melihat bayang-bayang lain di balik pepohonan—dua mobil jip, satu minivan yang terperosok ke lubang lumpur, dan sebuah tenda yang masih setengah jalan didirikan.

"A-apa kau akan mengembalikanku ke Herde?" tanyaku lirih.

Pemuda itu mengernyit. Dia berjongkok di depanku. Matanya dipenuhi simpati. "Sudah berapa lama kau tersesat di sini?"

Aku menggeleng. "Tidak tahu."

"Bisa kau identifikasi dirimu? Nama, umur, nomor Herde, jenis Fervor yang kau miliki?"

Aku menggeleng lagi. "K-kau sungguhan akan mengembalikanku ke Herde?"

"Herde sudah tidak ada," beri tahunya. "Bahkan di wilayah ini, semua proyek Herde dibatalkan. Masih ada dua Pusat Karantina yang berdiri, tapi tempat itu pun nyaris tidak berfungsi lagi. Hanya masalah waktu sampai semuanya ditutup."

Lidahku kelu. Kenapa Raios tidak memberitahuku? Ataukah ... karena aku tidak bertanya, jadi menurutnya tidak penting memberi tahu padaku? Namun, aku terkurung dalam bungkernya, setidaknya dia berutang informasi mengenai dunia luar padaku. Apakah tidak terpikir olehnya—

Kudongakkan kepalaku sambil memejamkan mata. Tanpa bisa mengendalikan diri lagi, aku mulai tertawa.

Tentu saja tidak terpikirkan oleh Raios. Sudah berapa lama aku bersamanya, bagaimana bisa aku tidak belajar sama sekali? Raios bahkan tidak akan menanyakan makanan favoritku andai aku tidak menyuruhnya. Dia tidak akan membawakan kebutuhanku andai aku tidak menuliskan list-nya sendiri dan memohon padanya. Dia tidak pernah menanyakan keadaanku atau bertanya keseharianku kecuali aku yang bicara padanya—dia bahkan mungkin tidak peduli.

Seorang perempuan akhir usia 30-an dalam seragam NC datang menghampiri, lalu memeriksa keadaanku. Perempuan itu kemudian melilitkan seragamnya sendiri ke kakiku untuk menghentikan sementara pendarahanku. Kedua tangannya yang berotot menyelip ke bawah lutut dan punggungku, lalu menggendongku seperti yang dulu Ayah lakukan saat aku ketiduran di ruang tengah. "Anak ini butuh rumah sakit, Kolonel. Segera."

Mereka membawaku ke salah satu mobil jip. Bisa kurasakan tatapan jijik sekaligus curiga dari beberapa personel NC di sekitar tenda, tetapi aku tidak keberatan sama sekali. Sebelah mataku mulai gelap karena rasa sakit di sekujur tubuhku mulai tak tertahankan.

Kolonel baru membukakan pintunya untuk kami ketika, si perempuan Cyone mendadak menjatuhkanku. Perempuan itu sendiri terbaring tak bernyawa dan darah menodai seluruh wajahnya.

"Serangan!" teriak seseorang sebelum baku tembak terjadi.

Aku merapat ke tanah sambil gemetaran di sisi tubuh si perempuan Cyone. Satu demi satu personel NC menjerit sebelum tumbang, entah kepala mereka pecah atau wajah mereka terkoyak seperti perempuan Cyone di sisiku.

Saat aku mendongak, kulihat sepasang sepatu kets di depan wajahku dan sosok menjulang yang bajunya seperti dicelupkan ke seember darah.

"Raios—"

Tangannya meraupku dan rasanya aku kembali ke Herde—hari pertama aku bertemu Raios dan kedua tangannya menekan leherku. Persis itulah yang dilakukannya saat ini setelah menggulingkan badanku telentang di lumput. Dia duduk di atas perutku.

"Apa yang kukatakan tentang dunia luar?" tanyanya dengan nada rendah. "Apa yang kukatakan padamu tentang meninggalkan bungker? Kau tahu bagaimana rasanya saat aku kembali dan kau tidak ada di sana? Kau tahu bagaimana rasanya mengikuti jejak darahmu, mengira kau diculik seseorang, tapi malah menemukanmu di sini, digendong sukarela oleh orang-orang ini? Kau bilang kau tidak akan meninggalkanku."

Di titik ini, aku bahkan tidak peduli jika dia membunuhku. Aku hanya berharap rasa sakitnya berhenti. Aku tidak bisa merasakan tubuhku sendiri dari perut ke bawah, dan kurasa itu pertanda bagus. Mungkin kematian mulai menggerayangiku dari ujung kaki dan berusah naik untuk menarik nyawaku lewat mulut.

Tiba-tiba Raios melepaskanku. Dia tersengal dan melihatku dengan jengkel. Satu tangannya terangkat, lalu melayang ke pipiku. "Melawanlah," ujarnya, lalu dia mengepalkan tangannya dan menghantamkan buku-buku jarinya ke mulutku. "Menangislah."—Aku mengecap darah. Bibirku pasti pecah. Namun, itu tidak menghentikan Raios. Satu tangannya menarik rambutku, tangannya yang lain meraih leherku dan mengguncang-guncangkan badanku. "Merengeklah—lakukan sesuatu! Apa saja!"

Aku terkejut saat tanganku masih punya tenaga untuk meraih pergelangan tangannya. Alih-alih berusaha melepaskannya dari kulitku, kubantu dia menekankan tangan ke leherku. Aku membuka mulut untuk memohon padanya agar membuat kematianku lebih cepat, tetapi tersedak darahku sendiri.

Raios mengernyit sebentar, sudut bibirnya terangkat, lalu dia mulai tertawa rendah. Dari leherku, tangannya beralih membelai wajahku. Ibu jarinya menghapus air mataku. "Sudah kuduga, aku memang menyukaimu." Dia menciumku sampai darahku memenuhi mulutnya. "Kemari, Meredith, Sayangku, biar kuperbaiki kau."

Dia menggendongku di kedua tangannya, tetapi kemudian sebutir peluru berdesing menyerempet bahunya. Raios menjatuhkanku ke tanah, lalu berbalik sambil memegangi bahunya.

Dengan mata berkunang-kunang, aku mendongak dari lumpur dan melihat sang Kolonel membidik dari balik mobil jip. Dia masih hidup. Dia satu-satunya yang masih hidup.

Mataku mendapati Arka yang berserakan di sekitar kakinya. Sang Kolonel rupanya cuma manusia normal.

Manusia normal yang sebentar lagi akan mati.

"Kau yang menawannya di sini?" tanya sang Kolonel, yang ditanggapi Raios dengan desisan jengkel.

Kucengkram kaki Raios dan memeluknya seerat mungkin. Kugerakkan bibirku yang rasanya sudah tidak berbentuk lagi. "F-hulang ...." Suaraku terdengar aneh saat aku merengek memohon padanya agar kami pulang. Kugerakkan mulutku susah payah, Raios, ayo kita pulang.

Saat Raios menggendongku lagi, aku menatap sang Kolonel lekat-lekat. Aku menggeleng ke arahnya, yang kusamarkan sebagai usapan wajah ke bahu Raios agar lelaki ini tidak menyadari bahwa aku sedang memberi sinyal pada sang Kolonel.

Sang Kolonel akhirnya berdiri, senjatanya menggantung begitu saja di bahunya. Dia masih menatapku yang mulai menjauh bersama Raios, meninggalkannya di antara mayat-mayat rekannya.

Pemuda itu—satu-satunya petugas NC yang menatapku seperti manusia dan mampu menghentikan teman-temannya dari menembakku—tidak ada kubiarkan dia mati sia-sia di sini. Perempuan Cyone itu pun memperlakukanku dengan lembut, pasti ada lebih banyak orang NC seperti itu di sekitarnya. Aku tidak akan membiarkan orang ini mati di sini.

***

Giok meringis di ambang pintu kamar selama Raios menyembuhkan luka-lukaku. Cowok itu bahkan membuka kacamatanya karena takut melihat wajahku yang menurutnya mirip hantu wanita dalam film horor Jepang yang pernah ditontonnya.

"Sudah kau temukan cara untuk mengatur besaran Fervor dari kancing ini?" tanya Raios tanpa menoleh ke Giok. "Kau berjanji akan menemukan semua alat-alatnya."

Giok mendengkus. "Untuk mendapatkan komputer dan USB hub khusus itu, satu-satunya yang bisa me-reset program pada Reaktor Relevia milikmu, aku mesti menyusup ke salah satu markas besar NC. Aku mustahil melakukan itu tanpa kau dan Op. Atau setidaknya kau butuh koneksi yang jabatannya lebih tinggi daripada sekadar kadet rendahan."

Raios akhirnya turun dari atas ranjang tempatku terbaring dan menghampiri Giok. "Bagaimana dengan utusan Komandan yang pernah datang waktu itu? Kita bisa meminta pemrogram Reaktor Relevia untukku sebagai ganti—"

"Tidak!" potong Giok cepat. Kotak obat yang dia dekap ke dadanya tampak gemetar samar-samar. Tentu saja dia takut Raios bertemu dengan Komandan—bisa-bisa Raios tahu kalau dia anaknya Komandan dan Giok menyembunyikan fakta itu darinya selama ini. "Tidak perlu. Terlalu berbahaya jika kita terhubung langsung dengan orang seperti Komandan. Aku akan cari cara lain, Raios. Aku janji."

"Sampai kapan aku mesti menunggu?" Raios melambaik tangannya ke arahku. "Dengan besaran Fervor Cyone yang kumiliki saat ini, aku takkan bisa memperbaikinya dengan benar jika Meredith rusak lagi."

"Ada solusi yang lebih gampang untuk itu, Yos," kata Giok. "Yaitu, jangan merusaknya."

Raios mengerutkan kening seolah saran Giok adalah konsep baru baginya.

"Jangan terlalu kasar saat menyentuhnya," usul Giok lagi sambil memasang senyum bisnis, tetapi meringis samar saat melihat wajahku lagi. Tatapannya berkelebat ke kakiku dan bisa kulihat sekilas empati di matanya yang berkaca-kaca, kerut wajahnya, dan lehernya yang mengencang seolah Giok kesulitan bernapas atau menelan ludah. "Pokoknya, hati-hati! Kurangi tenagamu saat menyentuhnya dan cobalah untuk tidak menghajarnya!"

Raios bersedekap seolah tengah mempertimbangkan saran itu.

"Atau kita bisa ajak Truck tinggal di sini," kata Giok lagi, lalu tertawa sendiri seolah dia habis melucu.

Aku mungkin juga akan tertawa mendengarnya hendak membawa mobil truk ke dalam bungker, tetapi sekujur tubuhku tidak mendukungku untuk mengeluarkan suara yang lebih keras dari erangan.

"Maksudku, kau bisa sandera Truck di sini. Meredith butuh teman mengobrol dan Truck bisa menyembuhkan kalian kapan saja—" Suara Giok mengecil, lalu berubah jadi dehaman seakan dia baru saja salah bicara. Sepertinya tatapan Raios menampakkan ketidaksukaan akan ide itu. "Aku bercanda, Raios. Kalau kau tidak mau ada orang lain di sini, ya terserahmu saja. Jangan menganggapku serius. Aku tidak mengatakan kehadiran bungker ini ke siapa-siapa, tidak pula ke Truck. Sumpah."

Giok menjilat bibirnya sendiri dengan gugup, lalu menggigitnya ke dalam dengan canggung karena Raios masih tidak mengatakan apa-apa.

"Yos, itu benar-benar cuma candaan. Truck itu segede ranjang yang Meredith tiduri. Mustahil bisa menyanderanya di sini. Aku tidak serius." Giok menarik napas dalam-dalam, lalu berdusta semudah dia mengembuskan napasnya kembali, "Kau tahu, 'kan, kau sahabat terbaikku dan aku sobatmu yang paling loyal? Tidak mungkin aku membocorkan lokasi bungker ini ke siapa-siapa dan tidak mungkin aku sungguhan mengusulkan sesuatu yang tidak kau sukai."

Raios akhirnya mendengkus dan berjalan keluar. Setelah pintu tertutup, Giok merosot jatuh dengan punggung menempel ke daun pintu. Matanya mengerjap-ngerjap menatapku.

"Bagiamana keadaanmu?" tanyanya.

"Lebih baik dari sebelumnya," jawabku serak. "Kukira, aku akan mati."

"Kau memang hampir mati." Giok mengerang sembari mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Aku bahkan terkejut Raios tidak membunuhmu dengan tangannya sendiri. Kau kabur—itu kesalahan paling fatal! Kenyataan bahwa kau masih hidup barangkali karena ada sesuatu pada dirimu yang disukai Raios. Apa yang kau lakukan sampai dia batal membunuhmu?"

Aku menggeleng tidak tahu.

"Apa pun itu, pertahankan. Itu satu-satunya kesempatanmu bertahan hidup di sini."

Giok pergi lagi setelahnya, meninggalkanku dengan Raios berdua di bungker. Sepanjang malam itu, Raios tidak masuk ke kamar sama sekali. Aku sendiri berusaha tidur, tetapi sekujur tubuhku mulai terasa sakit lagi. Wajahku terasa panas—sepertinya aku demam. Tiap kali kesadaranku hilang, aku dilanda mimpi buruk. Aku terus terbangun dengan perasaan yang jauh lebih buruk lagi dari sebelumnya. Tenggorokanku seperti disayat dan mataku berair.

Aku menyeret langkah keluar kamar sambil membawa selimut dan bantal, lalu berbaring di belakang Raios yang tiduran di karpet di samping salah satu sofa.

"Apa yang kau lakukan di luar sini?" Suaranya begitu tajam dan dia menolak berbalik menatapku. "Kembalilah ke dalam dan tidur."

"Dingin," rengekku parau. Kupeluk badannya dari belakang. "Tidak bisa tidur."

Raios akhirnya berbalik. Satu tangannya menyangga kepalanya saat dia berbaring miring menghadapku. Posisi ini membuatku merasa intim sekaligus berjarak dengannya.

"Kalau ada Giok di sini, kau akan melakukan hal sama padanya?" tanyanya sengit. "Atau pemuda NC itu—kau akan menemuinya lagi di belakang punggungku dan memeluknya seperti ini?"

"Tidak." Kutenggelamkan wajahku ke dadanya dan mengencangkan pelukan. "Tidak. Aku cuma begini padamu."

"Jika kau mencoba pergi sekali lagi," bisiknya. Tangannya menyelinap ke bagian dalam betisku. "Kupatahkan kakimu."

"Aku tidak akan kabur lagi," lirihku. "Aku janji."

Kucengkram punggung bajunya, lalu membiarkan air mataku berlinangan. Dia masih dingin padaku, padahal luka-lukaku disebabkan olehnya. Dia bahkan tidak meminta maaf, atau berpura-pura menyesal, atau setidaknya bertanya keadaanku. Giok saja menanyakan keadaanku. Padahal besok dia pasti akan pergi lagi. Aku pasti ditinggal lagi. Padahal aku sedang sakit.

"Kenapa kau tidak membunuhku saja?" isakku. Aku mendongak dari dada bajunya. "Raios, bunuh saja aku. Buat kematianku cepat—"

Aku tercekat saat menyadarinya tersenyum lebar. Bahkan lekuk pipi dan matanya seolah ikut tersenyum menatapku. Ketika suara tangisanku membesar, Raios akhirnya membalas pelukanku dan menghadiahiku kecupan bertubi-tubi di wajah sampai leher.

"Aku mencintaimu, Meredith," ucapnya di tengah sesenggukanku. Makin sengsara suaraku, makin bergairah ciumannya. "Sangat, sangat mencintaimu."

Love Language saya hasil dari tes kilat di website https://5lovelanguages.com/quizzes/love-language

Terus saya teringat 2022 lalu pernah dapat tema sejenis dan sudah pernah tes di web lain, hasilnya ini:

Jadi ... apakah saya dua tahun lalu dan saya yang sekarang ini beda orang?

Entahlah ya. Jadi akhirnya saya bikin Meredith pdkt pakai love language-nya yang QUALITY TIME, dan Raios punya love language WORDS OF AFFIRMATION.

Meredith butuh ngehabisin waktu bersama, ngeteh, ngobrol ngalor ngidul, didengerin, diperhatiin, bahkan walau cuma diem-dieman dan gak saling sentuh, asalkan bareng-bareng. Raios butuh kata-kata, penegasan secara lisan, dan alasan-alasan, tapi dia juga gampang tersinggung sama kesalahan kata-kata Meredith dan Giok. Harusnya sih 'gampang terluka' yak tapi ini Raios, jadi 'gampang tersinggung' lebih tepat.

Anyway /bisik/ si Kolonel NC yang sempat muncul di sini adalah spoiler terbelusung. Dia pernah di-mention di buku kedua dan peran pentingnya bakal debut di buku ketiga entar. Siapakah dia? Ohohoho~ BELI RAVAGES YAAAAK

Next>>> 15 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro