15 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 15 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah cerita yang ternyata sang tokoh utama dan seluruh keluarganya adalah alien dari galaksi lain

|| 1495 Words ||

|| Mau naroh "scifi" di sini, tapi nda sanggup ||

"Sayang," panggil Mama saat aku sudah duduk berhadapan dengannya dan Papa. Kakak laki-lakiku menyimak dari ambang pintu dengan tangan bersedekap. "Jadi, begini, kami harus memberitahumu dengan jujur karena sekarang kau sudah cukup umur untuk memahaminya."

Aku berdengap, "Aku sungguhan anak adopsi?"

Mama tercenung. "Tidak. Bukan itu sayangku—"

"Siapa yang berani-beraninya berkata begitu padamu?" Papa melonjak berdiri. "Siapa yang bilang kau anak adopsi?!"

"Martin." Mama menegur Papa dan menariknya agar duduk kembali di hadapanku, lalu menoleh lagi padaku. "Kau bukan anak adopsi, Sayang. Kau kulahirkan langsung dari lubang telingaku."

"Oh, syukurlah." Aku bernapas lega, lalu sekujur badanku menegang. "Tunggu—apa? Dari mana aku lahir?"

"Oh, kau lahir di kota ini, jadi kalau membahas dari mana, tentu saja kau berasal dari sini—"

"Bukan dari mana yang seumum itu!" Aku yang melonjak berdiri kali ini. "Lebih spesifik! Yang baru saja Mama sebutkan tadi! Dari. Lubang. Apa. Aku. Lahir?"

"Dari lubang telinga," kata kakak laki-lakiku yang masih bersandar ke dinding belakangnya. Aku berbalik menatapnya, dan dia mengangguk-angguk sambil meringis di sela senyuman yang dipaksakan. "Yap. Tepat seperti itu ekspresi wajahku saat pertama kali diberi tahu. Tapi Mama serius. Kita lahir dari lubang telinganya."

Aku berbalik lagi menatap kedua orang tuaku dan mereka mengangkat alis seolah takjub. Papa menunjukku dan berkata pada Mama, "Malcolm benar—memang seperti itu ekspresi wajahnya ketika kita pertama kali memberi tahunya."

Malcolm tertawa pedih. "Aku mulai berpikir lahir dari telur-telur dalam tabung futuristik seperti dalam film-film para manusia ini mungkin lebih baik." Kakak laki-lakiku itu kemudian berjalan gontai ke arah tangga sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, bahunya kuyu seolah dunia runtuh di atas kepalanya. "Lubang telinga ...."

"Para manusia ini?" Aku mengutip ucapan Malcolm. "Maksudnya kita bukan manusia?"

Mama mengangguk. "Kita bangsa Magla, dari Magellan."

Ekspresi wajahku mengendur sedikit. "Kota sejuta bunga itu?"

"Bukan. Bukan Magelang." Mama buru-buru memotong sebelum aku bersuara lagi, "Dan bukan selat di Chile. Galaksi, Nak. Kita berasal dari Galaksi Magellan."

Mulutku menganga. "Jadi, kita alien?"

Papa dan Mama berpandangan dengan wajah mengerut tidak suka.

"Itu ofensif." Papa mencetuskan. "Kita cuma berasal dari galaksi lain. Tidak jauh-jauh amat dari galaksi ini. Malah, Magellan itu mengorbit galaksi ini."

"Planet apa?"

Mama melibaskan tangannya seolah itu hal sepele. "Kita tidak berasal dari planet. Bibit leluhur kita hanya memelanting keluar dari debu kosmik Magellan dan menempel lalu tumbuh di planet-planet atau galaksi yang menurut mereka layak huni, lalu kita beradaptasi. Buyutmu memilih bumi."

"Dan bangsa kita lahir lewat lubang telinga?"

"Buyutmu salah memahami anatomi tubuh manusia di tengah-tengah usaha adaptasinya," ringis Papa. "Tapi, jangan khawatir. Bangsa kita selalu beradaptasi. Hanya menunggu sekitar 50 generasi lagi sampai evolusi kita berjalan ke arah yang benar."

Kalau begini, rasanya mending mereka memberi tahu kalau aku diadopsi.

***

Seharian aku berusaha melupakan kenyataan bahwa kami sekeluarga adalah E.T. alias Extra-Terrestrial alias alien dari galaksi lain. Namun, mustahil hal semacam ini bisa diabaikan begitu saja.

Mendadak aku jadi sering memandangi kakiku dan menunggu tentakel pembunuh mencuat keluar. Aku juga jadi takut bicara atau bernapas keras-keras karena bisa saja akan ada cairan asam yang menyembur keluar. Saking gugupnya, saat melambai untuk membalas sapaan teman-temanku di sekolah, kudapati tanganku melakukan salam Vulcan—membentuk huruf V dengan merapatkan kelingking ke jari manis dan telunjuk ke jari tengah.

"Hei, lihat Montez," bisik teman sebangkuku sambil menyengir. "Dia memperhatikanmu lagi."

Seketika aku jadi lupa segala tetek bengek per-alien-an keluargaku.

Aku naksir Montez sejak kelas 1. Saat itu, dia bahkan tidak tahu aku eksis. Lalu, akhir semester kenaikan kelas yang lalu, kami bersisian untuk menerima penghargaan nilai tertinggi untuk anak kelas 1—dia di mata pelajaran bahasa, dan aku di mata pelajaran matematika.

Hari pertama kelas 2, kami rupanya sekelas. Montez mengenaliku sebagai, anak-yang-berdiri-di-sebelahnya-waktu-itu. Aku terlalu terpana dia mengajakku bicara, jadi aku hanya bisa menyengir-nyengir tidak jelas, lalu kabur. Aku menangisi itu semalaman karena membuang-buang kesempatan untuk berkenalan dengannya.

"Tahu tidak," bisik Suri, teman sebangkuku. "Kudengar dari Skylar, yang mendengar dari Sadie, dan dia mendengar ini dari Azza, yang menguping pembicaraan Jeffri dan Annette saat mereka menggosipkan kata-kata Olly, yang mendengarnya dari Reggie, yang mengetahui ini dari Jill, bahwa Montez tanya-tanya tentangmu. Dia pasti tertarik denganmu."

Aku mengerjap dan memandanginya dengan tatapan kosong. "Bisa kau ulangi?"

"Kudengar dari Skylar—"

"Skip nama-nama itu," kataku perlahan, "lalu langsung ke inti pesannya."

Suri mengingat-ingat sebentar seolah inti pesannya jauh lebih sukar diingat ketimbang rantai pengutipnya. "Oh! Montez pasti tertarik padamu. Soalnya cowok itu tanya-tanya tentangmu pada Jill, lalu Jill menceritakannya pada Reggie, Reggie menceritakannya pada Olly, yang kemudian menyampaikannya ke Annette dan Jeffri sampai dua orang ini menggosipkannya berdua tapi kedengaran oleh Azza—"

"Stop," pintaku. "Oke, mending aku beranikan diriku saja menyapanya. Doakan aku."

Suri mengepalkan kedua tangannya dan menggoyang-goyangkannya sejajar kepala untuk menyemangatiku.

Saat aku menghampiri cowok itu, Montez langsung berpura-pura membaca bukunya, yang sayangnya terbalik. Aku berdeham sampai cowok itu tampak terkejut.

"Oh, hai," sapanya sambil memamerkan senyum cerah ala model pasta gigi. "Tidak melihatmu datang. Aku terlalu fokus membaca. Kau perlu sesuatu?"

"Montez, 'kan?" kataku senatural mungkin. "Kudengar dari kakak laki-lakiku, kau masuk pengurus OSIS. Oh, umm, kakak laki-lakiku bendahara OSIS."

"Kak Malcolm? Ah, jadi kau adiknya." Dia mengulurkan tangan yang langsung kujabat. Kutekan bibirku kuat-kuat, takut kelepasan menjerit. Siapa tahu badanku punya fitur penembak sonar yang tak kuketahui—aku belum sempat tanya-tanya pada orang tuaku apa kiranya yang kumiliki atau tidak kumiliki dibandingkan manusia lain. Montez berkata lagi, "Liburan semester lalu padahal aku datang ke rumah kalian untuk mengantar laporan keuangan OSIS, tapi kau tidak ada."

"Ah, ya, saat itu seharusnya kami jalan-jalan ke mall, tapi Malcolm tidak mau ikut. Makanya cuma ada dia di rumah."—Dan Malcolm juga memberitahuku waktu itu bahwa Montez tanya-tanya tentangku. Malcolm kelihatannya risih pada fakta bahwa ada adik kelasnya yang satu organisasi merasa tertarik adiknya, jadi dia memperingatkanku untuk tidak berpacaran dengan Montez, tapi bodo amat lah. Suri pasti benar. Montez pasti setidaknya merasa tertarik padaku sejak kami berbaris bersisian kala itu.

"Aku belum tahu namamu," ujarnya. "Saat aku melihat foto keluarga kalian dan bertanya, Malcolm malah memberi tahu nama ayah dan ibu kalian. Kelihatannya kau punya kakak laki-laki yang protektif."

Aku mengeluarkan suara pfft setengah tertawa. Protektif—penggal kepalaku kalau itu benar. Dia belum tahu saja waktu Malcolm meleng melihat cewek cantik di pusat jajanan suatu malam dan meninggalkanku di depan gerobak martabak sendirian.

"Namamu ...." Montez menerka-nerka, "Ayahmu Martin, ibumu Mutia, kakakmu Malcolm, jadi namamu pasti—"

"Tulisa." Aku menyengir.

Dan begitu saja kami bertukar kontak.

***

Montez datang ke rumahku sorenya. Saat Papa bertanya siapa itu, Malcolm menjawab dengan suara mendesis sengit, "Adik kelasku, dan sepertinya dia naksir Tulisa."

"Apa?" Papa balas mendesis, lalu menyiapkan senapan antiknya yang selama ini kukira cuma pajangan. Saat aku membujuk Malcolm untuk menghentikan Papa, dia malah mengeluarkan tongkat kasti dari tangannya.

Saat kami menyambutnya di pintu depan, Montez tidak sendirian. Dia datang bersama orang tuanya.

"Apa ini?" Malcolm menudingnya. "Terlalu cepat 50 tahun buatmu melamar adikku."

Aku mendelik ke arahnya. "Kau mendoakanku membujang sampai umurku 66?"

"Hei," kata Papa dengan kening berkerut. Di belakangnya, Mama muncul sembari melepaskan celemek dapurnya. "Kalian pasutri yang waktu itu juga bersalin di hari yang sama dengan istriku."

"Benar, Pak." Papanya Montez menepuk-nepuk bahu anaknya. "Kami langsung menyadarinya hari itu juga, sayangnya kalian sudah pergi sebelum kesalahan diluruskan. Tapi ... Montez ini anak kalian. Dan Tulisa anak kami."

Kakakku menjatuhkan tongkat kastinya. "Tapi ... itu mustahil. Tulisa adikku. Maksudku, dia sepertiku, lahir dari ... dari—"

"Sini, 'kan?" Ibunya Montez menunjuk lubang telinganya. "Jangan khawatir. Rahasia kalian aman. Kami mengerti tiap keluarga punya rahasia masing-masing. Masalahnya, Montez dan Tulisa lahir di hari yang sama. Anak kalian ... karena lahir dalam keadaan—em, bagaimana menyebutnya ... ah, keadaan khusus. Jadi, pihak rumah sakit kesulitan mengidentifikasi jenis kelaminnya. Tapi, saat aku melahirkan anakku, aku yakin benar dokter menyebutkan anakku perempuan."

"Begitu bayi kalian beradaptasi dan dalam proses mengambil wujud manusia, sepertinya bayi itu agak menyerupai anak kami. Perawat salah mengiranya sebagai bayi kami. Begitulah Montez dan Tulisa tertukar. Saat kami menyadarinya, kalian sudah pergi."

Kutatap Montez dengan sorot terluka. "Jadi, kau mendekatiku karena tahu aku bersama keluarga aslimu? Bukan karena naksir padaku?"

Montez mengeluarkan suara pfft. "Kenapa aku harus naksir padamu? Aku sudah punya pacar."

***

Setelah banjir air mata dan meluruskan banyak hal, akhirnya aku harus mengucapkan perpisahan pada Papa, Mama, dan Malcolm. Ketiganya tampak lebih terpukul daripada aku, padahal akulah anak adopsiannya di sini.

Papa dan Mama baruku kelihatannya orang baik. Mereka sudah dari lama mencariku, tetapi tetap merawat Montez seperti anak sendiri. Mereka pun tampak sedih saat melepaskan kepergian anak adopsian mereka, tetapi tetap antusias menyambutku.

Dalam satu hari, aku patah hati dan mendapati kenyataan bahwa aku bukan anak kandung dari keluarga yang selama ini menyayangiku begitu tulus.

Aku berusaha mengambil hikmahnya. Setidaknya, aku bukan alien.

"Baiklah. Ada satu hal penting yang harus kau ketahui tentang keluarga kita, Tulisa," kata Mama baruku sesampainya di rumah mereka. Papa baruku menepuk-nepuk bahunya seperti menyemangati. "Kakek dan Nenekmu bukan makhluk bumi. Jadi, kita bukan ras manusia. Kita ras Adhili. Kakek dan Nenekmu datang dari galaksi Andromeda dan mengungsi kemari saat Perang Bintang II terjadi."

I told you it's not scifi, lebih kayak parodi karena saya nda sempat riset sama sekali '-')

Maapkan kalau belakangan ceritanya kurang mendidik, minim moral, garing, dsb. Oracular ini hasil dari spontanitas tanpa mikir dan ngetik kilat dan ubun-ubun saya mulai panas dan hari ini aja sudah dua kali mati listrik sampai ketikannya ilang dua kali. FEBRUARI KOK LAMA BANGET—

Next>>> 16 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro