2 Februari 2022

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DWC #2
[Pergi ke website klik satu kali kartu di tengah, lalu tulis cerita berdasarkan kartu itu. Boleh diambil meaningnya, boleh sejarahnya]

:.:.:

|| Indigenous - Cerita Lepas ||

|| Paranormal, Horror ||

|| 1319 words ||

Logikaku bilang Kiri, kiri. Intuisiku berkeras Atas, atas.

Atas mana? Logikaku mendebat. Kita di tengah tanah kosong, atas lewat mana? Terbang?!

Intuisiku masih mengotot, Pokoknya atas, Bung.

"Perasaan kita sudah lewat sini tadi," kata Magenta seraya berjongkok kecapekan. "Jelas sudah, kita tersesat."

"Ini masih lingkungan sekolah, kok." Aku ikut berjongkok. "Dan lagi, pasti yang lain bakal mencari kita."

Sial betul. Seharusnya aku bolos persami, tetapi karena suatu janji dengan Safir yang aku sendiri lupa kapan kubuat, aku harus mulai aktif dengan kegiatan sekolah dan membaur secara sosial. Dalam perjanjian itu termasuk perkemahan sabtu-minggu. Sekarang, di tengah jurit malam, Magenta dan aku terpisah dari kelompok kami. Tololnya, kami tersesat.

"Ingat cerita Zamrud tadi?" ungkit Magenta. "Tentang anak-anak sekolah kita yang hilang ke alam gaib tiap persami?"

Zamrud kampret. Dia sengaja sekali menceritakannya ke kami sebelum jurit malam dimulai. Dia tidak mau takut sendirian setelah mendengar cerita itu dari teman sekelasnya.

Jadi, alkisah ada portal gaib menuju alam gaib di belakang lab biologi yang memang sejak dulu mirip tempat gaib. Tamat.

Katanya, selalu ada dua anak yang hilang di sana di tengah-tengah jurit malam saat persami. Kemudian, setelah para siswa mencari mereka sambil mengelilingi lab biologi tiga kali, anak-anak yang hilang muncul kembali dalam keadaan setengah sadar dan meracau tentang hantu-hantu di atas pohon. Tamat lagi.

Menurut rumor, di antara para murid pencari yang mengelilingi lab tiga kali itu, selalu ada kelebihan satu orang. Tamat sungguhan.

"Kita cuma harus menunggu di sini sampai yang lain datang," kataku. "Lupakan cerita Zamrud. Kita cuma hilang arah karena gelap."

"Harusnya tadi kita bawa senter berlebih." Magenta mengomel. "Di sini gelap banget."

Aku menatap sekitar. Memang lebih gelap biasanya. Malah, aku merasa seolah tidak ada langit di atas sana, cuma kekosongan hitam. Aku tidak bisa melihat awan atau berkas cahaya bulan.

Rumput hijau sekali di kaki kami. Padahal biasanya lingkungan sekolah kami gersang. Pepohonan tampak lebih besar dan liar daripada biasanya, bercabang ke arah-arah yang menurutku tidak wajar.

Ini alam gaib, intuisiku memanas-manasi. Kalau tidak cepat-cepat pergi dari sini, nanti dimakan hantu.

Geblek. Logikaku menukas. Memang kasar, logikaku itu, mungkin karena ia sering kuabaikan.

Magenta sudah duduk kali ini sambil memeluk lutut. "Dari tadi, kamu mencium bau aneh, tidak, sih?"

"Bau?"

"Iya. Kayak ada yang mati. Jangan-jangan ada bangkai hewan di sekitar got—" Magenta menoleh ke belakang, lalu membeku.

"Apa?" Aku ikut menoleh, tetapi tidak melihat ada yang aneh.

"Tidak ada got." Magenta berujar kaku. "Sekolah kita, 'kan, dikelilingi parit besar-besar macam benteng perang abad pertengahan. Luar mau pun dalam pagar sekolah, seharusnya ada got. Tapi tidak ada got sama sekali di sini. Dan lagi, kalau kita tersesat sampai keluar sekolah, harusnya banyak rumah, 'kan? Sekolah kita dikepung rumah-rumah."

Aku menjilat bibir yang terasa kering. Instingku kian menggila, tetapi sisi logis otakku masih menyanggah mati-matian.

Semua ini hanya ada di dalam kepalaku. Aku mengingat-ingat lagi cara mengusir mimpi-mimpi buruk itu. Aku sempat ikut terapi dengan Safir meski aku tak pernah menyelesaikannya. Safir bilang, dia merasa lebih baik setelah beberapa kali konseling dan merasa ruhnya tidak keluar-keluar lagi—karena barangkali ruhnya memang tidak pernah keluar. Karena semua hal-hal mistis itu hanya ilusi dalam kepalanya yang disebabkan trauma.

Berbanding terbalik dengan Safir, aku merasa lebih buruk tiap sesi konseling itu. Saat aku membeberkan mimpi-mimpi aneh tersebut, aku merasa seolah ditelanjangi oleh orang tidak dikenal. Aku merasa orang itu mencoba merebut bagian diriku yang bahkan tidak seharusnya dia ketahui. Seharusnya hanya yang boleh menyimpannya. Jadi, yah, otakku masih miring ke sisi yang salah.

"Hei, apa itu teman atau kakak kelas kita?" tanyaku seraya memicingkan mata. Ada seorang pemuda berseragam pramuka yang sepertinya melambai ke arahku dari kejauhan.

Di saat bersamaan, Magenta tengah mengamati pohon-pohon. Darah seolah menyurut dari wajahnya. "Apa itu? Nila, kamu lihat itu juga, tidak?"

Namun, aku sudah berjalan ke arah pemuda berseragam pramuka tersebut. Aku merasa déjà vu. Baru setelah berhadapan dengan pemuda tersebut, perasaan déjà vu itu hilang. Kukira tadinya aku mengenalnya, rupanya tidak. Dia memakai lambang kelas 12 sekolah kami yang kelihatannya sudah usang dan tua, kulitnya pucat, rambutnya pendek dan agak ikal. Bibirnya agak putih seperti orang kedinginan.

"Kalian tersesat?" tanyanya. Dia mengedikkan kepala, menyuruh kami mengikutinya. "Ayo. Yang lain sudah menunggu kalian."

"Magenta!" Aku memanggil teman sebangkuku. "Ada kakak kelas menemukan kita, nih."

Magenta menghampiriku. Cara berjalannya aneh, tergesa-gesa sekaligus gentar. Dia memeluk dirinya sendiri. Matanya fokus ke arahku seolah dia tidak mau menatap ke sekitar. Ada apa dengannya.

"Syukurlah," kata Magenta. Suaranya melengking gugup. "Ayo pergi dari sini."

"Tadi, kau tanya apa aku lihat sesuatu di pohon—"

"Tidak apa-apa." Magenta menyela buru-buru dan mendorongku. "Aku salah lihat."

Kakak kelas itu berjalan mendahului kami dan tidak mau repot-repot menunggu, jadi kami setengah berlari untuk mengimbangi langkahnya.

Ada yang salah dengan kakak kelas ini, instingku membuka topik perdebatan lagi. Ayo kita lari dan cari jalan lain.

Geblek. Logikaku menentang. Kita sudah aman. Tinggal ikuti kakak kelas itu saja dan kita bisa balik lagi. Jangan memperpanjang urusan.

Ada yang salah dengan kakak kelas itu.

Geblek.

"Nila, Magenta."

Aku menoleh dan mendapati Safir di belakang kami. Dia menelan ludah dan sorot matanya goyah, kaki kanannya maju, tetapi kaki kirinya seolah membatu. Seolah dia tidak mau maju menghampiri kami.

"Safir?" Magenta menghampiri ketua kelas kami dengan lega. "Kamu lama. Untung kakak kelas ini—"

Safir menarik tangan Magenta lumayan keras sampai gadis itu tersentak ke belakang tubuhnya. Masih sambil mencengkram tangan Magenta, Safir mengulurkan tangannya yang satu lagi. "Nila. Sini."

Aku bahkan belum bereaksi saat tangannya diraih oleh si kakak kelas.

Aku menoleh dan menatap kakak kelas itu. Matanya berkobar oleh amarah, tetapi suaranya penuh bujuk rayu. "Aku, 'kan, tadi sudah bilang, Yang lain sudah menunggu. Sudahlah, kamu saja yang ikut. Toh, cewek itu tak bakal bisa masuk dengan peliharaan sebesar itu."

"Ha?" Aku melongo.

Kemudian, instingku meraung gila-gilaan lagi. Seperti tanda bahaya.

Sekali ini, logikaku menyambut instingku dan akhirnya menalar: Tidak ada kakak kelas 12 yang ikut persami.

Aku mengamati lambang di bajunya, betapa usang pakaiannya, dan amarah yang diikuti keputusasaan dalam matanya. Cengkramannya menguat.

Kupegangi pergelangan tangannya, lalu berkata, "Kakak kesepian, ya?"

Si kakak kelas melonggarkan pegangannya. Bola matanya bergetar sedikit.

"Kalau aku ikut dengan Kakak, apakah Kakak tidak bakal mencari anak-anak lain lagi?" tanyaku.

"Nila!" Safir membentak di belakangku.

"Tadi Kakak bertanya apakah kami tersesat," kataku. "Apakah Kakak juga tersesat?"

Kakak kelas itu menurunkan pandangan matanya. Suaranya begitu lirih dan hampir tidak terdengar. "Tidak ada yang mencariku. Sampai semuanya terlambat."

"Aku ikut menyesal," kataku, entah bagaimana ikut merasakan dukanya.

Kakak kelas itu akhirnya melepaskan tanganku.

"Maaf," ujarnya. Kakinya melangkah mundur, menjauh dariku. Kali ini, dia tersenyum. "Maaf, ya."

***

Begitu Magenta dan aku ditemukan, kami langsung dibawa ke UKS dan diberi teh panas. Safir sendiri, anehnya, lenyap begitu saja saat kami kembali ke lingkungan sekolah. Sekitar 30 menit kemudian, si ketua kelas dibopong masuk ke UKS oleh dua orang kakak kelas. Katanya, Safir pingsan di dalam kelas 10.

Di sebelahku, Magenta menggigil dan bergumam tentang kera-kera bertaring di atas pohon. Di ranjang seberang, Safir tersengal dan terus berkata bahwa dia butuh terapi dari awal. Sepertinya dia mengira ruhnya keluar lagi.

Sebelum subuh, Zamrud mengunjungi kami di UKS. Magenta dan Safir sudah tidur, tetapi aku masih melek. Zamrud dan aku mengobrol.

"Tadi," kata Zamrud bersemangat, "waktu kalian hilang, katanya ada yang kesurupan dan meloncat-loncat kayak monyet sampai mencakar ibu wakasek. Iri, deh, kapan lagi bisa mencakar Bu Sepia tapi tidak kena gorok beliau?"

"Jengkel, deh," kataku. "Di film-film luar negeri, kegiatan berkemah tuh diisi kisah cinta romantis. Cuma di tempat kita, berkemah isinnya kesurupan."

Zamrud kemudian bercerita lagi—kisah seram tentang hilangnya anak kelas 12 yang terjadi tahun 1999, yang masih belum ditemukan sampai sekarang. Kabarnya, anak itu korban perundungan. Anak-anak yang sering mengerjainya sempat masuk kantor polisi karena merekalah yang terakhir terlihat bersama korban, tetapi para berandal itu tidak bisa dihukum karena masih di bawah umur.

Di bulan Juli saat kami naik ke kelas 11, sekolah kami masuk koran karena jasad sang anak kelas 12 ditemukan di belakang lab biologi.

:.:.:

"And if you have to leave

I wish that you would just leave

'Cause your presence still lingers here

And it won't leave me alone."

My Immortal, song by Evanescence

Doakan saya masih hidup sampai 26 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 3 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro