3 Februari 2022

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DWC #3
[Buat tulisan dengan tema "Cinta Pertama"]

:.:.:

|| Short Story ||

|| Romance, Young Adult ||

|| 1569 words ||

Ibu bilang, cinta pertama setiap anak gadis adalah ayahnya. Ayah menukas, cinta pertama setiap anak gadis pasti oppa Korea. Menurut kakak perempuanku, cinta pertama setiap anak gadis bisa jadi aktor atau penyanyi Hollywood. Bagi kakak laki-lakiku, cinta pertama setiap anak gadis mungkin saja cowok 2D tampan di komik atau anime. Tergantung si anak gadis terpapar yang mana duluan.

Kalau kataku, cinta pertamaku tak lain dan tak bukan, Kak Natha.

Kami pernah satu SD. Saat itu, selain hatiku, dia juga mencuri cokelatku. Bukan berarti Kak Natha begal cokelat sejak SD, tetapi saat itu aku hampir membunuh seekor kucing dengan memberinya makan cokelat. Aku masih kelas 3 dan menolak diberi tahu, jadi Kak Natha memakan cokelat itu sebelum dimakan si meong.

Kalau diingat lagi, aku bikin malu karena aku menangis saat itu. Namun, itu juga kenangan indah karena Kak Natha menunggu sampai aku selesai menangis—yang mana menghabiskan seluruh jam istirahat—untuk kemudian meminta maaf.

Keesokan harinya, aku yang meminta maaf karena baru tahu cokelat beracun buat kucing. Kak Natha tersenyum dan bilang bahwa cokelat tidak beracun buatnya, dan dia suka cokelat, jadi dia berterima kasih. Sejak itu, aku yakin suatu hari nanti aku mau menikah dengannya.

Karena ayahku dipindahtugaskan oleh kantornya, kami sekeluara pindah ke kota lain. Kak Natha pun menjadi kenangan masa kecil semata.

Sampai kemudian kami bertemu lagi di dunia perkuliahan.

Dia mengingatku. Dia sempat menyapaku, tetapi hanya itu. Aku kembali jatuh hati padanya, tetapi dunia ini bukan drama Korea. Atau mungkin duniaku memang drama Korea, minus karakter perempuan yang dikejar-kejar oleh si pemuda impian.

Kak Natha jadi tinggi, berprestasi, dan tenar di kalangan muda-mudi. Meski tidak seperti mahakarya Squidward Tentacle, bagiku dia tampan dan berani. Kak Natha berteman dengan kakak laki-lakiku, jadi kami lumayan sering bertemu meski tanpa mengobrol banyak.

Kak Natha juga punya reputasi: mulutnya pedas, blak-blakan, dan pernah membuat primadona kampus menangis karena cintanya ditolak.

Primadona kampus yang langsing, bening, dan bling-bling—ditolak. Aku tidak punya harapan.

Aku terlahir dengan hidung minimalis alias pesek, mataku kecil, rambutku lurus dan kaku seperti ijuk, berat badanku naik sejak SMP, dan kulitku menggelap karena keadaan memaksaku kerja sambilan di bawah terik matahari setelah ayahku diberhentikan dari pekerjaannya. Aku benci penampilanku. Aku benci panggilan Dakocan yang disematkan padaku sejak SMA. Aku benci membayangkan diriku yang sekarang bersisian dengan Kak Natha yang sempurna.

Apa kata orang-orang nanti kalau mereka tahu orang macam aku bahkan berani menaruh hati pada pemuda berfisik sempurna semacam dirinya.

Orang-orang tak pernah mengatakannya secara gamblang, tetapi saat ditanya bagaimana penampilanku, "cantik" adalah kata yang mustahil membesit di pikiran mereka. Bahkan, kakak laki-lakiku pernah mengajakku ke balkon dan menyuruhku berteriak, "Aku jelek dan aku bangga."—sebagai penyemangat, ujarnya. Aku menghajar anunya.

Memasuki semester kelima, kuputuskan untuk berubah. Operasi plastik sedang jadi tren, dan tidak ada yang akan menghakimiku kalau aku mengubah penampilan sedikit. Lagi pula, ini uangku sendiri—hasil jeri payahku di bawah sinar matahari seharian dan begadang semalaman. Hanya hidung. Setidaknya, aku ingin memiliki hidung mancung pun tetap mungil seperti hidung Kak Liana—sang primadona kampus yang dibuat menangis oleh Kak Natha.

"Kamu yakin, Dilla?" tanya kakak perempuanku saat kami membuat janji dengan dokter bedah. "Harus sampai melakukan nose job?"

"Yakin," jawabku mantap. Kupandangi wajahku di kaca bedak. Sebentar lagi aku bisa mengucapkan selamat tinggal pada penampilan ini. "Oh, ya, Kak. Produk pemutih kulit yang Kakak rekomendasikan waktu itu—bagus banget. Obat pelangsingnya juga—berat badanku turun drastis."

Kakak perempuanku tak berkedip menatapku. Dia mengalihkan pandang seperti merenungi sesuatu. Aku tak tahu apa.

Operasi pemancungan hidung ternyata butuh waktu. Padahal sebentar lagi valentine, dan aku ingin berdiri di depan Kak Natha dengan wajah cantik sempurna. Namun, aku tidak boleh menyerah.

Kubongkar tabunganku dan menghabiskan berjam-jam di salon untuk membetulkan rambut ijukku dan melakukan perawat kuku. Aku membeli baju baru yang cocok dengan kulit dan ukuran badan baruku.

Sempurna. Kecuali hidung, semua sempurna.

14 Februari, aku membeli cokelat dengan merk yang sama saat kami SD dulu, lalu memberikannya ke Kak Natha. Hari itu, ada banyak sekali cokelat yang disodorkan padanya, semuanya dia tolak mentah-mentah dengan komentar pedas. Beberapa gadis cukup sial untuk melihat cokelatnnya dilempar ke bak sampah.

Namun, Kak Natha menerima cokelatku.

Dia tidak mengatakan apa-apa, tetapi dia menerimanya. Dia memasukkan cokelat pemberianku ke dalam tas. Seluruh perjuanganku terbayar sudah.

Selanjutnya: operasi kelopak mata.

Kemudian, tragedi itu terjadi pada 14 Maret alias White Day, hari di mana para pria memberi hadiah balasan untuk cokelat valentine-nya.

Kak Natha mengembalikan cokelatku.

Bungkusnya sudah robek. Cokelat itu mencair dan bentuknya yang semula cantik kini tampak burik. Topping warna-warninya hancur jadi remah pelangi.

"Kenapa—"

"Cokelat untukmu," ujarnya sembari mengangkat sebelah alis. "Balasan untuk valentine."

"Tapi ini cokelat yang kukasih—"

"Dan sekarang balik ke kamu," potongnya. "Cokelat itu darimu, untukmu. Sudah busuk? Iya. Soalnya, seperti itulah cara kamu memandang dirimu sendiri. Kalau aku hitam, pesek, pendek, dan gemuk—kamu juga bakal mengoperasiku?"

Aku menganga. Mataku berkedut, berair, dan hampir saja aku menampar Kak Natha sambil menjerit-jerit. Aku ingin memuntahkan semuanya—bahwa dia mustahil mengerti posisi dan perasaanku. Dia tidak perlu berkata begitu.

Namun, Kak Natha berkata lagi, "Kalau mencintai dirimu sendiri saja kamu tidak bisa, kamu berharap bisa mencintai orang lain?"

Belakangan kuketahui bahwa kakak laki-lakiku bicara ke Kak Natha—bagaimana aku diet mati-matian, mengonsumsi obat pelangsing, memakai produk pemutih yang kadang membuatku gatal-gatal, dan bagaimana aku menghabiskan tabunganku untuk ke salon. Kakak perempuanku menambah bara api dengan mengungkapkan penyesalannya menemaniku melakukan nose job.

Aku menangis seharian dan kesulitan tidur malamnya. Aku tidak mau masuk kuliah. Aku menolak bicara dengan siapa pun dalam keluargaku. Tanpa obat pelangsing, berat badanku terus turun karena aku menolak makan.

Akhir Maret, Kak Natha datang ke rumahku. Bukan untuk menemui kakakku. Dia berdiri di depan pintu kamarku dan meminta maaf atas perkataannya. Aku, tubuh kurus tinggal tulangku, dengan kulit memerah mengelupas yang terasa gatal, menutup diri dengan sehelai selimut tersampir di kepala dan dirapatkan ke dada.

"Wajah tampan tetap sia-sia kalau attitude bobrok," ujarnya, "dan aku sadar betul sikapku memang jelek. Sejak dulu. Kamu mungkin lupa, tapi kita pernah satu SD dan aku bikin kamu menangis—"

"Aku ingat," kataku.

"Hmm." Dia mengangguk. "Kamu pasti kepingin menamparku, 'kan?"

"Iya."

Dia membungkuk sampai wajah kami sejajar. "Lihat? Muka setampan atau secantik apa pun tidak gunanya kalau yang punya tampang tidak tahu diri. Lagi pula, aku tidak paham kenapa kamu merasa jelek."

Aku menggertakkan gigi. "Jangan pakai jurus 'cakep dan cantik itu relatif', ya. Itu memuakkan karena kalian tidak tahu rasanya jadi orang sepertiku."

Kak Natha mendesah. Dia merogoh saku celananya dan mengeluarkan secarik kertas, lalu meletakkannya di tanganku.

Aku mengernyit. Ini bungkus cokelat dengan merk yang sama dengan kuberi padanya, tetapi agak berbeda ....

Ini memang merk yang sama, tetapi desain bungkusnya sudah lama. Bungkusnya memang berubah setelah bertahun-tahun. Jadi, ini—

"Ini cokelat yang kuambil darimu waktu kita SD," kata Kak Natha lagi, "masih kusimpan bungkusnya. Sampai bersemut, sampai logonya hampir hilang, sampai jamuran. Kenapa? Karena kamu cinta pertamaku."

Aku mendongak. Sepertinya tadi telingaku rusak sebentar. Aku pasti salah dengar.

"Waktu kamu mengubah bentuk hidungmu dan pakai obat-obatan yang serba instan itu, aku marah," ujar Kak Natha. "Tapi aku tidak punya hak buat marah. Itu penampilanmu, uangmu. Jadi, aku melampiaskannya waktu White Day. Memang bukan alasan dan kata-kataku keterlaluan, tapi kamu juga keterlaluan sama tubuhmu sendiri."

Aku masih menganga. "Tapi—"

"Dilla," katanya seraya mengeluarkan satu batang cokelat lagi dari tasnya. "Cokelat ini,"—diacungkannya cokelat itu ke depan mukaku, "warnanya apa?"

"Cokelat ... hampir hitam."

"Tapi dia disukai orang-orang," kata Kak Natha lagi. "Mungkin cokelat ini dikasih susu atau kacang atau topping macam-macam. Tapi dia tidak perlu mengubah warnanya untuk disukai. Dia bisa jadi hitam, cokelat, putih—tapi dia tetap cokelat. Dia tetap manis. Dia tetap pahit. Dan orang-orang suka."

Bibirku bergetar. "Tapi—"

"Dilla, aktor dan aktris yang cakep dan cantik memang banyak yang punya hidung mancung. Tapi, nenek sihir dan pinokio juga. Dan aku suka rambutmu sejak dulu tanpa kamu perlu menghabiskan jutaan untuk mengubahnya. Kalau kamu merasa ingin merias diri untuk merasa nyaman dan percaya diri sampai batas wajar, menurutku usahamu itu saja sudah bikin kamu jadi perempuan paling cantik di dunia. Tapi kamu melakukannya karena kamu benci dengan dirimu, juga untuk mencari pengakuan orang lain. Saat itu, menurutku kamu enggak ada bedanya dengan Liana, atau cewek-cewek yang mengejekmu, atau cowok-cowok yang cuma memacari perempuan cantik. Waktu kamu memberiku cokelat hari itu, dengan hidung diplester dan kulit yang kamu paksakan ubah warnanya, akulah yang patah hati."

***

Aku duduk termenung dalam kamar setelah Kak Natha pulang, lalu tersedu-sedu sampai mataku bengkak.

Aku menemui kakak-kakakku dan berbaikkan dengan keduanya. Kalau dipikir-pikir lagi, rasanya sia-sia aku mencari pengakuan dari orang-orang asing yang mengataiku. Aku punya dua kakak yang sudah mencintaiku tanpa aku harus mengubah apa pun. Bahkan saat aku mengubah diriku, mereka masih mencintaiku.

Ibuku terus memasak makanan favoritku selama berminggu-minggu tanpa kusentuh sama sekali. Malam ini, aku memakan semuanya sampai berurai air mata. Ayahku mengacak rambutku dengan sayang dan menawariku untuk ikut jogging bersamanya mulai besok—itu akan jadi hari pertama setelah lima tahun lamanya kami tak pernah menghabiskan waktu bersama lagi.

Aku kembali ke kamar, merobek kalender yang kutandai untuk operasi kelopak mata, lalu membuang semua obat-obatan yang hampir merenggut nyawa. Kupasang catatan baru pada cermin sebagai pengingat: aku cokelat dan aku bangga.

Mulai hari ini, cinta pertamaku akan jadi diriku sendiri. Setelahnya, Kak Natha, setelah aku menjadi perempuan yang mengetahui nilai diriku sendiri, dan tentunya setelah kau menjadi laki-laki yang tak lagi bermulut cabai katokon, aku siap mencuri hatimu sekali lagi.

:.:.:

"I wish I could tie you up in my shoes.

Make you feel unpretty too."

I Feel Pretty / Unpretty, song by Glee Cast
(Originally by 
West Side Story/TLC)

Doakan saya masih hidup sampai 25 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 4 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro