2 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 2 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah cerita dengan tema, "Liburan bersama keluarga."

|| 2657 Words ||

|| RavAges - Cerita Lepas ||

"Kurasa, aku pernah ke pantai itu satu kali saat liburan dengan Ayah dan Ibu."

"Benarkah? Kenapa kau tidak menyapaku atau datang ke rumahku? Keluarga kita bisa saja berkenalan saat itu!"

"Mana kutahu—kita belum saling kenal saat itu, Alatas! Dan umurku masih 6 tahun!"

Dari dalam tenda, aku mendengarkan Alatas dan Leila yang mengobrol seraya mengumpulkan kayu bakar. Percakapan mereka bikin aku teringat saat mendiang ibuku masih hidup—kami tidak pernah liburan keluarga ke pantai, tetapi Mama selalu membawaku berkemah. Ke bumi perkemahan. Ke bukit di belakang tempat kerjanya. Ke pegunungan di kampung halamannya, entah di kedalaman hutan atau hilir sungai.

Favoritku adalah bukit di belakang kawasan observatorium tempat Mama bekerja. Di sana hening, jadi aku masih bisa mendengar suaranya meski kecil. Di sana juga dingin, jadi Mama memelukku sepanjang malam.

Karena obrolan barusan, aku jadi kepikiran, bagaimana rasanya liburan ke pantai dengan keluarga?

Mama belum pernah mengajakku ke pantai—dia wafat saat aku masih sangat kecil. Ayahku tidak pernah mengajakku ke mana-mana—dia bajingan pemalas yang menonton televisi siang-malam, langsung menikah lagi tak lama setelah Mama dimakamkan, dan membuangku ke Pusat Karantina begitu tempat tersebut dibuka.

Aku mengendap ke luar tenda, mencari Truck yang sepertinya masih berkeliling sendirian—dia selalu menjauh tiap kali Alatas dan Leila mulai bermesraan, katanya itu bikin dia meriang dan mual-mual.

Kusisir garis pantai. Tempat ini adalah target pembukaan lahan selanjutnya. Sudah 4 tahun pasca bergantinya kepemimpinan NC dan Bintara dihukum mati, kami masih berusaha memperbaiki Garis Merah sedikit demi sedikit. Meskipun kegiatan ini cuma misi pembukaan lahan, tetapi ini pertama kalinya kami bepergian berempat lagi setelah selama 4 tahun belakangan sibuk masing-masing—Alatas disibukkan tugas perekrutannya, Leila kocar-kacir dengan tugas pembukaan lahannnya, Truck setengah mati mempertahankan T. Ed Company yang diwarisinya, dan aku dipenjara dalam sekolahku.

Begitu mendengar aku punya tugas untuk mengisi liburan sekolah ini dengan esai mengenai pengalaman berlibur, Leila segera mengatur agar kami berempat bisa pergi bersama dalam misi pembukaan lahannya di dekat pelabuhan telantar Pulau Lama. Gampang buat Leila melakukan itu. Leila mewarisi bakat nepotisme dan kekuatan orang dalam yang hebat—soalnya ayahnya seorang Agen NC tersohor dan kenalannya adalah pemilik T. Ed sebelum Truck.

Seperti sebagian besar Garis Merah, tempat ini seperti lokasi berhantu yang pernah diterjang bencana alam dan kena wabah sekaligus. Air pantainya surut dan kecokelatan, tidak ada ikan-ikan atau hewan apapun kecuali kami mencari ke tengah perairan yang lebih dalam, garis hutan masih meluas dan nyaris menginvasi wilayah pasir pantai. Langit senja semerah darah dengan gumpalan awan kelabu gelap seperti asap kebakaran. Kecuali angin pantai berembus membawa mereka pergi, awan-awan itu akan bikin malam ini segelap masa-masa kepemimpinan Bintara—tidak bakal ada bintang atau bulan.

"Kenapa kau keliaran sendirian?" Suara Truck menyentakkanku. Dia sedang duduk di atas pondasi batu kali setinggi pinggangku—pondasi yang seharusnya berfungsi untuk mencegah gelombang pasang dan erosi, tetapi tidak banyak gunanya sejak pencemaran Fervor.

Aku menggerakkan jari tanganku, berbicara padanya menggunakan bahasa isyarat: Bosan.

"Hmm," responsnya singkat, lalu kembali melemparkan tatapannya ke garis pantai.

Truck dan aku mulai jarang bertemu sejak aku naik kelas 8. Dia bukan tipe orang yang mudah bicara atau didekati sejak awal, jadi dalam kurun waktu setahun ini, dia membangun tembok lagi di antara kami. Masalahnya, aku bukan bocah 10 tahun lagi, yang bisa dengan mudah menempelinya seperti remora merekat di badan paus. Jadi, kami malah tambah canggung dan berjarak.

Sempat terpikir olehku untuk kembali lagi saja ke dalam tenda, tetapi Truck kemudian berkata, "Bagaimana sekolahmu?"

Dia menanyakan itu sambil masih menatap garis pantai. Dia ini sengaja? Atau otaknya hilang di garis pantai yang ditatapnya? Dia tahu aku tunarungu dan tidak bisa bicara—dia mesti menatapku kalau mengharapkan jawaban. Dia bukan Leila yang bisa membaca pikiranku.

Aku mengambil batu yang lebih kecil dari genggaman tanganku, lalu melontarkannya sampai mengenai telinganya. Truck terkejut dan menoleh padaku dengan sorot mata ganas, seperti paus pembunuh.

Nilai sekolahku oke, tapi aku masih benci jam olahraga. Kuberi dia jawaban dengan bahasa isyarat. Mengabaikan tatapan mematikannya, aku ikut duduk di sampingnya. Kami dilarang pakai Fervor. Jadi keahlian olahragaku selalu nomor dua atau tiga paling bawah.

Truck mengusap telinganya yang kena batu. Dia diam sebentar, barangkali menenangkan diri agar tidak menendangku jatuh. Kemudian dia berkata lagi, "Kudengar dari Leila kau mewarisi bakat berenang batunya—kau hampir tidak lulus saat tes renang. Itulah sebabnya Alatas sering mengajakmu ikut dengannya ke kolam waktu kau kelas dua—harusnya kau menurut."

Kali ini, kujentik telinganya, membuatnya syok sekali lagi. Jari dan tanganku bergerak untuk menjawabnya, tetapi Truck—dengan satu tangan menangkup telinganya yang kujentik—menggertak, "Apa, sih, yang salah denganmu?!"

Aku mendengkus. Kutunjuk alat bantu denganku, lalu mulutku, lalu kugoyang-goyangkan jari tanganku. Saat itulah kesadaran mengisi matanya.

"Maaf," gumamnya sembari menghindari kontak mata lagi denganku, "aku lupa ...."—Dia menggeram sebentar, jari-jari tangannya memijat pangkal hidungnya. "Sori, pasti terdengar bodoh. Mana ada orang yang ... yah—maksudku, bisa-bisanya aku lupa kau tunarungu, tapi kenyataannya memang begitu. Hanya saja, sejak tadi tidak terlintas di pikiranku—yah, maaf."

Kutepuk bahunya agar dia menoleh lagi. Tanganku bergerak, Sekarang aku paham perasaan Leila tiap kali kau lupa dia perempuan.

Truck memutar bola mata.

Kau jadi lebih akur dengan Leila, ya, belakangan ini, kataku lagi. Kukira kau bakal marah dia merebut Alatas darimu.

Truck mendengkuskan tawa jengkel atas kalimat terakhirku. Ini kemajuan. Kurasa, sudah aman bagiku untuk mengejeknya sedikit. Susah juga—padahal dulu saat aku masih 10 tahun, aku bisa mengatainya sesukaku tanpa perlu cemas dicekik olehnya. Namun, sekarang aku 14 tahun—Truck mungkin mengira aku sudah cukup tua untuk dapat bogem sungguhan.

"Kami lebih mudah akur saat berjauhan." Truck mengakui. Dia menyeringai sambil menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kesal. "Tapi cewek itu tetap menyebalkan saat kami bertatap muka. Kau lihat kelakuannya tadi? Mendorong tasku pakai kakinya, asal melemparkan jaket merah mudanya sampai menyangkut ke kepalaku, dan dia juga yang marah-marah karena jaketnya kini punya bau yang sama dengan rambutku."

Kali ini, Truck menyimak saat aku bicara dengan kedua tanganku. Leila memperlakukan orang sesuai perlakuan yang dia dapat dari orang itu. Kau pernah mendorong peti kemas berisi senjata selundupan sampai kena kakinya waktu kita sembunyi dalam mobil truk para Steeler.

Truck mengerutkan wajahnya. "Haruskah kau mengingat kejadian itu."

Aku tersenyum simpul. Ingatanku kayak gajah Truck. Aku ingat saat kau bertengkar dengannya cuma karena kesalahan jatah jam berjaga di Garis Merah. Aku ingat kau kepingin meninggalkannya berkali-kali tapi malah marah-marah saat Leila memisahkan diri di dalam mall. Aku ingat

"Sudah," ujarnya seraya menangkap jari-jari tanganku. "Kau sama saja dengan Alatas—mati-matian meyakinkanku aku seperti kakak laki-lakinya ...." Truck memasang wajah mual. "Aku cuma menoleransinya. Kalau punya adik seperti Leila, aku bakal mengeluarkan namaku sendiri dari kartu keluarga."

Keluarga. Aku tercenung lagi. Leila mungkin yatim, tetapi ibunya masih ada. Alatas baru-baru ini menemukan lokasi keluarganya, jadi dia tidak sepenuhnya sebatang kara.

Sepertinya, di antara kami berempat, Truck dan aku punya lebih banyak kesamaan dari yang kami sadari. Kami berdua tidak menyandang nama lahir kami. Tidak ada anggota keluarga kami yang tersisa lagi—aku tidak tahu ayah biologisku ada di mana, sedangkan Truck tidak pernah mau tahu tentang keberadaan orang tua biologisnya. Aku besar dalam kurungan, dia besar di jalanan dan akademi militer khusus Fervent.

Truck melemparkan sebutir kerikil, nyaris tidak masuk ke air. Aku mengikutinya—batu lemparanku berhasil mencapai gelombang pantai.

"Kau pakai Phantom," tuduhnya.

Tidak! dustaku. Kulemparkan satu batu lagi, kali ini tanpa Fervor. Ia nyaris mendarat di pasir pantai, jadi buru-buru kudorong batu itu dengan Phantom.

"Yap, kau pakai Phantom." Truck menuduh lagi.

Dia melempar batunya, kali ini lebih kuat, hampir mencapai gelombang pantai yang tadi juga kukenai. Kulibaskan tanganku, membuat batu itu meloncat lebih tinggi sampai hilang ke titik terjauh perairan yang mampu tertangkap mata.

Kami berdua berseru. Kuangkat kedua tanganku, mengajaknya tos. Lalu, keadaan jadi canggung karena Truck tidak bisa menyambut kedua tanganku sekaligus.

Aku lupa tangannya kutung satu.

***

Tangan itu putus saat menyelamatkanku. Neil berusaha meneleportasikan kami saat artificial night buatan NC ambruk, satu tangan Truck terjepit, dan dia berusaha mati-matian mempertahankanku—saat itu aku membeku, nyaris seperti patung mati ketika Leila menghilang tepat di depan mataku, ditelan ganasnya gaya gravitasi yang dihasilkan keruntuhan artificial night.

Itu semua kenangan buruk. Sama halnya seperti pengalamanku dalam kurungan Pusat Karantina, atau perjalanan kami di Garis Merah, atau mukanya Raios dan Bintara. Namun, aku jarang mendapat mimpi buruk tentang itu. Aneh—padahal saat di Garis Merah, aku lumayan sering berimpi buruk tentang hari-hariku dalam kurungan. Bahkan setelah kami aman pasca keruntuhan Kompleks Sentral, aku beberapa kali bermimpi buruk dikejar-kejar Sepatu Bot. Lalu, suatu hari, mimpi buruk itu berhenti begitu saja.

Leila pernah membawaku untuk diperiksa, karena kata orang-orang, kalau Fervent berbahaya sepertiku kena PTSD, aku mungkin bakal jadi Bintara 2.0. Namun, rupanya aku baik-baik saja. Kadang aku mungkin suka kagetan saat disorot cahaya terang mendadak, tak jarang pula aku merasa ngeri dan berdebar-debar saat melihat latihan baris-berbaris militer NC saat pawainya lewat di jalan, tetapi selebihnya aku dinyatakan stabil. Aku tidak merasa paranoid berlebihan. Aku tidak merasa perlu menyerang teman sekelasku secara membabi buta. Aku tidak melempar guru-guruku keluar jendela meski kadang mereka membuatku kesal.

Yah, tetapi aku memang masih membawa satu kebiasaan buruk.

"Alatas, berhentilah memanjakannya seperti itu," gerung Truck saat aku menggasak setengah jatah makanan Alatas. Kurasa dia masih sebal karena tos tangan tadi.

"Dia sedang masa pertumbuhan." Alatas menepuk ubun-ubunku.

Aku melirik lengannya. Alatas sudah 24 tahun, hampir 25. Sekarang dia punya cukup otot untuk dipamerkan karena pekerjaan dan perjalanan panjangnya. Lagi pula, Alatas bukan tipe anak rumahan sepertiku sejak awal—dia lahir di pantai, dengan hutan dan pegunungan yang memisahkan kampung halamannya dengan wilayah perkotaan. Masa kecil dan remajanya penuh dengan kegiatan melaut dan jadi kuli pelabuhan. Hari-harinya di Herde juga bukan hari-hari yang mudah. Dia juga sering bercerita bahwa, selama masa sekolahnya, dia punya banyak prestasi di bidang non-akademik—juara 1 lomba renang sekampung, gelandang terbaik sekabupaten, dan pernah menjadikan SMP-nya juara dua di pertandingan futsal.

Meski begitu, sentuhan tangan Alatas masih seringan bulu. Gerakan tubuhnya masih dengan penuh perhatian. Seperti ketika dia dengan sabar menyendok jatah makanannya ke piringku. Atau saat dia menyingkirkan debu dari rambut Leila dengan ujung jarinya tanpa disadari oleh gadis itu. Atau saat dia membantu Truck memasang jaketnya tanpa sedikit pun membalas omelan pria itu—heran tidak sih, dia yang dibantu, dia juga yang mengomel.

"Masa pertumbuhannya sudah lewat!" bentak Truck ke Alatas. "Anak itu barangkali sudah tumbuh bulu ketiak sekarang!"

Leila menampar paha Truck, dan bunyinya enak sekali didengar. "Haruskah kau bicara jorok begitu saat kita makan?!"

Truck mengangkat tangannya, yang dengan sigap ditangkis oleh Leila.

"Omong-omong tentang bulu," kata Alatas seraya mengusap-usap dagunya, "kenapa kau lebih dulu tumbuh janggut dariku Truck? Kau lebih muda dua tahun dariku. Aku juga mau cukuran keren sepertimu."

Leila mengerang dan meletakkan piring kertasnya di depan api unggun. "Selera makanku hilang."

"Sini, biar kusuapi—"

"Bah!" Truck menampar pasir pantai. "Pacaran di tempat lain, sana! Kalian membuat makananku basi!"

Kuatur pengatur suara di alat bantu dengarku, menikmati pertengkaran tanpa suara mereka bertiga sambil tersandar kekenyangan di lengan Alatas.

***

Besok, tugasku adalah mencatat semua kegiatan kami secara kronologis. Kami akan menyisir wilayah sampai ke pemukiman terdekat. Leila akan membuka diskusi dengan Fervent lokal, Alatas menjadi penengah, lalu Truck akan mengambil alih kalau diskusi jadi alot dan muncul tanda-tanda akan ada kekerasan terlibat di dalamnya.

Kami tidak bersenjata agar tidak tampil mengancam di mata warga lokal, tetapi Alatas bisa dengan mudah mengumpulkan sepasukan perkakas dapur dari logam kalau kami butuh senjata.

Aku sebetulnya tidak begitu gugup. Tidurku nyenyak. Namun, tengah malam aku terbangun karena dikejutkan suara mengorok Truck—padahal dulu aku terbiasa dengan suara itu, tetapi setelah lama tak bertemu, rasanya seperti disambar geledek. Kulepas alat bantu dengarku, tetapi selanjutnya malah terjaga gara-gara Alatas memelukku dengan genit—dia mengigaukan Leila.

Aku menggeliat keluar dari neraka dunia itu, lalu berjalan ke arah tenda Leila. Lalu aku teringat ....

Aku sudah 14 tahun. Aku tidak bisa tidur dengan Leila lagi.

Saat itulah aku mendengar erangannya. Leila sepertinya bermimpi buruk dalam tendanya.

Leila? Aku membungkuk masuk ke tendanya. Dia tidak tidur dalam kantung tidur atau berselimut seperti kami—Leila tidak suka tempat sesak yang mengimpit. Dia sedang bergelung begitu rapat, kedua tangannya memeluk dirinya sendiri, bahunya menggigil, betisnya mengejang, dan jari-jari kakinya melengkung. Kemudian, kakinya bergerak perlahan seolah dia sedang berlari dalam mimpinya.

Kutepuk-tepuk lengannya dan membangunkan gadis itu.

"Lana—" Leila nyaris menjerit dan terduduk seketika. Lalu, dia terdiam, masih tersengal, tampak syok menatapku.

Aku balas menatapnya, sama terkejutnya dengan dia.

Leila .... Aku tergugu ke dalam benaknya. Kedua tanganku terulur, tetapi tidak mampu mencapainya. Air menggenang di mataku. A-apa kau

Leila meraihku dan mendekapku erat. Rasanya cuma sesaat, tetapi sekilas aku seolah kembali berada dalam tenda Mama dalam rengkuhan tangannya.

Badanku melemas.

Kau mengambil mimpi burukku pakai Brainware, ujarku. Sekujur tubuhku mulai bergetar, gigiku menggertak, mataku panas. Jelas saja tidak masuk akal—semua anak Fervent seumuranku di sekolah ikut terapi dan konseling tiap minggu, hanya aku yang baik-baik saja. Padahal di kelasku, aku satu-satunya mantan buronan nasional

"Aku tidak mengambil semua," kilahnya. Suaranya serak, tetapi lembut dan menenangkan. "Cuma sebagian."

Sebagian besar maksudmu?

"Cuma sebagian." Leila mempertahankan jawabannya. "Mengertilah, Erion. Aku tidak mau kau terbebani, tapi ini satu-satunya caraku membalas budi dan membantumu. Ayahku punya andil dalam bangunan yang mengurungmu. Seumur hidupku, aku mendapatkan semua kenyamanan dan keamanan yang berasal dari ketidaktahuanku tentangmu yang terkurung di tempat itu."

Kau tidak bisa mengambil traumaku selamanya

"Tidak selamanya," ujarnya. "Tiap hari, aku mengembalikan sekeping rasa takut itu ke benakmu secara bertahap. Agar kau bisa mengatasinya sedikit demi sedikit. Beberapa Brainware melakukan ini dalam konseling teman-temanmu, Erion."

Berani taruhan, para Brainware itu tidak mengambilnya sebanyak yang kau ambil. Seberapa banyak kepingan yang tersisa buat kau kembalikan? Ribuan? Jutaan? Kau sudi bermimpi buruk selama dua puluh tahun ke depan?

"Sampai 50 tahun ke depan pun tidak masalah. Itu lebih dari yang kuinginkan. Artinya aku bakal terus berada di sisimu dan kau boleh terus menggangguku sampai kepingan terakhir itu kukembalikan."

Leila melepaskan pelukannya. Kedua tangannya menepuk-nepuk kedua pipiku seolah-olah aku masih bocah 10 tahun di matanya.

Ini memalukan, dan aku tidak mau kalau Alatas atau Truck sampai tahu, tetapi aku mulai terisak-isak dengan sebelah tangan mencengkram lengan baju Leila seolah-olah rentang waktu 4 tahun belakangan tidak pernah punya dampak apapun terhadap hubungan kami.

***

Sekembalinya aku ke penjara—maksudku, ke sekolah, esaiku dapat nilai terbaik karena pengalamanku yang paling mengasyikkan.

Yah, aku satu-satunya anak yang bisa ikut tim elit pengembangan lahan. Aku menyaksikan langsung saat diskusi nyaris gagal, sampai pecahlah pertarungan antar koloni Fervent lokal yang mengakibatkan gelombang pasang pantai sampai ombak setinggi tujuh meter menghantam ke hutan Garis Merah. Aku mendeskripsikan proses pembuatan jalan, pengalihan lokasi koloni, perbaikan pemukiman, dan pembersihan radiasi Garis Merah. Aku juga menjadi saksi bisu (mantap, 'kan, kiasanku) saat perjanjian damai antara Fervent lokal dan NC ditandatani.

Ash membaca esaiku dan berdecak kagum, tetapi kemudian mengerutkan alisnya.

"Er," ujarnya. "Kenapa judulnya Liburan Super Normal di Pantai Bersama Keluarga?"

Cuma permainan kalimat Ash. Soalnya, liburan itu memang super meski jauh dari kata 'normal', dan—

"Bukan," tukas Ash. "Maksudku, bukan bagian normalnya. Tapi keluargamu, 'kan, sudah tidak—aw!" Ash terlonjak saat Mo muncul dan menginjak tempurung kakinya.

"Peka sedikit!" pekik Mo. "Itu bukan kalimat yang pantas buat diucapkan ke anak yang sebatang kara!"

"Lah, yang kau ucapkan itu apa?!" tuntut Ash.

"Aku juga sebatang kara, jadi tidak masalah kalau keluar dari mulutku." Mo mengaitkan lengannya ke leherku. "Itu namanya solidaritas anak-anak yatim-piatu—ya, 'kan, Er?"

Ash membuka mulutnya, tetapi tidak bisa mengatakan apa-apa. Soalnya marah-marah dan merasa iri bukanlah respons yang pantas buat ucapan Mo.

Kuangkat bahuku, mengiyakan saja kata-kata mereka sementara keduanya adu mulut.

Guru yang menilai esaiku juga sempat menautkan alisnya saat aku mengumpulkan esai itu ke mejanya. Meski dia tidak bertanya sekali pun, aku tahu guru itu juga heran pada judul esaiku. Semuanya tahu sebagian besar anak Fervent sudah tidak punya orang tua, keluarga, atau siapa-siapa—aku bukan pengecualian. Judul itu pasti membuatku tampak seperti seorang pembual.

Yah, biar saja. Bagi para guru dan teman-temanku, mungkin tiga orang dalam timku adalah orang asing yang sama sekali tidak punya hubungan darah denganku. Namun, bagiku, mereka segalanya.

Pusat Karantina dan Erion adalah fiksi semata. Bukan berarti kita tidak punya Erion-Erion lain di dunia kita.

Per 20 tahun ini, terhitung 10.000 anak di bawah umur Palestina diadili di pengadilan militer Israel. Palestina adalah satu-satunya wilayah di dunia yang anak-anaknya diadili di bawah pengadilan militer.

Dilansir dari Time.com, sebagian besar anak di bawah umur Palestina dipenjarakan dalam "administrative detention", yang artinya mereka dipenjarakan tanda tuduhan maupun pengadilan sama sekali.

Per September 2023, diambil dari statistik B'tselem, 146 anak di bawah umur Palestina dipenjarakan untuk alasan "keamanan", 34 anak ditahan atas tuduhan "berada di wilayah Israel secara ilegal".

"Perang" Gaza tidak bermula di 7 Oktober 2023.

Dilansir dari ReliefWeb, 26,422 warga Gaza terbunuh and 65,087 luka-luka dalam rentang waktu 7 Oktober 2023 - 28 Januari 2024.

Pekerja medis Gaza menyampaikan bahwa jumlah anak-anak tanpa anggota keluarga yang selamat dan datang untuk mendapatkan perawatan medis sangat tinggi sehingga akronim baru diciptakan untuk mengidentifikasi mereka: "WCNSF" atau "Wounded Child No Surviving Family" (Anak yang Terluka Tanpa Ada Keluarganya yang Selamat).

Jika angka kematian yang menyentuh 30.000 di Gaza hingga hari ini adalah konsekuensi 7 Oktober; di mana konsekuensi nakba 1948, naksa 1967, penyiksaan dalam "camp 1391", 57 tahun pemukiman ilegal, 17 tahun blokade Gaza, 22 tahun tembok segregasi West Bank, pencurian organ tubuh warga Palestina yang sudah diakui berjalan sejak tahun 1990, dan operasi "mow the lawn" yang dijalankan di Jalur Gaza tiap beberapa tahun sekali?

If you can cry for Erion, why can't you cry for Gazan children?


Next>>> 3 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro