20 Februari 2022

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DWC #20
[Buka https://blog.reedsy.com/book-title-generator/ dan klik All. Klik "I'm just starting to write!". Lalu, klik generate title satu kali. Buat cerita dengan judul yang didapat]

:.:.:

|| Short Story ||

|| Fantasy, Romance ||

|| 1856 words ||

IRIS BEAUTY

Para nelayan kebingungan. Dan itu lucu.

Kapal mereka doyong ke kiri dan ke kanan, lalu terjungkit pada buritannya, kemudian digempur ombak. Tidak ada badai. Angin laut juga sangat bersahabat. Namun, aku tidak butuh cuaca buruk untuk mengusili perahu butut manusia.

Pekikan mereka lebih merdu daripada nyanyian para siren di telingaku, setidaknya sampai salah satu dari mereka menunjuk ke arahku dan berteriak, "Mermaid!"

Ketahuan, deh.

Aku buru-buru menyelam dan berenang menjauh. Di permukaan, tempatku tadinya menonton para nelayan kelabakan, tampak siluet jaring dilempar. Separuh hatiku lega aku perenang yang andal dan bisa menghindarinya, separuh lagi merasa terhina—mereka kira jaring jelek seperti itu cukup buat menangkapku.

Setelah jarakku cukup jauh dari kapal nelayan yang baru kuombang-ambingkan, aku berenang sedikit lebih tinggi. Cukup tinggi hingga cahaya matahari yang menembus permukaan laut mengenaiku.

Aku menoleh ke belakang untuk memastikan kapal tadi tidak mengejar, dan itu kesalahan.

Kalian para manusia punya kalimat bijak semacam, "Jangan mengalihkan pandangan dari jalanan," atau "Hadap depan saat jalan," dan semacamnya. Meski kalian menyebalkan dan tukang bikin polusi di laut, seharusnya aku mengikuti nasihat macam itu. Soalnya, begitu aku kembali menghadap depan, wajahku membentur sesuatu.

Nah, normalnya, berbenturan dalam air tidak sakit. Namun, aku berenang ketinggian dan tahu-tahu kepalaku sudah di pemukaan. Seseorang menaruh perahu kayu kecil di depan jalurku, jadi aku menabraknya.

Aku menggertakkan gigi dan mengintip perahu siapa lagi kiranya itu.

Perahu tersebut sangat kecil dan lumayan mengejutkanku dia bisa mengapung sampai ke tengah-tengah lautan lepas seperti ini. Biasanya, ini perahu dayung yang cuma muat ditumpangi dua anak manusia dan tidak jauh-jauh dari dermaga.

Aku berenang mengitarinya. Sepertinya tidak ada manusia yang menaikinya. Mungkin kapal ini terbawa ombak.

Aku mencoba melihat lebih dekat dan meraih ke tepiannya, lalu menghela diriku ke atas, ketika seorang anak laki-laki muncul sambil menguap. Wajah kami berhadapan dan mulutnya yang menganga seketika terkunci saat melihatku. Aku juga membeku.

Rambutnya yang gelap kecokelatan tampak berantakan. Matanya sehijau algae. Kulitnya gelap karena terlalu lama berada di bawah sinar matahari. Dia mengenakan baju kaus lengan pendek berbahan kasar dan bertali pada bagian kerahnya, celana tanggung, dan sandal jepit. Ada kalung berbandul zamrud di lehernya.

Aku memekik terkejut. Dia juga.

Dengan cepat, aku melontarkan diriku ke belakang dan menyelam lagi. Aku menoleh, menunggu anak tadi melempar jaring. Namun, alih-alih jaring, dia melontarkan dirinya sendiri ke laut dan menyelam menyusulku.

Hiiiiii! Dia bisa berenang!

Ekorku menampar dan tanganku mengayuh dengan kecepatan penuh, berusaha mencapai dasar. Ketika aku menoleh sekali lagi, laki-laki itu makin dekat. Gelembung udara pecah dari mulutku, meloloskan jeritan, "Ibuuuuu!"

Aku janji tidak akan nakal lagi! Aku takkan menjaili kapal nelayan lagi! Aku tidak akan mengejek ikan badut lagi! Aku tidak akan berenang jauh-jauh lagi! Aku janji

Sepasang tangan kasar menangkapku di pinggang dan menarikku ke atas. Sekeras apa pun aku meronta, menyikut, memberontak, sepasang tangan itu tetap gigih membawaku sampai ke permukaan.

Siapa anak ini?! Kenapa dia bisa berenang lebih cepat dariku! Aku perenang terbaik ketiga setelah ayah dan ibuku!

Sesampainya di permukaan, lelaki itu melemparkanku ke atas perahunya. Aku menggelepar dan megap-megap mencari napas sampai kemudian aku teringat bahwa aku juga bisa bernapas di udara.

"Mermaid!" Lelaki itu berseru kegirangan. Perahu bergoyang saat dia ikut naik. Air menetes-netes dari dagunya ke wajahku. Kedua tangannya mengurungku dari dua sisi. "Mermaid sungguhan! Hebat! Apa kau bisa bicara bahasa kami?"

Matanya berbinar kekanak-kanakan dan menelusuri wajahku dengan penasaran. Kemudian tatapannya turun, dan turun, dan turun, dan saat itulah aku merasa butuh menamparnya. Satu tanganku yang lain menutupi dada.

Dengan pipi merah meradang dan dua luka gores di wajahnya (kukuku belum kupotong, hihi), dia terpaku. Kukira, dia bakal marah. Namun, lelaki itu langsung bangkit dan melepaskan atasannya sendiri, untuk kemudian dilemparkan padaku.

"Sori." Wajahnya memerah. Kedua tangannya saling remas seperti merasa bersalah. "Kau boleh pakai itu dulu."

Aku biasanya tidak butuh baju, tetapi Ibu bilang manusia mata keranjang. Jadi, aku buru-buru mengenakan bajunya. Kainnya kasar dan bau keringat.

Sambil mengibas-ibaskan ekor dengan jengkel, aku berusaha marah dan mencakarnya sekali lagi. Namun, yang kulakukan justru menangis keras-keras. Aku mau pulang!

"Ja-jangan menangis!" ujarnya, kedua tangannya menggantung di antara kami.

Pluk, pluk. Air mata yang meleleh ke pipiku memadat, dan jatuhlah beberapa butir mutiara ke lantai perahu yang basah.

"Wow." Lelaki itu menatap takjub pada mutiara di sekitar kami. Saat aku sudah mulai tenang, dia menusuk-nusuk pipiku dengan jari telunjuknya dan berkata, "Ayo, menangis lagi!"

Aku tidak mau memberi apa yang diinginkannya. Namun, aku merasa diganggu! Jadi, aku menangis lebih keras.

***

"Siapa namamu?" tanyanya ketika tangisanku sudah berhenti lagi. Dia duduk bersila di sampingku. "Kau punya nama, 'kan? Apa kau tidak bisa bicara bahasa kami?"

"Iris ...."

"Ha?" Dia mendekatkan telinganya. "Apa? Suaramu kecil sekali—"

Aku menarik daun telinganya dan menjerit, "IRIS!"

Lelaki itu terdisorientasi sesaat, merasa pengang. Kemudian, dia menyengir seperti orang tidak waras. "Aku Adrian."

Aku menyedot ingus dan menyeka butir permata terakhir dari pipi. "Tidak ada manusia yang pernah mengungguliku dalam berenang."

"Tidak ada anak perempuan yang pernah menangis di depanku dan membanjiriku pakai permata." Adrian mengangkat bahunya. Dia meraih sebutir permata di perahu. "Ini dari air matamu? Atau ingusmu?"

Kenapa anak manusia sangat jorok?!

"Boleh buatku?" tanyanya penuh harap, mengacu pada semua permata yang kuhasilkan. "Ta-tapi jika tidak boleh, tidak masalah. Maksudku, ini punyamu—"

"Boleh," jawabku pelan. "Bawa saja."

"Asyik! Terima kasih, Iris." Adrian menyengir. "Iris ... itu nama bunga, 'kan?"

"Bunga?" ulangku.

"Iya. Bunga iris. Cantik sekali. Seperti ...." Adrian melirikku malu-malu dan memutuskan untuk tidak meneruskan kalimatnya. "Kau tidak pernah lihat? Mau kubawakan bunganya besok? Ibu pernah memeliharanya di pot. Aku masih merawatnya sampai sekarang."

"Mau," jawabku sambil menggaruk-garuk punggung. "Omong-omong berapa hari bajumu ini tidak dicuci?"

Adrian mengernyit. "Harus dicuci, ya?"

***

Ayah dan ibuku bilang, aku harus hati-hati. Tidak pernah ada hubungan antara mermaid dan manusia yang berakhir baik. Manusia itu serakah. Bahkan jika ada manusia yang tidak serakah, kami para mermaid terlalu liar untuk mereka.

Jadi, sebelum berenang kembali ke permukaan untuk menemui Adrian, ibuku melirik baju milik Adrian yang masih melekat di badanku, lalu memperingatkanku untuk siap dikecewakan atau mengecewakan, entah apa maksudnya.

Siang itu matahari terik sekali. Alih-alih perahu kecil Adrian, aku malah menemukan sebuah kapal nelayan besar dengan kerekan besar dan jaring-jaring ikan berhenti di tengah-tengah lautan. Aku baru saja mau mengusilinya ketika menyadari Adrian berdiri di haluannya. Seorang pria dengan celana pendek dan kaus tak berlengan berdiri di hadapannya, membelakangi bagian depan kapal.

Aku baru saja akan naik untuk menyapa Adrian ketika mendengar si pria nelayan berkata, "—tangkap dan bawa ke atas kapal ini. Kita ikat dia dan tombak siripnya. Itu akan membuatnya menangis terus-terusan. Permata yang dihasilkannya pasti bukan main beratnya."

Aku terhenti.

"Tapi, kenapa kita mesti lakukan itu?" Kudengar Adrian bertanya dengan ngeri. Dia belum melihatku. "Tidakkah permata yang kubawa pulang kemarin cukup?"

"Adrian, kau terlalu lugu." Si pria nelayan menggeleng-geleng. "Kau mirip sekali dengan ayahmu. Nah, karena itulah dia mati sebagai nelayan. Kau tentu tidak mau seperti dirinya. Ingat, kau masih butuh biaya pengobatan ibumu. Dan kau butuh transportasi tiap bulan untuk mendapatkan obatnya di ibukota. Kau juga masih harus melunasi hutang-hutang kakakmu. Dengan permata yang dihasilkan mermaid itu, kau bisa punya kapal sendiri. Kau bisa mengarungi lautan sesukamu dan membeli apa pun yang ibumu inginkan."

Untuk sesaat, sepasang mata hijau cemerlang Adrian menggelap. Kemudian, dia menangkap sosokku.

Si pria nelayan hampir berbalik ketika Adrian buru-buru memegangi lengannya.

"Aku—" Adrian tergagap. "Maaf aku berbohong!"

"Apa?"

"Tidak ada mermaid!" Adrian berteriak. Matanya melirikku sekilas, penuh peringatan dan pekat akan ketakutan. "Aku bohong soal itu! Tidak ada mermaid di sini!"

"Jadi, dari mana kau dapatkan semua permata itu?"

"B-bajak laut .... Aku masuk ke kapal bajak laut dan mencuri sepeti permata dari mereka—"

Tangan si pria nelayan melayang ke pipi Adrian, sangat keras dan kurasa pasti akan terdengar sampai ke bawah air sekali pun. "Bocah bodoh! Apa yang kukatakan tentang main-main di sekitar area bajak laut, hah? Bukankah aku bilang, jika melihat kapal mereka, kau harus berenang menjauh?! Kalau mereka menangkapmu, atau sesuatu terjadi padamu, apa yang harus kukatakan pada ibumu?! Wanita malang—punya anak tak satu pun beres! Dia memercayakanmu padaku! Artinya, kau harus turuti kata-kataku—demi kebaikanmu juga!"

Pria nelayan menamparnya sekali lagi, lalu berderap masuk ke anjungan seraya meneriakkan serangkaian perintah untuk menggerakkan kapal. Adrian kini sendirian di geladak. Ada luka robek kecil di bawah hidungnya dan darah di sudut bibirnya.

"Adrian!" panggilku seraya berenang mengikuti kapal dari samping.

Namun, lelaki itu melemparkan seekor ikan mati dari dalam peti ke wajahku. "Pergi sana!"

Aku terlampau kaget dengan responsnya. "K-kenapa? Aku bisa berikan permata lagi kalau kau mau, sebanyak apa pun—"

"Minggat sana!" bentaknya. Dia melirik ke anjungan, lalu buru-buru menambahkan, "Kau ikan tolol! Pergi!"

Aku berhenti, terpana memandanginya. Kapal mereka makin menjauh, meninggalkanku dalam keadaan patah hati dan ratusan butir permata yang tenggelam.

***

Ibu bilang, bunga iris warnanya ungu. Seperti bola mataku. Kelopaknya melengkung dan berkelok lembut, seperti rambutku.

Beberapa kali aku berenang dekat-dekat dermaga, berusaha melihat rupa bunga itu. Namun, kalau pun aku pernah melihatnya, kurasa aku takkan pernah tahu itulah bunganya.

10 tahun berlalu dan aku masih menunggu seseorang membawakan bunga itu padaku.

Pada mulanya aku marah dan menangis seminggu penuh. Aku memenuhi kamarku dengan permata sampai-sampai Ayah kehabisan akal untuk menampungnya. Ibu kehabisan nasihat untuk menenangkanku.

"Tidak apa-apa, Sayang. Patah hati adalah hal lumrah dalam kehidupan." Ibu berkata kala itu. Tangannya melipat baju Adrian dan menyimpannya jauh dari pandanganku, tetapi dia tetap menyimpankannya. "Rasanya sesakit ini karena kau baru pertama kali merasakannya. Nantinya, kau akan memetik pelajaran dan akan jadi lebih bijak menyikapi yang selanjutnya."

"Akan ada patah hati yang selanjutnya?" Tangisanku bertambah keras.

Sekarang aku mengerti Adrian melakukan itu bukan untuk menyakitiku. Meski aku tidak suka kena tamparan ikan mati di muka dan dikatai tolol, aku memahami alasannya.

Sesekali, bahkan hari ini, aku masih berenang ke sana. Aku menantikan perahu kecilnya mengapung di tengah-tengah lautan lepas.

Kutatap permukaan laut di belakangku. Berkas cahaya matahari pagi menembus lautan—

Brak! Seseorang menaruh kapal rempah-rempah di jalurku. Mukaku menghantam dasar kapalnya.

Aku naik ke permukaan dan dengan jengkel berusaha membuatnya goyah dengan ombak. Namun, tanganku terhenti ketika mendapati sebuah pola indah yang terlukis di badan kapal—kelopak ungu dan kuning yang melengkung lembut, dengan semburat hijau-kuning meliuk serupa tangkai dan rerumputan. Sebuah bendera berkibar di atas anjungan. Dan dari atas geladaknya, seorang pemuda dengan bola mata sehijau algae tengah menengok ke bawah, tepat ke arahku.

Dia mengenakan kaus dengan kerah bertali dan jas kulit kelabu, lengannya tergulung sampai siku. Kulitnya masih kecokelatan terbakar matahari, dan kalung hijau zamrud itu memang tak pernah salah kukenali.

Karena sebuah kenangan buruk 10 tahun lalu di mana dia melemparkan ikan mati ke wajahku, aku melontarkan diri ke bawah air dan menyelam. Tak lama kemudian, terdengar bunyi sesuatu yang jatuh ke air, diikuti pekikan beberapa orang di atas kapal tersebut: "KAPTEN!"

Ekorku mengibas dan tanganku mengayuh. Tentu saja percuma. Pemuda itu makin dekat dan dekat. Aku tidak pernah bisa menandingi kecepatan berenang Adrian.

Pada akhirnya aku berbelok dan berenang ke arahnya.

Adrian pun berhenti. Dia melayang di tengah-tengah, dengan rambut mengambang dan bibir mengulum senyum. Kedua tangannya terbuka, menungguku.

"Ketemu." Gelembung suara lolos dari mulutnya ketika aku masuk ke dalam rengkuhan tangannya.

Dia menarikku mendekat dan aku menyambutnya saat bibirnya menempel ke bibirku.

:.:.:

"There's a heart that must be

Free to fly

That burns with a need to know

The reason why."

Reflection, song by Christina Aguilera

A/N. Percayakah kalian saya barusan nulis cerita romance fantasy mermaid???? Saya yang nulis dan saya nggak percaya xD

Doakan saya masih hidup sampai 8 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 21 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro