21 Februari 2022

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DWC #21
[Buka situs https://www.proprofs.com/ dan cari tahu apa love language kalian. Buat cerita tentang seseorang yang mengungkapkan perasaannya menggunakan hasil tes bahasa cinta yang sudah didapat]

:.:.:

|| RavAges - Cerita Lepas ||

|| Romance, Young Adult ||

|| 1531 words ||

My love language from the test:

Lima belas bulan berlalu pasca Pertempuran Kompleks Sentral. Hidupku masih jauh dari kata 'tenang' atau 'damai', apalagi 'santai'.

Santai adalah hal paling terakhir yang bisa kudapatkan, terutama karena hukumanku ditambah. Beberapa orang menaruh dendam pada mendiang ayahku dan melebih-lebihkan kesaksian mereka dalam pengadilanku. Mereka, tanpa rasa malu, melimpahkan seluruh kesalahan Raios padaku.

Raios membebaskan Rav dari penjara pohonnya, mari hukum Leila.

Raios dan ayahnya meledakkan matahari buatan Kompleks Sentral, hukuman tambahan buat Leila.

Raios menyelundupkan banyak sekali Fervent ilegal untuk meruntuhkan sistem kompleks—asyiiik, lebih banyak hukuman untuk Leila.

Aku terutama tidak bisa membela diriku karena Raios tidak berada dalam kondisi yang bagus untuk diadili. Paham maksudku? Amnesia, lupa ingatan permanen, tidak ingat namanya sendiri—dan itu semua memang hasil perbuatanku. Aku yang mencuci habis ingatan Raios sampai-sampai pemuda itu nyaris tidak bisa berfungsi dengan benar sekarang. Pemuda yang sekarang kerjaannya hanya mengumpulkan kayu bakar, makan, dan tidur tidak bisa diseret ke pengadilan militer. Raios bahkan tidak bisa melepaskan sepatunya sendiri tanpa bantuan ayahnya Giok yang menampungnya saat ini.

Komandan tirani sudah dijatuhi hukuman terberat dan pengikutnya habis tak bersisa. Maka, kambing hitam yang tersisa tinggal aku. Jadi, aku menjalani dua masa hukuman tambahan dengan melayani NC dalam pembukaan lahan di Pulau Lama.

Secara garis besarnya, tugasku adalah mengawal unit khusus pembukaan lahan dan menjadi tameng hidup. Aku ditaruh di garis pertahanan terdepan saat para Fervent yang tertinggal di Pulau Lama merasa marah karena teritorinya diganggu.

Tugasku yang lainnya adalah negosiasi. Artinya, aku menjadi perantara NC yang menawarkan perjanjian batas wilayah dan mendengarkan keluhan-keluhan para Fervent lokal tersebut.

"Saat kalian pergi ke Pulau Baru, kami ditinggalkan membusuk di sini." Sorakan para Fervent lokal mengikuti ucapan Citra, seorang Multi-fervent yang mewakili mereka dalam negosiasi. "Tak ada kapal-kapal layak berlayar yang tersisa. Tidak ada pesawat atau helikopter yang menyelamatkan kami. Tidak ada satu pun dari kalian yang berusaha mengevakuasi kami di sini. Kami secara harfiah menopang tanah ini dan mengembalikan vegetasinya hingga bisa kembali jadi layak huni. Kenapa sekarang kami harus tersingkir di tanah kami sendiri untuk kalian, para penjajah?"

Aneh rasanya dipanggil 'penjajah'. Maksudku, Pulau Lama ini dulunya juga rumahku. Aku lahir dan besar di sini, setidaknya sampai aku kabur bersama yang lainnya dengan kapal NC. Sejak umur 13 tahun, akulah yang melabeli orang-orang berseragam hitam di sekitarku sebagai penjajah.

Namun, tak satu pun dari hal itu penting bagi mereka. Aku mengenakan seragam NC, unit khusus berlambang NC berdiri di belakangku, dan hanya itulah yang mereka lihat dariku.

Ayahku yang merupakan Agen dengan pangkat tinggi sama sekali tidak memperbaiki reputasiku. Setidaknya separuh dari rombongan Fervent di hadapanku sekarang pernah berurusan dengan ayahku, dan pengalaman itu sama sekali bukan pengalaman menyenangkan buat mereka.

Sebagian besar waktu, negosiasi itu sukses. Dengan bayaran yang pantas, Citra mengizinkan kami membuka lahan, membiarkan beberapa warga sipil pulang kembali ke rumah lama mereka, dan kadang membantu kami meredakan kerusuhan yang disebabkan oleh Fervent lokal. Namun, di waktu lain ... yah, kembali pada tugas utamaku dijadikan tameng manusia saat para Fervent itu mengamuk karena merasa kami kurang adil dan semacamnya.

Malam itu, satu lagi kerusuhan dipadamkan. Mobil pengaduk semen terbalik, rangka jalan berceceran, dan tiang beton untuk penyeberangan mesti dibangun ulang. Beberapa Fervent merasa pembangunan jembatan merusak tempat tinggal mereka dan menyerang para pembangun yang dipekerjakan NC. Mandor kami meninggal lagi hari ini.

Aku masuk ke tendaku tanpa melepas seragam. Sekujur tubuhku lengket oleh lumpur, rambutku masih berbau asap, dan aku harus merendam sepatu botku lagi karena seorang Phantom remaja memenuhi jalur kami dengan segundukan kotoran kerbau yang diangkutnya entah dari mana.

Aku berbaring tengkurap di atas kantung tidur tanpa mengganti pakaian. Lalu, kudengar suara langkah kaki memasuki tendaku. Kurasakan bobotnya di sampingku saat orang itu duduk.

"Alatas," keluhku, "jangan masuk."

"Sudah masuk."

"Setidaknya, ketuk atau panggil aku atau bertanyalah sebelum kau masuk."

Kurasakan pemuda itu menjauh, lalu menirukan suara ketukan pintu di ambang tenda. "Permisi, pacarku, belahan jiwaku, bolehkah aku masuk?"

Aku tidak menjawab, tetapi dia tetap masuk.

Dia menyentuh rambutku—sentuhan ringan yang hampir tidak ada bobotnya. "Apa ini kerak semen di rambutmu?"

"Saat ini, walau ada kerbau utuh duduk di atas kepalaku, aku tidak bisa memperdulikannya." Aku berbalik dan berbaring miring menghadapnya. Dia duduk bersila, memegangi sebuah cangkir plastik yang mengepulkan asap hangat dan baunya seperti cokelat. "Seluruh tubuhku rasanya remuk. Aku kehabisan seragam bersih hanya dalam sehari. Apa itu untukku?"

Alatas menyodorkan gelas cokelat panas di tangannya saat aku duduk. Dia diam memperhatikan sementara aku meminumnya.

"Bukankah kau sedang membuat rangka logam bersama Steeler lainnya sore tadi?" tanyaku saat mengangkat wajah dari gelas. "Ketika para Fervent itu menyerang, mereka tidak melewati jalurmu, 'kan? Di mana kau saat itu?"

Alatas mengerutkan sebelah pipinya. "Di belakangmu."

Aku tersedak. "Bukankah seharusnya tim evakuasi sudah menggiring kalian ke blok pengungsian sebelum aku datang?!"

"Eh, yah ... aku mengajak seseorang di unitmu tukaran seragam dan mengekorimu."

Aku hampir membuat cokelat panas menyembur ke atas saat mencengkram gelas. "Siapa?"

"Tidak penting siapa. Dia sedang tidak sehat, jadi aku menawarinya untuk mengerjakan bagiannya. Leila, kau seharusnya lebih santai."

"Alatas!"

"Leila," balasnya. "Tidak ada satu Steeler pun di unitmu. Kau hampir mati saat pasak jembatan itu rubuh di atas kepala kalian."

"Sudah kuduga ada yang aneh saat bajanya meleyot sendiri!"

"Kau harus sedikit lebih rileks," ujarnya. Ibu jarinya bergerak mengusap lelehan cokelat panas di daguku. "Omong-omong, aku bicara dengan Truck tadi. Dia bilang, ulangan di sekolah Erion sudah selesai."

Aku menghabiskan cokelat panasku. "Hmm. Baguslah."

"Kau kangen rumah?"

Aku termenung sebentar.

"Di mana rumahku?" Kupandangi dasar gelas yang hanya menyisakan setetes kecil cokelat. "Rumahku dulu sekitar 30 kilometer dari sini, tak jauh dari pusat kota. Maksudku, rumahku yang paling pertama, sebelum NC datang."

Kuletakkan gelas yang sudah kosong ke lantai tenda. Kulipat kakiku dan ikut bersila seperti Alatas, tetapi kemudian kuluruskan lagi saat merasakan kebas pada jari-jari kakiku.

"Rumahku yang lain baru kita lewati minggu lalu, saat kita mengawasi pengaspalan jalan. Aku pindah 45 kali, sampai akhirnya ibuku menempati rumah baru di Kompleks 6 di Pulau Baru. Aku baru tinggal sebentar dengannya, dan harus kembali lagi ke sini. Sejujurnya, aku masih tidak yakin rumahku ada di mana."

Selama aku bicara, Alatas meraih tanganku dan dengan perlahan mengikis sisa tanah dari kuku jariku. Sesekali matanya yang berbeda warna menatapku, menampakkan perhatian penuh bahwa dia masih mendengarkan.

"Menurutmu, Alatas, aneh tidak jika sekarang aku merasa bersimpati pada Komandan?"

Alatas terdiam sebentar. Dia seperti mempertimbangkan sesuatu sebelum menjawab dengan pertanyaan lagi, "Itu tergantung. Dalam hal apa kau bersimpati padanya?"

"Dia pernah hampir mengirim Truck dan Erion untuk memadamkan pemberontakan di Kompleks 4. Akhirnya dia cuma mengirim Erion. Yah, meski itu gagal juga karena Erion menjatuhkan helikopternya ke sungai dan balik sendiri ke pangkalan untuk kembali padamu dan Truck."

Alatas tertawa kecil mendengar yang terakhir itu.

"Baru sekarang terpikir olehku ... ada ratusan ribu jiwa di Kompleks 4 yang terancam saat pemberontakan terjadi. Andai aku berada di posisi Komandan, aku barangkali akan melakukan sesuatu yang lebih buruk daripada mengirimkan bocah 10 tahun untuk menghentikan kerusuhan itu."

Kujatuhkan wajahku ke bahu Alatas. Gerakan tangannya di jari-jari tanganku pun terhenti. Kurasa, percuma saja menyembunyikannya—dia pasti merasakan air mataku di bahunya.

"Siang tadi," lirihku, berusaha menahan getaran dalam suaraku. "Saat aku hampir dikepung oleh para Fervent itu, dan aku sudah kehabisan akal ... terpikir sekilas olehku, Andai ada Erion di sini. Aku butuh menampar wajahku sendiri untuk menyadarkan diri. Aku tidak ada bedanya dengan Komandan, yang mencoba menyeret anak itu ke medan perang. Anak itu sudah beradaptasi dengan kehidupan normalnya sekarang, sekolah, punya teman seumurannya, tinggal di antara orang-orang yang memahami kekuatannya ... dan aku malu sekali karena sempat berpikiran untuk menyeretnya kembali ke kehidupan gelap dan berbahaya Garis Merah."

"Aku mengerti," ucapnya. Ibu jarinya bergerak memutar di punggung tanganku. "Maksudku, aku bahkan memanggil nama Erion saat terjebak dalam WC portabel tempo hari."

Air mataku masih meleleh, tetapi mau tidak mau aku tertawa di bahunya. "Alatas!"

"Serius. Mengerikan sekali. Kupikir, WC portabel itu akan jadi kuburanku. Pintunya macet. Dan saat aku salah gerak, biliknya miring seperti akan jatuh. Airnya tumpah-tumpah. Aku secara spontan memanggil Erion karena Phantom-nya pasti berguna sekali mengeluarkanku dari sana."

Aku mengangkat wajah dari bahunya. Tangan Alatas pun bergerak menyeka air mata dari pipiku. "Alatas, kau menyebalkan."

"Tapi, kau sayang, 'kan?"

Dia menyengir dan menyibak rambutku, lalu mendaratkan kecupan di pipiku.

"Aku bau lumpur dan semen," kataku seraya berusaha menghindar.

"Dan bau eek kerbau juga," katanya, masih menciumi pipiku, "tapi aku tidak peduli, tuh."

"Hei," panggilan seseorang di ambang pintu tendaku. Alatas menarik dirinya dan tampak mati-matian menyembunyikan raut wajah tidak senangnya. "Kenapa lama sekali? Astaga—malah pacaran! Kusuruh kau panggil Leila untuk laporan hari ini—yang lain sudah menunggu!"

Aku menelengkan kepala, sedangkan Alatas mendorong bagian dalam pipinya dengan lidah, tampak salah tingkah. Aku membuka mulutku, tetapi tidak bisa berkata apa-apa.

Alatas meringis kecil seperti tertangkap basah berbuat kesalahan besar. Dia lantas berdiri dan dengan sikap formal menghadapku—kaki dirapatkan, kedua tangan tegap di sisi tubuh, dan nada bicaranya kaku. "Leila, kau dipanggil ke tenda utama untuk laporan hari ini."

Aku hampir kehilangan kata-kata lagi. "Aku akan ke sana setelah mengganti seragamku."

"Bergegaslah," tambah lelaki di ambang tendaku.

Alatas mengangguk dan berbalik. Namun, sebelum dia pergi bersama lelaki yang tadi memergoki kami, Alatas menyempatkan diri mengedipkan sebelah matanya padaku. Bibirnya bergerak tanpa suara, Santai saja.

:.:.:

"Isn't she pretty?

Truly the angel's best."

Isn't She Lovely,
song by Kevin McHale from Glee
Originally by Stevie Wonder

A/N. Noh, fluffy lagi romance nya kan :D Udah berapa kali neh dapat tema cucok buat romansa, nda ada yang nanges kaaaan ya kaaaaan saya uwu kaaan

Ngahahaha berasa cuaca cerah sebelum badai ohohohoho—ups

Btw, ini hasil lengkap dari love language test yang saya ambil buat tema hari dan diwakili praktiknya oleh Mas Alatas:

Doakan saya masih hidup sampai 7 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 22 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro