21 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 21 | E-Jazzy ||

Tema:
Masuk ke web https://www.generatormix.com/random-genre-generator Masukkan angka 6 lalu klik generate. Buatlah tulisan dari salah satu genre yang muncul. Max 1500 kata

|| 1493 Words ||

|| Dystopian ||

Pagi ini, drone kembali menjatuhkan selebaran. Kemarin isinya ancaman. Kemarinnya lagi berisi ejekan. Kali ini tertera iming-iming hadiah sejumlah uang untuk siapa pun yang bersedia menyerahkan atau memberi informasi mengenai pimpinan pemberontak.

Di dalam kamarnya, kakak perempuanku bicara melalui ponselnya. Dia bukan bicara dengan suaminya, karena pria baik hati itu sudah mati bulan lalu—saat ini kakakku sedang bicara dengan seseorang yang ID peneleponnya disembunyikan. Dia membiarkan loud speaker dalam keadaan aktif agar ayah kami bisa ikut mendengar. Si penelepon pada mulanya terdengar santai saat bertanya mengenai kegiatan para pemberontak, lalu nadanya jadi kasar saat kakakku menolak menjawab. Saat si penelepon mulai mengeluarkan kata-kata vulgar, kakakku memutus sambungan karena ayah kami tampaknya siap memanjat tembok untuk pergi ke sisi seberang dan mengamuk di pos militer terdekat.

Kunyalakan laptopku. Nadia, adik perempuanku yang masih 4 tahun, duduk manis di sisiku, menunggu video call tersambung pada kerabat kami di belahan lain dunia sana.

"Nanti kapan-kapan kita ke sana, ya?" celoteh Nadia, mengacu pada negara tempat kerabat kami tinggal saat ini.

Aku hanya bisa membalasnya dengan senyum. Tidak peduli kami mampu atau tidak untuk bepergian ke belahan lain dunia, kami takkan pernah bisa melakukannya. Kalaupun kami bisa keluar dari kurungan tembok ini, kami takkan pernah bisa kembali lagi kemari.

Bahkan kerabat kami ini pun, saat hendak melayat, dia tertahan di bandara selama 6 jam, diinterogasi dan dipaksa menyebutkan destinasinya serta deskripsi lengkap keluarga yang hendak dikunjunginya.

Ketika internet lebih stabil, kami pun tersambung dengan kerabat kami itu. Namun, yang menyambut kami adalah wajah yang agak asing bagiku. Nadia yang lebih dulu mengenalinya.

"Norman!" Adikku melambai ke layar, lalu menoleh padaku. "Adik dari suaminya sepupu dari pamannya Ayah!"

Aku mengangguk. "Ah, iparnya Bibi Rayan."

Nadia menatapku seolah gagal mencerna ucapanku barusan, lalu membantahku, "Adik dari suaminya sepupu dari pamannya Ayah!"

"Iya itu ipar, Nadia."

Jarinya menuding layar laptop. "Itu Norman—adik dari suaminya sepupu dari pamannya Ayah!"

Sementara Norman terkekeh melihat kami, kujelaskan perlahan-lahan ke adikku, "Nadia, nama dari sepupu pamannya Ayah itu siapa?"

"Bibi Rayan!"

"Nah, Norman ini adik dari suaminya Bibi Rayan, 'kan? Simpelnya, dia ini iparnya Bibi Rayan."

Nadia buru-buru turun dari kursi dan berlari keluar sambil berteriak, "Ayaaah! Adik dari suaminya sepupu dari pamannya Ayah itu Norman, 'kan, Ayaaaah!"

Aku meminta maaf pada Norman setelah Nadia menghilang ke kamar sebelah.

"Rayan sedang pergi dengan kakakku," ujar Norman. "Kuharap kau tidak masalah kalau mengisi waktu mengobrol denganku."

"Tentu. Tidak masalah. Kudengar, kau baru menerima diplomamu?"

"Ya," jawabnya. "Di bidang manajemen dan bisnis. Bagaimana denganmu Ashraf?"

"Beasiswaku dibatalkan." Aku menjawab senetral mungkin meski kenangan itu membuat dadaku panas lagi. "Aku tidak dapat izin keluar dari sini."

Norman meringis. "Aku ikut menyesal mendengarnya. Sungguh, aku bersimpati pada keadaan kalian."

"Terima kasih."

"Pasti sulit sekali hidup di bawah kepemimpinan organisasi teroris yang mengklaim diri mereka pejuang kemerdekaan, tapi terus-terusan bersembunyi di balik anak-anak dan perempuan."

Spontan, gigi atasku bersarang di bibir bawah. Kutahan sudut bibirku agar mempertahankan lekuk senyum meski rasanya ingin sekali aku memekik ke layar laptop saat ini.

"Yang tidak memberiku akses keluar bukan pemerintahanku sendiri," kataku. "Yang mengurung kami di sini dan melarang kami keluar-masuk dengan bebas adalah rezim apartheid di sebelah. Mereka yang mengendalikan perbatasan dan semua gerbang."

"Ya, tapi mereka melakukan itu untuk menjaga diri mereka dari organisasi teroris."

"Jadi ... kayak kebun binatang?" tanyaku.

"Hah?"

"Kayak kebun binatang," ulangku. "Karena takut singanya lepas, semua hewan dikurung di dalam. Manusia yang ingin masuk harus ada izinnya. Hewannya sendiri dilarang keluar. Malah, menurutku hewan-hewan lebih beruntung. Saat mereka sakit, mereka akan diobati atau dibawa berobat keluar. Tetanggaku tidak dapat izin keluar meski untuk alasan darurat medis—yah, orangnya sudah mati karena tumornya terlambat diangkat."

"Wow, aku tidak bicara begitu. Bukan begitu maksudku, Bung."

"Jadi, bagaimana maksudmu?"

"Maksudku," ujarnya perlahan, jelas tengah merangkai kalimat agar tidak menyinggung hewan dalam kandang ini. "Begini ... kalau ada seseorang yang mengancam nyawaku, tentu aku akan mengurungnya di tempat di mana dia tidak bisa mencelakaiku."

"Kau tidak mengurung orang yang mencoba mencelakaimu, Norman." Tawaku lolos. "Saat ada yang hendak mencelakaimu, pilihannya antara kau lari, melawan, atau memanggil aparat untuk menangkapnya. Jika kau punya kuasa mengurung seseorang begitu lama, besar kemungkinan kaulah yang berada di posisi untuk mencelakainya, bukan sebaliknya."

Norman mengangkat bahu. "Roket-roket yang kalian tembakan itu mengancam nyawa anak-anak mereka."

"Dan bom yang mereka jatuhkan di atas kepala kami telah membunuh ibuku."

"Rudal mereka mengincar organisasi teroris, dan jika itu tanpa sengaja mengenai sipil di tempat kalian, itu adalah casualty yang tragis—"

"Rudal itu peluru kendali, Norman, sedangkan roket yang datang dari para pemberontak di sini adalah roket home-made yang meluncur begitu saja tanpa bisa dikendalikan jalurnya begitu ditembakkan." Dadaku sakit, tetapi aku tetap tertawa. "Kau percaya roket yang tidak bisa dikendalikan itu punya intensi untuk mencelakai anak-anak secara spesifik, tapi rudal yang ditembakkan dengan presisi itu mengenai sipil di sini tanpa sengaja? Tidak ada istilah 'tidak sengaja' di sana. Keluarga kami tinggal di kompleks apartemen saat bom itu membunuh ibuku. Bagaimana caranya seseorang secara 'tidak sengaja' mengebom kompleks apartemen padat penduduk, sadar benar dia akan membunuh semua warga sipil di dalamnya?"

"Seperti yang kubilang, organisasi teror menjadikan perempuan dan anak-anak sebagai tameng manusia—"

"Ada berapa banyak penembakan di sekolah di tempatmu, Norman?" tanyaku, tetapi aku tidak menunggu jawabannya. "Saat si penembak bersembunyi di dalam sekolah di antara para siswa, aku tidak pernah mendengar kalian menjatuhkan bom untuk meringkus si penembak itu."

"Itu ...."

"Dan perempuan serta anak-anak kami bukan tameng manusia." Aku menegaskan. "Mereka bukan objek tanpa otak yang berdiam diri secara sukarela untuk jadi tameng."

"Hei, aku tidak memandang kalian begitu." Norman mendesah. "Begini, Bung, maaf kalau kau tersinggung. Tapi aku tidak bermaksud menyinggungmu."

Aku bisa saja membalikkan meja ke muka anak ini andai dia sungguhan duduk di depanku secara fisik, lalu berkata bahwa aku tidak bermaksud mengenainya, wajahnya cuma kebetulan berada di jalur lemparan meja—takkan ada bedanya dengan yang dia lakukan sekarang.

"Rudal-rudal itu," lanjut Norman lagi, "adalah respons dari roket yang kalian tembakkan, bukan?"

"Dan roket kami adalah respons dari 7 dekade penindasan mereka terhadap kami," balasku. "Kau tahu Nat Turner, Norman?"

"Bukankah dia pimpinan gerakan anti perbudakan?"

"Ya. Pemberontakan yang dipimpinnya membunuh banyak sekali orang, bukan hanya dari kalangan yang memperbudaknya. Mereka menyerang orang-orang tanpa pandang bulu—pria, wanita, anak-anak. Dan pada masa itu, bagi orang-orang yang memperbudaknya di plantation, Nat Turner adalah teroris, tanpa memperdulikan fakta bahwa pemberontakan dan pembunuhan oleh Nat Turner disebabkan oleh perbudakan mereka terhadapnya."

"Itu berbeda."

"Baiklah, kau ingin contoh di mana kami cuma jadi korban tidak berdaya yang tidak melakukan perlawanan sama sekali? Operation Cast Lead, 2008. Tidak ada roket. Tidak ada pemberontakan. Mereka menyerang kami di awal November dengan alasan ingin menghancurkan 'terowongan teror'."

"Yah, kalau begitu jangan bikin terowongan teror."

"Yang kau sebut 'terowongan teror' itu adalah satu-satunya cara kami mendapatkan kebutuhan sehari-hari yang tidak mereka izinkan masuk kemari," ujarku. "Bahan pangan, furnitur, ternak, alat sanitasi. Bahkan satu kali kami mesti menyelundupkan bertas-tas ayam tepung si Kakek Kentucky karena mereka bahkan tidak membiarkan hal sesederhana ayam goreng masuk kemari. Bahkan ada masa di mana mereka tidak mengizinkan produk cokelat masuk, Norman. Semuanya tanpa alasan jelas. Mereka takut kami menyelundupkan senjata, sementara mereka mendapatkan sokongan jutaan dolar per tahun secara terbuka untuk mengebom kami kapan pun mereka mau. Mereka tidak membiarkan kami memerintah atau mengurus diri kami sendiri, lalu menyombong atas secuil 'bantuan' yang mereka biarkan masuk meski merekalah penyebab kami butuh bantuan sejak awal, mengisolasi kami di sini, sampai air kami terkontaminasi dan tidak layak konsumsi."

Norman mengernyit. "Kalian tinggal begitu dekat dengan wilayah perairan."

"Maksudmu, kami harus minum air laut begitu saja? Seperti manusia terbelakang?"

"Bukan begitu maksud—"

"Ya, bukan begitu maksudmu, tapi kau baru saja mempertanyakan, Hei, kalian tinggal dekat laut, kenapa masih mengeluh masalah air minum? Norman, kutebak kau saat ini duduk beberapa meter dari pintu toiletmu, tapi apakah kau akan minum dari pancuran air dan bak mandimu? Atau kau mencari air mineral botolan dari toko yang kemungkinan besar diambil dan diolah di sisi lain dunia ratusan kilometer jauhnya dari rumahmu? Seperti kalian, kami butuh akses ke dunia luar. Kami bukan dunia utopia yang bisa memenuhi segala kebutuhan kami dalam keadaan terisolasi di sebidang tanah seluas 45 kilometer persegi. Mereka tidak membiarkan kami makan lebih dari apa yang mereka berikan. Mereka selalu memastikan segalanya di bawah standar minimum. Dan omong-omong tentang laut, meski tidak ada tembok di sana, kami tetap butuh izin mereka untuk mengakses perairan kami sendiri."

"Hah?"

"Oh, kau baru tahu? Kami butuh izin mereka untuk mengakses perairan kami sendiri, Norman. Dulu mereka mengizinkan nelayan kami menangkap ikan hingga jarak tidak lebih dari dua belas mil laut. Sekarang, hanya diperbolehkan sejauh tiga mil laut dari pantai. Bahkan tanpa tetek-bengek perizinan, melaut itu susah. Belum lagi air hujan kami adalah 'properti' mereka. Mereka bahkan punya 'Perintah Militer 158' yang menyatakan bahwa kami tidak diperbolehkan membangun infrastruktur air baru tanpa mendapat izin dari tentara mereka."

"Bung ...." Norman terdiam sesaat. "Aku tidak tahu masalah itu."

"Tentu kau tidak tahu. Kau cuma menoleh saat kami jadi penjahatnya selama sehari tanpa mau tahu bahwa mereka sudah jadi penjahatnya bertahun-tahun. Lalu, saat orang-orang kami dibunuhi, bakal ada orang-orang di tempatmu yang mengatakan bahwa ini bukan genosida karena populasi kami malah meningkat dan bukannya turun. Yang tidak kalian ketahui, populasi kami di sini membengkak karena saudara kami yang tersisa di luar tembok itu rumahnya digusur tanpa alasan jelas dan terusir kemari, lalu ikut terisolasi bersama kami. Bahkan Bibi Rayan—kau tahu kenapa dia bisa berakhir di tempatmu? Kakeknya dulu tinggal di suatu kota di luar tembok ini—kota yang sekarang mereka jadikan ibukota mereka sendiri. Kakeknya terusir kemari tahun 48, lalu anaknya—ibunya Bibi Rayan—terusir lagi tahun 67. Begitulah keluarga mereka berakhir di tempatmu."

"Hai! Aku kembali!" Nadia berlari masuk.

"Hai, Nadia!" Norman tampak lega saat memiliki alasan untuk berpaling dariku.

"Norman!" Nadia melompat-lompat kecil agar ubun-ubunnya bisa tambil di layar Norman. "Bagaimana bom di sana?"

"Apa?"

"Dia bertanya, bagaimana bom di sana," ulangku. "Nadia kira, dibom dari waktu ke waktu itu normal dan terjadi di semua tempat."

Coba tebak setting tempatnya di mana '-')

Para tokohnya fiktif, tapi semua kejadian yang di-mention di sini fakta.

Kita kira genre distopia hanya eksis di fiksi, tetapi ada lebih dari 5 juta manusia yang saat ini hidup dalam dunia distopia di tanah airnya sendiri, belum termasuk para diaspora yang hingga hari ini masih dihalang-halangi untuk kembali ke kampung halamannya sendiri. Dan entah bagaimana banyak yang masih meyakini bahwa penindasnya adalah korban, karena mereka baru nengok pas para korban memberontak sebagai "teroris".

Next>>> 22 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro