22 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 22 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah cerita tentang seorang pengamen yang sedang menyanyikan lagu karangannya sendiri, minimal memasukkan 1 bait lagu yang dinyanyikan pada dialog pengamen tersebut (Lagu yang dinyanyikan bisa dari puisi atau lagu ciptaan penulis)

|| 2000 Words ||

|| RavAges - Cerita Lepas ||

"Kijang 1, masuk."

Batur mendengarkan dari balik tenda warung kaki lima. Padahal tehnya belum habis. Padahal pemilik warung itu teramat murah hati memberinya sepiring nasi dan lauk lengkap—Batur belum berterima kasih padanya sama sekali. Gara-gara orang-orang ini.

"—kehilangan target," ujar salah satunya. "Detektor kami kesulitan mendeteksinya. Kirim Agen Morris."

Orang-orang ini berpakaian layaknya sipil, tetapi Batur punya mata setajam elang dan telinga seperti kelelawar—dia bisa melihat seragam hitam dan lencana keperakan di balik jaket-jaket kebesaran mereka, senjata di sabuk dan sepatu mereka, juga gerak-gerik mereka yang gesit lagi penuh perhitungan.

Ini orang-orang yang dulu pernah melenyapkan kampung halamannya.

Mobil-mobil berlogo NC berdatangan berbulan-bulan sebelum penyerangan. Orang-orang berseragam hitam mengeruk gunung dan membangun pabrik-pabrik di tempat Batur biasa bermain dengan teman-temannya. Kotak-kotak beremblem T. Ed Co yang menonjol keemasan, berisi sandang dan pangan, diantarkan ke rumah-rumah warga untuk mendiamkan mereka.

Lalu, suatu hari, proyek mereka berhenti—pabrik-pabrik ditutup dan pengerukan diselesaikan, meninggalkan ceruk dalam seperti borok kehitaman besar di kaki gunung.

Lalu, suatu malam, mereka datang dan membakar tiap rumah. Mereka mengantisipasi semua serangan perlawanan warga kampungnya Batur seolah mengetahui jauh-jauh hari bahwa orang-orang di kampung itu bukan orang biasa.

Batur sendiri bisa meledakkan sesuatu hanya dengan satu gerakan tangannya seolah-olah seluruh tubuhnya adalah bedil. Bapaknya mengangkat alat-alat berat dari logam seperti menggendong bayi kecil. Maknya memanen hasil ladang hanya dengan gerakan bola mata dan mengurai benda-benda jadi pecahan partikel sampai nihil.

Batur disekap salah satunya di dalam lumbung, dipaksa menyaksikan maknya dilecehkan dan bapaknya dibakar hidup-hidup sampai separuh badan melebur. Ketika maknya berhasil melawan dan membawa serta orang-orang berbaju hitam itu bersamanya ke akhirat, Batur berusaha menyeret bapaknya yang masih tersisa keluar lumbung untuk meminta pertolongan. Namun, semua orang kala itu bernasib tak jauh dari keluarganya.

Seseorang berteriak mengomando pasukannya untuk 'tidak menghabisi semuanya' karena mereka membutuhkan beberapa untuk 'disemai'. Batur tidak memahami kata-katanya sama sekali dan hanya bergerak berdasarkan insting. Dia menyerang, tetapi dengan cepat diringkus oleh pasukan berbaju hitam tersebut.

Batur dan bapaknya yang sekarat dijejalkan ke dalam bak truk bersama orang-orang lain yang selamat, lalu dibawa entah ke mana. Saat mereka digiring keluar, mereka dibariskan di pelabuhan dan dipaksa memasuki sebuah kapal.

Sebelum mengembuskan napas terakhirnya, bapaknya Batur menjatuhkan diri menimpa kaki seorang petugas yang memegangi Batur. Mayat Bapak berbunyi seperti besi berkarat, diikuti lolongan si pria berbaju hitam, yang menjadi tanda untuk Batur kabur dengan melompat ke laut.

Dari sana Batur berenang, naik ke darat dalam keadaan putus asa dan nyaris hendak melompat sekali lagi lantaran dirinya sudah tidak punya apa-apa. Namun, Batur menguatkan kakinya tetap di tanah. Batur bertolak ke desa-desa, lalu sampai ke kota—menggelandang dan hidup dalam belas kasihan manusia lain.

Keistimewaannya meledakkan benda-benda tidak berguna di sini—dia tidak bisa mengenyangkan perut dengan meletus membabi-buta di trotoar jalan. Maka, Batur melantunkan syair-syair yang diajarkan padanya, dinyanyikan turun-temurun dari leluhur sampai ke para orang tua di kampungnya. Batur telah menjadi penyair terakhir yang tersisa dari tempatnya berasal.

"Kau bilang suaramu bagus?" tanya seorang abang-abang bergitar baik hati yang membelikannya sebotol air minum. Dia kemudian mengajak Batur ke lampu merah terdekat dan memetik gitarnya. "Coba nyanyikan sesuatu."

"Kami mengingat ...." Batur mulai melantun lirik-lirik yang disusunnya sepanjang jalan saat naik ke permukaan setelah kabur dari kapal. "Mengingat menjadi satu-satunya dosa yang membuat kami tamat."

Si abang bergitar mengangkat kedua alisnya di tengah petikan gitar, lalu mengangguk takjub, penuh apresiasi.

"Tamat di malam mereka mendarat.

"Mendarat dalam lantun-lantun curian yang dilaknat.

"Dilaknat hingga mengirim semua ruh pulang ke darulakhirat.

"Darulakhirat meniupkan bisik-bisik riwayat.

"Riwayat yang kujadikan hikayat.

"Hikayat mengenai tiap jiwa sekecil durat.

"Durat seberat bintang Alniyat."

Si abang bergitar bersiul sambil menepuk-nepuk bahu Batur. Setelah mereka menepi, si abang membagi dua hasil mengamen itu.

Dari sana, Batur belajar menggunakan bakat manusianya untuk mengisi perut dan melepas dahaga. Rupanya tidak perlu meletus membabi-buta di atas tugu jalanan.

"Agonia ...

"Alang-alang terbakar membawa serta hayat-hayat belia.

"Aria ....

"Angan-angan menanti hadirnya sang aulia.

"Adiwidia ....

"Aulia belia tumbuh di tanah subur akasia."

Batur kadang gatal sekali ingin berteriak di tengah lagunya, TOLONG! BAPAK DAN MAKKU MATI DIBUNUH ORANG-ORANG PENGERUK GUNUNG YANG BERSENJATA DAN MEMBAKAR KAMPUNG KAMI!

Namun, melihat gemerlap kota dan orang-orang yang hidupnya berlalu begitu saja di depan matanya, Batur sadar takkan ada yang percaya. Pun ada yang percaya, mereka takkan mampu peduli karena hidup mereka sendiri jauh lebih penting untuk dijaga. Pun ada yang peduli, satu atau dua orang takkan membuat perbedaan berarti.

Orang-orang ini tampaknya tak tahu sama sekali mengenai kehadiran manusia-manusia berkekuatan lain seperti Batur di sekitar mereka. Dan jelas mereka tidak tahu menahu mengenai orang-orang berseragam hitam yang juga membaur di antara mereka.

Satu kali, Batur melihat seorang anak perempuan mengais tempat sampah tanpa menyentuh benda-benda yang diangkatnya sama sekali. Maknya kadang melakukan itu. Batur segera menghampiri anak perempuan itu, tetapi si anak perempuan kepalang panik dan kabur darinya. Batur mengejarnya, tetapi si anak perempuan berlari ke arah seorang perempuan muda berbaju necis seperti pekerja kantoran, membuat Batur berhenti dan buru-buru mundur ke belakang mobil yang terparkir. Batu kenal perempuan kantoran itu. Perempuan itu bekerja di kantor dekat sini, dan malam sebelumnya berkeliaran dalam seragam hitam, memburu anak-anak seperti Batur—anak-anak dengan kekuatan lain.

Si anak perempuan diajak pergi oleh perempuan muda itu. Batur berusaha mengikuti mereka diam-diam, tetapi kehilangan jejak keduanya.

Keesokan harinya, si anak perempuan ditemukan di dalam bak sampah dengan luka robek dari dada sampai perut. Organ dalamnya hilang. Dari bisik-bisik orang-orang, Batur mendengar anak itu adalah korban pencurian organ yang marak mengincar anak-anak jalanan. Namun, Batur tahu benar yang terjadi tidak sesederhana itu.

Orang yang mengambil organ dalam si anak perempuan pastilah orang-orang yang sama dengan mereka yang membakar kampung Batur—seragam hitam, logo NC, dan senjata-senjata tersembunyi di balik pakaian sipil mereka.

"Kecamuk malam itu masih bersarang di dada." Batur melampiaskan memori buruknya ke dalam lagu saat dia bisa mengais gitar bekas yang dibuang seseorang. "Kecupan peluru melukis dahinya."

Lelaki yang tengah memakan bakso di hadapan Batur tersedak dan pacarnya menganga menatap Batur. Namun, Batur tidak peduli. Dia tetap menyanyi.

Batur menumpahkan kepedihannya. Melihat orang-orang ini makan begitu lahap tanpa mengetahui apa yang menimpa kampung Batur membuat anak itu merasa marah sekaligus tidak berdaya. Batur sadar ini bukan salah mereka, tetapi Batur tidak tahu lagi siapa yang bisa dia salahkan. Dia tidak bisa mendapat keadilan, maka orang-orang ini tidak berhak makan dengan damai.

"Kerah basah berpeluh darah," lantunnya merdu. "Kerudung Mak melambai, menzarah. Keletang jenazah Bapak di dek bawah."

"Dik," tegur seorang pramusaji yang memegangi senampan gelas-gelas jus, "bisakah ganti lagunya? Ini rumah makan."

"Kelendra menjerat erat aroma laut." Batur membesarkan volume suaranya, mengabaikan tiap mata yang memandanginya kalut. "Kepak sayapnya membawa maut. Aduhai, pria-wanita berbulu gagak, bergaok-gaok, merayakan akar kehidupan kami dicerabut."

Batur pun dilarang mengamen lagi di sana. Yang terburuk, dia bisa merasakan beberapa orang membuntutinya tiap malam sejak itu. Barangkali Batur menyingkap terlalu banyak dalam lagunya. Barangkali, orang-orang berseragam hitam menyadari kisah dalam lagu Batur terdengar familier dan mulai mengenali si anak yang kabur dari kapal.

Namun, hal itu tidak membuat Batur lantas tutup mulut.

"Kepada siapa diri ini pulang?" Batur melantun suatu hari. Orang-orang di warung-warung kopi atau warung makan kaki lima lebih ramah dan menerima lagu Batur. Mereka menikmati suara Batur meski tidak memahami makna yang Batur coba sampaikan. "Ke mana bisa mengadu?"

Senar gitar itu akhirnya putus, tetapi Batur tetap melanjutkan nyanyiannya.

"Keluh kesah tiada guna.

"Kerang-kerang tak lagi bersuara.

"Kembalikan bapak dan makku.

"Kembalikan waktu.

"Ke masa sebelum segalanya direnggut dariku."

Jika uangnya tidak cukup, para pemilik warung biasanya membiarkan Batur makan cuma-cuma. Beberapanya membiarkan Batur menumpang sehari atau dua hari di kontrakan mereka.

Malam-malam, saat berhasil lari dari kejaran orang-orang berseragam hitam, Batur akan menangis memeluk gitarnya yang sudah keriting tali senarnya. Pagi-pagi dia bangun, masih dibayangi api yang berkobar di balik matanya dan jeritan maknya dan raungan bapaknya dan tangisan seisi kampungnya.

Pagi ini, Batur tidak bisa menahannya. Dia menangis di tengah nyanyiannya. Ibu-ibu pemilik warung menepuk-nepuk kepalanya dan bapak-bapak tengah menongkrong menyerukan berbagai kalimat penyemangat buat anak itu. Meski mereka tidak bertanya, Batur tahu orang-orang ini sungguh berempati padanya. Meski mereka takkan mungkin mengira Batur adalah korban persekusi Fervent. Meski mereka mungkin mengira Batur cuma satu dari sekian banyak anak yang ditelantarkan orang tua, atau korban kekerasan, atau korban kemiskinan yang terpaksa menjual suaranya untuk sesuap nasi.

Namun, Batur punya kehidupan sebelum ini. Batur punya rumah. Rumah yang dibakar dan orang-orangnya diculik atau dibantai.

Batur tidak miskin—seluruh pegunungan dan hutan-hutan adalah rumahnya dan rumah orang-orang kampungnya. Mereka hafal setiap jalur di lereng gunung sampai puncaknya seperti halaman belakang rumah sendiri.

Batur tidak sebatang kara—seluruh warga kampung itu, dan hewan-hewan di gunung, bahkan hantu-hantu yang mungkin menghuni pepohonannya, semuanya adalah keluarga Batur.

Batur tidak pernah mencari makan dengan nyanyian. Syair-syair itu biasanya untuk permainan dengan anak-anak sepantarannya, atau untuk mengenang nasihat-nasihat leluhurnya, atau untuk pengisi keheningan di tengah kegiatan memanen. Mereka tidak bisa mengobrol di ladang yang luas dan terik, jadi mereka menyanyi bersahut-sahutan.

Kini Batur menyanyi untuk mengenang mereka yang hilang.

"Kepada siapa diri ini pulang?

"Ke mana bisa mengadu?

"Keluh kesah tiada guna.

"Kelinci-kelinci berhenti mendengar derit gunung nan menggema.

"Kembalikan bapak dan makku.

"Kembalikan waktu.

"Ke masa sebelum segalanya dirampas dariku."

"Itu dia!" teriak salah satu pengejarnya saat Batur mengira dia sudah kabur jauh dari mereka. "Agen Morris, di sana—"

Batur berbelok tajam ke gang dan melompat ke atas kerdus-kerdus bekas, lalu memanjati dinding bata untuk meraih bingkai jendela. Dia mencoba menyelinap masuk ke bangunan itu, tetapi seseorang menarik kakinya.

Dia terhempas ke jalan.

"Berhenti melawan," ujar sebuah suara. "Kekuatanmu berbahaya."

"Jangan terlalu lunak padanya, Pak!" sahut seseorang yang lain.

Orang yang menarik Batur itu berlutut di hadapannya, tangannya masih memegangi kaki Batur. Orang itu berbisik, "Ikut dengan tenang, oke? Aku tidak akan menyakitimu. Anakku juga sepantaran denganmu, mungkin satu atau dua tahun lebih muda, tapi dia juga Peledak. Kau akan baik-baik saja dengan kami—"

Batur mengerang sesaat, lalu menggeram marah. Pria itu mungkin mengira dirinya menampakkan simpati seperti yang dilakukan orang-orang di warung kaki lima, tetapi yang Batur dengar hanya olok-olok.

Pria ini punya anak, dan dia menjatuhkan anak lain dari atas jendela dan menghempaskannya ke tanah.

Pria ini punya anak, entah anak itu diperlakukan sama seperti Batur, atau anak itu bisa hidup damai dan normal sementara Batur kehilangan segalanya.

Pria ini punya anak. Dia seorang ayah. Jadi, kenapa dia di sini, mencoba menangkap anak lain yang sudah tidak berayah atau beribu?

Pria ini punya anak—dan itu terdengar seperti hinaan di telinga Batur. Karena Batur pernah punya orang tua, yang kini sudah tiada berkat orang-orang ini. Padahal orang-orang ini sendiri punya keluarga. Bagaimana caranya mereka tidur usai membunuh dan mengambil organ anak-anak seperti Batur? Bagaimana mereka pulang dan menatap anak serta istrinya setelah seharian mengejar dan meneror anak lain?

Dan, apa katanya tadi? Kekuatan Batur berbahaya? Seumur hidupnya, Batur tidak pernah membunuh siapa-siapa. Warga kampung Batur pun demikian. Tak seorang pun menggunakan kekuatannya untuk membantai, tetapi merekalah yang dibantai. Sekian generasi mereka hidup dekat gunung, tetapi para pendatang itu yang mengeruknya sampai bolong.

Batur melimbai tangan yang menariknya, lalu melampiaskan kemarahan dan rasa frustrasinya yang selama ini menumpuk, bercampur ketakutan dan duka kehilangan. Energi besar dilepaskan di gang itu dan meledakkan kedua bangunan yang mengapitnya.

Batur yakin dia membunuh seseorang atau dua atau tiga di dalam bangunan itu, yang terasa seperti ejekan dari kehidupan, betapa dia malah membunuh orang setelah berpikir dia tidak pernah membunuh siapa-siapa dengan kekuatannya. Namun, dia tidak sempat memikirkannya lagi. Ledakan yang dia hasilkan membuat pengejarnya membeku dalam tameng energi tak kasat mata, memberi Batur cukup waktu untuk kabur.

Berpindah ke kota lain, Batur kembali menyanyikan nasibnya untuk sesuap nasi. Menangis dalam tidur tiap malam, berjalan tanpa tujuan tiap siang. Kepanasan saat panas, kehujanan saat hujan. Diingat-ingatnya lagi malam itu—jeritan, isakan, kobaran api, hewan-hewan berlarian, pepohonan meretih, gunung-gunung membisu, dan langit kehilangan rembulan dalam selimut asap hitam.

Kepada siapa diri ini pulang?

Ke mana bisa mengadu?

Keluh kesah tiada guna.

Kepala-kepala tak lagi tertancap di pangkal lehernya.

Kembalikan bapak dan makku.

Kembalikan waktu.

Ke masa sebelum segalanya dijarah dariku.

Yap. Batur akan memulai debutnya di buku ketiga nanti barengan sama "Kolonel" yang kemaren muncul sebentar di chapter-nya Meredith '-')b

Next>>> 23 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro