23 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 23 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah cerita yang diawali dengan kalimat terakhir cerita ke-5

|| 4005 Words ||

|| Teenfiction ||

Sambungan cerita hari ke-10. MC cewek yang suka minder, dikejar tiga cogan (Dalton, Silas, Miller), dan ada badut yang namanya Ivy. Kalo nda inget, silakan baca lagi (°° )b

Lalu, masing-masing separuh jiwa kami ketemuan di neraka.

Kututup aplikasi Ngwetpet. Padahal katanya, di sana aku bisa cari referensi kisah remaja anak sekolahan yang dikejar tiga cowok sekaligus, tetapi yang kubaca malah cerita absurd dan tidak masuk akal mengenai seorang pengutang yang kerasukan hantu rentenir.

Apakah aku mampir ke akun yang salah?

Di mana aku bisa membaca cerita anak remaja polos yang tanpa sengaja bikin harem di sekolahnya? Sepertinya sedikit sekali cerita macam itu di aplikasi ini.

Aku tidak tahu harus cerita ke mana. Bapakku jam segini pasti masih ketiduran di warung miras, ibuku tidak punya pengalaman memadai mengenai percintaan remaja (maksudku, lihat saja pria yang dikawininya), aku tidak punya saudara untuk curhat, dan saat ini aku sedang tidak dalam kondisi yang bagus untuk meminta pendapat teman-temanku (kami masih saling bertegur sapa, tetapi agak canggung kalau harus mengobrol sejak aku memergoki mereka membicarakanku di belakang).

Maka, aku bertolak ke kafe depan sekolah untuk bertemu Ivy. Ini hari Minggu. Si badut maskot pasti di sana seharian.

Kubawa beberapa gorengan yang masih tersisa dalam kantung plastik, lalu Ibu menambahkan beberapa yang masih panas saat mendengar aku ingin memakannya bersama seorang teman.

Sesampainya di halte depan sekolah, aku bersiap menyeberangi jalan menuju kafe, tetapi batal saat melihat ada mobil Dalton terparkir di sana. Ada Miller juga di depan jendela besar kafe, sedang mengobrol dengan seseorang yang kemudian kukenali adalah teman sekelas kami juga.

Aku memepet pohon mahoni di sisi jalan setapak yang mengarah ke halaman kafe. Kuamati keadaannya—tampaknya ada seseorang dari temanku yang ulang tahun dan mentraktir teman-teman sekelas ke sini. Hampir semua anak ada. Kecuali aku. Yah, aku ada di sini, sih, tetapi sepertinya hanya aku yang tidak diundang kemari.

"Mana si badut?" tanya Jordan, anak bangor nomor satu di kelasku. Di tangannya ada sebuah pena silver yang menyala seperti sambaran listrik kecil tiap dia menekan ujungnya. "Apa ini belum shift-nya? Padahal aku mau mencoba mainan baru ini padanya."

"Wah, kau jahat sekali." Noah, bangor nomor dua, tergelak. "Punya satu lagi?"

Jordan mengeluarkan pena penyetrum lain dan baru akan memberikannya ke Noah saat Miller menyela mereka.

"Apa lagi yang kalian rencanakan?" Miller merebut kedua pena tersebut sekaligus. "Mau menyetrum seseorang pakai ini? Biar kusita dulu, kalau begitu."

Jordan dan Noah berdecak, tetapi menurut saja. Keduanya menelan mentah-mentah akting Miller sebagai abang teladan di kelas kami, tanpa mengatahui sifat aslinya. Aku sendiri pasti bakal tertipu lagi andai tidak memergoki Miller diam-diam menekan ujung pena itu dan menyengir licik saat setrumannya menyala. Matanya melirik para anak perempuan yang berkumpul di dalam, seperti mencari korban yang bisa dikerjainya diam-diam.

"Miller," sapa Avery, anak cewek yang sering lupa bahwa aku eksis di kelas. Saat didekati gadis itu, Miller buru-buru berbalik dan menyembunyikan pena setrumnya di belakang punggung. "Miller, kau lihat Silas, tidak?"

"Silas?" Miller menelengkan kepalanya. "Dia tidak datang. Urusan keluarga, katanya."

"Kalau Dalton?"

"Entahlah. Tadi ada pekerja kafe yang sepertinya kenalan Dalton dan memanggilnya ke ruang staf."

Aku mundur perlahan-lahan sebelum ada yang memergokiku. Lagi pula, Ivy tidak terlihat di mana-mana. Entah si badut sudah ada di dalam menghibur tamu atau dia tidak masuk hari ini. Kalau dia bolos, aku tidak menyalahkannya. Anak-anak sekolahku sering merundungnya. Pasti mengerikan membayangkan shift kerja hari ini, di mana kafe bakal penuh oleh anak-anak kelasku yang paling sering mengerjai dan menaruh video memalukannya di sosial media.

Aku baru mundur dua langkah saat punggungku menabrak sesuatu. Aku mendongak dan mendapati Silas menunduk menatapku.

"Jaslynn," sapanya. Tangannya mendarat di bahuku. "Kau mau masuk ke dalam? Ayo bareng."

Bukannya dia tidak bisa datang karena urusan keluarga?!

Aku membuka mulut, tetapi tidak mampu bersuara karena gugup. Sekujur badanku dibungkus keringat dingin. Kumajukan badanku untuk melepaskan diri, tetapi tangan Silas seperti jerat di bahuku.

"Atau tidak usah masuk saja, ya?" Silas tampak berpikir-pikir sambil menatap kafe. "Aku benar-benar malas waktu disuruh Avery datang. Jadi, aku bilang pada Miller aku ada urusan."

"Terus kenapa kau di sini?" tanyaku spontan.

Silas mengangkat sudut bibirnya Senyumnya mencapai matanya. "Mau ketemu kamu."

"Aku tidak diundang ke sini."

"Bagus," katanya, "ayo ke tempat lain."

"Aku mau pulang ke rumah," kataku saat pemuda itu menggiringku berbalik arah.

"Oke," katanya, tetapi dia masih memegangi bahuku. Isi perutku seperti terjun ke kaki kanan saat dia melanjutkan, "Terlalu cepat, sih, buat ketemu orang tuamu, tapi tidak masalah."

"Yang pulang ke rumahku cuma aku! Kau di sini saja!"

"Jaslynn!" panggil seseorang di belakang kami. Kali ini jantungku yang melipir ke kaki kiri saat mengenali suara Dalton.

"Jangan menoleh." Silas masih memegangiku kuat-kuat.

"Aku bakal lari andai kau tidak memegangiku."

"Ide bagus."

Silas menarik tanganku dan ini bisa saja jadi adegan romantis andai suara dengung mesin mobil tidak terdengar mendadak dan sebuah bugatti memotong jalur sebelum kami sempat menyeberang jalan. Dalton keluar dari dalam mobilnya. Padahal jarak kami dari kafe tidak sampai sepuluh meter dan cowok ini merasa perlu mengejarku pakai bugatti.

"Jaslynn—"

"Jaslynn!" Yang ini suara Miller. Saat dia menghampiriku juga, rasanya aku kepingin berbaring telentang dan meluncurkan diri ke kolong mobil Dalton. "Hei, ayo masuk. Avery mencari kalian semua."

Dikepung tiga cowok ganteng, jadi bahan tontonan teman sekelas ... ini terlalu mustahil untuk jadi nyata.

Kalau dipikir lagi, memang mustahil ....

Sejak kapan hidupku jadi aneh begini?

Aku berderap ke arah mobil Dalton dan kecurigaanku dikonfirmasi dengan keberadaan kepala Ivy di jok penumpang. Baju kostum perinya terlipat di bawah kepala Aladdin imitasi itu.

Hidupku jadi aneh begini sejak aku mengobrol ke Ivy tentang ketiga cowok ini. Dan kebetulan sekali shift Ivy selalu dimulai saat sekolah selesai di hari biasa dan seharian di hari libur. Dan kebetulan lagi, saat shift Ivy hari ini full day, Dalton dan Silas tidak tampak di sini, padahal keduanya diundang oleh Avery. Dan lagi-lagi kebetulan, hanya Miller yang tahu di mana keduanya berada.

"Biar kutebak," kataku seraya menarik keluar kostum Ivy dan memeluknya ke dada. Saat aku berbalik, ketiga cowok itu berusah menatap ke segala arah kecuali ke arahku. "Dalton—"

"Bukan aku! Sumpah!" Dalton buru-buru mengangkat kedua tangannya.

"Aku bahkan belum bilang apa-apa."

"K-kau mengira aku si badut yang biasanya nongkrong denganmu, 'kan? J-jadi, bukan aku—"

"Aku tahu itu bukan kau." Kutatap matanya lurus-lurus. Padahal menurutku sorot mataku tidak terlalu galak, tetapi Dalton tampak ketakutan sembari terus menatap trotoar. "Dalton, hari itu, saat aku menongkrong dengan Ivy di trotoar depan kafe ini, kau sempat menabrakku karena tidak melihatku—"

"Aku, 'kan, sudah minta maaf!"

"Bisa, tidak, biarkan aku selesai bicara?" Nah, kali ini nadaku galak sedikit, sampai-sampai Dalton seperti hendak menciut ke dalam baju bermerknya sambil menggumamkan maaf samar-samar. "Dalton," ulangku, "yang mau kukatakan adalah ... kau ada di sana saat aku duduk dengan Ivy. Mustahil kau adalah si badut."

Dalton mngembuskan napas, tampak lega, tetapi masih tidak mau menatapku.

"Kafe ini ... punya orang tuamu, ya?"

Dalton menegang lagi. Bibirnya tertarik jadi garis lurus dan matanya makin jauh menyusuri trotoar menghindariku.

"Artinya, kau tahu siapa Ivy," lanjutku, "kemungkinan besar, seseorang berkostum Ivy ini menceritakan padamu semua yang curhatanku. Makanya, sikapmu berubah sejak hari itu." Kuarahkan tatapanku ke Miller kali ini. Kupergoki dia melirik sedikit ke arahku sebelum menghindari tatapanku juga. "Ada dua kemungkinan buatmu: pertama, kau Ivy, dan setelah mendengarku menyebutkan namamu, kau jadi kepikiran buat mengajak dua cowok ini mengerjaiku. Atau, kemungkinan kedua, kau tahu siapa Ivy—boleh jadi, kalian sangat akrab sampai-sampai dia menyampaikan padamu apa yang kukatakan hari ini, lalu kalian bersekongkol mengerjaiku."

"Yang kedua." Miller mengakuinya begitu saja. Dia mendengkus seraya memasukkan kedua tangannya ke saku jaket. "Kami taruhan siapa yang bisa memacarimu duluan."

"Bohong! Itu tidak benar!" Silas menyela, matanya dipenuhi kepanikan. "Dia bohong, Jaslynn. Maksudku, dia memang mengajak kami taruhan, tapi aku tidak setuju! Aku tidak mau—"

"Silas," kataku, membuatnya bungkam seketika saat aku mendorong kostum Ivy ke dadanya. "Kau Ivy."

"Jaslynn, dengarkan aku sebentar—"

"Tidak masalah kau menerima ajakan taruhannya atau tidak," potongku, "itu tidak mengubah kenyataan kau memberi tahu mereka tentang semua yang kubicarakan padamu. Kau barangkali menganggap ini lucu, membocorkan semua pembicaraan kita pada kedua temanmu dan menertawakanku di belakang sementara aku memercayaimu dan bercerita ini-itu seperti orang bodoh ...."—Aku tercekat, kutahan air mataku yang menggenang mati-matian. Teman-teman sekelas tengah menonton kami saat ini dan mereka mendengar semuanya. Aku benar-benar merasa malu. Aku seperti orang idiot. "Apa yang kalian pertaruhkan?"

"Makan gratis di kafe," jawab Dalton, kedengarannya merasa bersalah sungguhan.

"Selama seminggu," tambah Miller seolah bertambahnya nilai taruhan membuat ini terdengar lebih baik.

Silas tampak kesulitan menelan ludah. "Jaslynn, aku bisa jelaskan."

"Hmm." Aku mengangkat kepalaku dan meneguhkan diri untuk menatap matanya lurus-lurus. Kuberikan dia waktu buat menjelaskan, tetapi selama semenit penuh dia hanya membuka mulutnya tanpa bisa mengatakan apa-apa. Bibirnya bergetar sedikit. Kugertakkan rahangku. "Mana penjelasannya?"

"I-itu ...."

"Silas!" Dari pintu samping, tampak manager kafe memanggilnya. "Kau terlambat 10 menit 3 detik!"

"Tuh." Kukedikkan kepalaku ke arah pintu samping kafe. "Kau dipanggil, Ivy."

"Jaslynn, aku—"

"10 menit 7 detik!"

"Aku minta maaf," kata Silas akhirnya. "Aku benar-benar menyesal ...."

"Aku juga menyesal," balasku, "karena sudah memercayaimu."

Silas berbalik pergi sambil membawa kostum badutnya menuju kafe. Tertinggal Dalton dan Miller di hadapanku.

"Kalian tidak mau mengatakan sesuatu?"

"Eh, umm ... sori?" Wajah Dalton mengerut dalam senyum canggung. Ujung kakinya melukis lingkaran-lingkaran imajiner di semen emperan jalan. Kedua tangannya terlipat di belakang punggung. "Maaf. Aku menyesal."

Kedengarannya dia mengatakan itu hanya berdasarkan keharusan agar masalah lekas selesai, tetapi sudahlah.

Aku menoleh ke Miller, yang masih tidak mau menatapku. Tangannya masih di saku jaket.

"Miller—"

"Aku enggak salah," katanya cepat. "Aku tidak akan minta maaf. Salahmu sendiri karena selalu menyingkirkan diri sendirian dari lingkungan kelas. Jadinya hanya kau yang tidak tahu apa-apa."

"Miller, apa itu di sepatumu?"

Cowok itu spontan melangkah mundur dan menunduk untuk melihat, kedua tangannya lepas dari saku. Kuambil kesempatan itu untuk memasukkan tanganku sendiri ke saku jaketnya dan mengambil pena setruman yang dia sita dari Jordan.

Kupencet ujungnya dan kutempelkan ujung lainnya ke badan Miller. Pekikannya persis suara raungan bapakku salah kalah judi.

Kutudingkan ujung pena penyetrum itu ke wajahnya sampai kepala Miller terdongak, matanya juling mengawasi ujung pena di pangkal hidungnya. Dia menyeringai sedikit. "Kau tidak akan berani—"

Aku memencet ujung pena lagi sampai listik itu nyaris menyambar mukanya. Dia menyentakkan diri dan kabur. Kali ini, pekikan Miller mirip lolongan Ibu saat kejatuhan tikus dari bolongan plafon kamar kami.

Kuarahkan kedua pena itu ke Dalton. Aku bahkan tidak perlu menyalakannya untuk membuatnya lari dan masuk ke dalam bugattinya.

Kudengar suara dengap dan napas tertahan, lalu seruan, dan kusadari teman-teman sekelasku berdecak kagum. Avery dan beberapa anak lainnya menghampiriku.

"Jaslynn, tadi itu keren banget!" Avery mengibas-ibaskan tangannya ke arahku. Ini membuatku ikut kaget—dia tahu namaku. "Duh, sini! Ayo, gabung sama kami!"

"Kau ... tahu aku?" tanyaku dengan bodohnya.

"Hah? Ya iyalah. Kita sekelas, 'kan?" Lalu Avery tampak tidak yakin sendiri. Dia memandangi teman-temannya di belakang. "Jaslynn di kelas kita, 'kan?"

"Iya." Ruri yang menjawab. Tangannya menepuk-nepuk kepala Avery sebelum kembali menatapku. "Jaslynn ... jadi kau selama ini ... tidak tahu kalau Silas yang selama ini bekerja sambilan jadi maskot?"

Ini membuatku tambah bingung. "Kau tahu?"

"Kami semua tahu." Ruri memberi tahu. "Kau kira, kenapa kami selalu mengganggunya?"

Aku berusaha menyambungkan benang merahnya. Setahuku ... Ruri naksir Silas? Atau sebaliknya—Silas yang naksir Ruri? Saat Ruri dan aku masih akrab, dia sering sekali bercerita tentang kenakalan Silas waktu mereka masih kecil, jadi kupikir keduanya ada rasa atau hubungan spesial. Itu membuatku tambah heran. Kalau dia tahu Silas itu Ivy, kenapa dia mengganggu si badut sampai segitunya?

"K-kalian akrab, 'kan?" tanyaku. "Kau dan Silas sudah kenal sejak SD, lalu sempat satu SMP. Jadi ... kenapa mengganggunya tiap hari?"

"Ya ... karena dalamnya Silas, jadi aku mengganggunya tiap hari." Ruri mengatakan itu seolah segalanya seharusnya sudah sangat jelas. "Maksudku, kenapa tidak? Dia membantingku sungguhan waktu penilaian di klub taekwondo, menyebarkan fotoku yang masih pakai behel, dan memakai jaketku sampai melar. Tentu saja aku harus mengganggunya di dalam kostum badut yang panas itu. Itu satu-satunya waktu di mana dia tidak bisa membalasku. Dan lagi, buat apa aku mengganggunya kalau yang memakai kostum badut itu orang lain yang sama sekali tidak kukenal? Aku bukan tukang tindas macam itu. Yang kutindas cuma Silas—memang begitu pertemanan kami dari dulu."

"Jadi ... saat itu kau kesal padaku karena ...."

"Kau mendadak membantunya." Ruri mengangkat bahu. "Selama ini aku cerita padamu tentang sikap Silas yang menjengkelkan, dan kau biasanya menghiburku, lalu suatu hari saat aku mengganggunya, kau malah membantunya dan membuatku tampak buruk. Kukira ...." Bahu Ruri melemas, tatapan matanya melunak padaku. "Kukira, kau memanfaatkanku buat jadi dekat dengan Silas—soalnya itu sudah pernah terjadi padaku. Ada cewek dari kelas sebelah yang sok akrab denganku dan menjadikanku batu loncatan buat PDKT sama Silas. Cewek itu bahkan mulai bicara yang jelek-jelek tentangku di hadapan Silas karena mengira aku ini saingannya atau semacamnya. Untunglah Silas sifatnya juga jelek—dia mengadukan semua ucapan cewek itu padaku. Aku sempat mengira kau juga seperti itu. Tapi ... kau ternyata tidak tahu badut itu Silas?"

Aku merentangkan tanganku, benar-benar kehilangan kata-kata. Saat akhirnya aku mampu bicara, suarakua terdengar emosional. "Mana kutahu! Kalian tidak pernah memberitahuku!"

"Maaf ...." Mata Ruri mendadak berkaca-kaca. "Aku mengatakan hal buruk di belakangmu. Aku benci saat seseorang melakukan itu padaku ... tapi aku malah melakukannya padamu."

Melihatnya hampir menangis, air mataku ikut menggenang.

"Jujur saja, Jaslynn." Jordan menimbrung dan menyeruak di antara Ruri dan Avery. "Image-mu di kelas selama ini tidak bagus. Kau selalu menjauh dari pergaulan kami, menolak membaur, pendiam, kadang cuma melirik sekilas tanpa benar-benar menatap kami—aku sempat mengira kau memandang kami ini tak selevel denganmu."

Hah? Pemikiran bodoh macam apa itu? Akulah yang selama ini mengira—

Benar. Akulah yang selama ini mengira aku tak selevel dengan mereka.

Kukira, aku tak pantas bergaul dengan anak-anak ini karena mereka semua kaya-raya, anak konglomerat, pintar, dan sebagainya. Namun, Ruri sempat akrab denganku. Anak-anak lain juga tidak sepenuhnya mengabaikanku.

Akulah yang menarik diri dari mereka.

Aku yang memperlakukan mereka dengan dingin karena merasa minder sendiri.

Lho? Kok, sekarang malah jadi aku yang jahat?

"Dan kau itu peraih beasiswa sekaligus murid dengan nilai teratas di kelas kami," timpal Noah, yang entah sejak kapan berdiri di samping Ruri. "Kukira, kau enggak mau dekat-dekat kami karena takut ketularan bodoh."

"Aku ikut jalur beasiswa karena aku bukan anak kaya raya seperti kalian ...."

"Hubungannya apa?" tanya Ruri kelihatan tak habis pikir. "Kau dapat beasiswa karena kau pintar. Apa hubungannya kalau kami kaya?"

"Betul," lirih Avery. "Aku dari dulu kepingin duduk di sebelahmu. Tapi melihat matamu saja saat mendelik ke arahku ... aku takut sekali. Kukira, kau tidak suka punya teman bodoh."

"Tapi, tadi itu keren sekali!" kata Noah lagi. "Kau bikin Miller kabur seperti itu."

Sekali lagi, aku terkejut. "Tunggu ... jadi kalian juga tahu perangai aslinya?"

"Tentu." Jordan menjawab. "Kau kira, kenapa selama ini kami menurut sekali padanya? Yang menelan akting Miller selama ini hanya pada guru. Soalnya mereka tidak tahu bagaimana dia di luar sekolah—ketua preman, pembalap liar, pengrajin tato, begal paruh waktu. Saat kami membicarakan akan kuliah di bidang apa dan bekerja di mana, Miller sudah merencanakan hendak magang dengan ahli tindik kenalannya."

Jadi ... di antara anak-anak sekelas, hanya aku yang tidak tahu? Hanya aku yang menelan bulat-bulat aktingnya? Dan ... Miller tahu itu?

Kutatap pintu kafe, di mana Miller masih bersandar sambil mengusap-usap hidungnya yang hampir kusengat. Barulah aku teringat ucapannya tadi ....

Salahmu sendiri karena selalu menyingkirkan diri sendirian dari lingkungan kelas. Jadinya hanya kau yang tidak tahu apa-apa.

Dia tahu aku tidak tahu apa-apa. Jadi, dia sengaja waktu itu—ketika aku menemukannya tiduran di lab kosong. Apa katanya? Aku cewek pertama yang melihat sifat aslinya? Tahi kucing!

Yah, kalau dipikir lagi, memang Miller yang mengajukan taruhan jahanam itu. Dalton kelihatannya memang cuma ikut-ikutan. Dan Silas ....

"Silas memang keterlaluan, ya." Avery mendadak mengungkitnya. "Biar kumarahi dia nanti!"

"Eh ...." Aku menunjuk gadis itu. "Silas itu ...?"

"Sepupuku."

Aku mengerjap. "Tapi ... tadi kau bertanya Silas ada di mana ke Miller."

"Iya. Terus?"

"Miller menjawab kalau Silas ada urusan keluarga, dan kau langsung percaya. Tapi kalau kalian sepupu, bukankah seharusnya kau sudah tahu dia bohong dan tidak ada urusan keluarga?"

Avery ikut mengerjap seolah baru sadar. "Betul juga."

"Avery ...." Kuraih tangannya, mendadak merasa begitu bersalah. "Maaf, aku berburuk sangka. Selama ini kukira kau cewek congkak yang menatapku seperti permen karet bekas dikunyah yang kebetulan menempel di sepatumu. Aku menempelkan image buruk padamu hanya melalui impresi pertama tanpa benar-benar mencoba mengenalmu."

Avery ikut menggenggam tanganku. "Aku tidak paham setengah dari yang kau katakan, tapi baiklah. Ayo, masuk, ikut merayakan ulang tahunku."

***

Rupanya, undangan ulang tahun Avery ada di grup chat, tetapi aku belum punya smartphone sendiri. Smartphone di rumah untuk dipakai bersama dengan ibuku, dan isinya pun aplikasi untuk membaca cerita online—kebanyakan kesukaan ibuku, yang gemar membaca cerita tentang istri-istri yang dimadu suaminya meski sudah merelakan sebelah ginjal mereka buat didonorkan ke suami atau mertua yang sakit.

Dulu, Ruri yang biasanya menyampaikan berita-berita macam itu padaku, tetapi karena kesalahpahaman konyol itu kami jadi jarang bicara belakangan ini.

Avery agak mirip dengan Dalton—bebal, naif, dan sama sekali tidak memahami konsep rakyat jelata. Begitu mendengar aku belum punya smartphone, gadis itu berdiri dengan dramatis dan mencoba menarik tanganku, "Ayo, beli sekarang!"

Ibuku bahkan tidak membeli beras semudah ini.

"Tidak! Pakai ini saja!" Dalton menyerahkan i-phone model terbaru miliknya padaku. "Sebagai tanda permintaan maaf! Dan tolong jangan menyetrumku lagi!"

"Enggak mau—"

"Kalau enggak mau yang ini, biar kupanggilkan pamanku buat mengantar yang lebih baru lagi dari pabriknya sekarang juga—"

"Dalton," kataku tegas, membuatnya membeku di tempatnya. "Tidak usah. Simpan lagi tab itu. Aku sudah memaafkanmu."

Dalton menaruh tab-nya di meja kosong begitu saja, bersebelahan dengan nampan basah yang ketumpahan jus. Rasanya, makin mengenalnya, aku makin ingin menyengatnya dengan pena listrik. Sungguh ironis, baru beberapa hari yang lalu aku mengira sifat Dalton yang seperti ini kesannya lucu dan menarik, sekarang kelakuan anak ini bikin aku jengkel. Melihatnya begitu mudah terpengaruh oleh Miller, lalu menciut ketakutan saat kupergoki, kemudian mengejarku pakai bugatti, dan melempar ponsel mahal seolah benda itu tiada arti—padahal Ibu dan aku mungkin harus menjual jiwa kami hanya untuk beli barang second-nya. Rasanya aku ingin mendaftarkannya masuk pesantren.

"Mengenai Silas," kata Dalton mendadak. "Sebetulnya, dia tidak pernah menceritakan isi percakapan kalian padaku atau Miller. Silas hanya menegurku, karena aku menabrakmu hari itu. Dia bilang, aku mungkin sudah menyakiti hatimu—dan yah, memang benar, sori. Isi percakapan itu ... sebenarnya aku tidak sengaja menguping. Hari itu, aku sempat balik arah ke kafe dan tanpa sengaja mendengar waktu kau menyebut namaku. Aku kaget sekaligus agak senang saat mendengar kau ternyata tertarik padaku—"

"Dalton," kataku, "biar kutegaskan lagi. Aku tertarik padamu dengan cara yang sama aku tertarik pada pak satpam yang menjaga gerbang sekolah tiap pagi—aku merasa kalian lucu dan apa pun yang kalian lakukan selalu di luar nalar."

Dalton mendengkus. "Pokoknya, akulah yang menceritakan isi percakapan itu ke Miller. Miller bertanya ke Silas apakah itu benar, lalu mengajak taruhan. Tapi, Silas benar-benar tidak mau saat Miller mengajak taruhan. Begitu melihatku mendekatimu hari itu ... yah, dia marah banget."

Sambil menggigiti sedotan jus gratisanku, kutatap jendela, di mana Ivy—Silas—masih dadah-dadah ke jalan meski diabaikan mobil-mobil yang lewat.

"Kenapa dia kerja sambilan?" tanyaku.

"Bisnis orang tuanya sedang tidak bagus," jawab Avery. "Ayahnya juga kurang akur dengan ayahku."

"Silas saat ini bersekolah juga pakai beasiswa," kata Ruri. "Dia jago basket, 'kan? Masa depannya sebagai atlet lumayan menjanjikan."

Kucomot kentang goreng di piring yang kami kepung di meja. "Tapi ... kalau dia tidak mau ikut taruhan, kenapa dia juga ikutan menggodaku?"

Dalton menggaruk-garuk tengkuknya. "Soalnya, Miller pasti sudah bikin rencana untuk mendekatimu juga, jadi kurasa, Silas akhirnya memberanikan diri buat mendekatimu sungguhan. Dia bilang, daripada kau sungguhan jatuh hati ke Miller atau aku, mending dia maju saja sekalian. Lagi pula, Silas kedengarannya terganggu sekali "

Sambil masih menyedot jusku, kukernyitkan alisku dan mencoba mencerna kalimatnya pelan-pelan.

Ruri berdecak. "Maksudnya, Silas sungguhan ada rasa padamu, Jaslynn."

Aku hampir menyemburkan jusku, tetapi menahannya di saat-saat terakhir. Kemudian, kulihat Miller berjalan lewat meja kami, jadi kuteruskan lagi sampai semburan jus keluar dan membidikkannya ke wajah Miller.

***

Kuhampiri Silas saat shift-nya hampir habis, lalu duduk di sampingnya.

Silas membeku. Selama beberapa menit, dia benar-benar jadi boneka dan tidak bergerak atau bicara sama sekali.

Aku mendengkus dan berdiri. "Kalau kau tidak mau bicara padaku lagi, ya sudah—"

Tangan montok berbulu Ivy menangkap pergelangan tanganku. Dia menarikku pelan, memberi isyarat agar aku kembali duduk di sebelahnya. Namun, aku tetap berdiri.

Ivy—Silas—mengambil catatannya yang biasa dia gunakan untuk mengobrol denganku. Dia menulis, lalu memperlihatkannya padaku:

Maafkan aku, Jaslynn.

Dia membalik halamannya, lalu menulis lagi.

Aku minder karena bekerja sebagai badut maskot.

Dia membalikkan halaman lagi.

Tapi, aku selalu ingin mendekatimu tanpa kostum konyol ini.

Lalu satu halaman lagi.

Tapi, aku tidak punya nyali.

"Aku tidak mempermasalahkan pekerjaanmu."

Silas akhirnya membuka topeng Ivy-nya.

"Aku juga tidak mempermasalahkan latar belakang keluargamu," ujarnya, "tapi saat kau bilang kau merasa malu karena kau tidak berasal dari keluarga kaya, kukira kau juga akan merasa malu kalau cowok yang hanya badut maskot ini mendekatimu. Dan kalau aku mendekatimu sebagai.Silas tanpa jujur bahwa aku adalah Ivy ... rasanya tidak benar. Yah ... akhirnya aku benar-benar melakukannya—gara-gara Miller, aku takut kau sungguhan jadi naksir padanya. Maafkan aku."

"Maafkan aku juga." Aku kembali duduk di sebelahnya. "Maaf kalau rasa tidak percaya diriku malah membuatku jadi judgemental terhadap semua orang, termasuk padamu. Tapi ...." Kutarik napasku dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan sampai aku merasa lebih santai. "Aku bakal lebih percaya diri sekarang. Ibuku penjual gorengan, dan aku bangga dia tetap bisa mengirim anaknya sekolah di sekolah elit. Kecuali bapakku—kalau tentang yang satu itu, aku benar-benar malu." Kuraih tasku dan kuambil gorengan dalam kantung kresek yang diberikan Ibu. "Mau gorengan?"

Kami mencamil gorengan dingin itu berdua, tanpa bicara lagi, tatapan lurus ke jalan.

"Boleh aku tanya?" kataku seraya mengelap tangan yang berminyak ke kain celanaku sendiri. "Waktu kau mendekatiku di lapangan hari itu ... kau meniru cara Dalton?"

Silas menggaruk-garuk pelipisnya canggung. "Aku ... belum pernah PDKT ke cewek. Biasanya, cewek-cewek yang PDKT padaku. Aku tidak mungkin meniru cara cewek PDKT ke cowok, 'kan? Jadi aku bertanya ke Dalton ...."

"Dan?"

"Dan dia memberiku referensi cerita remaja dari ngwetped," jawabnya.

Kupeluk lututku yang terlipat. "Minta judulnya, dong."

Kami bertukar judul-judul cerita ngwetped yang kami baca, lalu saling memberi tahu nama akun ngwetped agar bisa saling follow.

Silas melipat bibirnya ke dalam. Tangannya memutar-mutar topeng Ivy seperti bola basket.

"Jadi, aku sebagai Ivy masih bisa jadi temanmu?" tanyanya. "Dan aku sebagai Silas boleh mendekatimu?"

"Boleh." Aku membalas senyumnya, lalu senyumku berubah canggung saat aku sungguh-sungguh mengamatinya. "Tapi, bisakah pasang lagi kepalanya? Atau lepas saja kostum itu sekalian. Rasanya aneh sekali melihat kepalamu di badan Ivy ...."

Silas tersedak tawanya sendiri. "Siapa pun yang mendesain kostum ini harusnya dipidana."

"Ya, 'kan!" sambarku antusias. Rupanya dia berpikiran hal yang sama. "Benar-benar kelainan yang mendesain kostum ini! Bisa-bisanya dia kepikiran—"

Ada yang melemparkan sesuatu yang empuk ke kepalaku. Saat aku menoleh, manager kafe sudah berdiri menatap kami sengit. Di tanah, tampak kostum badut lain yang baru dilemparkannya.

"Kau selalu bikin badut maskot kami malas-malasan." Si manager kafe mengomeliku. "Kalau kau mau menongkrong bersamanya, kenapa tidak sekalian saja kau ikut menarik pelanggan kemari?"

"Pak," kata Silas, lalu berdiri hendak protes pada manager kafenya. Namun, aku menahan tangannya.

Kutatap si manager kafe. "Saya digaji berapa?"

"Kau tahu gaji temanmu. Kau akan kugaji sama dengannya kalau mengambil jumlah shift sama."

"Sip." Kukenakan kostum itu dengan senang hati.

Kostum ini berkepala Tinker Bell, tapi badannya Aladdin—badan lelaki kurus yang berompi dan celana menggembung. Di dalamnya ternyata memang panas, tetapi okelah. Tidak sepanas saat membantu ibuku di depan wajan penggorengan. Dan warungnya yang beratap seng di musim kemarau jauh lebih mematikan daripada di dalam kostum ini. Jadi, tidak masalah.

Si manager kafe mengamati kami berdua sambil bersedekap, lalu mendesis sembari berjalan kembali ke arah kafe, "Siapapun yang bikin kostum maskot ini mestinya dipolisikan."

"Wah, wah, lihat sejoli ini." Miller berderap lewat sembari bersenandung mengejek. Baju depannya masih basah sewarna jus yang kumuntahkan. "Mau kuantar ke altar? Bayangkan anak kalian nanti. Ew ...."

Aku mengambil pena penyetrum di saku dan menyerahkan salah satunya ke Silas. Jalanan pun jadi heboh saat dua badut gila bersenjata alat setrum mengejar Miller.

Tiap kena tema macam ini, pasti saya kena chapter absurd terus. Tahun lalu juga begono (°°╬)

Next>>> 24 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro