24 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 24 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah cerita di mana tokoh utama ceritamu bertemu dengan karakter favoritmu!

Cal & Ilyas
(pic from someone anonymous)

With Fern & Stark
(from Frieren)

|| 1710 Words ||

|| Frieren Fanfiction, Escapade - What If ||

"Di sini ada zombie." Ilyas mendorongku mundur dari tikungan jalan. Kami baru akan berbelok lagi ketika dia kembali mendorongku ke sisi. "Di sini juga ada zombie!"

"Semua tempat ada zombie-nya Ilyas," kataku seraya menepuk bahunya. "Kalau begini, kapan kita makannya?"

"Sudah kuduga ini ide buruk!"

"Mengirim Joo untuk ambil makanan jauh lebih buruk," kataku. "Disuruh ambil botol air mineral saja dia malah membawa pulang botol minyak telon. Makanya, kubilang aku saja, kau tidak perlu ikut—"

"Kau sama saja dengan Joo!" desis Ilyas. "Ada banyak makanan bergizi di pantri penginapan ini, atau setidaknya makanan kemasan dan kalengan, yang praktis dan instan tapi bikin kenyang, kau malah membawa keripik kentang dan cokelat!"

"Emma suka cokelat."

"Haruskah kau membawakannya satu tas penuh? Zaman zombie begini aku tidak bisa membawa adikku ke dokter gigi sembarangan!" Punggungnya merapat ke dinding dengan tangan terentang seolah dia tengah mencoba untuk menyatu dengan cat tembok. Ilyas tampak berkeringat dan kehabisan napas, padahal sejak tadi kami nyaris tidak bergerak di lorong ini. "Kita harus bergegas ... Emma tidur di kamar dan, meski kau mengikat Joo ke kursi, aku tetap tidak tenang meninggalkannya mengawasi adikku."

"Kita akan selesai dari tadi andai kau membiarkanku maju."

"Di sebelah sana ada zombie, kubilang!"

"Terus?" Kupungut kapak pulaski yang teronggok di lantai lorong. "Tinggal di-anu saja, 'kan?"

Aku berderap keluar dari tikungan, membuat Ilyas mendesis panik. Padahal langkahku ringan dan Ilyas jauh lebih berisik di belakangku. Zombie yang menghalangi jalan menuju pantri dapur ini bahkan belum menyadari kami sama sekali.

Kutowel bahu si zombie sampai dia berbalik, lalu mendorong lehernya dengan pangkal gagang kapak. Dengan makhluk itu masih tersangkut, kutancapkan ujung tajam kapak ke dinding. Setelah memastikan tancapannya kuat, aku mundur dan membuka pintu pantri. Kupersilakan Ilyas masuk lebih dulu.

Ilyas menyeret dirinya sepanjang dinding, punggung masih menempel erat ke tembok yang berseberangan dengan si zombie. Setelah dia masuk, kucabut kapak dari dinding dan berjalan mengikutinya. Si zombie terhuyung ke depan, mencoba ikutan masuk, tetapi aku lebih dulu menutup pintu pantri di depan wajahnya.

"Ada seseorang," bisik Ilyas seraya menunjuk sesuatu di balik lemari pendingin.

"Terus?"

Kudorong dia ke sisi dan menghampiri lemari pendingin itu dengan kapak bersandar di bahu. Mulanya aku santai—sosok itu membelakangi kami, mengenakan mantel merah dan celana hitam longgar serta sepatu bot. Kemudian, secepat dia berbalik, secepat itu pula aku menyiagakan kapakku.

Kapaknya dan kapakku bertemu. Secepat desing baja terdengar, secepat itu pula kami menarik diri dan menjauh dari satu sama lain.

"Fern." Lelaki itu berbicara pada gadis di belakangnya. "Apa ini zombie juga?"

Gadis itu menoleh. Tangannya memeluk berstoples-stoples es krim. Tersandar di sisi badannya, ada galah kayu panjang yang dihiasi pita ungu—senjata pemukul zombie yang menarik, menurutku.

"Bukan." Gadis itu berkata—suaranya pelan, datar, dan tanpa banyak ketertarikan seperti sorot matanya. "Itu manusia, Mr. Stark."

"Manusia?" Mr. Stark berusaha meyakinkan dirinya. Matanya tajam mengamatiku dan Ilyas, lalu tatapannya jatuh ke kapak pulaski bersimbah darah zombie yang kusiagakan. "Kalian manusia?"

"Kalian manusia?" Aku balas bertanya.

Yang lelaki punya rambut semerah mantelnya meski akar rambutnya lebih gelap, kedua tangannya dililiti perban. Yang perempuan punya rambut ungu serwarna matanya, mengenangkan gaun putih polos berkancing mirip baju tidur mendiang ibuku, yang dilapis jubah hitam panjang. Aku yakin mereka bukan zombie, tetapi menurutku manusia tidak berpenampilan begitu.

Mr. Stark mengeratkan pegangan ke kapaknya, lalu berjalan ke arahku. Bisa kurasakan tangan Ilyas mencengkram lengan bajuku dari belakang, bersiap menarikku kembali ke pintu.

Mr. Stark menjulang di depanku. Meski Ilyas mungkin sedikit lebih tinggi darinya, tetapi aku bisa melihat padat otot dan lebar bahunya yang menegaskan kekuatannya. Bahkan caranya mengayun kapak tadi seolah kapak bermata ganda hanya raket nyamuk. Desainnya, keruncingannya, kilat warna silver-nya, dan ukurannya—itu jenis yang membuatku sudi menjual jiwa dan menyewakan Ilyas sehari agar bisa memiliki kapan macam itu.

"Kalau kalian manusia—" Mr. Stark mengagetkanku dengan mendadak menjatuhkan diri di atas lututnya dan mencengkram pinggang bajuku. "TOLONG KAMI!"

Fern, si gadis yang masih memeluk berstoples-stoples es krim, tampak jengah seolah hal ini sudah sering terjadi. "Mr. Stark—"

"Fern dan aku tahu-tahu berada di kota aneh ini—entah kerajaan sebelah mana ini! Mayat hidup di mana-mana! Kami tidak tahu kami ada di mana dan sihir Fern tidak bekerja membasmi monster-monster ini! Mereka semata terdorong, hancur, dan serpihannya masih mengejar kami! Dan Fern berharap aku tetap mengayunkan kapak ke monster yang jelas-jelas tidak bisa mati! Itu mustahil!"

Aku bertemu mata dengan Fern. Kutunjuk ubun-ubun Mr. Stark. "Partnermu?"

"Sedihnya, iya."

Ilyas menarikku ke sisinya sampai Mr. Stark jatuh di atas wajahnya. Meski begitu, Mr. Stark tidak berusaha bangun atau menghentikan rengekannya.

"Kau membawa kapak dan mengayunkannya semudah Cal mengayunkan badanku," desis Ilyas kepada lelaki asing di hadapan kami. "Dan kau malah merengek sambil memegangi bajunya begitu?"

Aku berdengap, "Ilyas, ngaca dong."

Ilyas menatapku jengkel. "Aku tidak pernah merengek seperti ini!"

"Tapi barusan di lorong kau juga ketakutan sepertinya."

"Aku waspada—ada bedanya!"

"Aku juga waspada, tapi aku tidak menghabiskan 30 menit menempel di dinding lorong."

"Kalau aku bisa mengayun kapak seperti itu juga aku takkan menempel ke dinding!"

"Kau bisa pakai pistol, Ilyas."

"Aku tidak suka bau mesiu atau residu tembakannya menempel di bajuku!"

"Mesiu dan residu menempel di bajuku tiap saat, tapi kau kelihatannya oke saja menempel padaku saat ada zombie."

Wajah Ilyas memerah sampai telinga. Melihatnya gelagapan dan tidak bisa menjawab lagi, aku tersenyum puas sambil berkacak pinggang. Kapan lagi aku bisa menggodanya begini tanpa dapat balasan pedas? Aku benar-benar fit hari ini!

"Anu," sela Fern seraya mendekati kami. Dia berdiri di sisi Mr. Stark yang masih menempel di lantai. "Kalian kelihatannya lebih bepengalaman. Apakah ada sihir khusus yang bisa memusnahkan para mayat hidup itu? Atau mengembalikan mereka ke kuburnya?"

Ilyas dan aku berpandangan. Tanpa suara, aku menggerakkan bibirku, Sihir?

Ilyas melipat bibirnya ke dalam. Matanya melirik dua orang asing di hadapan kami dengan tidak nyaman. Jari telunjuknya menempel ke pilipis, lalu samar-samar melakukan gerakan memutar sebagai isyarat bahwa orang-orang ini mungkin tidak waras. Masuk akal, sih. Terlalu lama terkurung dalam kiamat zombie, siapa pun bisa kehilangan akal sehat.

"Zombie-zombie ini tipe 1," beri tahu Ilyas. "Jadi ... tidak ada sihir yang bisa memusnahkannya."

"Dibangkitkan dengan sihir macam apa?"

Ilyas menjilat bibir bawahnya dan matanya menghindar ke kakinya sendiri. "Entah ya. Bukan aku yang membangkitkan mereka."

"Jadi bagaimana cara memusnahkan mereka? Dibunuh manual oleh Mr. Stark pun, seperti katanya tadi—"

"Potongan badannya bergerak lagi!" rengek Mr. Stark histeris. Masih berlutut, satu tangan lelaki itu mencengkram ujung jubah Fern. "Aku mencacah mereka sampai kecil-kecil, tetapi bahkan cacahan itu masih mengejar kami! Bisa-bisanya!"

"Tipe 1 itu ... kayak lumpur," kataku, "tidak bisa dibunuh, tapi mereka juga tidak berbahaya kalau kita menjaga jarak. Mereka agak tuli, matanya juga rabun, dan gerakannya ... yah, mirip lumpur. Satu-satunya cara untuk memusnahkannya seutuhnya ...."

"Dibakar," sahut Ilyas mengingatkanku. "Tapi apinya harus sangat panas dan mereka harus dibakar untuk waktu yang lama. Jika tidak dibakar sampai habis, mereka masih bisa mengejar kita dan itu buruk—tidak ada yang lebih buruk daripada dikejar zombie api. Karena itu mustahil membakar mereka di tempat umum seperti ini kecuali kita ingin membakar seluruh bangunan. Ada tempat kremasi di dekat sini, tapi—"

"Tempat kremasi!" Fern tersadar. "Bangunan tinggi penuh tungku pembakaran itu. Dari sanalah kami muncul. Sepertinya ada sihir aneh yang mentransportasikan kami berdua di saat Master Frieren melakukan uji coba dari grimoires yang baru ditemukannya—Mr. Stark, tolong bangun dan setidaknya pura-puralah punya martabat sedikit."

"Kalian bisa lewat pintu belakang." Ilyas menunjuk pintu lain pantri yang dipenuhi barikade—barangkali dari sanalah dua orang ini masuk. "Lewat tangga darurat. Potong jalan lewat rumah terbengkalai di sebelah—"

"Kurasa, rumah itu penuh korban infeksi, Ilyas," selaku. "Dan mereka sudah jadi tipe 2."

"Justru karena itu. Tipe 2 bisa dibunuh. Mereka punya kapak dan ..."—Ilyas mengerling galah kayu Fern, tampak mati-mati berusaha untuk tidak terlalu menghakimi gadis itu—"sihir."

"Bisa dibunuh? Tidak akan bangun lagi?" Mr. Stark terdengar penuh harapan lagi meski suaranya masih terdengar sedikit merengek. Terlintas di benarkku, andai Ilyas bertingkah menggemaskan begini sesekali dan bukannya cowok judes yang hobi mengomel histeris saat sesuatu tidak berjalan sesuai rencananya.

"Iya," jawabku, "mereka juga merespons saat dilukai. Tidak seperti tipe 1 yang maju terus tanpa rem, tipe 2 mungkin akan berhenti saat kalian membuatnya buta atau memotong kakinya. Saat dibakar pun mereka melambat."

"Tapi tetap berbahaya," potong Ilyas. "Tolong jangan pakai api. Bangunan tempat kami menginap ini bisa terancam juga—"

Pintu tempat aku dan Ilyas datang mendadak didobrak terbuka. Ilyas melompat ke balik konter dapur. Mr. Stark mencoba meneladaninya, tetapi punggung mantelnya ditarik oleh Fern. Sementara Fern menyiagakan galah kayunya, aku mengayun kapakku, tetapi gerakanku terhenti saat melihat Joo di sana, berdiri sendirian dengan ranselku di punggungnya dan ransel Ilyas di perutnya.

"Joo?" Ilyas muncul dari balik konter dan kembali ke sisiku. "Mana adikku?!"

Joo merogoh ransel Ilyas yang dia sandang di depan, lalu mengeluarkan seorang bocah perempuan yang masih pulas. Seperti kamar kami kebobolan zombie. Untunglah Joo sudah agak pintar—dia memakai maskernya dan membawa serta barang-barang kami bersamanya. Dulu, untuk melatihnya memasang ransel pun, Ilyas butuh seharian.

"Zombie yang di depan pintu tadi?" tanyaku.

Joo menoleh ke belakang, lalu menunjung ujung lorong, di mana zombie tadi muncul dari tikungan, membawa serta segerombolan tipe 1 lainnya.

"Baiklah, mungkin bangunan ini memang harus dibakar," kataku.

"Pergilah duluan," ujar Fern. "Biar kami yang membakar bangunan ini. Anggaplah ini pertukaran untuk petunjuk arah dan informasi tipe zombie yang kami dapat."

"Eh, tapi kami bisa membantu—"

"Terima kasih!" Ilyas langsung menarikku dan Joo ke arah pintu yang dibarikade. Sementara kami menyingkirkan barikade itu berdua, Ilyas berbisik padaku, "Cewek itu memberiku kesan buruk. Meski bukan sihir, dia jelas bisa membakar bangunan ini seorang diri."

Aku membelalak. "Pyromania?"

"Mungkin."

Begitu kami berhasil membuka barikade pintu, aku menerjang zombie-zombie yang ada di depan kami sepanjang lorong smentara Ilyas menyetir arah lariku, "Kanan! Kiri! Tangga itu! Pintu di depanmu—pintu, Cal! Bukan jendelanya! Kau mau mati?!"

Joo paling belakang, membawa Emma dan barang-barang kami. Dia tameng yang bagus karena dia masih tergolong zombie dan para mayat hidup lain takkan melukainya di belakang sana.

Ketika kami sampai di halaman belakang dan menyeberang jalan, seluruh bangunan penginapan menyala dalam kobaran api besar.

"Bagaimana ...?" Ilyas tergagap. "Dari mana sumber apinya? Kenapa satu bangunan terbakar spontan—"

"Api menyebar," kataku seraya menarik Ilyas. Kami terus berlari dan tidak berani menoleh lagi. Tersengal-sengal, aku pun jadi teringat, "Ilyas ... kita belum makan!"

Saking lamanya nda update, saya sampai lupa zombie peliharaan saya ada berapa tipe ._.

Ini "what if" yak. Nda masuk cerita asli Escapade, lebih ke AU nya Escapade yang kebentur sama fanfiction anime Frieren. Belakangan suka banget sama anime nya (*°°*)

Next>>> 25 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro