25 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 25 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah cerita dengan genre, "New Weird."

|| 1379 Words ||

|| New Weird ||

Atlandia bukan benua yang hilang, surga yang tenggelam, apalagi kerajaan legendaris yang lenyap dalam semalam. Pulau itu selalu ada di sana, penghuninyalah yang tersesat dan masih belum menemukan jalan pulang.

Dorothy dan Wendy menyadari itu suatu malam nan gelap, usai membaca buku dongeng sebelum lelap.

"Pulau tidak bisa ke mana-mana," bisik Dorothy.

"Artinya, penghuninya yang berpindah dan gagal menemukannya kembali," timpal Wendy, juga berbisik.

Saat terdengar derap langkah kaki mendekati kamar, keduanya buru-buru mematikan cahaya lilin di meja, lalu menarik selimut sampai kepala. Mereka berpelukan erat sambil memejamkan mata rapat-rapat, tepat ketika ibu mereka membanting pintu sampai terbuka.

Tercium aroma alkohol yang membuat kedua gadis itu mengernyit samar-samar.

"Lihat? Mereka masih tidur," lirih Ayah mereka. "Kau salah dengar."

"Aku yakin mendengar suara kecil mereka, seperti tikus pencuri."

"Sudahlah. Memang begini efeknya tiap malam. Kita selalu mendengar dan melihat hal-hal yang tidak ada."

Keduanya menutup lagi pintu kamar Dorothy dan Wendy. Suara langkah mereka yang goyah dan tak beraturan terdengar menjauh.

"Ayo pergi," bisik Dorothy, "pulang ke Atlandia."

"Tapi, apa bisa langsung ketemu malam ini?" tanya Wendy. "Apa benar-benar di seberang ladang?"

"Kita putri-putri yang hilang dari Atlandia. Kota itu yang akan menemukan kita."

Wendy menendang selimutnya dan mengendap ke lemari, mengambil jaketnya sendiri dan jaket Dorothy, lalu menyalakan kembali dua batang lilin—satu untuk dibawa, satu lagi untuk diletakkan dekat jendela sebagai penanda agar, jika keduanya tersesat dalam gelap, mereka tetap bisa kembali ke kamar.

Kedua gadis itu menyelinap keluar, melewati siluet ayah dan ibu mereka yang tergelak tanpa alasan. Sesekali keduanya bersulang dan minum dari botol-botol bening tua, atau membungkuk ke atas meja untuk menghirup sesuatu. Setelah helaan napas yang panjang dan dalam, keduanya melepaskan udara dengan desah puas dan lega, lalu kembali terbahak dan bicara tanpa arah.

Padahal dulu mereka selalu bertengkar tiap jam. Kurang uang untuk beli makan, kehabisan baju untuk dipakai, kedatangan penagih utang tiap malam. Sejak ada ladang dan berkarat-karat botol minuman itu, orang tua mereka selalu terlihat bahagia dan lupa sepenuhnya pada masalah dunia—termasuk kedua anaknya sendiri.

"Itu ladangnya," desah Dorothy seraya menarik tangan Wendy. Tangan lainnya masih membawa lilin. "Lihat, Janus sudah menunggu di seberang sana!"

Wendy melebarkan senyumnya saat menyadari Dorothy benar. Dia pun bisa melihat pria bersetelan hitam putih itu meski gelapnya malam menyelimuti ladang. Terutama, Wendy bisa melihat dengan jelas dua wajah Janus yang menghadap ke arah berlawanan, seperti dua kepala yang disatukan dan bagian belakangnya menempel pada satu sama lain.

"Para putri Atlandia," sambut kedua wajah Janus bersamaan. Salah satu wajahnya pun berucap, "Silakan pulang kembali," yang kemudian ditimpali oleh wajah lainnya, "ke rumah kalian."

"Rumah kami?" tanya Wendy waspada. "Maksudmu Atlandia, 'kan? Bukan 'rumah' yang baru kami tinggalkan di belakang, 'kan?"

"Itu tergantung pilihan kalian." Salah satu wajah Janus menjawab, yang ditimpali lagi oleh wajah satunya, "Ke mana kalian akan pergi dari sini?"

"Pulang ke Atlandia," tegas Dorothy, "jadi, biarkan kami lewat, Tuan Janus."

Kedua wajah Janus tersenyum. Pria itu menyingkir dari jalan Dorothy dan Wendy, membiarkan keduanya lewat dan memasuki wilayah ladang yang jauh lebih gelap dan gersang.

Api lilin mulai menyambar dedaunan yang mereka lewati, membuat Dorothy dan Wendy harus berlari lebih cepat jika tidak ingin terjebak di ladang yang terbakar. Keduanya mendesah lega ketika menemukan ceruk di tanah—gerbang ke dunia bawah.

Dorothy menaruh lilinnya di tanah, lalu masuk lebih dulu. Wendy mengikutinya. Keduanya meluncur jatuh, menjerit selayaknya mereka menuruni alur prosotan tanpa akhir, hingga akhirnya mendarat di aliran sungai pekat merah gelap—nyaris hitam—yang baunya seperti besi.

"Wahai para putri," sambut Februus—perempuan setua ibu mereka, mengenakan tunik keemasan dan perhiasan mencolok yang menerangi seisi gua tanpa cahaya itu. "Menyelamlah sedikit lebih lama untuk menyucikan diri kalian, agar Atlandia sudi menerima kalian lagi."

Dorothy dan Wendy menarik napas dalam-dalam. Dengan pipi menggembung penuh udara, keduanya memejamkan mata, memencet hidung masing-masing, dan masuk ke dalam air pekat sambil masih bergandengan tangan.

Wendy hampir kehabisan napas dan menggoyang-goyangkan tangannya sebagai tanda untuk Dorothy agar naik ke permukaan. Ketika keduanya berusaha naik, tangan Februus mendorong ubun-ubun mereka kembali masuk ke air.

"Sedikit lebih lama," pinta Februus. "Sebentar lagi."

Wendy meronta. Dorothy mencengkram tangan saudarinya sebagai penyemangat sekaligus tambatan untuk bertahan sedikit lagi. Namun, Dorothy bisa merasakan pegangan mereka mulai terlepas. Dorothy sendiri mulai kehabisan napas.

Saat kedua gadis itu merasakan air mulai masuk ke hidung dan telinga mereka, pegangan tangan mereka menggelincir lepas. Dorothy kira dia akan kehilangan Wendy; Wendy kira dia telah kehilangan Dorothy. Namun, Februus menarik mereka secara bersamaan dan mendekap keduanya sekaligus. Masih di dalam aliran sungai, Dorothy dan Wendy menyatukan kening mereka dan bersandar pada satu sama lain, masih dalam pelukan dingin Februus.

"Selamat, para putri." Februus menimang keduanya, lalu mengangkat mereka ke atas—ke tanah berlumpur yang anehnya terasa keras dan beku. "Lanjutkanlah perjalanan pulang kalian."

Di mulut gua bawah tanah, tampak seorang pria seumuran ayah mereka, mengenakan jubah dan pelindung kepala keemasan. Satu tangannya memegangi tombak, tangan lainnya menggenggam sebuah bola api yang menerangi jalan bagi Dorothy dan Wendy untuk mencapainya.

"Wahai, Mars," mohon Dorothy dengan suara menggigil. "Biarkan kami lewat. Kami hendak pulang ke Atlandia."

"Setelah kembali suci, bukti keberanian kalian." Mars mengulurkan kedua tangannya. "Salah satu dari kalian harus mengambil tombak, yang lain mengambil api."

Dorothy menoleh dan mendapati Wendy yang menatap ketakutan pada bola api di tangan Mars. Meski mereka kedinginan, bukan berarti mereka seputus asa itu untuk mengambil api dengan tangan telanjang.

"Wendy, ambil tombaknya," perintah Dorothy. "Biar aku yang mengambil apinya."

Dengan gigi menggeletuk, Wendy maju untuk meraih tombak dari tangan Mars.

Dorothy ragu-ragu di awal, tetapi gadis itu akhirnya meneguhkan niat dan menyambar bola api di tangan Mars. Kobarannya segera melalap tangan gadis itu dan melepuhkan kulitnya. Dorothy memekik, merasakan telapak tangannya seperti disayat oleh es tajam dan ditetesi air es meski yang dipeganginya adalah api.

"A-apa lagi yang mesti kami lakukan?!" jerit Wendy panik. "Tolong, biarkan kami lewat!"

"Tidak, sebelum kalian menyerang apa yang sedang kalian hadapi dengan senjata yang kalian miliki." Mars merentangkan tangannya. "Pemegang tombak, tombaklah sampai mati apa yang ada di depanmu. Pemegang api, bakarlah sampai mati apa yang ada di depanmu."

Api di tangan Dorothy menjalar naik dan mulai melalap tubuhnya.

Wendy mencengkram tombaknya dengan putus asa. Yang ada di hadapannya hanya ada Dorothy dan Mars. Dia tidak bisa menombak Mars sampai mati karena Mars makhluk abadi. Yang ada di depannya hanya Dorothy, yang masih meraung menatap tangannya yang mulai hilang dalam lalapan api.

Itu dia ... Dorothy membakar tangannya sendiri. Karena tangannya lah yang ada di hadapannya.

Wendy berlari kembali ke arah aliran sungai. Dia membungkuk di atasnya dan menatap pantulan wajahnya sendiri pada aliran air hitam pekat, lantas menyula dirinya sendiri.

Kedua gadis itu melolong bersamaan, bersahut-sahutan, sampai semua suara lenyap dan kegelapan menyekap. Saat mereka membuka mata, Mars sudah tidak ada. Keduanya tahu-tahu sudah berbaring di atas kerang raksasa yang terbuka, layaknya dua butir mutiara, masih utuh dan bersih, tiada darah bersimbah atau kulit gosong sampai ke tulang.

Di depan mereka, seorang gadis muda yang cantik luar biasa menyambut mereka.

"Putri-putri tersayang, buktikanlah cinta kalian jika ingin pulang ke Atlandia."

***

Sepasang pria dan wanita jatuh berlutut memandangi rumah mereka yang habis dilalap api. Jauh di belakang mereka, ladang yang selama ini menjadi sumber kebahagiaan mereka pun telah habis terbakar. Namun, tak peduli seberapa keras keduanya melolong dan meraung dan memohon ampun, anak-anak mereka takkan pernah kembali lagi.

Sang Ayah mencengkram kepalanya yang seperti akan pecah. Kian nyaring jeritannya, memanggil nama kedua putrinya.

Sang Ibu tersedu-sedu di tanah. Terdekap di dadanya, sebuah buku dongeng, satu-satunya yang selamat dari kamar kedua buah hatinya.

Buku dongeng yang ditulis oleh mendiang Platio—seorang peneliti, akademisi, dan ahli botani yang hidup sekian ratus tahun silam; yang diklaim telah menghabiskan masa tuanya dalam kegilaan, mengoceh tentang penemuannya akan Atlandia, kota yang hilang, di bagian bawah rumahnya. Rumah yang kini menjadi ladang sumber kebahagian sang Ayah dan sang Ibu, sekaligus tempat hilangnya Dorothy dan Wendy.

Jauh di kedalaman tanah, lebih tinggi dari surga sendiri, Dorothy dan Wendy telah melalui ujian kedua belas penjaga gerbang dan menduduki singgasana masing-masing. Keduanya telah pulang ke Atlandia.

"Atlandia selalu ada di sana; para penghuninyalah yang hilang, tersesat, dan belum bisa menemukan jalan pulang. Para penghuninya yang tadinya abadi, menjadi manusia fana ketika meninggalkan Atlandia dan turun ke tanah orang hidup. Maka hanya ada satu cara untuk kembali ke Atlandia: tinggalkan tanah orang hidup dan kembalilah ke kekekalan Atlandia."—Platio.

Genre New Weird alias genre yang punya karakteristik fiksi aneh dan genre spekulatif lainnya (scifi, fantasy, horror); genre yang menumbangkan klise dari hal-hal fantastis untuk menjadikannya tidak menyenangkan dan tidak lagi menghibur.

Next>>> 26 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro