26 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 26 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah cerita yang mengandung 3 kata ini: Biru, Harmonika, Jendela. Minimal 500 kata. Kata harus ditulis secara berurutan dari Biru-Harmonika-Jendela.

|| 2179 Words ||

|| Iridescent - Cerita Lepas ||

Ini Pekan Kesenian Sekolah pertamaku, dan aku sudah menanti 12 bulan lamanya—tepatnya sejak pertama kali melihat Grey—momen di mana kami bisa jalan-jalan berdua, melihat-lihat semua jenis hiburan yang diusung masing-masing kelas. Payahnya Grey malah memutuskan sekarang buat jatuh sakit. Dijenguk, tidak mau. Diajak ke rumah, dia menolak. Kukirimi pesan dan kutelepon pun, tidak ditanggapi. Wilis bilang, Grey memang begitu—dia suka menyepi saat sedang sakit, ada masalah, atau ketika kena masalah saat sedang sakit.

Kemarin aku ingin nekat ke rumahnya karena cemas. Maksudku, dia sendirian, tidak enak badan, dan bisa melihat hantu—mana bisa aku tenang?! Namun, Wilis bilang itu ide buruk dan Grey barangkali malah bakal marah kalau dikunjungi tanpa diberi tahu, padahal kalau aku bilang-bilang hendak ke rumahnya pun pasti dia melarang.

Kelasnya Wilis dan Grey membuat rumah hantu, dan inilah biang kerok Grey jadi demam. Grey diandalkan buat mengerjakan sebagian besar dekorasi, mengawasi pembuatan kostum hantu, dan ikut mengurusi sound system dengan ketua kelasnya. Aku tahu Grey tidak pernah sarapan, makan siangnya ugal-ugalan, dan dia pasti tidak makan malam dengan benar karena pulang terlalu larut. Saat aku mengantarkan sestoples roti isi ke kelasnya pun, kudapati stoples itu dikeroyok teman-temannya, termasuk kakak laki-lakiku sendiri yang padahal sudah kukasih jatah dua stoples sendiri agar dia tidak mengganggu punya Grey.

Dua hari sebelum Pekan Kesenian Sekolah dibuka, Grey ambruk di depan pintu kelasnya. Wajahnya merah, napasnya tersendat-sendat, jidatnya lebih panas daripada ponsel Wilis yang sering overheat. Siang itu heboh sekali, walau perlu kuakui akulah yang menyebabkan sebagian besar kehebohan karena mengiringinya yang digotong ke UKS sambil tersedu-sedu, persis seperti istri-istri di sinetron yang histeris melihat suaminya kena serangan jantung. Bahkan Grey sampai mendapat tenaga untuk sesaat demi mengerang lemah padaku, "Olive ... aku belum mati ...." sebelum pingsan sungguhan dan membuat tangisanku makin keras.

Jadi, kelasnya harus membuka rumah hantu sepekan ini dengan kerja keras dua kali lipat—rasain!—karena tumpuan hidup mereka bahkan tidak bisa datang ke sekolah.

Kelasku sendiri mendirikan stan-stan permainan indoor semacam tiruan arcade—kaleng-kaleng yang disusun jadi piramida buat dilempari bola kecil sampai runtuh, pinball imitasi menggunakan kardus dan kelereng, sampai mini-basketball dari keranjang sampah yang ditempel ke papan dan bola-bola karet kecil. Ada seetalase penuh suvenir buatan tangan hasil kerjasama satu kelas—gantungan kunci, bingkai foto, tas anyaman—yang bisa ditukar dengan tiket-tiket yang bisa dimenangkan dari tiap pemainan. Kami berjaga dan istirahat bergantian.

Hari ini aku kebagian jam jaga pagi, lalu bebas keliling-keliling siang sampai sore nanti. Namun, rasanya aku tidak semangat lagi. Kostum seragam batik yang kuusulkan, juga gaun selutut berlengan panjang dari kain sasirangan yang tampak imut sekaligus elegan dan kujahit susah payah ... pacarku tidak bisa melihatnya. Andai ada Grey di sini—

"Olive."

Aku menoleh dan mendapati Grey berdiri di belakangku. Dia memakai baju kaus abu-abu berkerah tinggi dilapis jaket hitam, celana jins abu-abu longgar, dan sepatu kets putih yang kupilihkan buat dibelinya bulan lalu. Mulut dan hidungnya tertutup masker, kedua tangannya di saku jaket.

"Grey ..." lirihku tidak percaya. Tanganku gemetaran, menggantung tak sanggup hendak menyentuh lengan jaketnya. "Kapan matinya ...?"

"Apa, sih." Suaranya teredam di balik masker. "Ini aku. Bukan hantu."

Dia menarik tanganku dan menemplok-nemplokkan telapak tanganku ke badannya, memperlihatkan kalau fisiknya asli berbentuk di sini.

Aku menarik napas lega. "Sori, trauma lama."

Pandangan matanya masih tampak lesu. Postur berdirinya pun kurang bagus. Kutarik dia agar duduk di kursiku (aku sedang menjaga stan mainan cabutan, semacam undi-undian dengan tali). Kuambilkan air mineral gelas dari kotak yang disediakan bendahara kelasku untuknya.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya seraya berjongkok di sisinya. "Wilis bilang, sakitnya parah sekali sampai muntahmu berdarah, berakmu berdarah, ingusmu berdarah."

"Bohong." Grey membuka maskernya sebentar untuk minum dari sedotan, lalu menaikkannya lagi. "Tidak ada yang berdarah. Pilekku yang paling parah sudah berlalu tiga malam lalu. Demamku juga sudah turun. Sekarang hanya sisa capeknya saja. Tapi, jangan bilang-bilang sama anak-anak kelasku—biar tahu rasa mereka. Aku muncul membantu mereka di hari terakhir saja."

Beberapa temanku dari stan sebelah sengaja melongokkan kepala mereka buat menggodaku. Saat aku menoleh, mereka langsung menarik diri dan cekikikan. Ada yang berbisik, "Pacarnya Olive datang," padahal mereka pasti sadar benar suaranya kedengaran sampai telinga Grey. Aku mesti menendang terpal stan sebelah agar mereka berhenti menggosip dengan lantang begitu.

"Sudah makan?" tanyaku cepat seraya merogoh ransel dan mengeluarkan stoples. Untunglah aku belum memakan kue dan roti sosisku. "Nih. Aku bawa dua stoples," dustaku, "jadi habiskan saja yang itu."

"Makasih," ujarnya seraya membuka kembali maskernya. Rasanya puas sekali melihatnya lahap seperti tidak ketemu makanan dua hari. Sebelum aku sempat bertanya, Grey lebih dulu bicara seolah tahu apa yang hendak kukatakan, "Bubur dan sup yang Wilis antar dua malam lalu juga enak. Makasih, ya."

Aku baru akan memakai kesempatan ini untuk mencecarnya dengan berbagai pertanyaan—kenapa pesanku diabaikan, kenapa hanya Wilis yang boleh menjenguknya, kenapa teleponku jarang diangkat—tetapi kemudian stan yang kujaga kedatangan pelanggan.

Padahal ini sudah hari keempat, tetapi sekolah kami masih ramai—anak-anak dari sekolah lain berdatangan entah disuruh datang oleh teman-temannya yang bersekolah di sini atau dari mulut ke mulut. Warga yang tinggal di sekitaran sekolah ini juga datang. Teman-teman dari SMP-ku dulu datang kemarin. Bahkan ayah dan ibuku datang tiap hari—hari pertama sih oke, hari kedua aku mulai risih karena Ayah bawa-bawa kamera, hari ketiga bikin malu karena ibuku duduk berlama-lama dan malah mengobrol dengan teman sebangkuku. Hari ini aku sengaja memberi tahu mereka agar datang agak sorean supaya mereka muncul saat aku istirahat. Biar Wilis repot sendiri saat Ayah dan Ibu muncul di kelasnya.

"Repot kah?" tanya Grey seraya berdiri di sampingku. "Apa yang mesti kubantu?"

"Aura kehadiranmu sudah membantu menaikkan semangat hidupku." Kudorong dia agar duduk kembali. "Diam saja di situ. Kalau banyak gerak, nanti pingsan lagi."

"Olive," sapa seseorang yang menghampiri stanku dengan temannya. Aku butuh waktu untuk mengenali mereka berdua dari SMP-ku dulu. "Ingat aku?"

"Yoga dan konconya."

"Soga," koreksinya. Konconya sendiri tampak tidak tertarik untuk meralatku.

"Cuma beda huruf satu."

"Kau sendiri selalu marah kalau kupanggil Olivia."

"Itu beda dua huruf. Tahu dirilah."

Soga dan konconya (aku benar-benar lupa namanya) menarik tali cabutan masing-masing dua kali, tetapi kena zonk satu kali dan akhirnya hanya bisa mengumpulkan tiga lembar tiket hadiah. Soga sempat merayuku supaya diberikan kesempatan ketiga, tetapi kuusir dia ke stan sebelah.

"Siapa itu?" tanya Grey di belakangku.

"Teman SMP," jawabku sembari merapikan lagi tali-tali cabutan di meja. "Enggak perlu cemburu, Grey. Terakhir kami ketemu pas reuni bulan lalu, pacarnya masih ada enam dan tersebar di empat kota berbeda. Konco yang terus membuntutinya itu tadi pun bisa saja selirnya."

Grey hanya menjawab, "Hmm."

"Nah," kataku lagi saat seseorang masuk ke kelas dan langsung berjalan lurus menuju stanku. "Kalau yang ini, kau boleh cemburu. Namanya Candramawa. Dia mengejar-ngejarku dari kelas 2 SMP dan masih berusaha dapat kontakku sampai sekarang." Aku mendelik saat merasakannya hendak berdiri. "Grey, duduk. Kalau kamu ambruk lagi, tangisanku kali ini bakal lebih histeris lagi sampai masuk berita tv lokal."

"Olive," sapa Candramawa. Hari ini dia pakai kemeja batik juga dengan corak warna yang hampir serasi dengan bajuku.

"Candra," balasku. "Sudah empat kali kamu datang. Jangan sering-sering, ya. Ini termasuk judi."

Dia tertawa menanggapiku dan sengaja berlama-lama memilih tali. "Apa aku enggak bisa dapat kesempatan ekstra sebagai langganan?"

"Cuma dua kali." Aku mengingatkannya.

"Jam berapa kamu istirahat hari ini?" tanyanya sambil lalu, kemudian menarik salah satu tali. "Ck. Dapat zonk."

"Seperti biasa," jawabku. "Tinggal satu kali lagi."

"Jam berapa persisnya. Kemarin pas aku datang lagi siang-siang, kamu sudah—" Candramawa terdiam sebentar. Matanya mengarah ke atas kepalaku. "Olive, aku lupa muka kakakmu. Tapi, yang di belakang itu Wilis, ya?"

Aku hampir terbahak. Menyamakan Grey dan Wilis itu seperti membandingkan Aladdin dengan peliharaan di bahunya.

"Ini Grey." Aku mendongak sekilas untuk melihat wajah Grey karena sekarang dia berdiri menjulang di belakangku. "Kakak kelasku. Dia sekelas sama Wilis."

"Oh." Candramawa merespons singkat. Kemudian, barangkali karena merasa tidak enak diawasi cowok bermasker, Candramawa akhirnya pamit tanpa menggunakan kesempatan kedua mainan cabutannya. "Eh, aku ... ke sana dulu, ya, Olive."

Setelah cowok itu pergi, Grey duduk lagi di kursi. Ujarnya, "Kakak kelasku?"

"Terus mau dikenalkan sebagai apa? Mantan bodyguard-ku?"

Grey berdecak. Aku menahan diri agar tidak mengikik dan melompat-lompat.

"Sudah berapa kali dia ke sini?" tanya Grey lagi.

"Empat kali."

"Berarti dia datang setiap hari?"

"He'eh."

"Kenapa bajunya bisa sama?"

"Mungkin dia mau ikutan kerja di sini tapi tidak keterima." Aku berbalik menghadapnya dan menyapukan tangan ke rok batikku. "Kalau kamu mau baju couple-an sama aku, nanti kujahitkan. Tapi kainnya cari sendiri."

Grey mengamatiku sebentar. Raut kesal di alis dan matanya pun melunak. Samar, dia mengangguk. Aku mesti buru-buru balik badan lagi agar dia tidak melihat senyum super lebar yang terpasang sendiri di wajahku. Cowok cemburu memang paling mantap. Aku tidak perlu repot-repot menurunkan harga diri merengek padanya agar mau pakai baju couple-an.

Sampai tengah hari, Grey duduk dengan tenang. Sekali-sekali dia ketiduran, lalu bangun untuk minum. Dia keluar dua kali untuk ke toilet, lalu masuk lagi dan duduk di belakangku. Tiap ada anak cowok menghampiri stan yang kujaga, Grey bakal berdiri dan memandangi mereka seperti patung setan. Dan setiap dia melakukan itu, teman-temanku langsung mengambil foto sambil cekikikan.

Kuingat wajah semua temanku yang mengambil foto supaya nanti bisa minta dikirimkan ke ponselku.

Shift-ku hampir habis. Grey entah ketiduran atau main ponsel di kursinya—dia begitu diam sejak tadi. Lalu, Candramawa datang lagi ke kelasku.

Duh. Aku baru berencana memberitahunya saja kalau Grey itu pacarku biar dia berhenti. Kemudian, kudengar suara kursi di belakangku bergeser mendekat ke arahku. Sekujur tubuhku membeku saat Grey menyandarkan kepalanya ke lekuk punggungku. Tangannya memegangi tanganku dari belakang.

"Untung kau tinggi, jadi poisi kepalamu di sana," kataku, sementara Candramawa sudah balik badan dan pergi dari kelasku. "Kalau wajahmu sampai nyangkut ke pantatku, aku minta dilamar hari ini juga."

Grey mengeluarkan suara tawa samar-samar.

Teman-teman perempuanku yang duduk menjaga etalase suvenir menaruh dagu ke telapak tangan masing-masing dan berlagak histeris memanggil namaku tanpa suara. Sambil menyengir ke arah mereka, aku samar-samar mengangkat tangan yang tidak dipegangi Grey, lalu mengacungkan ibu jari.

***

Shift-ku usai. Aku langsung menarik Grey ke kelas sebelah. Mereka buka kafe bertema "under the sea" dengan pernak-pernik Krusty Krab meski menyajikan nasi bungkus berdaun pandan dengan lauk ayam tepung.

Selesai makan, kami melihat kelas temanku yang mengadakan pameran lukisan dan diorama-diorama menakjubkan. Aku mengambil banyak foto buat dimasukkan ke akun sosial media.

Kami kemudian ke kelas temannya Grey yang membuat semacam panggung pertunjukan musik akustik di mana para pengunjungnya boleh request, menyawer penyanyi dan pemain musiknya dengan bunga-bunga kertas yang disediakan, atau naik panggung dan menyanyi sendiri. Saat aku berusaha menyawer kakak kelas yang menyanyikan lagu kesukaanku, Grey merebut bunga di tanganku dan menggantikanku memberikannya ke si penyanyi. Dia bahkan tidak gengsi meski mereka sesama laki.

Lalu, kami pergi ke kelasnya sendiri karena Grey bilang ingin mengecek pekerjaan teman-temannya. Toh, teman-temannya mustahil tega langsung menyuruhnya ikut jaga hari ini juga.

Baru sampai pintu depan saja, Grey sudah tersandar ke dinding. "Perasaan aku bilang tirainya harus hitam gelap semua."

Tirai yang dipakai kelasnya bercampur hitam gelap, biru gelap, kuning, dan biru stabilo. Alih-alih seram, rumah hantu ini malah tampak seperti kue lapis jamuran.

"Grey," dengap salah satu temannya yang berkostum hitam dengan corak tulang tengkorak. "Tirai hitamnya enggak cukup, Grey. Jadi, kami pakai apa yang ada."

Makin jauh kami masuk, makin konyol rumah hantu kelasnya. Bahkan aku yang penakut pun tertawa saat melihat wewe gombelnya—dalamnya laki-laki tanpa niat rias wajah sedikit pun, pakai rambut palsu gimbal sebahu, gaun putih kusut kotor, sumpal dada yang miring, dan kain gendongan dari kerudung oranye berisi batok kelapa yang ditempeli kertas hasil print wajah bayi ganteng tersenyum.

Grey kelihatan menahan amarahnya saat melihat dekorasi laba-laba penyok yang dijatuhkan tanpa niat pakai tali pancingan.

Lalu, terdengar suara alunan musik tiup dari balik tirai. Di sini batas kesabaran Grey habis.

"Sudah kubilang pakai rekaman suara piano biar seram," desisnya, lalu menyibak tirai dengan kasar. "Wilis!"

Kakak laki-lakiku berkostum tuksedo kebesaran yang sudah robek-robek dengan noda tomat murahan di dadanya. Tuksedo ini awalnya disewa ayah kami untuk suatu acara, tetapi kemudian tonjolan di perutnya membuat kancing-kancingnya copot, lalu ketiak kemejanya dan jasnya pun retas saat Ayah mengangkat tangan terlalu tinggi. Jadi Ayah terpaksa mengganti rugi tuksedo itu ke penyewaannya dan membiarkan Wilis memakainya untuk kostum hari ini.

Di dagu Wilis, tampak taring-taringan yang digambar pakai spidol merah.

"Aaaa," kata kakak kelas berkostum tengkorak yang sejak tadi mengekori kami sebagai pemandu. Bahkan suara teriakannya tidak terdengar ikhlas sama sekali. "Waaaa, vampir. Takut ...."

Wilis mendesis-desis seraya mengepak-ngepakkan sayap imajinernya. Dia mencoba menakut-nakutiku, yang kurespons dengan tatapan jijik.

Grey mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Bodoh banget, Wilis. Bahkan Olive pun tahu itu kamu."

Wilis naik pitam. "Pura-pura enggak tahulah, Grey!"

"Mana ada hantu main harmonika?!" bentak Grey. Suaranya jadi sengau karena marah-marah. "Lagu anime pula!"

Untuk menambah parah situasi, salah satu tirai di dinding copot dan menyingkap cahaya matahari terang benderang yang lolos lewat jendela.

"Ah, wah, tirainya runtuh sendiri," kata kakak berkostum tengkorak. "Apakah ini yang dinamakan poltergeist."

"Jelas saja runtuh kalau disangkutkan seadanya," keluh Grey.

Dia meraih tanganku dan menarikku keluar dari rumah badut itu, mengabaikan teman-temannya yang memohon agar Grey kembali pada mereka.

Aku mati-matian menahan kikikanku, setengah geli, setengahnya lagi senang dia menggandengku duluan. "Grey, dipanggil teman-teman hantumu, tuh."

"Bodo amat. Bukan kelasku."

BISA KAN SAYA NULIS CERITA UWU YANG SWEET BISA KAAAAAAAN HUEHUEHUEHUEE

Btw, yang pesan DM, wall, dan komen-komennya belom dibalas sabar yaaak ( ̄▽ ̄)

Soalnya di sini saya buka wattpad dari laptop dan cuma buat update ini doang. Bales komen pun cuma bisa pas kebetulan senggang bisa buka laptop. Belakangan emang slowrespon parah ( ̄▽ ̄)

Next>>> 27 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro