22 November 2019

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| E-Jazzy | 927 words ||

| Short Story |

| RavAges - Cerita Lepas |

Tema:
"Apakah ada pertanyaan?"

"Apakah ada pertanyaan?"

Meski punya, aku tak mengangkat tangan. Begitu pula seisi aula. Di sebelahku, Ed bergerak gelisah, dilema antara hendak bertanya atau mengikuti mayoritas yang diam.

"Aga," bisik Ed seraya menyikut rusukku. Dia menggeser buku catatannya untuk memperlihatkan pertanyaan yang ingin diajukannya. "Tanya, gih."

Aku baru akan mengintip bukunya saat mahasiswa di ujung aula mengangkat tangannya. Dia menanyakan sesuatu yang entah apa karena aku tidak benar-benar menyimak, dan dibalas dengan dosen yang menyalak, "Apakah kamu tidak mendengarkan sepanjang kuliah yang saya berikan?!"

Ini pertama kali aku masuk kuliah umum beliau. Buru-buru kudorong buku catatan Ed dan berbisik, "Bukan tipikal dosen kesukaanku. Silakan tanya sendiri."

Ed kecil di nyali, sedangkan aku kurang di motivasi. Akhirnya, Ed menggunakan trik yang belakangan sering digunakannya ke para dosen: Brainware.

Iya. Kami berdua punya kekuatan super. Namun, kami bukan pahlawan super yang membanting mutan godzilla sampai menghancurkan sebuah gedung dan mendadak menembakkan laser pamungkas saat lampu di dada kostum kami menyala merah. Kami bahkan tidak punya kostum.

Kami hanya korban malapraktik yang memanfaatkan kekuatan ini untuk kebajikan perkuliahan, alias kebaikan nilai kami sendiri. Karena sempat hilang dari peredaran selama beberapa lama gara-gara seorang pria bernama Ra, Ed dan aku harus melakukan segala cara untuk bertahan di belantara kampus. Kekuatan terkutuk ini menjadi satu-satunya jalan keluar.

Sedetik setelah mendapat tatapan maut Ed, bapak dosen yang terhormat mendadak oleng di balik mejanya. Para mahasiswa sempat berdengap—antara tegang menantikan adegan pingsan, dan sedikit harapan kuliah akan dibubarkan lebih cepat.

Si bapak dosen mengerjap, tampak lingung, lalu tiba-tiba membuka kembali slide presentasinya dan menjelaskan kembali materi yang hendak ditanyakan Ed. Seluruh peserta kuliah umum ini kebingungan, tetapi tidak ada seorang pun yang berani berkata-kata. Rupanya bapak dosen ini sudah lumayan tersohor dengan sistem monarkinya.

Sementara Ed mencatat, aku berbisik, "Tidak praktis. Kau bisa saja langsung masuk ke kepalanya dan mencuri semua ilmu S3 yang dia punya."

Ed melirikku sambil mengernyit.

"Kau pasti belum pernah memakai Brainware, ya? Kau tidak bisa sembarangan masuk ke kepala seseorang tanpa membawa pengaruh kepada otakmu sendiri."

Dia mengatakan itu sambil masih fokus pada buku, pena, dan penjelasan dosen. Kemampuan fokus Ed memang semengerikan itu. Dia bisa saja membagi perhatiannya padaku, dosen, teman kuliah di sampingnya, sambil mencamil dengan tangan kiri dan pena di tangan kananya, sementara kakinya melakukan atraksi putar piring—dan semuanya dia lakukan tanpa kehilangan konsenterasi.

"Brainware itu curang," kataku. "Seperti membuat kertas kecil contekan saat ulangan."

Ed akhirnya memusatkan perhatian padaku sepenuhnya. "Aga. Kekuatan super kita ini semuanya curang. Dan kalau perlu kuingatkan, kau mencontekku setiap ulangan sejak kita sekolah."

"Mencontek teman itu untuk mempererat tali silaturahmi, beda dengan menjiplak materi di kertas—itu curang."

Aku tak tahu aku bicara apa.

Sejujurnya, aku hanya tidak suka menggunakan semua kekuatan super ini. Aku tidak suka cara Bintara meneror kami terus-terusan untuk bergabung dengan perkumpulan sesat rahasianya. Aku tidak suka Ra. Aku tidak suka orang-orang misteriusnya yang terus membuntuti kami berdua. Aku tidak suka kancing bodoh yang mesti kubawa-bawa setiap detik. Aku tidak suka memikirkan kemungkinan bahwa kami adalah bom nuklir berjalan, yang pemicu meledaknya hanyalah sebuah keteledoran seperti: "Wah, kancingnya jatuh di jalan. Matilah kita dan seisi kota."

Sudah cukup buruk aku dan Ed mesti mendapat semacam teori semua Fervor—kekuatan super—ini dari Bintara. Aku tak mau tahu praktik cara penggunaannya juga.

Setelah bapak dosen selesai, para peserta kuliah sudah setengah tertidur. Beberapanya menjadi lebih relaks karena dosen yang linglung dan tatapannya tampak terputus dari dunia sama sekali tak menakutkan.

Lalu, seorang gadis di deret depan mengangkat tangannya untuk bertanya.

Aku menegakkan punggung dan mendongak sedikit demi melihat Abiar. Kali ini, aku menyimak pertanyaannya.

Begitu pun dosen itu. Dia mendadak tak lagi tampak bingung. Kesadarannya kembali sepenuhnya, suaranya ramah sekali saat memuji pertanyaan Abiar, dan senyumnya benar-benar menunjukkan perlakuan khusus. Pilih kasih.

Aku menggertakkan rahang. Kutelengkan kepalaku, dan dosen itu terpeleset sedikit saat hendak berjalan menuju meja Abiar. Kumiringkan kepalaku ke sisi satunya, dan dosen itu menyenggol laptopnya sampai benda sakral itu nyaris jatuh dari mejanya.

Aku tersenyum puas saat si bapak memutuskan untuk tetap diam di balik mejanya.

"Hei," protes Ed. "Itu curang."

"Itu namanya memperjuangkan keadilan."

"Sejak kapan kau peduli keadilan?"

"Kita ini pahlawan super, Ed," tukasku tajam. "Kita pembela kebenaran. Betul, 'kan?"

Ed hanya mendengkus.

Begitu perkuliahan selesai, dan aku berjalan keluar aula dengan mood yang mendadak cerah, aku berkelakar pada Ed, "Kau tahu perbedaan 'benar' dan 'betul'?"

"Ha?"

"Ada yang namanya pembela kebenaran, tapi tidak ada yang namanya pembela kebetulan."

Lalu, aku terpingkal sendiri.

"Oh, satu lagi," kataku, mengabaikan ekspresi Ed yang kentara sekali malu berjalan dekat-dekat denganku. "Ada perbedaan antara 'celengan' dan 'tabungan'."

Raut muka Ed meneriakkan, Mari kita hentikan ini, Kawan! Kumohon!

Namun, aku tak berhenti. Aku melanjutkan, "Ada yang namanya bayi tabung, tapi tidak ada yang namanya bayi celeng!"

Seseorang tersedak di belakangku. Ketika aku menoleh, saking terkejutnya aku sampai terlompat setinggi, barangkali, 10 senti. Entahlah. Aku tak meletakkan penggaris di kaki saat melompat kaget.

Abiar buru-buru mengatur ekspresinya ketika kupergoki dirinya tengah tertawa pada lelucon bodohku. Khas Abiar yang mudah ciut, dia langsung menundukkan kepala, lalu berjalan sambil memerhatikan kakinya. Sungguh manis.

"Tidak cukup kita menakut-nakutinya dengan insiden Bintara menembakkan flamethrower itu," gerutu Ed. "Sekarang kau membuat gadis itu fobia permanen terhadap kita dengan lelucon recehmu."

Suara Ed tak begitu masuk ke kepalaku. Kata-katanya masuk telinga kanan, keluar telinga kanan lagi.

Yang ada di kepalaku sekarang hanya: Abiar tertawa pada leluconku.

"Hei." Kusenggol kaki Ed sampai dia meringis karena ternyata aku menginjak sepatunya—mungkin itu jari kelingking yang kugilas. "Menurutmu kau bisa masuk ke pikiran Abiar dan mengintip pendapatnya tentangku?"

Kangen Pak Aga .-.

Doakan saya masih hidup sampai 8 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 23 November 2019

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro