26 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 26 || 2291 words ||

| Buat cerita dengan karakter yang memiliki MBTI sama seperti kalian |

| Ternyata saya kakek-kakek, guys |

| Btw, ini ceritanya lanjutin fanfic Harry Potter yang kemaren ya |

| Fanfiction, Fantasy |
|| Magical Muggle Part 2 ||

Misi pertamaku sebagai penyusup: membuat beberapa anak kelas 1 dikeluarkan dari sekolah. Di antara anak-anak itu ada nama kedua adik kembar Joshua.

Aku belum memberi jawaban apapun pada Muggle misterius yang menghubungiku malam itu. Dan jelas sekali aku tidak mau melakukan apa yang disuruhnya. Namun, kudapati diriku tidak bisa menatap Joshua saat kami duduk berseberangan di Aula Besar saat sarapan. Aku tidak berani menoleh ketika adik kembarnya menyapaku di lorong. Apapun yang ketiga kakak-beradik itu usahakan untuk memulai interaksi, aku berusaha untuk berpura-pura tidak mendengar.

Pertahananku runtuh saat di kelas transfigurasi. Aku tersedak tawaku sendiri saat Joshua gagal mengirimkan lovebird yang dimantrai. Alih-alih jadi surat cinta, suratnya menyalak, "Hei, ini pacarmu, Joshua, ingat? Aku menyembuhkan hidungmu!" dengan nada mirip Howler sebelum volumenya mengecil dan mengecil, hingga akhirnya mantranya bekerja seperti seharusnya. Seisi kelas meledak dalam tawa sementara Joshua membenamkan wajahnya ke antara buku dengan malu.

"Aku hanya mencoba bercanda," terangnya seusai kelas. "Kau menghindariku dan adik-adikku berhari-hari. Padahal kukira kau oke saja masuk Hufflepuff."

"Aku tidak masalah masuk Hufflepuff," kataku. "Sudah kubilang, aku hanya tidak mendengar sapaan kalian. Aku bukannya menghindar." Sebelum Joshua menukas, aku mendahuluinya, "Aku minta maaf, oke? Aku cuma ... bukan tipe yang biasa lengket sama teman ke mana-mana."

Sebetulnya itu bohong. Aku memang kesulitan memulai pertemanan, tetapi begitu punya teman, aku tipe yang akan menempel dengannya ke mana-mana, mirip tumor jinak. Namun, Joshua tidak tahu itu. Kami baru saling kenal. Apa pun yang kukatakan, dia takkan punya pilihan selain mempercayaiku.

"Yah, kulihat-lihat kau memang sering sendirian," ujarnya, lalu buru-buru menambahkan, "bukan berarti aku memperhatikanmu! Oke? Cuma kebetulan saat aku melihatmu, kau selalu lagi sendirian. Padahal tampaknya kau sudah punya beberapa teman di kelas. Terutama, kau kelihatan paling akrab sama si Scamander."

"Benjamin Scamander dan aku ikut kelas tambahan yang sama karena kami sama-sama terlambat masuk Hogwarts."—Dalam hati aku menambahkan, Dan kami sama-sama siswa dalam progam rahasia di mata Prof. McGonagall, serta penyusup dalam program rahasia dobel dari Muggle aneh di kementrian sihir.

Sesungguhnya, Benjamin dan aku tidak seakrab itu. Sebagian besar waktu, kami saling mendiamkan. Dia tidak banyak bicara, dan aku bingung harus bicara apa. Jadi, kami seringnya membisu, seperti dua bongkah batu berjubah. Kami bahkan sama-sama merasa tidak nyaman membahas misi dobel rahasia dari Muggle di kementrian sihir.

Satu kali aku mencoba mengangkat topik tabu itu, tentang misi aneh untuk menyusup, tetapi Benjamin bersikap seolah-olah aku mencoba membakar pantatnya.

"Jangan di sini!" desisnya.

"Terus di mana?" desakku.

"Temui aku besok sore di bukit dekat pohon dedalu perkasa. Bawa buku atau apalah agar kita seolah-olah mau mengerjakan tugas dari kelas tambahan."

Aku sudah datang sore itu, tetapi Benjamin terlambat. Aku menunggu dua jam, lalu kembali ke asrama. Setelah aku berganti pakaian dan akan naik ke atas tempat tidur, salah satu teman sekamarku masuk dan mengatakan bahwa Benjamin menungguku di luar. Ketimbang marah, aku hanya merasa sudah malas mesti turun lagi. Energiku sudah habis untuk membahas yang berat-berat, aku baru mandi, dan tidak mau memikirkan apa-apa. Kalau mesti melihat Benjamin, aku mungkin bakal jengkel—padahal aku juga tidak punya tenaga untuk itu. Jadi, kukatakan padanya untuk menyampaikan bahwa aku sudah tidur.

Besoknya di kelas tambahan, saat kami sedang mencatat, Benjamin berbisik tak acuh, "Aku datang ke asrama Hufflepuff kemarin, tapi temanmu bilang kau sudah tidur."

"Iya," jawabku. Dari sudut mataku, kulihat wajahnya diliputi rasa kesal sekelebat, tetapi menurutku dia tidak ada hak buat marah. Toh, dia yang telat. "Nanti saja kita bicaranya."

"Ya sudah," gumamnya. Lalu, kami tidak pernah bicara lagi.

Meski saat ini aku masih bisa mengabaikan segala tetek bengek misi serba rahasia ini, aku pasti harus memikirkannya suatu hari. Muggle yang memberiku misi itu tidak memberiku penjelasan lebih, tetapi aku tahu benar itu bukan lelucon. Kebalikanya, dari sikap itu, si Muggle menegaskan bahwa dialah yang memegang kendali di sini dan aku tidak berdaya, bahkan untuk mengorek informasi lebih.

Dia hanya memberi tahu gambaran besarnya tentang menghancurkan komunitas sihir dari dalam, bahwa Perang Sihir Kedua nyaris membawa dampak besar yang berakibat pada kerugian kami, para Muggle—tentunya para manusia non-sihir harus mulai bergerak sebelum Perang Sihir berikutnya pecah. Karena, jika itu terjadi, kamilah yang akan terinjak paling bawah. Jika suatu hari muncul Grindelwald lain atau Voldemort kedua, Kaum Muggle akan menjadi yang paling menderita dan terancam kepunahan.

Sampai sana, aku sadar bahwa si Muggle penyusup ini memiliki kemampuan ad-libs yang luar biasa. Dia terdengar meyakinkan dan persuasif. Tentu aku akan dengan mudah terbawa suasana dan tertipu andai saja aku tak menyadari bahwa pria itu menghindari satu topik paling penting untukku: apa dampaknya untukku secara personal?

Ini misi miliknya. Objektifnya. Agendanya. Dia telah berada di puncak kekuasaan di atas sana, di kementrian sihir; dan aku di bawah sini, di sekolahan. Dia bisa menggantikanku kapan saja jika aku gagal. Aku hanya ekor di sini, yang hanya akan membuatnya cacat sebentar jika aku lenyap, tetapi dia masih mampu bergerak. Seluruh pidatonya tentang menyelamatkan para Muggle itu bermakna secara umum. Meski aku juga Muggle, kalau aku bertindak bodoh dan mencelakai misinya, aku tetap akan jadi musuhnya.

Selanjutnya, pembicaraan di antara kami mengonfirmasi kecurigaanku. Muggle penyusup itu semata memberiku misi 'pertama', yang artinya akan ada misi lain nantinya, mengatakan bahwa tenggat waktunya hanya sampai liburan musim dingin nanti, lalu memberiku beberapa ancaman yang dibungkusnya rapi dalam kalimat bernada peringatan.

Dia tidak memberi tahu namanya atau apa yang akan kuterima atas kegagalan maupun keberhasilanku. Artinya, dia sadar betapa ruginya posisiku sekarang. Kalau aku gagal, dia bisa melakukan apa saja, termasuk mencoba membunuhku, dan aku takkan bisa protes ke mana-mana. Kalau aku berhasil, aku mungkin takkan mendapatkan apa-apa, dan aku masih tidak bisa protes ke siapa-siapa.

Dia tahu aku adalah duri dalam daging bagi orang tuaku. Aku tidak bisa berbicara pada teman Muggle-ku karena itu artinya aku harus membocorkan program rahasia siswa Muggle di Hogwarts—para guru mungkin akan mengubahku jadi tikus. Aku juga tidak bisa bicara pada teman penyihirku di sini karena mereka lah yang akan jadi korban dari misi rahasia ini.

Satu-satunya teman senasibku, Benjamin, lebih mirip batu ginjal—tidak terdeteksi padahal dia jelas ada di sana, dan seringnya menimbulkan komplikasi alih-alih membantu.

Satu hal yang pasti: si Muggle penyusup di kementrian sihir telah mengamati dan memahamiku lebih dari siapapun—lebih dari Profesor McGonagall dan para guru Hogwarts, saudariku, bahkan orang tuaku sendiri. Dia tahu aku tidak punya pilihan. Dia sadar, cepat atau lambat, aku akan melakukan misi apapun yang dia berikan. Dia tahu kondisi rumah dan keluargaku, kekuranganku, kelebihanku, situasiku ....

"Aku akan melakukannya," bisikku di tengah kelas tambahan. Benjamin melirikku sekilas. "Misi itu. Aku tidak punya pilihan. Kuasumsikan, kau juga sedang menjalankan misimu sendiri?"

"Memang apa misimu?" Si batu ginjal akhirnya bersedia bicara. Matanya sesekali melirik guru kami yang terkantuk-kantuk di depan.

"Misimu dulu," tuntutku. Aku belum siap dihakimi teman senasib kalau dia sampai tahu bahwa aku mesti membuat beberapa bocah kelas satu dikeluarkan dari Hogwarts. "Aku ingin tahu misimu."

"Kau duluan," desisnya.

Aku jadi jengkel. "Kalau begitu, kutebak misimu ada hubungannya dengan sobat Gryffindormu—Samuel Longbottom."

Pena bulunya berhenti bergerak. Berarti aku benar.

"Kau bukan tipe yang suka dikelilingi orang. Tapi kau terus-terusan menempel dengan Longbottom, padahal selalu banyak siswa yang mengelilinginya."

Benjamin kembali mencatat dengan raut wajah santai dibuat-buat, tetapi aku bisa lihat jakunnya bergerak seolah dia berusaha menelan ludah pahit.

"Kalau begitu, kutebak misimu juga berhubungan dengan seorang siswa," balasnya. Matanya fokus pada perkamennya. "Siapa yang mesti kau bunuh? Joshua Fitzgerald?"

Pena buluku menggelincir. "Bunuh?" desisku, nyaris lupa mengecilkan suara. "Apa maksudmu bunuh? Aku hanya disuruh membuat beberapa anak kelas satu dikeluarkan dari sekolah."

Benjamin tampaknya sadar dia telah salah bicara. Dia berhenti mencatat, menjejalkan seluruh barangnya ke dalam tas, lalu buru-buru berdiri. Dihampirinya meja guru. "Profesor, saya sudah selesai."

Aku mencoba mengejarnya, tetapi Benjamin berderap cepat dan menghilang di lorong berikutnya.

Sorenya, aku menghadangnya dalam latihan tanding Quidditch antara asrama Gryffindor dan Hufflepuff. Sebelum pertandingan dimulai, aku berusaha menghampiri Benjamin. Kusadari Joshua dan dua teman satu timnya mengekoriku dalam seragam Quidditch mereka sambil mengoceh, "Apa cowok itu mengganggumu? Kau bisa bilang pada kami. Biar kami bereskan dia."

Kudorong mereka mundur. Aku tidak suka dijadikan alasan agar mereka bisa melampiaskan dendam pribadi antar asrama, tetapi aku hanya bisa berkata, "Tidak, aku cuma mau membahas masalah tugas."

Dua temannya mundur, tetapi Joshua masih mengikutiku.

"Scamander," panggilku. Kupercepat langkahku saat pemuda itu berbelok menghindariku.

"Kau bawa tongkat sihirmu, 'kan? Kenapa tidak dipakai?" Sebelum Joshua mengeluarkan tongkat sihirnya sendiri untuk membantuku, aku menarik tongkat sihirku sendiri dari saku belakang. Aku tidak bisa mengingat mantra apa-apa dalam keadaan terburu-buru, jadi aku berimprovisasi. Kulemparkan tongkatku, mengenai kepala belakang Benjamin Scamander dengan 12 tiga perempat senti sycamore berinti bulu phoenix.

Lemparan itu tidak mungkin menyakitinya, tetapi Benjamin berhenti sambil mengusap kepala dan memasang wajah marah seolah aku habis mementungnya pakai barbel besi.

"Maafkan aku, tapi aku tidak punya pilihan. Aku mau membicarakan soal tugas tambahan kita." Kuberi penekanan agar dia paham. "Tolong jangan kabur lagi. Aku minta maaf karena terlalu menuntutmu sebelumnya. Ayo, selesaikan sama-sama."

"Ya, Bung, kenapa kau biarkan dia mengerjakan tugas kalian sendirian?" Joshua berkata. Kutahan diriku agar tidak meringis. Joshua tidak tahu bahwa di dalam tugas itu, aku harus membuat kedua adiknya dikeluarkan dari Hogwarts. "Kau tahu tidak, seharian ini Grace terus-terusan berusaha mengejarmu sambil membawa-bawa tugasnya?"—Kemudian, Joshua menambahkan lagi dengan telapak tangannya menghadapku. "Bukan berarti aku memperhatikanmu seharian. Cuma kebetulan aku melihatmu ketika kau terseok-seok terus mengejarnya."

Benjamin berdecak sembari menutupi matanya dengan sebelah tangan, tangan lainnya di pinggang. "Ya sudah. Malam ini di perpustakaan. Dua jam sebelum perpustakaannya tutup."

***

Benjamin tidak terlambat kali ini. Malah, dia sudah ada di sana saat aku datang, masih mengenakan seragam Quidditch-nya.

"Selamat atas kemenangan asramamu," kataku seraya duduk di sebelahnya dengan setumpuk buku agar kami kelihatannya betul-betul mengerjakan tugas. "Apa sapu itu dimantrai juga biar bisa terbang saat kau naiki?"

"Sapu buatmu bakal datang nanti—tagih saja sama Prof. McGonagall kalau telat dikirim."

Benjamin tampak lebih santai saat ini meski peluh masih berkilau di pelipisnya usai main Quidditch. Posisinya adalah beater, yang menurutku benar-benar cocok untuknya melepas stres. Kalau aku main Quidditch nanti, kurasa aku juga mau jadi beater, meski menurut Joshua aku bakal lebih cocok jadi seeker hanya karena aku bisa menemukan pena bulu dan liontin kalungnya yang hilang berkali-kali dalam kelas.

"Jadi," kataku sambil memelankan suara. Kubuka salah satu buku secara acak, menggesernya ke arah Benjamin, sambil berlagak menunjuk halamannya. "Tugasmu adalah melenyapkan-nya, bukan mengusir-nya."

"Ya." Benjamin membalikkan halaman, lalu mengetuk-ngetuk salah satu gambar. "Setelah kupikir-pikir, kurasa tugasmu tak jauh berbeda. Coba pikirkan. Kalau anak-anak semuda itu terbun—maksudku, kalau mereka lenyap di sini, akan ada kehebohan yang tidak diperlukan."

"Incaranmu itu dari garis keturunan yang penting. Kehebohannya—"

"Tapi kelas 4," tukas Benjamin. "Jangan lupa, ini dunia sihir."—Benjamin menurunkan kepalanya lebih rendah, suaranya hampir tak terdengar saat dia melanjutkan, "Mati muda karena kecelakaan di tengah pembelajaran bukan hal aneh."

Betul juga. Lagi pula, kalau Benjamin berhasil menyingkirkan Samuel Longbottom, dan beberapa anak kelas 1 mati di tahun yang sama—Hogwarts pasti akan menuai perhatian yang tak diperlukan. Akan ada penyelidikan sungguhan.

Saat itulah perkataan Benjamin masuk akal bagiku. "Jadi, maksudmu, tugasku membuat anak-anak itu dikeluarkan hanyalah awal? Kejadian paling penting justru adalah apa yang akan menimpa mereka di luar sekolah?"

"Tepat," jawabnya. "Orang yang memberikan kita misi ini pasti sudah menyiapkan pembunuh lain yang menunggu anak-anak itu agar mereka mati di luar sekolah."

Aku menelan ludah. "Sebetulnya apa tujuannya?"

"Entahlah," bisiknya sambil terus membungkuk. Kuberikan dia isyarat untuk menegakkan badan karena dia mulai terlihat mencurigakan. "Orang itu nyaris tak memberiku info apa-apa kecuali tugas buatku."

"Bagaimana kalau kita tidak melakukannya?" tanyaku. Lalu, kuberanikan diriku menanyakan hal yang sudah kutahan-tahan, "Apakah sebelum aku datang, kau sudah mendapat tugas lain?"

"Sudah," jawabnya, lalu Benjamin menolak melanjutkan.

Yah, dia tidak perlu melanjutkannya. Bagiku sudah jelas. Benjamin pasti sudah mencoba segala hal, termasuk mengabaikan perintah si Muggle penyusup, dan sesuatu memaksanya tetap melaksanakan misi itu. Kalau tidak, dia takkan ada di sini sekarang.

"Bagaimana denganmu?" tanyanya kemudian. Matanya tercenung hampa ke buku. "Kau akan melakukan misi itu?"

Kukencangkan rahangku. Kupejamkan mataku dan terbayang usaha Joshua membuatku nyaman sekolah di sini selama berhari-hari—aku bahkan belum membalas kebaikannya. Yang kulakukan belakangan ini malah mengabaikannya dan membuatnya cemas.

Kubayangkan dua adiknya yang, walaupun menyebalkan, tetapi tetap saja tak pantas menerima pengusiran dari sekolah ini. Baru beberapa minggu yang lalu aku menangis di hadapan kepala sekolah Hogwarts, memohon untuk tidak dikeluarkan, bagaimana bisa aku membuat anak-anak 12 tahun mengalami hal yang sama?

Lalu, sosok orang tuaku dan Mia melintas di balik mataku.

"Akan kulakukan," kataku.

Benjamin memundurkan punggungnya sampai bersandar ke punggung rak di belakang kami. "Yah, aku tidak dalam posisi menghakimimu—"

"Aku belum selesai," kataku lagi. "Tentu saja aku akan melakukannya, tetapi akan kubuat orang yang menugasi kita menyesali misi itu dan menariknya kembali. Akan kubuat dia terpaksa turun tangan mengembalikan anak-anak itu ke Hogwarts."

Benjamin kembali menegakkan punggungnya. "Mustahil kau bisa melakukan hal seperti itu."

"Oh, aku sudah biasa melakukan hal seperti itu. Ketimbang membalas atau menghentikan seseorang yang berusaha menggangguku, aku lebih suka membuat mereka menyesalinya, hingga mereka berharap mereka tak pernah melakukannya."

Aku teringat hari-hariku di rumah. Misal, pada satu kejadian, aaat aku mencuci piring dan Mia berusaha cari perkara dengan mengagetkanku dari belakang, lalu dia terbahak saat aku menjatuhkan beberapa piring, setidaknya sampai dia sadar bahwa yang pecah adalah piring favoritnya sendiri. Tanpa pikir panjang, Mia mengambil tongkat sihir punya Ayah dan memakai mantra yang diintipnya dari buku sihir dalam rak, mengembalikan semua piring yang pecah jadi utuh lagi. Akhirnya dia kena masalah karena memakai tongkat sihir tanpa izin—tentu saja Ayah tidak bisa menyalahkanku karena aku tidak bisa memakai sihir saat itu.

Yang tak diketahui Mia, piring favoritnya sebenarnya tidak pecah saat dia mengagetkanku. Yang pecah adalah piring-piring kecil yang biasa digunakan Ibu untuk menyajikan camilan untuk tamu. Sebelum dia melihatnya, aku memecahkan piringnya juga, membuatnya terpaksa mengambil tindakan khas anak kecil yang tidak rela barangnya rusak gara-gara ulahnya sendiri.

Cara terbaik untuk mengalahkan musuhmu bukanlah membencinya, tetapi memahaminya.

Jujur, susah banget nulis ini. Saya awam di MBTI dan belum pernah nyoba tesnya sama sekali. Begitu nyoba tesnya, keluar hasilnya INFJ-T, padahal saya pengennya INFP karena image-nya bagus, cewek bawa bunga gitu. Jadi, saya iseng tes lagi di web lain, bisa aja web sebelumnya sok tau. Tapi, INFJ lagi.

Yang bikin puyeng adalah riset buat bikin karakter yang pas sama stereotipnya. Masalahnya, saya perlu tau juga stereotip kepribadian lain buat perbandingan. Pas nyari-nyari INFJ tuh makhluk apaan, saya merasa dikulitin habis-habisan.

.

.

Tapi saya juga jadi tahu beberapa hal. Misal, ternyata saya spesies langka. Tolong lindungi saya.

.

.

Saya mirip orang yang mau melakukan pembunuhan berencana.

.

.

Jalan ninja saya sudah benar.

.

.

Dan ternyata saya aslinya dua orang. Kayak Dobleh.

.

.

Saya guguk besar yang anti poligami.

.

.

Hayuk siapa yang mau jadi ayang saya, cini cini, saya orangnya bucin dan susah ngelirik yang lain.

.

.

Dan ujung-ujungnya saya malah ngabisin waktu liat-liat meme-nya. Ga jadi ngetik.

Saya ngerasa stereotipnya ada akuratnya walau enggak semua sih ._. Misal,

1. Overthinking (tapi semua orang pasti pernah kan, ga saya doang kan ;-;),

2. Gampang stres (ah zaman sekarang orang-orang emang pada stres kan yah '-' gak saya doang kan '-')

3. Suka mutus hubungan pas marah/benci (tapi ini karena saya orangnya malesan, ga ada tenaga buat marah-marah jadi ya ga mau mikirin, bukan maksud ghosting ;-; saya masih bisa diajak diskusi buat nyelesaiin masalah kok ;-;)

4. Manipulatif (ga ah, bo'ong ini. Saya yang sering dimanipulasi kok. Tadi aja beli kopi di suatu tempat nominalnya dilebihin dan saya iya iya aja)

5. Perfeksionis, idealis, goal-oriented (yang ini bener. Makanya saya ga suka kerja kelompok, apalagi kalo anggotanya ga waras. Tapi saya masih bisa diajak kerja sama kok ;-;)

6. Ekspektasi pasangan ketinggian (oiya, saya tipenya yang gepeng-gepeng mustahil didapat. Masuk akal)

7. Tidak sanggup egois (tergantung kok ._. Kadang saya egois juga)

.

.

MBTI kalian dan stereotipnya yang cocok sama kalian apa? :D

Next>>> 27 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro