25 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 25 || 3179 words ||

| Buka https://www.getrandomthings.com/list-of-fantasy-films.php (dilarang refresh). Pilih salah satu film untuk menjadi latar tempat cerita kalian hari ini |

| HOREEEEE (ノ'ヮ')ノ*: ・゚ |

| Fanfiction, Fantasy |
|| Magical Muggle ||

Ada burung hantu singgah di atas kepala ayahku pagi itu. Ia membawakan surat untuk mengundangku masuk Hogwarts. Aku. Bukan adikku.

"Ini aneh!" Mia, adik perempuanku, menghentakkan sebelah kakinya sambil menunjukku. "Dia ini Muggle! Dia tidak bisa masuk Hogwarts! Akulah penyihir di antara kami—kenapa malah Grace yang bisa masuk Hogwarts!"

"Berhentilah merengek, Mia." Ayahku berkata sambil masih fokus membenahi ujung jubah baruku. Ini pertama kalinya Ayah tak mengacuhkan rengekan adikku. Ini juga pertama kalinya dia memperhatikanku. Matanya tampak berbinar menatapku—sebelum ini, dia hanya memberikan sorot macam itu untuk Mia. "Nah, buatlah kami bangga, Grace. Tidak perlu gugup."

Di belakangnya, ibuku memegangi semua peralatan sekolah yang semula dibelikannya untuk Mia, tetapi kini semua itu milikku. Senyum ibuku terkembang. Ini senyum pertama yang diberikannya untukku sejauh yang bisa kuingat.

"Anakku penyihir," ujar ibuku bangga. "Sudah kuduga. Tidak ada satupun darah-lumpur di keluarga ini."

Darah-lumpur. Sebetulnya itu kata-kata terlarang, semacam hinaan yang dianggap tak pantas lagi dikatakan pada siapapun. Dulu, panggilan itu digunakan oleh para penyihir berdarah murni terhadap orang-orang kelahiran Muggle. Entah seseorang punya sihir atau tidak, jika salah satu atau kedua orang tuanya Muggle, maka orang itu disebut darah-lumpur.

Namun, sejak Lord Voldemort dikalahkan berpuluh tahun silam, dan beberapa penyihir 'darah-lumpur' mengukir jasanya di dunia penyihir—misal, Hermione Granger—orang-orang menganggap keturunanmu tak penting lagi. Akhirnya, panggilan darah-murni dan darah-lumpur sudah tidak relevan lagi. Sekarang, penyebutan 'darah-lumpur' jadi sesuatu yang ofensif. Orang yang masih berani menggunakannyalah yang akan dihakimi.

Mia kadang-kadang kelepasan memanggilku darah-lumpur saat kami bertengkar. Ayah atau ibu biasanya memperingatkan Mia untuk tidak memanggilku demikian. Kupikir, mereka pasti masih peduli padaku, tetapi kadang tebersit di kepalaku bahwa mereka hanya tidak ingin Mia kena masalah karena menggunakan panggilan itu pada kakaknya sendiri—bahwa mereka tak benar-benar peduli pada perasaanku.

Kalimat ibuku barusan membuktikan ketakutan terbesarku. Dia dan Ayah mungkin tak pernah memanggilku darah-lumpur di depan wajahku. Namun, gumaman lega Ibu barusan, bahwa ternyata tidak ada darah-lumpur di keluarga ini, menunjukkan kalau diam-diam dia memang menganggapku darah-lumpur selama ini. Sekarang, dia dan Ayah merasa lega karena aku akhirnya bisa masuk Hogwarts meski terlambat tiga tahun.

"Kudengar, belakangan ini bukan kasus langka, ada anak-anak yang terlambat mendapatkan kemampuan sihirnya," ujar Ayah sambil membantu ibuku memasukkan barang-barang ke tasku. "Grace pastilah salah satunya. Tapi, tidak apa-apa." Ayah berbalik, lalu menepuk-nepuk kedua lenganku. "Kau memang tidak memulai dari kelas satu. Kau akan langsung masuk kelas empat. Tapi Ayah yakin kau bisa mengatasinya. Kudengar, anak-anak yang terlambat masuk akan punya kelas tambahan sendiri agar bisa mengejar ketertinggalan."

Mia masih tersedu-sedu di anak tangga pertama. Tangisannya makin lama makin kencang. Dia benar-benar mengusahakan yang terbaik agar orang tua kami mendengar.

Namun, ayah dan ibuku masih sibuk membenahi perlengkapanku dalam koper.

"Kuharap dia bisa masuk Slytherin," kata Ayah sambil masih cengengesan gembira pada Ibu. "Seperti aku dulu."

"Ravenclaw juga bagus," sahut Ibu, soalnya dulu Ibu masuk asrama itu. "Apa pun boleh, walau sebetulnya aku takut dia masuk Gryffindor. Banyak orang-orang sok pahlawan di sana. Sebagian besar yang mengalahkan Lord Voldemort juga berasal dari sana."

"Menurutku tidak apa-apa kalau dia masuk Gryffindor. Toh, Harry Potter yang tersohor berasal dari asrama itu. Begitu juga keluarga Weasley."

"Yah, memang benar."

Ayah dan ibuku diam-diam mengagumi ideologi penyihir Lord Voldemort yang menginginkan dunia penyihir hanya dikuasai darah-murni. Meski begitu, mereka juga tidak membenci Harry Potter yang mengalahkan sang penyihir idola mereka. Keduanya menganggap Harry Potter pastilah memang penyihir hebat yang pantas mendapatkan segala pujian karena mampu menandingi sang penyihir kegelapan.

Tetap saja, mereka pasti takkan seramah ini membicarakan Harry Potter andai sang penyihir tersohor berdarah-lumpur. Harry Potter seorang penyihir half-blood, dan itu adalah standar minimum untuk mendapatkan respek dari orang tuaku. Tentu mereka pasti akan lebih mengaguminya lagi andai Harry Potter itu darah-murni, seperti halnya mereka mengagumi keluarga Weasley.

Kami berangkat ke King's Cross setelah beberapa drama dan tangisan Mia, yang baru bisa berhenti setelah Ayah berjanji akan bicara pada Kepala Sekolah Hogwarts mengenai surat undangan untuk adikku.

Meski aku tahu ayah dan ibuku takkan begini andai aku bukan penyihir, tetap saja kudapati diriku tenggelam bahagia dalam cinta mereka. Kami bersama-sama mendorong troli berisi barang-barangku menembus tembok pembatas antara peron sembilan dan sepuluh, lalu tiba di peron sembilan tiga perempat. Ejekan Mia tentang rambut atau sepatuku bahkan tidak menggangguku lagi. Kurasa, beginilah rasanya jadi Mia selama ini—tidak heran dia terus-terusan merasa superior meski aku ini kakaknya.

Aku masuk ke kereta dan melambai pada orang tuaku dengan senyum lebar di wajah, persis seperti anak-anak lainnya. Orang tuaku juga melemparkan senyum lebar melepas kepergianku, Ibu bahkan menagis sedikit, dan Ayah sampai ikutan berlari mengejar kereta agar bisa melambai lebih lama padaku. Kupastikan pemandangan terakhir yang kudapat adalah muka sewot Mia saat kereta melaju menjauhi stasiun.

Kumasuki salah satu kompartemen yang masih kosong, lalu duduk dengan perasaan senang seolah sekujur badanku habis diambung ke udara. Lalu, perlahan, euforia itu surut. Pikiran negatif mulai datang ketika akhirnya aku punya waktu merenung seorang diri.

Bagaimana kalau surat itu salah?

Bagaimana kalau surat itu aslinya untuk Mia?

Bagaimana kalau mereka menyadari kesalahan ini saat aku sudah di Hogwarts?

Bagaimana kalau nanti aku dikembalikan lagi ke rumah dan mereka malah menjemput Mia?

Haruskah aku merasa terbuang lagi? Bahkan, mungkin nanti jadinya dua kali lipat lebih buruk—ini sama saja aku memberikan harapan palsu pada orang tuaku.

Kutahan kedua tanganku di antara kedua lutut, merasakannya mulai gemetaran.

Kalau ini kesalahan, aku akan sembunyi di salah satu ruangan di Hogwarts. Atau, aku bisa meminta dipekerjakan saja di asrama. Jadi tukang bersih-bersih pun tak masalah. Asalkan aku tak perlu menghadapi kekecewaan Ayah dan Ibu di rumah. Toh, umurku sudah 15. Aku yakin Hogwarts bersedia menyewa jasaku.

Aku terbiasa dengan pekerjaan rumah. Aku bisa mencari makananku sendiri. Malah, aku sudah punya pengalaman kerja sambilan karena kadang Ayah lupa memberiku uang jajan. Para guru dan staf Hogwarts pasti mengerti.

Pintu kompartemen bergeser terbuka. Seorang pemuda masuk dibuntuti sepasang anak kembar—laki-laki dan perempuan—yang tampaknya masih kelas satu. Kedua anak kembar itu berbicara bersamaan, kelihatannya bertengkar. Ada jejak air mata di wajah keduanya. Si pemuda sendiri mati-matian berdiri di antara keduanya, berusaha memisahkan mereka.

"Maaf, boleh kami duduk di sini?" tanya pemuda itu, tampak putus asa. "Kedua adikku ini sangat rewel dan ini tahun pertama mereka. Teman-temanku tidak mau ada dua bocah di kompartemen kami, jadi aku harus keluar dan mencari tempat lain. Kompartemen lain sudah penuh."

"Tidak apa-apa. Silakan." Aku menuding kursi di depanku, yang langsung diduduki oleh si kembar. Si anak perempuan masih mengomel panjang lebar, setengah sesenggukan, sedangkan saudara laki-lakinya berusaha keras menandingi suaranya, juga sambil terisak. Melihat mereka, aku jadi meringis tanpa sadar, Aduh, mirip Mia.

Pemuda yang duduk di sampingku seangkatan denganku. Namanya Joshua dan dia dari Hufflepuff. Saat Joshua mendengar bahwa aku terlambat masuk, responsnya biasa saja seolah itu hal wajar. Dia hanya berkomentar singkat, "Semangat, deh. Semoga kau bisa mengejar ketertinggalanmu." Dan itu membuatku memiliki sedikit harapan—mungkin ini bukan kesalahan. Mungkin aku memang hanya terlambat punya sihir.

Sampai di Hogwarts, aku tidak bisa berhenti mendongak dan tengok kanan-kiri, mengagumi tiap jengkal kastel, menatap foto-foto yang bicara, dan terpana pada hantu-hantu yang berseliweran. Adik-adik Joshua—Oliver dan Olivia—bahkan menertawakanku saat aku menonton tangga-tangga bergerak alih-alih menaikinya. Ketika aku naik, ia bergeser dan mengganti jalur, membuatku memekik dan si kembar terpingkal lebih keras.

Satu kali, aku melihat tongkat pel berdiri di tengah lorong, menghalangi jalan. Aku mencoba menyentuhnya saat Joshua memperingatkanku, "Jangan! Itu Peeves!"

Aku tidak tahu apa artinya, tetapi tetap bergerak mundur menjauhinya seolah tongkat pel itu akan meledak sewaktu-waktu. Lantas si tongkat pel condong ke arahku, kusangka akan jatuh, tetapi ia malah meluncur bagai roket dan menyodok hidungku.

"Kau tidak apa-apa?" Joshua menepuk-nepuk bahuku sementara aku merintih sambil berlutut. Rasa malunya mengalahkan rasa sakitnya.

Tongkat pel itu terbahak-bahak, kemudian terbang mencari target lain. Sekilas, aku melihat wujudnya yang berupa anak laki-laki boncel, duduk menunggangi tongkat pel seolah dia sedang terbang pakai sapu.

"Sini, biar kulihat." Joshua menarik keluar tongkat sihirnya, lalu menodongkannya ke hidungku. "Episkey."

"Joshua punya pacar!" Si kembar mengejeknya di belakang punggungku. "Joshua punya pacar!"

"Diam kalian!" bentaknya, yang malah membuat si kembar tambah menjadi. "Sana, pergi temui profesor di depan Aula Besar!"

Itu membuat si kembar mendadak bungkam. "Cuma kami berdua?"

"Yah, aku harus menemani pacar-ku menemui Madam Pomfrey di rumah sakit," kata Joshua sambil menyengir, lalu berbisik padaku, "Sori."

Kudengar Oliver mengeluh sementara Olivia berucap, "Sudahlah, kita tidak butuh Joshua. Kita bisa sendiri."

"Mereka sebetulnya bisa akur kalau dibiarkan saja," decak Joshua saat membantuku berdiri. "Karena merasa bakal diurus dan dibela oleh yang lebih tua, mereka jadi lebih manja."

"Oh, aku mengerti sekali," kataku sambil masih mengusap hidung. "Terima kasih sudah menyembuhkan hidungku. Kurasa, aku bisa langsung ke ruang kepala sekolah, tidak perlu ke rumah sakit."

"Sama-sama." Joshua memasukkan kembali tongkatnya ke balik jubah. "Kau juga punya adik?"

"Satu adik perempuan, yang tingkahnya persis seperti adik kembarmu disatukan." Mendadak aku bergidik membayangkan kalau Mia ada dua.

"Maafkan mereka, ya? Memang kedengarannya tidak sopan, tapi mereka aslinya juga gugup karena ini pertama kalinya mereka melihat Hogwarts. Mereka sebetulnya sama terpananya denganmu pada tangga-tangga itu, tapi mereka berusaha menutupinya dengan menertawakanmu."

Aku mengangguk memaklumi. "Aku paham. Lagi pula, aku juga sadar tadi Olivia sempat terpeleset di belakangku saat menaiki anak tangga, lalu berusaha menyembunyikannya dengan menyuruhku jalan lebih cepat. Dia pasti sama tegangnya denganku, tapi berusaha menutupinya."

"Tapi menurutku kau tidak perlu tegang. Semua orang, termasuk aku, sama terpananya denganmu pada sekolah ini saat kami pertama mulai. Dan, terlepas dari insiden dengan Peeves barusan, kau menanggapi semuanya dengan cukup tenang. Aku hampir mengira kau tidak gugup sama sekali sejak tadi. Saat pertama kali masuk ke sini, aku tidak bisa berhenti bicara dan menunjuki tiap barang yang kulihat seperti orang kampung"

Aku meringis. "Kegugupanku lebih daripada sekadar kaget masuk sekolah sihir. Sejujurnya, aku takut ini kesalahan. Aku bukan penyihir. Adikku yang penyihir. Empat bulan lagi dia dua belas tahun, jadi kami kira surat dari burung hantu itu harusnya untuknya. Tapi yang tercantum di sana malah namaku."

"Ah, kau pasti penyihir, hanya terlambat saja. Kasus sepertimu sedang marak belakangan ini karena banyaknya perkawinan silang antara penyihir dan Muggle. Jadi, siapa yang Muggle dan siapa yang penyihir di antara orang tuamu?"

"Kakekku." Aku menjawab ragu. Orang tuaku tidak suka membicarakan tentang kakekku. Mereka hanya membanggakan nenekku yang seorang penyihir. Malah, ayahku sengaja membuang nama belakangnya untuk menghapus koneksi dengan ayah Muggle-nya sepenuhnya. Ayahku lebih memilih memakai nama gadis nenekku. "Orang tuaku dua-duanya lulusan Hogwarts."

"Nah, sudah jelas kau pasti penyihir. Malah, banyak sekali anak-anak yang memulai terlambat sepertimu, tapi langsung meroket popularitasnya karena kemampuan menyihir mereka rupanya di atas rata-rata."

Di tengah kalimat Joshua, segerombolan anak laki-laki dan perempuan berderap lewat di depan kami. Kelihatannya mereka heboh mengobrol, tetapi kemudian kusadari ada seorang laki-laki yang menjadi pusat perhatian mereka, dan semua anak yang bergerombol itu sedang berusaha mendapatkan perhatiannya. Di depan gerombolan itu, seorang anak laki-laki lain berusaha berjalan lebih cepat, seolah dia ingin melepaskan diri dari kerumunan, tetapi gerombolan anak itu tampaknya juga ingin mengobrol dengan dirinya.

Joshua mendengkus. "Baru saja kubicarakan—tuh, salah satu contohnya. Yah, dua contohnya." Joshua menunjuk laki-laki di tengah kerumunan, yang kelihatan percaya diri dan mengumbar senyum manis ke mana-mana. "Dia memulai terlambat sepertimu, masuk tahun lalu saat kami kelas 3. Namanya Samuel Longbottom. Selain karena pandai dalam segala bidang, tampaknya kakeknya juga pahlawan. Kudengar kakeknya adalah orang yang menghancurkan Horcrux terakhir Voldemort."

Aku menunjuk laki-laki yang berderapa paling depan, masih berusaha melepaskan diri dari gerombolan. "Kutebak, dia juga?"

"Yap. Benjamin Scamander."—Aku berdengap mendengarnya. Joshua sendiri langung memutar bola mata. "Yeah, yeah. Salah satu keluarga tersohor. Newt Scamander, Luna Scamander, dan seterusnya. Keluarganya penuh orang-orang terkenal. Jadi, tentu saja dia juga, meski dia baru masuk saat kelas dua."

Aku mengerjap menatap Joshua. "Kau kedengarannya kurang suka mereka."

"Mereka Gryffindor," kata Joshua. "Aku dari Hufflepuff. Apa pun yang kami lakukan takkan pernah cukup. Selalu Gryffindor yang mendapatkan segala kemasyhuran. Aku bukannya gila hormat atau pingin terkenal banget, tapi rasanya menyebalkan saat kau harus bekerja dua kali lipat lebih keras untuk pencapaian yang sama. Anak-anak asrama Hufflepuff harus begadang 7 hari 7 malam dan kerja sama maksimal untuk meraih suatu penghargaan yang bisa didapat seorang anak Gryffindor hanya dengan bernapas."

Aku meringis, benar-benar bisa memahami Joshua untuk yang satu itu. Apa pun yang kuinginkan di rumah, aku harus memohon, mengusahakan sesuatu, lalu menunggu sampai orang tuaku kepingin membantuku—hal-hal yang bisa Mia dapatkan hanya dengan satu kalimat permintaan.

"Bagaimana dengan asrama Slytherin?" tanyaku.

Joshua mengangkat sebelah alisnya. "Biasanya anak-anak yang baru masuk Hogwarts bakal takut terjebak di asrama Slytherin, lho. Soalnya, tahu, 'kan, sejarah asrama itu agak buruk."

Aku tidak mempertimbangkan itu. Ayahku dari asrama Slytherin, dan hal pertama yang terpikir olehku hanya bahwa dia pasti bakal suka kalau aku masuk ke asrama yang sama dengannya.

"Aku tidak cukup pintar buat Ravenclaw," kataku, "aku juga tidak seberani itu buat Gryffindor. Aku mungkin akan masuk Hufflepuff, tapi aku juga tidak masalah masuk Slytherin."

"Wah, kau cewek aneh, tapi keren." Joshua menyengir. "Prestise masuk asrama Slytherin tidak seperti dulu. Sejak Perang Sihir Kedua, tentu saja popularitas mereka anjlok. Tapi itu tidak mengubah kenyataan kalau anak-anak asrama Slytherin punya banyak pencapaian. Nilai semester, pertandingan Quidditch, turnamen dengan sekolah lain, bahkan perhitungan poin asrama tiap tahun—persaingan paling ketat selalu terjadi di antara Gryffindor dan Slytherin. Tidak peduli seambruk apapun popularitasnya atau sejarah di mana banyak alumninya jadi pengikut orang jahat, tidak mengubah fakta bahwa anak-anak yang terpilih masuk Slytherin itu selalu berambisi besar, cerdik, dan idealis."

Sesampainya di depan ruang kepala sekolah, aku mengucapkan terima kasih pada Joshua. Joshua memberiku tinju ringan di lengan atas seolah aku sudah jadi sobat laki-lakinya, lalu berkata, "Kalau kau masuk Gryffindor, tetap sapa aku, oke? Kau akan jadi pengecualian dan aku akan berusaha untuk tidak terlalu jengkel padamu."

Di dalam ruang kepala sekolah, tampak beberapa anak yang terlambat memulai sepertiku. Mereka berbaris di hadapan meja kepala sekolah. Diam-diam aku merasa lega saat mendapati empat orang yang tampaknya dua sampai tiga tahun lebih lebih tua dariku—artinya, aku masih tak terlalu 'terlambat' untuk standar siswa yang terlambat.

"Grace Chang," kata sang kepala sekolah sengit saat melihatku langsung masuk ke belakang barisan. "Hanya karena kau terlambat masuk Hogwarts, bukan berarti kau bisa terlambat datang pula hari ini."

"Maaf, Profesor."

Profesor McGonagall sudah sangat tua. Entah berapa ratus umurnya. Namun, aku tidak bisa menatapnya sebagai nenek tua sedikit pun—sekali ayun tongkatnya itu aku pasti mampus.

Setelah pengarahan singkat dan pemberitahuan jadwal kelas tambahan agar kami bisa mengejar ketertinggalan, satu demi satu dari kami dipakaikan topi seleksi dan mendapatkan asrama masing-masing. Mereka yang sudah mendapatkan asramanya, langsung digiring keluar dan diarahkan oleh kakak kelas dari asramanya masing-masing yang dipanggil oleh Profesor McGonagall.

Lalu, hanya tersisa aku sendiri. Namun, Profesor McGonagall malah menyingkirkan topi seleksinya.

Aku mulai gemetaran di tempatku berdiri. Sudah kuduga ini kesalahan. Sudah kuduga aku akan dikembalikan. Sudah kuduga aku akan mengecewakan semua orang. Namun, aku bersyukur Profesor McGonagall berniat memberitahuku saat semua orang sudah pergi.

"Nah, Grace Chang—" Profesor berdengap saat melihatku sesenggukan. "Astaga, ada apa denganmu?!"

Kusambut lembaran tisu yang diberikannya. Sambil masih terisak, aku berkata, "Tolong jangan usir saya."

"Tidak ada yang mengusirmu!" Profesor McGonagall menggerakkan kedua tangannya, kebingungan. "Kau akan tetap jadi siswi di sini, Grace Chang. Apa kau heran karena aku menaruh topi seleksi barusan?"

Aku mengangguk. Kuseka air mataku. "Jadi, saya tetap di sini?"

"Ya." Profesor McGonagall menepukkan tangannya, memberi isyarat pada seseorang untuk masuk. "Begini, Grace Chang, sebetulnya kau memang tidak bisa menyihir sama sekali. Kau Muggle tulen, barangkali keturunan kakekmu. Tapi sudah bertahun belakangan kami memberdayakan program khusus untuk Muggle tanpa darah penyihir untuk memasuki Hogwarts. Dan kau terpilih untuk itu."

Meski kelegaan menyelimutiku, tak bisa kupungkiri aku jadi lebih bingung daripada sebelumnya. "Tapi, kalau saya tidak bisa menyihir, bagaimana saya bisa mengikuti pelajaran?"

Seseorang yang masuk dari pintu membawakan sebuah kotak dari beludru. Saat aku mendongak untuk melihat wajahnya, orang itu adalah Benjamin Scamander—salah satu siswa Gryffindor yang tadi kulihat di lorong.

"Benjamin Scamander berada di program yang sama denganmu." Profesor McGonagall menepukkan tangannya dengan antusias. "Kalian adalah dua Muggle tanpa sihir, tapi kalian akan mampu melakukan sihir-sihir sederhana dengan tongkat ini."

Benjamin membuka kotak beludru yang dibawanya, memperlihatkan beberapa bilah tongkat sihir dalam berbagai ukuran yang kelihatannya seperti tongkat sihir pada umumnya.

"Tongkat ini dimantrai agar Muggle sekali pun bisa menggunakannya selama berada di bawah pengawasanku," jelas Profesor McGonagall. "Tentu saja ini hanya boleh kalian miliki selama proses pembelajaran di Hogwarts. Tujuan dari program ini tidak ada bedanya dengan program pertukaran pelajar seperti di dunia Muggle—agar penyihir dan Muggle suatu hari bisa bekerja bersama-sama dalam satu bidang, hingga akhirnya kita bisa hidup berdampingan sepenuhnya tanpa ada yang perlu bersembunyi. Malah, kementrian sihir sudah menunjuk beberapa anak penyihir untuk masuk ke sekolah Muggle dengan menyembunyikan kekuatan mereka. Mungkin suatu hari kau bisa bekerja di kementrian sihir sebagai ambassador untuk dunia Muggle. Atau kau bisa menjadi guru di sini yang mengajarkan sejarah Muggle. Itulah inti dari program ini—agar tidak ada lagi yang memandang rendah satu sama lain, hingga suatu hari penyihir dan Muggle bisa hidup berdampingan secara terbuka."

"Tapi program ini masih belum diumumkan ke khalayak?" terkaku.

"Kau sungguh cepat tanggap." Profesor McGonagall memberiku senyum simpul. "Dan kau tidak perlu khawatir tentang adikmu. Dia akan masuk Hogwarts tahun depan saat umurnya sudah 12 tahun."

Mataku berkedut. Sebetulnya aku tidak terlalu peduli, tetapi kupaksakan diriku tersenyum meski pemikiran bahwa Mia akan masuk ke sini juga agak membuatku ngeri.

"Berhubung kau tidak bisa melakukan sihir, topi seleksi tidak akan bisa menentukan asramamu. Jadi, aku dan beberapa guru telah melakukan evaluasi singkat sejak umurmu 12 tahun—dan kami telah memutuskan kau akan cocok di Hufflepuff."

Kutahan diriku agar tidak melompat-lompat gembira. Setidaknya aku mengenal satu orang di sana. "Terima kasih, Profesor."

"Untuk kelas tambahan, kau akan selalu bersama Benjamin Scamander. Untuk sekarang, hanya kalian berdua peserta program khusus ini. Tentu saja kami menargetkan jumlahnya akan terus bertambah sampai tahun depan."

Aku memilih tongkatku, yang rupanya tak masalah aku memilih yang manapun. Semuanya berfungsi dengan baik. Yah, lebih baik daripada tongkat yang Ibu belikan untuk Mia—tongkat itu masih di koperku, takkan berfungsi untukku.

Sekeluarnya dari kantor kepala sekolah, aku mengembuskan napas lega. Senyum lebar menolak meninggalkan wajahku.

"Jangan terlalu senang," kata Benjamin tiba-tiba. Raut mukanya dingin dan agak jengkel. "Kau tidak tahu apa yang bakal kau hadapi."

Aku mengangkat bahu. "Apa pun itu, tak mungkin lebih buruk daripada yang menimpaku di rumah."

"Aku tidak tahu semenyiksa apa suasana rumahmu, tapi kau pasti akan berubah pikiran malam ini," ujarnya sambil membuang muka.

"Apa maksudmu?"

"Tunggu saja," ujarnya, "seseorang akan menghubungimu nanti malam."

***

Seseorang dari kementrian sihir menghubungiku lewat bara api di cerobong asrama Hufflepuff. Sebuah misi rahasia. Sebuah imbalan yang harus kubayar untuk hidup baruku di Hogwarts.

Berbeda dari yang diyakini oleh Profesor McGonagall, aku di sini bukan untuk memahami komunitas penyihir.

Aku di sini untuk menyusup.

Sama seperti orang yang menghubungiku—seorang Muggle yang menyusup ke kementrian sihir dan membuat program ini demi tujuan yang lebih besar. Dia memberikanku tugas rahasia, yang harus kulakukan di Hogwarts, sambil terus berpura-pura di hadapan Profesor McGonagall dan para guru lainnya bahwa aku hanya Muggle biasa yang menjalani program khusus kebangaannya.

Aku dan Benjamin ada di sini untuk melenyapkan komunitas sihir dari dalam.

Yang suka Harry Potter juga, kalian asrama apa? :D

Me:

My wand:

My patronus:

Dari screenshot nya itu dari Mypottermore.com bertahun silam, kayaknya sekarang nama webnya berubah ._.

Next>>> 26 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro