24 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 24 || 1873 words ||

| Buat cerita di mana tokoh utama hari ke-9 bertemu dengan tokoh utama hari ke-21 |

| Timeline cerita ini sambungan dari liburan Nila dkk di rumah kakeknya Zamrud, dari cerita DWC 2 dan 15 November 2019 lalu |

| Mystery, Teenfiction |
|| Rumah Mati ||

Kakak sepupuku membeli rumah baru. Dia memintaku dan Mpok Del mengecek rumah itu mumpung kami berada di Jawa. Mendengar ceritaku tentang rumah megah yang baru dibeli itu, teman-temanku kompak membujukku untuk pindah menginap ke sana saja. Soalnya, menurut Magenta dan Nila, rumah mendiang kakekku yang sedang kami tinggali ini ada hantunya. Bahkan Safir yang biasanya rasional pun sepertinya sependapat. Abu sendiri tampak kentara hendak buru-buru minggat.

"Aku duduk-duduk di teras tadi malam," keluh Abu, "dan kakekmu yang sudah mati itu menyapaku dari dalam lewat jendela—menyuruhku masuk karena udara malam tidak baik buatku, katanya! Hantu ibuku saja tidak pernah begitu, tak peduli selama apa pun aku duduk di teras rumahku sendiri!"

"Tadi sore aku juga mengalami hal yang sama," kata Nila. "Waktu aku ambil air minum ke dapur, ada suara kakekmu di belakangku tapi enggak ada orangnya, mengingatkanku kalau air keran di wastafel masih terbuka sedikit. Padahal yang lupa mematikannya, 'kan, Magenta."

Aku menggaruk kepala dengan bingung. Besok kakak sepupuku itu akan datang ke sini, ke rumah Kakek, untuk mengambil beberapa barang yang diwariskan Kakek padanya. Kalau kami pindah menginap dan membawa kunci rumah ini, siapa yang akan membukakan pintu buat sepupuku? Meski mungkin rumah ini ada hantunya, mana bisa hantu kakekku disuruh membuka pintu?

Mpok Del memberi solusi, "Aku saja yang tinggal di sini buat menunggu dia, Zam. Kamu sama teman-temanmu pergi saja ke rumah baru itu. Kudengar, kamarnya ada banyak."

"Tapi—"

Magenta menepuk bahuku, lalu dia mengambil alih. "Eh, rumah itu, 'kan, sudah lama kosong, jadi pasti masih kotor. Kalau mau nyaman menginap di sana, kita harus bersih-bersih lagi. Kalian mau?"

Nila, Safir, dan Abu tampak berpikir sejenak. Safir yang pertama mengangguk, kemudian Nila dengan ogah-ogahan. Pada akhirnya Abu berdecak dan ikut mayoritas.

Magenta kemudian berbisik padaku. "Minta uang jajan ke kakak sepupumu sebagai ganti membersihkan rumah barunya. Dengan ini, duit tabunganmu yang hilang gara-gara membelikan oleh-oleh mereka beberapa hari lalu bisa balik lagi."

Aku membelalak. Magenta genius.

***

Rumah itu terletak di ujung jalan, dikepung rumah-rumah kosong lain yang sama-sama susah laku meski dijual dengan harga murah. Terdiri dari dua lantai, berloteng, dan halaman yang luasnya cukup untuk memarkir tiga sampai empat mobil. Namun, segalanya tampak gersang. Daun-daun layu berjatuhan, pohonnya yang hampir mati belum ditebang, ada bekas ayunan yang sudah copot rantainya, dan potongan rumputnya tidak rata. Pagar besar mengerung rumah itu, agak kekuningan karena sudah berkarat.

Masih menyandang ransel dan menyeret koper masing-masing, kami berdiri terpana memandangi rumah itu. Sepertinya semua orang menyesal di sini—bagaimana caranya kami membersihkan rumah sebesar ini dalam sehari?

Nila mengeluarkan buku novel Selamat Datang di Rumah Mati yang dipinjamnya dari Magenta. "Kalau novel ini jadi film, rumah ini pastilah bisa jadi lokasi syutingnya."

"Hus!" Safir menepuk buku itu, memaksa Nila menaruhnya kembali ke dalam tas. "Waktu kita pertama sampai di rumah tradisional itu juga kamu langsung membaca buku ini, dan mendiang kakeknya Zamrud langsung muncul! Kamu jangan cari perkara lagi, La!"

"Kalau rumah bagus dijual murah, berarti rumah itu ada hantunya," kata Magenta memanas-manasi. Safir jadi tambah gundah, tangannya memegangi kepala erat-erat seolah takut ruhnya meluncur keluar.

"Enggak, kok. Rumah ini mahal." Aku membuka kunci pagarnya dan mendorong gerbangnya ke dalam. Gesekan engsel yang sudah tua terdengar seperti rintihan hantu. "Kakak sepupuku juga tahu kalau rumah bagus dijual murah itu pasti mencurigakan. Itu, 'kan, pengetahuan umum. Jadi, dia memilih rumah ini, yang harganya paling mahal di sini."

Magenta mendengkus. "Holang kaya."

"Kalau aku yang punya rumah ini dan rumahnya tidak berhantu, aku tetap bakal menjualnya murah karena rumah ini keliatan sudah tua," celetuk Nila lagi. "Logikanya, orang yang membelinya pasti merasa sayang harus keluar duit untuk renovasi rumah sebesar ini. Pasti mereka cuma melirik tanahnya yang luas saja dan letaknya yang di atas bukit. Orang yang beli rumah ini bakal berpikir, mending bangun ulang saja. Jadi, aku sebagai pemilik rumah bakal menurunkan harganya biar cepat laku karena rumah ini dikepung rumah kosong lain yang belum laku dijual."

Magenta mengangkat sebelah alisnya. "Masuk akal. Jadi, maksudmu, rumah ini sebetulnya ada hantunya? Makanya, si pemilik rumah malah menjualnya dengan harga mahal supaya calon pembeli tidak curiga?"

Nila mengangguk.

"Zam, kakakmu enggak mengecek latar belakang rumah ini sebelum membelinya?"

Aku menggeleng. "Justru karena itu dia mau aku mengeceknya sekarang, memintaku mengambil fotonya dan sebagainya. Dia bahkan belum lihat sendiri bagaimana penampakan rumah ini."

"Jadi, sepupumu langsung membeli rumah seharga 9 miliar tanpa pernah melihatnya sendiri?"

Aku mengangguk. Teman-temanku berjengit prihatin, kecuali Abu yang mukanya kusut, mungkin jengkel karena harus masuk rumah hantu lagi. Bisa kulihat Safir langsung berpegangan ke batang pohon, merasa oleng karena ini pertama kali dia mendengar harga rumah ini.

Kami bersih-bersih seharian sampai encok. Ada dua belas kamar di lorong setelah ruang tamu—enam kamar tidur yang saling berhadapan, beberapanya terkunci. Menurut Nila, dua belas kamar itu pasti dulunya spot pesugihan. Magenta kemudian menambahkan fungsinya: kamar satu untuk ngepet, kamar dua untuk menampung tumbal, kamar tiga untuk persembahan tumbal, kamar empat untuk upacara penggandaan uang, kamar lima untuk menyimpan barang-barang antik yang berhantu ....

"Bah!" Abu menyumpah sambil membanting sapunya. "Cewek-cewek di grup ini enggak ada yang waras!"

"Iya, cuma cowok-cowok yang waras." Magenta mengangkat sebelah alisnya ke Abu. "Berarti kamu cewek, ya, Bu?"

Mereka bertengkah di ruang tengah. Sementara Safir berusaha memisahkan keduanya, aku menghampiri Nila di halaman. Dia sedang berjongkok mengamati rumput.

"Kami lihat apa, La?"

"Rumputnya lucu." Nila menunjuk. "Potongannya aneh, kayak ada pola, tapi bukan pola. Maksudku, halamannya kayak pernah diamuk mesin pemotong rumput."

"Iya, ya." Aku ikut berjongkok di sisinya. Kutunjuk gerbang yang berada tepat di seberang halaman menghadap kami. "Kamu dengar suara pas gerbang kubuka tadi?"

"Kayak suara ketawa hantu." Nila mengangguk.

"Sebetulnya, menurutku itu kayak suara tangisan hantu," tukasku.

"Itu suara ketawa hantu, Zam. Percaya, deh." Nila terdengar yakin seolah-olah dia bisa membedakan antara tangisan dan tawa setan. Telunjuknya kemudian terarah ke salah satu jendela kamar yang menghadap halaman. "Tadi aku mengintip ke dalam. Itu tuh kamar yang enggak bisa kita buka tadi. Di dalamnya berantakan. Dindingnya juga banyak nodanya. Yakin, deh, rumah ini enggak beres. Suruh kakakmu jual lagi saja."

"Betulan ada hantunya?"

"Bisa jadi bukan hantu," kata Nila. "Bisa jadi rumah ini banyak kenangan buruknya. Misal, pernah kerampokan. Atau pemilik sebelumnya bermasalah di pembagian warisan. Pamanku—maksudku, mendiang pamanku ... beliau pernah bilang, biarpun suatu rumah enggak ada gangguan hantunya, rumah yang menyimpan kenangan buruk juga bakal enggak enak buat didiami."

Kukirimkan pesan singkat ke kakak sepupuku, menceritakan kata-kata Nila tadi. Kukirimi dia foto-foto rumah ini. Tampaknya kakak sepupuku juga jadi kepikiran.

"Halo?" sapa seseorang di luar pagar, membuatku dan Nila mengangkat kepala. Seseorang sedang berdiri tepat di luar gerbang. "Apa yang kalian lakukan di rumah kosong ini?"

"Maaf, Mas, sepupu saya membeli rumah ini beberapa waktu lalu," kataku seraya menghampiri pemuda itu. Nila mengekor di belakangku. "Mas tinggal di sekitar sini?"

Pemuda itu menunjuk rumah di sebelah. "Aku tinggal di sana. Sepertinya kita akan bertetangga?"

Aku berniat membuka gerbang karena rasanya tidak sopan kalau mengobrol dibatasi pagar begini, tetapi tangan Nila menahan tanganku.

"Oh, enggak. Sepupu saya yang akan tinggal di sini sama istrinya. Saya dan teman-teman saya hanya mau menumpang menginap beberapa hari."

Pemuda itu tersenyum. Meski pakai baju kaus sederhana, celana kain biasa, dan sandal jepit, orang ini barangkali berprofesi sebagai model atau sebagainya. Postur tubuhnya bagus dan wajahnya tampan. "Oh, begitu. Kalau kalian butuh sesuatu, datang saja ke sebelah, ya. Atau panggil saja saya."

"Nanti malam Mpok Del menyusul ke sini dengan suaminya, kok," kata Nila sambil melirik ke sisi. Aku mengernyit, tak paham kenapa dia berbohong. Namun, Nila tetap melanjutkan. "Suaminya, 'kan, polisi, jadi pasti masih sibuk sekarang. Makanya mereka baru bisa datang menemani kami nanti malam."

Nila kenapa, sih?

"Mas, sudah lama tinggal di sini?" tanya Abu, yang entah sejak kapan sudah berdiri di sebelahku. Ada Magenta juga di sebelahnya. Lengan baju mereka tergulung, mungkin habis adu jotos. Di belakangku, Safir berdiri sambil masih memegangi tongkat pel. "Rumah ini ada hantunya, enggak, Mas?"

Aku berusaha menyenggol Abu dengan tidak nyaman, tetapi si pemuda tetangga hanya menggeleng sambil mengerutkan bibirnya, tampak berpikir-pikir sejenak. Kepalanya mengedik ke rumah besar ini. "Selama saya tinggal di sini, sih, tidak ada hal-hal gaib semacam itu, ya. Malah setahu saya, tidak ada cerita horor apa-apa di lingkungan ini. Rumah-rumah yang lainnya juga ditinggalkan bukan karena berhantu, tapi karena lingkungan perumahan ini yang agak terpencil—akses ke mana-mana jadi susah."

Aku mengucapkan terima kasih, berbasa-basi sebentar, lalu mendapati bahwa pemuda itu rupanya masih mahasiswa dan tertarik membeli rumah ini. Kuhubungkan dia dengan kakak sepupuku, yang sepertinya memang ingin menjual lagi rumah ini. Sementara pemuda itu bicara dengan sepupuku pakai ponselku, Safir menyuruh Abu dan Magenta tetap di gerbang, sementara dia dan Nila menyeretku mundur ke dekat ayunan yang copot.

"Kita balik ke rumah kakekmu saja, Zam," kata Safir. "Aku yakin Abu enggak masalah balik lagi ke sana. Aku pribadi mending tidur sama mendiang kakekmu daripada tidur di sini."

Apa cuma aku sendiri yang masih kebingungan? "Kenapa tiba-tiba—"

"Kami dari tadi mendengarkan percakapan," kata Safir, "apa kamu enggak merasa aneh? Dia mahasiswa, tapi mau membeli rumah sebesar ini? Kalau dia orang kaya, buat apa dia mendiami rumah sebelah yang kelihatannya kayak mau ambruk itu? Rumah sebelah kelihatannya malah lebih bobrok dari rumah ini. Dan lagi, aneh banget, selama ini dia tinggal di sana tapi kenapa baru sekarang dia mau membeli rumah ini? Waktu rumah ini dijual ke kakak sepupumu, kenapa bukan dia yang beli?"

Iya juga, ya ....

"Artinya, pemilik rumah sebelumnya enggak mau menjual rumah ini ke kakak mahasiswa itu," kata Nila. "Atau ... mahasiswa itu bohong tentang dia yang tinggal di rumah sebelah. Mungkin sejak awal dia tinggal di sini. Tadi, waktu Abu tanya Mas, sudah lama tinggal di sini? Maksudnya, 'kan, Abu tanya apakan dia sudah lama tinggal di lingkungan ini, bukan rumah ini. Tapi kakak tadi malah kasih jawaban seolah-olah dia selama ini tinggalnya di rumah ini. Mungkin orang tua atau walinya menjual rumah ini tanpa sepengetahuannya—berarti hubungan keluarga mereka buruk sekali."

Kalau dipikir lagi ... si kakak mahasiswa itu, saat datang dari ujung jalan, kenapa langsung berdiri di depan gerbang rumah ini seolah-olah dia memang mau masuk kemari? Bukankah rumahnya di sebelah? Namun, mungkin saja dia hanya mau basa-basi menegur kami yang tak pernah dia lihat sebelumnya—

"Kita ini anak SMA, Zam," kata Nila lagi, "tapi dia bahkan enggak tanya sama kita di mana orang tua kita, sama siapa kita datang, atau apakah ada orang dewasa di antara kita. Dia malah langsung menawarkan kita bisa datang padanya kalau butuh sesuatu."

"Artinya dia sudah tahu kita datang ke sini berlima, tanpa orang dewasa," sahut Safir. "Dia sudah mengawasi kita sejak kita masuk ke gerbang. Sudah berjam-jam sejak kita masuk dan bersih-bersih rumah ini. Artinya, selama berjam-jam itu, dia cuma menunggu di luar, Zam."

Waduh.

Segera saja aku minta dijemput Mpok Del. Sementara menunggu dijemput, kami semua berada di halaman, mengobrol dengan si mahasiswa yang masih saja mengajak bicara di luar pagar. Tak satu pun dari kami berniat membukakan gerbangnya.

Akhirnya, Mpok Del datang dengan kerabat jauh keluarga kami yang seorang pensiunan tentara. Obrolan kami berakhir, ditutup oleh si mahasiswa yang memintaku untuk menyampaikan terima kasih pada sepupuku karena bersedia menjual rumah ini padanya.

Belakangan, kuketahui nama si mahasiswa itu. Safir tanpa sengaja menemukan foto si mahasiswa yang sempat masuk berita karena ibunya dieksekusi atas pembunuhan berantai. Namanya Eddie.

Kadang manusia idup lebih serem daripada yang udah mati.

Next>>> 25 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro