6 Februari 2022

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

DWC #6
[Buat cerita dengan setting tahun 2301]

:.:.:

|| Short Story ||

|| Science Fiction, Utopia ||

|| 3466 words ||

"Kapan terakhir kali manusia fana terlahir ke dunia?"

Tahun 2284. Tahun kelahiranku. Ibu tahu jawabannya, tetapi dia menanyakannya tiap malam saat mengantarkanku tidur. Kami melakukan tanya-jawab ini sebagai pengingat bahwa aku hanya manusia fana biasa dan itulah yang membuatku spesial. Lantaran seluruh manusia di dunia saat ini tidak bisa mati.

Sudah tujuh belas tahun berlalu, dan aku masih manusia fana satu-satunya sekaligus terakhir yang masih hidup. Belum ada manusia fana lagi setelahku. Sebelum diriku? Tahun 2250. Seorang laki-laki yang hanya bisa hidup sampai umurnya 14 tahun.

Kadang aku penasaran bagaimana rasanya jadi seperti yang lain—bisa datang ke Departemen Kemudaan dan meregenerasi fisik mereka semaunya, memilih di umur berapa mereka ingin tubuh mereka dikembalikan, jaringan sel mana yang butuh diperbaiki. Seseorang bisa saja terbakar hidup-hidup sampai kulitnya habis dan organ dalamnya meleleh, lalu utuh lagi saat bangun pagi keesokan paginya. Hal itu sudah ada dalam gen mereka. Departemen Kemudaan hanya membantu prosesnya saja.

Ibuku akan tampak seperti gadis 20 tahun selamanya dan takkan seorang pun menduga umurnya sudah memasuki abad pertama. Ayahku memilih tampilannya di usia 28 karena pada usia itulah dia merasa paling tampan meski aslinya dia telah hidup selama 150 tahun lebih.

Aku? Aku anomali. Cacat genetika. Di saat bersamaan, aku disebut anugerah. Orang-orang memperlakukanku bak barang pecah belah. Beberapa yang cukup kurang ajar menyebutku primata langka yang butuh dilestarikan. Apa pun itu, semuanya sangat berlebihan.

Clarissa, jangan ke dapur. Banyak barang berbahaya.

Clarissa, jangan ke toilet sendirian. Nanti kau tenggelam.

Clarissa, jangan keluar rumah. Nanti kau mati seketika.

Clarissa, jangan makan pizza. Ujungnya tajam dan bisa melukai tenggorokanmu.

Clarissa, jangan minum tanpa sedotan. Bisa-bisa airnya masuk ke hidungmu dan membanjiri paru-parumu.

Clarisa, jangan jangan jangan jangan.

Menyebalkan.

Aku sudah pernah ke dapur dan aku tidak setolol itu untuk mengiris-iris badanku pakai pemarut keju sambil bersorak, "Hore! Hore!"

Aku sering mandi sendiri dan aku sudah memastikan bahwa aku masih hidup meski menahan napas dalam air selama beberapa menit.

Aku juga sudah pernah menyelinap keluar—meski ayahku langsung menangkapku lagi bersama selusin personel Garda Keamanan Nasional. Aku berjalan sampai keluar perumahan ke jalan raya, dan aku tidak mati seketika, tuh.

Dan mereka tidak bisa membodohiku lagi. Pizza sama sekali tidak menusuk tembus tenggorokanku meski aku memasukkan ujung segitiganya ke mulut. Jadi, antara mereka itu bodoh atau paranoid atau mereka hanya ingin mengurungku sebagai primata langka.

"Ibu," kataku sebelum dia keluar dari kamar. Kunaikkan selimut sampai menutupi mulut. "Kapan aku boleh keluar rumah?"

Ibuku menghindari mataku. Tangannya berhenti di tombol sakelar lampu.

"Aku membaca buku dan menonton film dan melihat dunia luar dari semua media yang kalian berikan. Normalnya, anak sepertiku sekarang sudah harus mendaftar perguruan tinggi." Kumiringkan tubuhku menghadapnya. "Orang-orang boleh berdatangan kemari untuk meliput keseharianku, untuk kepentingan studi, atau untuk sekadar menontonku dari dekat untuk acara sekolah mereka. Tapi, kapan aku boleh ke luar sana?"

"Sayang," ujar Ibu lembut seraya menghampiri tempat tidurku lagi. "Kau tahu, 'kan, andai Ibu bisa, Ibu akan ajak kau keluar diam-diam lagi seperti saat umurmu 10 tahun?"

Aku mengangguk. "Asal tidak ketahuan Ayah dan terdeteksi drone patroli."

"Asal begitu." Ibu balas mengangguk. "Tapi belakangan ini berbeda. Organisasi Panji aktif kembali. Sudah lima tahun ini mereka menunjukkan pergerakan mereka, dengan sangat agresif, untuk menangkapmu."

"Kenapa mereka belum diringkus juga oleh Garda Keamanan Nasional?"

"Kelompok itu sudah pernah dibasmi, Clarissa Sayang. Tapi mereka terus tumbuh kembali seperti hama. Bahkan setelah pimpinan besarnya dihabisi tahun 2264, idealisme mereka sepertinya terus diwariskan pada yang lain." Ibu membelai poniku. "Bersabarlah, ya."

"Aku harus bersabar selamanya?"

"Tidak. Hanya sampai Ibu yakin kau aman dari Organisasi Panji dan semua orang jahat di dunia."

"Jadi, selamanya?"

Ibu menatapku dengan sedih. "Clarissa ...."

"Oh, betul. Tidak selamanya. Hanya seumur hidup. Soalnya suatu hari aku bakal mati. Aku tidak abadi seperti kalian." Kunaikkan selimutku sampai menutupi wajah. "Ibu boleh pergi. Selamat malam."

Kudengar Ibu menghela napas, lalu beranjak dan mematikan lampu. Sekitar sepuluh detik kemudian, Ibu berkata cemas, "Clarissa, turunkan selimut itu, nanti kau tidak bisa bernapas—"

"Ibu, sana!" bentakku.

Setelah Ibu menutup pintunya, aku menangis dalam selimut sampai sesak.

Ini tidak adil. Mereka hidup selamanya. Mereka punya semua waktu di dunia. Aku tidak. Dan akulah yang tidak boleh menikmati hidup. Hidup yang suatu hari akan berakhir.

"Kau mau keluar?"

"Mau ..." isakku. Lalu, aku terdiam.

Aku menyibak selimut dan melihat ke jendela. Seorang pemuda duduk di bingkainya. Itu mustahil. Ini lantai 4. Aku tak melihat jet-leg di kakinya—tak mungkin dia terbang tanpa alat itu. Tangannya mengenakan sarung tangan hitam robek-robek yang berlubang tak melindungi jari-jarinya, jadi dia juga tidak menggunakan sticky-glove untuk memanjat.

Tangannya memutar-mutar pisau lipat. Pada sepatu bot kelabu besarnya, aku melihat sekitar selusin gagang senjata lagi yang terselip. Di punggungnya, dia menyandang busur dan sekantung anak panah.

Diterpa cahaya lampu dari belakang, matanya yang gelap berkilat licik.

Siapa?

Aku pernah membaca kisah klasik Robin Hood, tetapi pria maling itu mencuri untuk rakyat kecil. Zaman sekarang tidak ada yang namanya rakyat kecil. Kemiskinan sudah punah sejak kami memasuki era pemerataan kekayaan pada tahun 2199.

Aku pernah mendengar cerita Peter Pan, tetapi bocah nakal itu mencari Wendy. Aku bukan Wendy. Aku Clarissa.

Aku pernah menonton film lawas tentang lelaki misterius di jendela kamar seorang anak perempuan yang rupanya hanya khayalan dari karya tulisnya yang jadi nyata. Aku tidak pernah menulis kisah seperti itu. Aku bahkan tidak pernah menulis. Tulisan tangan sudah tidak dipakai lagi kecuali untuk keperluan seni purba.

Lalu, mataku menangkap emblem pedang bersilang yang dihias bunga-bunga putih elok— chrysanthemum. Simbol Organisasi Panji.

Aku hampir berteriak, tetapi pemuda itu dengan cepat melemparkan sesuatu dari saku jaket hitamnya. Sesuatu yang lengket dan berbau lem menempel erat ke bibirku.

Tangan kiriku mencakar-cakar penutup mulutku sementara tangan kananku meraba ke bawah bantal. Aku ingat menyembunyikan gunting di sana supaya tidak ketahuan Ayah untuk memotong-motong barang di kala suntuk ....

Ayah sudah mengambilnya dua malam lalu—aku merutuk.

Aku melemparkan bantal ke wajah si pemuda, yang dihindarinya dengan mudah. Aku melompat dan berusaha mencapai pintu kamar, tetapi kemudian kurasakan sesuatu mengait kakiku.

Aku jatuh. Badan dan wajahku menghantam lantai. Sakit sekali. Terakhir kali aku jatuh seperti ini saat umurku 8 tahun dan Ayah menggotongku ke Unit Gawat Darurat sampai jadi berita nasional.

Kutolehkan kepala dan melihat tali-tali beranyaman membelit kedua kakiku dengan dua bola pemberat—aku tidak bisa menggerakkan kaki sama sekali. Si pemuda Panji lantas mendekatiku dengan santai sambil membawa selimutku.

"Kau lebih cantik dari yang terlihat di media," ujarnya sambil menyengir. Dia membungkusku, lalu membopongku di atas bahunya. "Dan, lebih berat juga."

Dia membawaku menuju jendela. Aku memberontak, tetapi cuma sebentar karena gerakan itu membuat kepalaku sakit. Kerja fisik sama sekali bukan keahlianku.

"Kalau tidak mau jatuh, kau bakal diam seperti ikan mati."

Dia mengikatku yang masih terbungkus selimut ke badannya. Wajahku menempel ke dada kirinya. Ketika mendongak, aku bisa melihat rambut berpotongan pendeknya yang tidak rata, bulu matanya yang panjang, bintik-bintik samar pada kulit wajahnya, bekas luka gores di lehernya, dan tulang rahangnya yang tegas.

Dia mengambil busur dan anak panah. Anak panah itu memiliki semacam alat kerekan di buntutnya yang menyambung dengan tali kawat yang tampak elastis. Dia membidik ke suatu tempat yang tak bisa kulihat. Ujung talinya yang tersambung ke bagian depan bajunya tertarik, lalu kami meluncur jatuh dan berayun di sepanjang langit malam.

Aku menjerit, tetapi mulutku masih terlakban. Di saat seperti ini, mana ayah tiraniku dan pasukan garda depannya yang tak kalah bodohnya itu?!

***

Kudengar, Organisasi Panji tidak menyukai manusia fana, jadi mereka berusaha menculik dan menyiksa sampai mati semua manusia fana yang lahir. Untuk alasan apa, aku tak tahu. Intinya, mereka jahat. Itu saja yang diberitahukan pada kami berulang-ulang.

Aku memikirkan alat penyetrum, jarum-jarum suntik, mesin pemotong, sekotak ikan pemakan daging—semua metode penyiksaan pada zaman dulu. Kuduga-duga bagaimana aku akan disiksa. Namun, semua pemikiran itu buyar saat kami melintas melewati kota.

Aku tidak pernah melihat kota dari atas sebelumnya. Aku juga tidak pernah melihat kota dari mana pun kecuali media.

Memandang gemerlap cahayanya, padatnya jalan layang dan jalur-jalur pejalan kaki, serta keganjilan aroma dan bunyi-bunyi yang ditimbulkan—aku menganga. Kenapa tidak ada yang tidur? Ini sudah pukul 9 lebih. Apakah tidak ada orang tua yang memarahi mereka? Dan para orang tua yang memadati jalan-jalan dan tempat umum itu—apakah mereka tidak malu pada diri mereka sendiri?

Di saat bersamaan, aku terkagum-kagum.

"Kau suka pemandangannya?" tanya si pemuda Panji. Dia tampak seumuranku, tetapi bisa saja dia sudah berumur 1000 tahun dan memilih penampilan di usia ini. "Aku ingat kali pertama keluar rumah. Rafaeyza mesti menyeretku karena aku tidak mau pulang."

"Siapa Rafaeyza?"

"Itu Rafaeyza."

Kami mendarat di atas atap gedung pencakar langit, di mana seorang pria jangkung yang sepertinya sudah berumur hampir pertengahan abad berdiri menunggu kami. Dia mengenakan baju yang sama dengan pemuda yang menculikku—hitam-kelabu. Hanya saja, di punggungnya tersandang dua belah pedang yang saling silang.

Sepertinya orang-orang ini suka memakai senjata kuno.

Begitu kakinya menapak, pemuda yang menculikku langsung melepaskan ikatan kami sampai aku tersungkur dan terguling-guling. Gulungan selimut membuka dan aku masih terguling-guling di atas permukaan lantai beton.

Aku mencoba bangun, tetapi kakiku masih terikat. Anginnya kencang sekali di atas sini. Kurasakan napasku sesak.

"Khalil," kata pria yang menyandang pedang. Mungkin dia itu Rafaeyza. "Kerja bagus, tapi bukan begitu cara memperlakukan perempuan."

"Bukan begini cara memperlakukan siapapun," geramku. Lenganku lecet dan kain piamaku kotor. Mataku mengantuk karena ini sudah lewat jam tidurku, tetapi aku tidak mungkin terlelap bergelung di sini. "Kalau mau membunuhku, bisakah langsung saja? Kita lewati saja bagian penyiksaannya."

"Membunuh?" Rafaeyza mengernyit, lalu menatap Khalil—pemuda yang menculikku. "Kau tidak menjelaskan apa-apa padanya, ya?"

"Tidak." Khalil menyengir lagi. Dia mengeluarkan pisau lipatnya dan mulai mencungkili kotoran di kuku jari tangannya. "Dia hampir berteriak dan mencoba lari. Jadi, kurasa lebih cepat langsung dibawa dan kau yang jelaskan."

"Dia bisa mengira kita menculiknya."

"Kalian memang menculikku!" Kutunjuk pergelangan kakiku yang masih terikat. "Kalian Organisasi Panji—kalian membenci orang-orang fana sepertiku!"

Rafaeyza dan Khalil saling lirik. Khalil kemudian terbahak sementara Rafaeyza menepuk kepalanya.

Rafaeyza mendekatiku dan melepaskan ikatan kakiku. Kulirik pedang di punggungnya, mengira-ngira seberapa cepat dia mencabut senjata kalau aku lari—

Lari ke mana? Gedung ini entah berapa puluh lantai tingginya. Ada pintu pada ruangan persegi di tengah-tengah atap—barangkali ada lift menuju ke bawah di sana. Namun, Rafaeyza dan Khalil menjulang di depanku, memblokade jalan.

"Kami bukannya menculikmu. Kami merekrutmu." Rafaeyza kemudian mendelik kesal lagi pada Khalil. "Atau setidaknya itulah yang sedang kucoba."

Khalil mengangkat bahu. "Dulu caraku direkrut juga begini. Aku tidak merengek-rengek telah diculik, 'kan?"

Aku menatap Khalil dan tersentak. "Apa? T-tunggu. Kau ini ... manusia fana?"

Khalil menunjuk-nunjuk wajahnya sendiri. "Apa menurutmu manusia abadi bakal punya luka macam ini?"

Aku beralih menatap Rafaeyza.

"Manusia abadi." Rafaeyza menyentuh dadanya sendiri seperti memperkenalkan diri. "Tapi aku ingin menjadi fana lagi. Seperti kalian."

"T-tapi, Organisasi Panji membenci—"

"Kami tidak membenci apa-apa," kata Rafaeyza lagi seraya berlutut di depanku sampai wajah kami sejajar. Kerut usia tampak di sekitar mata dan pipinya. Sungguh mengherankan rasanya, melihat manusia abadi yang memilih wujud di atas usia 40. Tentu saja ada beberapa orang yang cukup aneh dan memilih wujud yang sudah berumur, tetapi itu jarang sekali terjadi. "Clarissa, Organisasi Panji ada justru untuk melestarikan kalian dengan cara lain—cara yang menurut pemerintah Uni-Versa tak sesuai."

Aku duduk dan mengusap-usap lenganku. Rambutku menghambur dan melecut-lecut wajah karena kencangnya angin. "Tapi kalian memburu manusia fana."

"Itulah yang mereka katakan untuk membuat dunia menentang kami. Clarissa, pernahkah kau bertanya-tanya, kenapa sedikit sekali manusia fana yang terlahir?"

"Karena kami anomali." Aku menyentuh dada untuk menunjukkan diriku, lalu melirik Khalil saat melanjutkan, "alias cacat genetika."

"Tidak cacat." Rafaeyza menggeleng. "Kalianlah manusia yang apa adanya. Seluruh manusia abadi yang ada di dunia ini, termasuk aku, kami lahir dari penyempurnaan genetika. Kami buatan ilmu pengetahuan dari proses evolusi yang dipercepat. Dan, tahukah kau, semua kualitas dan imortalitas ini memiliki bayaran mahal?"

Raafaeyza mengeluarkan pemancar hologram dan menampakkan footage pegunungan yang dikeruk habis, lautan yang mengering, dinding es yang runtuh, dan tumpukan sampah di tanah gersang berbatu.

"Ini dokumentasi dari tahun 2050," kataku.

"Tidak." Rafaeyza memperluas jarak pandang pada tempat pembuangan sampah. Tanah tampak kemerahan pada area yang tidak dipenuhi sampah. Langtinya tampak aneh. "Ini Mars, Clarissa. Semua limbah yang tak lagi tertampung di Bumi dan tak lagi bisa diolah, dibuang ke sini."

Aku menelan ludah. "Tapi, sejak kita bisa mengakses planet lain, kita hanya menjadikan planet-planet itu sebagai paradise untuk orang-orang yang pensiun dari hidup mereka. Agar bumi tidak kelebihan penduduk."

"Memang, tapi Mars tidak termasuk salah satunya. Ia menjadi tempat pembuangan. Di Jupiter, mereka membangun penjara untuk kriminal. Dari planet-planet subur lain di luar tata surya, mereka mengeruk hasil alamnya, atau menjadikannya pertambangan, atau membuat lahan garapan. Tidakkah menurutmu aneh, di masa lalu, sedikit saja kemajuan teknologi, dan alam kita langsung rusak—longsor, radiasi, banjir bandang. Sekarang, di mana kita berada di puncak kejayaan dan manusia tak bisa mati, tetapi terus menumbuhkan populasi, planet ini masih layak huni."

"Tidak lama lagi tak bakal layak huni." Khalil berdecak. Sepasang mata gelapnya mengamati langit. "Manusia abadi menghabiskan lebih banyak protein dan butuh lebih banyak air serta oksigen daripada manusia fana. Kalian seperti parasit serakah. Belum lagi kenyataan bahwa kalian bakal di sini selamanya dan jenis kalian terus bertambah. Jangan tersinggung Rafaeyza."

Rafaeyza hanya mendesah.

"Intinya, populasi manusia abadi dan fana seharusnya diseimbangkan," kata Rafaeyza. "Tapi tidak begitu kenyataannya. Sejak tahun 2211, manusia fana yang baru lahir dikubur hidup-hidup."

"Tapi itu hanya berlangsung selama tiga tahun, dan protes warga dunia ditanggapi! Jadi, sekarang tidak lagi—"

"Sampai sekarang," ujar Rafaeyza dengan mata sendu, "itu masih berlangsung."

Aku menatap Khalil untuk memastikan apakah Rafaeyza berdusta atau tidak. Namun, kudapati Khalil membuang pandang. Pemuda itu berkata lirih, "Rafaeyza menggaliku keluar sebelum aku mati. Saat itu umurku bahkan belum genap sebulan."

"Setelah serangkaian tes untuk membuktikan apakah seorang bayi terlahir fana atau abadi, mereka dipisahkan. Yang abadi dikembalikan ke orang tuanya, yang fana disingkirkan. Untuk menghindari kecurigaan, mereka mempekerjakan ratusan wanita khusus untuk mengandung bayi-bayi manusia abadi di pusat Xeros, lalu bayi-bayi abadi inilah yang diberikan pada para orang tua yang sesungguhnya memiliki anak fana. Itu sebabnya proses persalinan selalu satu bulan—bukan untuk memastikan bayi sehat, tetapi untuk memastikan apakah bayi itu fana atau tidak. Pemerintah Uni-Versa melakukan ini sejak demonstrasi besar tahun 2214. Lalu, untuk menghindari kecurigaan lainnya, beberapa bayi fana dibiarkan hidup secara acak. Hanya satu bayi tiap beberapa dekade. Kau salah satu yang beruntung dan dibiarkan hidup."

Aku membuka mulut, hendak menentang semua ucapannya. Namun, terlalu banyak yang mesti diproses. Aku tidak sanggup berkata-kata lagi.

"Tidakkah ini membuatmu marah?" Rafaeyza mencengkram bahuku. Matanya membara dan sarat akan berbagai emosi—kesedihan, amarah, dendam, keputusasaan. "Kau dibiarkan hidup bukan untuk menjalani hidupmu, tetapi untuk menutupi dosa pemerintahan Uni-Versa. Untuk dijadikan bahan tontonan, dipamerkan, dilestarikan—hanya agar kelompok tertentu dapat menjaga kepentingannya sendiri. Clarissa, bantu kami."

Kugigit bibirku kuat-kuat. Aku merasa takut, tetapi juga tertarik di saat bersamaan. Aku masih ingin mendengar lebih banyak. "Memangnya, apa yang bisa kulakukan?"

"Bantu kami menyeimbangkan kembali populasi manusia abadi dan fana." Rafaeyza menggucangkanku pelan, tetapi aku bisa merasakan aliran semangatnya. "Kami membutuhkan orang-orang sepertimu."

"Bukannya meremehkan," kata Khalil sembari mengernyit menatapku, "aku masih tak mengerti apa gunanya cewek ini. Jangan tersinggung, ya."

Aku menatapnya dingin. "Aku juga tak melihat fungsimu di sini selain jadi tukang culik dan tarzan berpanah. Jangan tersinggung, ya."

Khalil mendengkus. "Rafaeyza, cewek ini tidak bisa apa-apa. Kerjanya hanya mengurung diri di kamar seharian dan semalaman. Dia bahkan tidak bisa mengoperasikan pembuat kopi tanpa membuat seluruh dapurnya jadi hitam."

"Aku dikurung, bukannya mengurung diri—" Kupicingkan mataku. "Kau menguntitku, ya?!"

Khalil mengangkat kedua tangannya sejajar bahu. "Aku hanya mengobservasi dan bicara kenyataan. Kalau untuk membebaskan bayi-bayi fana sebelum mereka dikubur, aku bisa lakukan itu sendiri. Cewek ini hanya akan memperlambatku."

Di tengah ucapannya, pintu menuju atap yang sejak tadi dia dan Rafaeyza belakangi pun terbuka. Beberapa orang dalam seragam cokelat-putih dengan lambang medis berderap dengan sebuah tandu dan tali-temali.

"Sejak mengeluarkanmu," ujar Rafaeyza pada Khalil, "aku diberhentikan, Khalil. Kita tidak bisa membebaskan bayi-bayi fana itu tanpa orang dalam. Tingkat keamanan dan pengawasan Uni-Versa terlalu ketat. Kita akan dieksekusi jika berani mencampuri pemisahan bayi fana dan abadi lagi."

Khalil tampak kebingungan. "Jadi?"

"Jadi—" Rafaeyza berdiri dan mengedik ke arah orang-orang medis itu. Tiga orang di antaranya memutariku dan sepertinya mencoba menangkapku dari belakang. "Kita harus temukan rahasia genetika manusia fana. Apa yang membedakan manusia fana dan abadi? Bagaimana kita membalikkan proses evolusinya? Jika kita tidak bisa menyelamatkan manusia fana yang lahir, kita buat manusia fana baru untuk menambah jumlah dan memulai pemberontakkan terhadap Uni-Versa."

"Kau mencoba membedahku?!" Aku menjerit ketika salah satu petugas medis mencengkram pergelangan tanganku. Aku memberontak lagi. "Kau mengorbankan manusia fana untuk menyelamatkan manusia fana? Kau tidak bisa lebih tolol lagi, ya?"

Seorang pria menyekapku dari belakang, tetapi kemudian dia melepaskanku sambil memekik. Ketika aku menoleh, petugas medis tersebut sudah terkapar dengan perut seragamnya memerah. Khalil di belakangnya dengan pisau lipat yang berlumuran darah, entah sejak kapan sudah berputar ke belakangku.

Khalil bergerak ke depanku, menantang para petugas medis dan Rafaeyza. "Bukan begini caranya! Selama ini kau bilang kita akan menyelamatkan semua manusia fana!"

"Memang. Dan saat ini kita akan mengambil langkah pertama menyelamatkan manusia fana." Rafaeyza maju satu langkah, dan Khalil mundur dua langkah, mendorongku ke belakang. "Khalil, menyingkirlah. Kita butuh Clarissa."

"Bagaimana denganku!" teriak Khalil, masih mengacungkan pisau lipatnya pada semua petugas medis yang merapat ke arah kami. "Aku juga fana! Kau bisa menggunakanku dari lama! Pakai saja aku—"

"Khalil." Rafaeyza mendesah, lebih seperti letih seolah dia sedang berusaha memberi pengertian pada bocah kecil. "Kau tidak sepenuhnya fana. Aku sudah mencobanya."

Khalil terhenti. "Apa?"

"Hasil tesmu sulit didefinisikan pada mulanya," jelas Rafaeyza. "Karenanya aku berhasil menggalimu keluar—kau tidak dijaga dengan terlalu ketat karena mereka bahkan kebingungan apakah kau fana atau abadi. Mereka tetap menguburmu sebagai tindakan preventif andai ternyata kau fana."

"Aku fana!"

"Kau memang bisa menua. Sel regeneratifmu tidak seperti manusia abadi. Umurmu tidak bisa dimudakan kembali—tidak bisa diutak-atik. Kau bisa terluka. Luka-lukamu bisa membekas. Kau barangkali bisa mati karena usia senja dan kegagalan fungsi organ berpuluh tahun ke depan. Tapi kau tidak bisa mati karena faktor luar. Aku sudah mencobanya. Aku meracuni susu formulamu, menggorok lehermu, menjatuhkanmu dari lantai dua, tapi kau tidak mati-mati, hanya terluka. Aku mungkin juga akan butuh membedahmu suatu hari, tapi tidak sekarang. Clarissa adalah prioritas—dia manusia fana sempurna untuk membalikkan proses evolusi manusia abadi."

Rafaeyza maju selangkah lagi bersama tim medis dan tandu mereka. Kami mundur sampai terpojok ke tepi atap. Kucengkram kantung panah Khalil. Punggungku meremang, kakiku gemetaran, dan aku tidak bisa bernapas.

"Ini bukan kau." Khalil menggeleng. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tetapi aku mendengar luka dalam suaranya. "Rafaeyza, ini bukan kau."

"Aku selalu seperti ini, Khalil. Kau hanya menolak melihat kenyataannya."

Khalil menyimpan pisau lipatnya, lalu meraih pinggangku. Sambil membawaku, dia melompat naik ke tepian tinggi atap gedung. Napasku berhenti, jantungku mungkin juga tak berdetak lagi. Kulingkarkan tanganku ke pinggangnya saat Khalil berbisik, "Pegangan. Aku tidak tanggung jawab kalau kau jatuh."

Dia mencabut busur dan anak panahnya.

"Khalil," kata Rafaeyza memperingatkan, "jangan menentangku, Nak. Kau anak baik. Kau sudah seperti anak kandungku sendiri. Kau tidak mau menentangku demi satu gadis. Kau bukan anak bodoh seperti ini."

"Aku selalu seperti ini," balas Khalil tajam. Dia menembakkan panahnya. "Kau hanya menolak melihat kenyataannya, Ayah."

***

"Pulang sana!"

"Setelah kau menculikku begini?" bentakku seraya terus memeluk pinggangnya. "Aku ikut denganmu!"

Kami sudah berada di atap rumahku sekarang—bangunan setinggi lima lantai di perumahan elit Kota Alfaterra. Sirene mobil polisi meraung di jalanan. Barangkali ayah dan ibuku sudah sadar aku hilang. Aku tidak mau jadi berita lagi. Aku sudah berada di luar dan aku tidak akan menyia-nyiakan ini—kesempatan untuk bebas!

"Lagi pula, pria sinting itu pasti mencari-carimu sekarang!" kataku, masih merengkuhnya kuat-kuat sementara Khalil masih berusaha melepaskan diri dariku. "Aku punya beberapa tempat persembunyian di sini—kubuat bersama ibuku! Aku bisa menolongmu kalau kau menolongku."

"Aku tidak takut pada Rafaeyza," geram Khalil seraya mendorong tanganku lebih kuat.

Saat dia berhasil melepaskan cengkramanku, aku terdorong dan hampir jatuh dari atap rumahku sendiri. Khalil buru-buru menarik tanganku, berusaha menahanku, jadi kugunakan kesempatan ini untuk memeluk pinggangnya lagi. Bisa kudengar dia meraung frustrasi begitu kami kembali menempel.

"Rafaeyza mungkin akan mengerahkan pasukannya dalam Organisasi Panji buat mencarimu!"

"Aku tidak takut pada mereka!" Khalil menunjuk jumbotron di persimpangan jalan yang mengarah ke luar perumahan. Layarnya sedang menunjukkan propaganda-propaganda Uni-Versa tentang betapa berbahayanya Organisasi Panji. "Kalau cuma mereka, aku bisa mengatasinya, jadi aku tidak butuh kau! Ini tidak seperti aku bakal dikejar-kejar seluruh dunia—"

"Breaking news hari ini." Layar berganti dan menampakkan wajahku. Headline-nya: "Organisasi Panji bergerak, Clarissa Ribya diculik dari kamarnya."

Lalu, wajah Khalil ditampilkan dan mendominasi seluruh layar.

Khalil menganga sementara pembawa berita menjabarkan kronologi dan betapa berbahaya dirinya. Harga telah dipasang untuk kepalanya dan tampaknya seluruh orang yang pernah terlibat dengan Khalil pun diringkus untuk diinterogasi.

"Nah, Khalil." Aku meniup sejumput poniku yang jatuh ke muka. "Sepertinya sekarang kita terjebak dengan satu sama lain."

:.:.:

"Nobody but me can keep me safe

And I'm on my way."

On My Way, song by Alan Walker, Sabrina Carpenter & Farruko

Doakan saya masih hidup sampai 22 hari ke depan ( /'-')/

Next >>> 7 Februari 2022

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro