6 Februari 2024

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 6 | E-Jazzy ||

Tema:
Buatlah cerita dari trope romance berikut sesuai dengan bulan kelahiranmu
Trope: SECOND CHOICE

Btw, ini lanjutan cerita kiamat Werewolf di tanggal 4 kemaren yaak, tapi pakai sudut pandang orang lain lagi

|| 2656 Words ||

|| Romantic-Thriller, Comfort ||

"Kau masih ingat waktu dia bilang bahwa dia mencintaimu?" tanya Deborah.

Aku berpikir sejenak, lalu menggeleng dan balas bertanya, "Kapan?"

"Jelas kau tidak bakal bisa mengingatnya karena dia tidak pernah mengatakannya."

Itu keterlaluan. Aku tahu Deborah tidak pernah suka pada kekasihku, Deryn. Namun, dia ini sahabatku. Aku datang padanya karena merasa kalut. Karena aku hamil di tengah-tengah situasi genting. Dia malah bertanya mengapa aku datang padanya lebih dulu alih-alih membicarakan ini dengan Deryn, lalu membawa-bawa fakta lama bahwa, sejak dulu, cintaku pada Deryn memang bertepuk sebelah tangan.

Tiap malam, ada makhluk-makhluk buas yang dapat berubah wujud jadi manusia dan mengetuk pintu rumah kami, menunggu kami mengeluarkan suara agar mereka bisa menerobos masuk. Hamil dalam situasi macam ini seperti vonis mati.

"Jujur saja, Leona," tuntut Deborah, "kau datang padaku karena kau pun sadar, dalam hati kecilmu itu, kau tahu benar—Deryn mungkin akan lebih merasa terbebani begitu mendengar kau hamil ketimbang merasa bahagia. Ini takkan jadi berita bagus baginya."

Sampai di sana batas kesabaranku. Tanganku terayun begitu saja dan menampar pipinya.

Deborah tampak terkejut sesaat, matanya berkaca-kaca. Namun, dia segera mengatur ekspresi wajahnya dan menatapku angkuh. "Kau akan menyesali ini, Leona."

"Tidak," tangisku, "aku sudah menyesalinya. Aku menyesal datang padamu."

Aku berderap meninggalkan rumahnya, lalu pulang ke rumahku sendiri. Di salah satu belokan, aku sempat melewati rumah Bjorn—anak tertua dari tiga bersaudara. Rumah Bjorn ambruk total minggu lalu terkena serangan Werewolf, tetapi dia berhasil membunuh dua ekor dan mendapatkan informasi penting bahwa para Werewolf itu bahkan tidak masuk ke rumahnya meski mereka bertatapan mata dari kaca jendela.

Bjorn dan kedua adiknya sedang duduk-duduk di terasnya. Di saat seperti inilah aku berharap aku punya saudara atau keluarga yang masih tersisa.

Aku sebatang kara. Deryn juga. Karena itulah kami pada akhirnya berpacaran. Orang tua kami mati di malam yang sama dalam serangan Werewolf. Karena saat itu kami sama-sama tidak punya tempat dan keluarga untuk ditumpangi, kami mengungsi ke dalam toserba yang biasanya memang menjadi tempat penampungan sementara.

Toserba itu luas dan memiliki banyak ruangan, dan beberapa di antaranya sudah dipasangi dinding busa serta segala macam penangkal kebisingan. Selama kami tidak bersuara terlalu keras, kami akan aman di dalam sana. Bangunan toserba itu adalah satu-satunya bangunan yang belum pernah kena serangan, tetapi karena itu pula kami harus berhati-hati di sana—karena akan sulit membangunnya kembali jika bangunan macam itu dihancurkan para Werewolf.

Singkat cerita, Deryn dan aku bicara dari hati ke hati selama masa-masa pengungsian itu. Aku bercerita tentang keluargaku. Dia bercerita tentang keluarganya.

Ketika aku mengungkapkan perasaanku padanya, Deryn menerimaku. Namun, aku bukan idiot. Aku tahu Deryn tidak benar-benar membalas perasaanku. Dia hanya butuh seseorang untuk mendampinginya saat ini.

Yah, mungkin aku setengah idiot juga. Bahkan saat ini, saat aku baru masuk ke rumah kami dan mendapatinya tersenyum padaku dari balik konter dapur, aku merasa percaya bahwa dia mungkin setidaknya punya sedikit perasaan sayang padaku.

Begitu dia menyodorkan minuman hangat padaku bahkan tanpa kuminta, aku jadi idiot total. Hanya karena dia duduk di hadapanku, aku merasa jadi satu-satunya perempuan dalam hidupnya. Hanya karena dia mulai mengajakku mengobrol, aku mulai meyakini ilusi yang kuciptakan sendiri bahwa saat ini aku merasa paling bahagia di tengah kiamat Werewolf.

Aku hendak buka suara mengenai kehamilanku, tetapi kemudian kembali dirundung ketakutan. Bagaimana kalau dia malah meninggalkanku?

Kutunda keputusan itu sampai besok pagi. Untuk saat ini, kami harus memikirkan waktu malam yang telah di depan mata.

Kami memastikan semua pintu dan jendela terkunci rapat. Tidak ada ventilasi yang belum dipapan. Tidak ada lubang apapun yang bisa menjadi pengundang Werewolf. Lalu, untuk pertama kalinya, kami membiarkan satu tirai terbuka. Bjorn telah memastikannya sendiri, bahwa para Werewolf benar-benar takkan masuk meski tahu di dalam rumah ada penghuninya. Meski kami bertatapan langsung. Yang para Werewolf itu butuhkan hanya suara—sesuatu yang mereka anggap sebagai undangan untuk masuk, maka takkan ada apapun yang bisa menghentikan mereka.

Kali ini, Deryn dan aku sepakat untuk membiarkan satu tirai terbuka. Menurut Bjorn, itu membantu untuk memfokuskan para Werewolf. Mereka cenderung berkumpul ke jendela tanpa tirai di mana mereka bisa melihat ke dalam karena mereka ini Werewolf tipe seram, bukan tipe seksi yang dulu kubaca di Wattpad.

Yah, jadi, kalau para Werewolf itu berkumpul ke satu jendela, Deryn dan aku bisa pergi ke ruangan lain yang lebih jauh dari cakupan pendengaran mereka. Kami mungkin bisa bersuara sedikit.

Kemudian, malam turun. Deryn dan aku duduk di ruang tamu untuk menyaksikan sendiri wujud para Werewolf itu saat menjadi manusia jadi-jadian. Selama ini, Deryn dan aku selalu meringkuk berdua di bagian tengah rumah, berbagi ketakutan dan saling memberi keberanian sepanjang malam sementara para Werewolf mengetuk. Terakhir kali aku menyaksikan para Werewolf secara langsung adalah malam kematian orang tuaku. Kurasa, Deryn juga demikian.

Lalu, ia datang.

Deryn mendadak berdiri. Ekspresi wajahnya tampak ... ngeri. Matanya mulai berkaca-kaca.

Aku melihat sosok perempuan di balik kaca jendela, lalu menatap Deryn, lalu kembali melihat perempuan itu. Dadaku terasa berat begitu teringat di mana aku pernah melihat wajah si perempuan—di dalam dompet Deryn. Dia masih menyimpan fotonya sampai sekarang. Werewolf itu telah mengambil wujud mantan kekasih Deryn yang sudah lama mati.

Sekarang semuanya masuk akal.

Saat kami berbagi cerita tentang keluarga kami, Deryn hanya menceritakan tentang kedua orang tuanya. Dia bilang dia anak semata wayang sepertiku. Dia tidak lagi punya sepupu. Tidak punya kerabat yang tersisa. Dan dia tidak pernah menyinggung tentang gadis dalam foto yang berangkulan mesra dengannya.

Tiap kali kami melayat ke makam keluarga kami, Deryn selalu menyuruhku pulang lebih dulu. Dia bukannya berkabung lebih lama dariku. Dia menyempatkan diri menaruh bunga di makam mantan kekasihnya.

Deryn pernah salah mengira makanan favoritku ayam bakar madu, dan dia memasaknya di hari ulang tahunku yang lalu, padahal dia tahu makan favoritku adalah salad buah buatannya yang selalu enak meski berbahan seadanya. Tentu saja ayam bakar madu itu pastilah favorit mantan kekasihnya.

Perempuan itu bersandar ke kaca. Jarinya mengetuk-ngetuk. Wajahnya memelas.

Deryn membuka bibirnya. Buru-buru kutangkup mulutnya, kucengkram lengannya erat-erat.

Kumohon, lirihku tanpa suara. Aku menyeruak ke depan pandangan Deryn agar dia bisa membaca gerak bibirku, tetapi aku tahu matanya hanya tertuju pada mantan pacarnya di belakang. Deryn, kumohon. Perempuan itu sudah mati. Kumohon. Kau bisa membuat kita terbunuh di sini.

Deryn akhirnya menatapku. Matanya berkaca-kaca. Wajahnya mengerut sedemikian rupa, menahan tangis.

Aku menoleh pada sosok perempuan itu, yang masih mengetuk-ngetuk kaca jendela kami. Kusadari, dia tidak bersuara sejak tadi. Mengingat betapa sempurnanya para Werewolf ini meniru sosok yang mereka ambil ... kurasa, mantan pacar Deryn tunawicara.

Itu menjelaskan mengapa selama ini tidak pernah ada suara 'tamu' di rumah kami, hanya ketukan. Satu Werewolf ini selalu datang kemari dalam wujud mantan kekasih Deryn, menunggu mangsanya melihat dirinya dan tergoda ke dalam bujuk rayunya.

D.E.R.Y.N. Bibir perempuan itu bergerak, memanggil nama kekasihku. Tangannya menyentuh kaca dengan sendu.

Deryn menekan bibirnya kuat-kuat dan jatuh bersimpuh di karpet. Buru-buru kupeluk dirinya sebelum tangisannya lolos. Sekujur tubuhnya bergetar. Air matanya membasahi bagian depan bajuku.

Aku mendongak dan membuka mulutku untuk bernapas. Aku merasa sesak. Aku butuh udara banyak-banyak. Karena, dalam keadaan mengandung anaknya, aku malah memeluk kekasihku untuk menghiburnya yang tengah menangisi wanita lain.

Kemudian, ketukan pada kaca bertambah keras. Kami menoleh dan mendapati perempuan itu berurai air mata. Bibirnya bergerak panik, Tolong aku!

Deryn melepaskan dirinya dariku. Tanpa sempat kuhentikan, pemuda itu bergumam, "Berverley."

Perempuan di balik jendela itu tersenyum. Jarinya menunjuk pintu dengan penuh harap.

"Dia tidak menyerang, Leona," ujar Deryn memelas padaku. Raut wajahnya dipenuhi kelegaan dan harapan. "Mu-mungkin ini memang dia. Mungkin ini memang Beverley. Dia masih hidup! Kita harus membiarkannya masuk!"

Aku terduduk dengan kedua tangan menumpu ke belakang. Sambil mendongak untuk mengais udara, kubiarkan air mataku berjatuhan sampai telinga.

Aku tertawa sedikit. Bisa-bisanya aku masih berharap meski kenyataannya sudah jelas.

"Jika kau buka pintunya ..." ujarku seraya bangkit dan meraih belati dari dalam kotak senjata yang selama ini kami siapkan. Kuacungkan belati itu padanya.

Deryn mengangkat kedua tangannya tak percaya. "Leona! Jangan bertingkah kekanak-kanakan!"

Aku menggeleng-gelengkan kepala. "Ah, akhirnya kau marah padaku. Tak peduli aku bertingkah semenyebalkan apapun padamu selama ini, meski aku yakin kau merasa terganggu kutempeli tiap saat, kau tidak pernah marah. Meski aku rewel saat makan atau mengeluh ketika harus memapan ventilasi tiap senja, kau tidak pernah marah. Tapi sekarang kau marah. Karena aku tidak mau membiarkan perempuan yang sudah mati itu masuk ke rumah kita."

"Dia masih hidup!" teriak Deryn mendadak. Tangannya tertadah ke jendela, di mana si manusia jadi-jadian itu masih tersenyum dan melambaikan tangannya ke arahku, raut wajahnya jelas sekali mengejek. "Lihat, Leona! Dia tidak menyerang meski aku bersuara sekeras ini! Dia asli! Dia Beverley-ku!"

"Berverley-ku!" Aku mulai tertawa histeris. "Dia mengejekmu, Deryn. Karena kau terlalu bodoh, tidak bisa membedakan kekasihmu dan serigala jadi-jadian."

Deryn maju dan memiting tanganku, lantas merebut belatinya. Dia melemparkan senjata itu kembali ke kotak dan menguncinya.

"Apa yang kau lakukan!"

"Menghentikanmu dari bertingkah gila," tukas Deryn.

"Aku orang gilanya?!" jeritku tidak percaya, setengah tertawa. "Kau lah yang gila di sini, Deryn!"

"Akan kubiarkan Beverley masuk malam ini," pungkas pemuda itu tanpa bisa diganggu gugat, "dan kita akan bicarakan masalah kita besok pagi. Kuharap kau paham dan berhenti bertingkah, Leona, satu kali ini saja."

Deryn melangkah ke pintu dan membuka kuncinya. Aku langsung berlari ke dapur dan mengambil pisau daging dan linggis.

Ketika perempuan iblis itu masuk dan Deryn menyambutnya, ia berubah menjadi anjing raksasa yang menjulang sampai langit-langit dan menjebol bagian atas pintu kami sampai hancur.

Deryn terduduk tepat pada saat aku melemparkan pisau daging dan mengenai si Werewolf, membuatnya tumbang seketika. Untuk sesaat, aku sendiri kaget. Kurasa, jauh di dalam lubuk hatiku, aku berharap pisau daging itu mengenai Deryn.

Dengan gontai, aku mendekati jasad si serigala dan mencabut pisau dagingnya. Darah monster itu membasahi karpet dan sepatuku, tetapi rasanya aku tidak bisa peduli. Di seberang jalan, ada sekitar enam orang manusia jadi-jadian yang mendekati rumah kami. Semuanya menyeringai gembira karena melihat pintu kami jebol dan mustahil ditutup.

"L-Leona, aku—"

"Deryn," ujarku lembut. Air mataku berjatuhan. Kutatap matanya dalam-dalam dan mendadak mendapat keberanian. "Aku hamil."

Tanpa menunggu responsnya, aku berlari keluar sambil membawa pisau daging dan linggis.

Kulemparkan linggis ke salah satu Werewolf yang nyaris menyusulku, lalu membacok satu lagi yang menangkap betisku. Kakiku berdarah terkena cakaran dan hidungku tersumbat karena berlari sambil menangis. Aku terseok-seok dengan pincang, tetapi aku belum mau menyerah. Aku harus selamat karena ada anakku di dalam perut saat ini.

Ketika satu Werewolf melompat menerkamku, anak panah menembusnya. Werewolf itu terjatuh dan mendengking mencakari dadanya.

Aku mendongak dan melihat Bjorn, si anak tertua dari tiga bersaudara di jalan sebelah, berlari menghampiriku. Wadah anak panah terpanggul di punggungnya dan tangannya memegangi busur.

"Rumahmu hancur juga?" tanyanya.

Tanpa menungguku menjawab, pemuda itu langsung menyerahkan busurnya ke tanganku dan mengangkatku. Satu tangannya di punggungku dan tangan lainnya menyelip di bawah lututku. Pemuda itu mulai berlari sambil menggendongku.

"Makhluk-makhluk itu kian menjadi," ujar Bjorn begitu saja. "Dasar anjing!"

Meski tersengal dan membawaku, sambil dikejar-kejar serigala, pemuda itu tetap bicara seolah kami sedang berada dalam obrolan kasual di acara jalan-jalan malam.

"Aku mencoba untuk tidak mengunci pintuku malam ini. Coba tebak! Tidak ada satu pun yang masuk! Kunci-kunci itu percuma! Jadi, aku mencoba membuka tingkap di atap—tahu, 'kan, tingkap yang diusulkan Deborah beberapa hari lalu? Dia bilang, kalau tingkap itu bagian bawahnya dipasangi busa atau sesuatu yang empuk, dan tidak menghasilkan bunyi saat dibuka-tutup, para Werewolf itu pun tetap takkan masuk selama mereka tidak menyadari tingkapnya terbuka. Bodohnya aku! Walau bagian bawah tingkapku sudah kupasangi busa, engselnya berkarat! Ia tetap berbunyi krieeet seperti itu saat kubuka. Para Werewolf itu langsung menjebol kamarku dan mereog di sana."

"Awas!" Aku memperingatkannya, tetapi kemudian Werewolf yang mencoba menerkam kami mendadak rubuh. Dadanya ditembus timah panas.

Aku mendongak untuk melihat rumah Deborah. Gadis itu mengacungkan senjata dari balik pintu tingkapnya, lalu buru-buru menutupnya kembali sebelum para Werewolf menyambangi rumahnya.

Dua ekor lagi mendekati kami, yang juga ambruk dengan dua belati menancap di punggung mereka. Di sana, Deryn juga berlari, berusaha menyejajari kami. Tas senjata lengkap terselempang di bahunya.

"Waduh, Bung! Maaf aku menggendong pacarmu!" Bjorn berteriak, tetapi dia juga tidak berhenti ataupun menurunkanku. Dia tetap berlari ke arah toserba, yang pintunya terbuka lebar dengan penjaga yang menyuruh kami bergegas.

Bjorn, aku, dan Deryn berhasil memasuki toserba tepat waktu dan menutup pintu rapat-rapat. Para Werewolf itu baru mencapai bangunan toserba tiga menit kemudian dan sudah berwujud manusia lagi.

"Halo? Ada orang di dalam? Biarkan kami masuk, kami mohon ...."

***

Pagi-pagi sekali saat para Werewolf pergi, Deryn mencoba mendekatiku. Dia ingin memperbaiki hubungan kami, ujarnya. Jadi, aku menamparnya.

Betapa inginnya aku melakukan itu dari semalam.

"Berapa lama kita menjalin hubungan?" tanyaku. Aku bahkan tidak memperdulikan tatapan Bjorn dan penjaga toserba, yang mengunyah roti panggang dan menyimak pertengkaran kami dengan tidak sopannya. "Kau nyaris membiarkanku dan anakku mati semalam."

"Leona," lirih Deryn. "Aku menyesal. Jika kau beri aku kesempatan lagi, aku berjanji—aku akan menjagamu dan anak kita. Aku akan bertanggung jawab. Aku—"

"Anak kita?" ulangku. "Ini anakku! Kau hampir membunuhnya semalam! Kau bahkan tidak bisa menjagaku! Kau ingin aku percaya kau bisa menjaga kami berdua?!"

Aku menamparnya sekali lagi, lalu berderap gusar keluar.

Selang sedetik kemudian, aku terpaksa masuk lagi dan mengambil jatah rotiku. Barulah aku berderap gusar lagi keluar dengan roti di tangan, mengabaikan Bjorn yang mengatakan bahwa kakiku kelihatannya berdarah lagi.

***

"Sudah kubilang," kata Deborah saat aku muncul di depan pintu rumahnya. Kedua tangannya bersedekap. "Menyesal, 'kan?"

"Aku ke sini hanya mau bilang maaf. Aku menamparmu semalam, dan aku menyesal melakukan itu. Lalu ...." Aku menarik napas sebentar. "Terima kasih. Kau menyelamatkan kami tadi malam."

Deborah mengangkat dagunya dengan angkuh. "Itu saja?"

"Itu saja." Aku mengangguk.

Ketika aku berbalik untuk pergi, Deborah menghentikanku. Wajahnya masih tampak jengkel. "Akuilah, cowok itu sejak awal berengsek."

"Tidak terlalu," kataku. "Deryn sudah meminta maaf tadi dan dia bahkan tidak tampak menganggap kehamilanku beban."

Deborah mengernyit dan membuka mulutnya lebar-lebar. "Dan kau mau kembali padanya?"

"Tidak." Aku mengerjap, berusaha menyingkirkan air mata. "Aku ... akan mencoba melupakannya. Maksudku, dia pria baik. Tapi itu saja. Kurasa, sejak awal aku membohongi diriku sendiri—"

Aku tercekat. Padahal aku sudah meneguhkan tekad takkan menangis. Deryn tidak sepadan buat air mataku lagi.

"Nah, sudah kubilang dia akan membuatmu menangis begini!" Deborah menambah perih luka hatiku. Dia melambai-lambaikan tangannya dengan berlebihan. "Lihat, 'kan?! Aku, 'kan, sudah ... aku sudah—"

Lalu, gadis itu mulai menyedot ingus. Matanya ikut berkaca-kaca. Makin besar tangisanku, makin kencang tangisannya. Tangannya langsung memelukku.

"Aku sudah bilang! Kau harusnya meninggalkannya sejak dulu! Dia tidak pantas buatmu! Dia tidak pernah mencintaimu sama sekali! Dia bahkan lebih mengutamakan merawat makam pacarnya daripada kau!"

Volume tangisanku jadi tambah naik.

"Sini, masuk." Deborah menarikku. "Biar kuobati kakimu. Pria berengsek itu pasti tidak menanyakan keadaan kakimu sama sekali, 'kan?"

"Dia bahkan tidak peduli padaku sama sekali dan kelihatannya cuma peduli pada fakta bahwa aku hamil anaknya," isakku keras seperti anak kecil. Kubiarkan Deborah menggamit tanganku dan mendudukkanku di sofa ruang tamunya. "Dia bahkan memarahiku tadi malam hanya karena aku tidak membiarkan mantan pacarnya masuk!"

"Cup, cup, sudah, sudah." Deborah mengangkat sebelah kakiku dan memeriksa luka. "Kau mau salmon? Pacarku baru mengantarkan sepeti ikan yang ditangkapnya tadi pagi."

Tangisanku makin keras karena rasanya tragis sekali, sahabatku yang tidak terlalu pandai menjaga mulutnya malah menggarami lukaku dengan menyebut-nyebut pacarnya yang bucin parah padanya. Namun, Deborah sepertinya salah mengira aku menangisi kakiku yang kena garuk Werewolf.

"Bjorn itu gila, ya," ujar Deborah saat mengganti perbanku. Tangisanku sudah mulai mereda dan kubiarkan Deborah mengoceh untuk mengalihkan perhatianku. "Sudah berapa kali rumahnya hancur tahun ini? Tapi, yah, dia punya adik-adiknya yang loyal padanya."

"Bjorn baik," kataku masih sambil sesenggukan. "Aku harus berterima kasih padanya nanti."

Deborah mengangkat wajahnya gugup. "Kau tidak naksir padanya, 'kan?"

Aku balas memelototinya. "Kau kira aku ini apa?"

"Yah, kau baper pada Deryn karena hal sepele. Dan Bjorn menggendongmu sepanjang malam."

"Bjorn terlalu tua buatku." Aku menukas. "Beda umur kami sampai lima tahun. Aku tidak suka cowok yang selisih umurnya sejauh itu."

Deborah mengangkat kedua bahunya. "Benar juga. Daripada itu, mari kita pikirkan hal yang lebih mendesak. Kau akan tinggal di mana malam ini?"

Jawabanku cuma satu: menangis lagi.

Second choice alias dinomor-duakan '-') Siapa yang pernah? '-')

Next>>> 7 Februari 2024

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro