7 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 7 || 1308 words ||

| Buat cerita berdasarkan profesi kalian saat ini. Boleh didasarkan pada profesi atau jurusannya saja, tempat kerja/kuliah, atau keduanya |

| Slice of Life(?), Enggak tau ini genre apa, HELP |
|| Jobdesk ||

"Novel menye-menye." Anak-anak di rak teenlit bergunjing. "Bagusan action atau cerita skipi."

Sci-fi! jeritku dalam hati.

"Ceritanya bikin kepala pening." Anak lain di rak novel fantasi dan young adult tak kalah nyaring merumpi. "Mending baca cerita romansa anak sekolahan yang lebih santai."

Ya ngapain kau cari di rak sana?! Emosiku membludak.

"Tokoh-tokohnya enggak masuk akal."

"Ini ceritanya, kok, bikin stres, sih?"

"Dialognya cringe—mana ada orang ngomong begini di dunia nyata?"

"Panjang banget informasi medisnya sampai sebelas paragraf—infodumping."

Makin ke sini makin kesana. Walau perlu kuakui omongan mereka ada benarnya.

Kuhampiri tiga anak berseragam SMA di rak teenlit. "Nyari apa, Dek?"

Salah satunya gelagapan menaruh buku yang bungkusnya terbuka, memberitahuku bahwa plastiknya sudah copot sejak awal. Itu novel remaja terjemahan yang sedang digandrungi belakangan ini.

"Oh, kalian suka buku itu juga?" tanyaku.

"Bukan suka, sih, Kak," tukas salah satunya. "Kakak baca ini?"

"Baca, dong. Punya toko buku sendiri masa enggak up-to-date sama buku-buku terbaru." Kuraih kembali buku yang sudah telanjang bulat itu beserta bungkus plastiknya yang sudah robek. "Dialog dan narasinya agak susah dinikmati, ya."

"Iya!" Ketiganya menyetujui. "Diksi penulisnya kurang."

"Daripada diksi, sebetulnya menurutku ini cuma lost in translation." Kubuka halaman buku itu secara acak. "Misalnya, ini, 'Jangan gila, Hermano. Kau tidak bisa mengambil itu semua atas dirimu sendiri.' Waktu baca bagian ini aku juga bingung. Jadi, aku beli buku digital dalam bahasa aslinya. Kalimat aslinya ...." Aku berusaha mengingat-ingat. "Don't be ridiculous, Hermano. You can't take it all upon yourself."

Salah satu anak itu bengong. "Terus?"

"Terjemahannya, andai ini buku percintaan serius dengan gaya bahasa formal, mungkin bakal lebih cocok kalau: 'Jangan konyol, Hermano. Anda tidak bisa menanggung semuanya seorang diri.' Atau, mengingat buku ini seharusnya untuk anak remaja, gaya bahasanya bisa diluweskan sendikit. Jadi: 'Jangan edan, Hermano. Jangan menanggung semuanya sendirian."

Kubuka halaman terakhir dari buku itu. Memperlihatkan bagian yang paling kusuka.

"Tapi terjemahannya makin baik dari tengah ke akhir karena pace ceritanya memang jadi cepat dan dialognya jadi lebih harfiah. Tidak banyak slang atau kalimat tersirat yang bikin bingung. Gaya bahasanya jadi lebih lugas. Inti ceritanya betul-betul tersampaikan. Terutama di bagian ending ini sedih banget—"

"Jangan spoiler, Kak!" Salah satu anak itu menyambar buku di tanganku. "Biar saya beli yang ini, deh, Kak. Plastiknya memang sudah robek dari awal, tapi saya yang salah sudah ngeluarin bukunya dari bungkusnya. Saya juga penasaran sama ending-nya."

Temannya mengernyit menghakimi. "Tadi bilangnya enggak tertarik! Tokohnya enggak masuk akal, penulisannya enggak enak dibaca, cringe; isinya 99% bucin, 0,5% plot, 0,5% pesan moral."

"Buku model beginian fungsinya memang reading for pleasure, Dek," kataku. "Memang, sih, novel yang paling baik itu yang penulisannya rapi, yang plotnya menarik, yang tokohnya terasa hidup. Tapi kadang kita butuh buku begini untuk hiburan—biar lepas dari dunia nyata sebentar."

Temannya mencoba menukas, tetapi aku belum selesai bicara.

"Sudah tampang enggak jelas, enggak laku, bolot, dan kebanjiran tugas sekolah tiap hari di dunia nyata—enggak apa-apa, 'kan, istirahat sejenak?" ujarku. "Enggak masalah, kok, menempati sepatu anak populer, pintar, serba bisa, kaya raya, dan hidupnya cuma jadi objek bucin satu negara setidaknya dalam buku novel. Asal jangan halu 24 jam sehari. Begitu kamu tutup halamannya, kamu balik lagi jadi anak bolot, enggak laku, dan tenggelam dalam tugas." Dia masih ingin menyanggah, jadi kutambahkan, "Kalau kamu mau teenlit yang banyak plot twist dan konfliknya berbobot, aku bisa kasih rekomendasi."

"Kasih diskon juga, Kak?"

"Sudah dikasih hati, jangan minta ginjal." Kuarahkan mereka ke kasir.

Aku beranjak ke rak sebelah. Tiga anak berseragam SMP itu masih di sana, memegangi satu lagi buku yang bugil, dilucuti bungkus plastiknya.

"—plot hole." Salah satunya tengah berkata. "Harusnya pakai konflik yang lebih simpel saja daripada bikin setres diri sendiri dan yang baca."

"Sejak awal, temanya memang tidak masuk akal." Temannya sependapat sambil mengangguk-angguk.

Anak yang ketiga ragu-ragu menimpali, "Ah, iya ... kayaknya penulisnya serakah, ya. Semua konflik diborong."

"Betul!" Anak kedua mengangguk lebih kencang. "Mutasi genetika, kebocoran limbah, isu rasisme, kesenjangan sosial, perbudakan, pemberontakan, sampai ada aliennya juga. Author-nya kebanyakan maunya, jadi ceritanya kayak sampah. Ada tokoh yang sok Bahasa Inggris, tapi grammar-nya salah. Ada pembahasan persamaan Euler, tapi tempelan doang. Ada koloni canggih umat manusia di bulan, padahal pendaratan kita di sana saja hoax—mengada-ada! Misteri dan plot twist-nya juga maksa! Ternyata pelaku kebocoran limbah si MC sendiri. Basi!"

"Persamaan Euler itu dianggap sebagai persamaan matematika paling cantik," sosorku, membuat ketiganya terlompat kaget. Si anak pertama buru-buru menyembunyikan buku tak berplastik di belakang punggungnya, takut kumarahi. "Dan tokoh utama cerita ini sering dideskripsikan memiliki 'identitas yang cantik'. Kalimatnya sering muncul sampai kesannya penulis kekurangan diksi, tapi itu bisa juga berarti penulis berusaha meninggalkan petunjuk. Mungkin penulisnya amatir, tapi amatir ini bisa jadi menghasilkan best-seller suatu hari kalau dia terus menulis seperti ini sambil memperbaiki kesalahannya."

Anak kedua bersedekap. "Cuma satu kalimat itu saja yang jadi clue, tidak ada yang spesial. Plot twist-nya masih maksa, Kak. Jauh sekali, persamaan Euler yang disebutkan dalam dialog di tengah cerita, kok malah disambungkan ke misteri pelaku kebocoran limbah. Eksekusinya tidak matang—wajar, sih, penulisnya saja orang dalam negeri."

"Apa salahnya dengan penulis dalam negeri? Nah, coba pikirkan, sehari setelah kebocoran limbah, pelakunya sengaja meninggalkan pesan teror pada semua tokoh yang terlibat dalam cerita, dan isi pesannya selalu berisi persamaan Euler." Aku menarik pena dan note dari saku.

"e adalah bilangan Euler yang berasal dari tabel Logaritma John Napier; i adalah bilangan imajiner yang memenuhi akar kuadrat dari -1, pi dari rumus keliling lingkaran. Pada chapter paling pertama buku ini, si tokoh utama membahas kecintaannya pada Algoritma dengan koleganya saat mereka mengobrol di kafe. Obrolan itu merambah pada bilang Euler. Si tokoh utama kemudian bercanda tentang minus satu pada mata kanannya yang membuatnya melihat hal-hal imajiner, tetapi plus satu pada mata kirinya membuatnya baik-baik saja dalam melihat apa yang nyata. Kemudian, si tokoh utama memesan kopi dengan kalimat persis seperti ini:

"May I have a large container of coffee? Sebelum tertawa lagi bersama koleganya pada lelucon itu. Kalimat itu adalah salah satu cara mengingat bilangan pi—3.1415926, itu adalah jumlah huruf pada masing-masing kata dalam kalimat tersebut. Nah untuk bilang terakhir, yakni nol, adalah nama dari si tokoh utama sendiri. Zero. Sejak chapter pertama, tokoh utama sudah meninggalkan jejak bahwa dialah pelakunya."

Anak pertama mengeluarkan buku itu dari balik punggungnya. "Ah, jadi pingin beli. Toh, walau pun plastiknya sudah sobek sejak awal, memang aku yang salah sudah menambah besar robekannya."

"Beli saja." Aku menunjuk ke meja kasir.

Kuambil dua eksemplar lagi dan meletakkannya ke tangan dua anak lainnya, menyarankan mereka membeli masing-masing satu. Anak-anak manis—mereka menurut saja. Saat itulah aku mengenali muka si anak ketiga—anak yang tadi dengan ragu-ragu mengatai penulisnya serakah, memborong semua konflik ke dalam cerita. Kusadari dia mengatakan itu bukan dengan maksud menghina, melainkan atas dasar ketidakpercayaan dirinya sendiri.

Soalnya, dialah penulisnya.

Dia memakai kacamata tebal dan rambutnya dipotong pendek, jadi pasti susah mengenalinya lewat foto hitam putih buram di halaman Tentang Penulis dalam buku itu. Dia tampak agak lebih tua dalam foto karena rambutnya agak panjang dan mulutnya tertutup buku untuk pose. Dia juga mungkin menggunakan nama pena untuk menyembunyikan identitas aslinya.

"Menyukai buku itu hak masing-masing, tapi menghargai itu kewajiban," kataku begitu saja pada ketiganya. Lalu, mataku berhenti sebentar pada si penulis buku yang masih menciut di antara kedua temannya. "Dan kalau suatu hari kalian jadi penulis, cintailah tulisan kalian lebih dulu sebelum berharap pembaca yang melakukannya. Bagaimana pun, penulis adalah pembaca pertama dari buku yang ditulisnya sendiri."

"Memangnya Kakak ini penulis?" tanya salah satu anak yang sejak tadi mukanya seperti mengajak bertengkar.

"Aku ini penulis, pembaca, penerjemah, penyunting, pedagang, pembicara, pengajar, penembak jitu, ilmuwan, sejarawan, astronot, ahli pedang, penyusun strategi perang, penerawang nasib, koki, penyeduh kopi, tukang rujak, dan maling limbah kimia." Aku mencerocos jengkel. "Mungkin aku adalah Zero. Sekarang, bayar buku kalian."

Setelah anak-anak itu pergi ke kasir, aku menatap rak yang dipenuhi buku-buku baru.

"Ah, aku belum baca yang ini." Kurobek plastiknya dan mulai membaca.

Dah panik tadi haruskah reveal profesi asli saya di real life. Tapi penulis kan juga profesi nyehehe. Dan selain itu saya nda melanggar tema karena dari sekeluruhan cerita ini juga ada fokus dan nyentil-nyentil profesi/jurusan rl selain nulis novel (* ̄▽ ̄)b

Betewe, hayuk guys dibeli RavAges sama Indigenous nya. Yang udah beli, boleh kasih review lho ntah di IG atau goodreads atau di mana aja yang kalian mau ()

Next>>> 8 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro