8 Juni 2023

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

|| Day 8 || 3152 words ||

| Buat cerita dengan trope "She fell first, but he fell harder" |

| Romance-fantasy, Angst |
|| Forget-Me-Not ||

Aku hidup di dunia yang indah penuh magis bagai surga, setidaknya sampai hari ini ketika aku sadar bahwa aku satu-satunya orang yang menjalani tiap hari bagai neraka.

Dalam tradisi keluargaku, secara turun-temurun dikisahkan bahwa, setelah kau mati, kau akan menetap di surga selama dirimu masih dikenang oleh orang-orang hidup. Namun, begitu kenangan akan dirimu tak lagi ada, dan orang-orang hidup melupakanmu, kau akan bereinkarnasi—terlahir kembali ke dunia.

Kini keluargaku sudah habis dibantai. Sebagai seorang mantan budak dan istri seorang ksatria, aku tidak memiliki teman maupun kerabat. Tidak ada yang akan repot-repot mengenangku atau menuturkan kisah tentang diriku ... kecuali satu orang.

"Myosoti." Seseorang memanggil namaku. Pandangan mataku sudah buram—hanya ada sorot cahaya yang membias, rangka jendela yang terdistorsi, warna-warna terang yang memantul dari kaca, dan siluet seorang pria yang baru saja memanggil namaku. Segalanya tampak seperti di bawah air. Aku tahu persis bagaimana rasanya di bawah air. Aku pernah menyelam ke dasarnya demi pria ini.

"Yang Mulia Alpestrias," lirihku. "Sebelah telinga saya sudah tuli. Mendekatlah. Agar saya bisa mendengar Anda lebih jelas."

Pria itu mendekat, hanya seraihan tangan. Aku mengangkat sebelah tanganku, tetapi tak sedikit pun dia menyambutnya.

"Apakah saya istri yang baik?" tanyaku. Aku tidak bermaksud menangis, tetapi air mataku bergulir dengan sendirinya. "Lebih baik dari dua istri Anda yang lainnya?"

Aku tidak bermaksud membebaninya dengan pertanyaan seperti ini. Namun, aku sudah menjalani 10 tahun di sisinya tanpa pernah mengeluh.

Saat dia membeliku dari pedagang budak dan menikahiku, aku bersyukur, meskipun itu artinya aku harus bertahan sebagai istri ke-3.

Saat Yang Mulia Raja mengirimnya ke medan perang, aku mengiringinya sukarela karena dua istri lainnya keturunan ningrat dan harus tinggal untuk menjaga wilayahnya.

Saat dirinya harus menjalani ekspedisi berbahaya, senantiasa aku berada di belakangnya sebagai pengikut, atau di depannya sebagai tameng, tetapi tak pernah satu kali pun bisa bersisian sederajat dengannya.

Saat Alpestrias hampir mati di tengah badai salju, dikhianati seluruh pasukannya dan ditinggal mati kuda tunggangannya, kuberikan separuh umurku untuk menjaganya tetap hidup menggunakan sihir turun-temurun klanku yang telah punah—sihir terlarang yang membuat keluargaku dibantai dan diriku berakhir dirantai penjual budak. Aku menyelam ke sisi tergelap lautan untuk mengangkatnya ke permukaan, menjelajahi belantara sambil terus memapahnya, dan tak pernah pergi dari sisinya hingga dia bisa bangkit sendiri.

Saat dirinya mendapat gelar kehormatan dari sang Raja, aku bersorak paling keras dan bertepuk tangan paling lama di antara kerumunan rakyat jelata, tanpa sedikit pun buka mulut atau berhitung jasa.

Kini, saat Maut sudah merengkuh separuh tubuhku, barulah aku menyadari ... mengapa aku berdiri di antara penonton saat menyaksikannya dianugerahi gelar, sedangkan istri-istrinya yang lain ada di atas sana, mendampinginya.

Bahkan kini aku mulai mempertanyakan cintaku sendiri padanya. Mungkinkah kedua istrinya malah lebih peduli padaku daripada dirinya sendiri? Tak satupun dari kedua perempuan itu pernah jahat padaku, bahkan saat aku bersikap selayaknya makhluk rendahan. Aku semata dibutakan ilusi palsu bahwa Alpestrias paling mencintaiku di antara istri-istri lainnya hanya karena dia tidak pernah mengambil selir lagi setelah menikahiku.

Alpestrias memperlakukan semua orang dengan setara. Aku membohongi diriku sendiri dengan mengira bahwa diriku spesial di matanya. Kemudian kusadari, pria ini hanya tidak peduli—semua orang sama saja di matanya, dan aku bukan pengecualian.

"Yang Mulia Alpestrias juga hampir berakhir di tangan penjual budak," beri tahu Amarylis, istri pertamanya, saat aku pertama kali dibawa ke kediamannya. "Seluruh keluarganya pun dibantai. Dia hidup menggelandang sejak kecil hingga beranjak remaja, ketika akhirnya raja menemukannya dan mengangkatnya sebagai ksatria, memulihkan nama baik keluarganya yang dulu dituduh membelot. Jadi, Myosoti, jika dia bersikap dingin ... maklumilah. Dia memang irit bicara, bukan berarti dia mengabaikan kita. Dia agak kaku dan jarang berlaku lembut karena pembawaannya sebagai ksatria raja."

Latar belakangku sebagai gadis rendahan membuatku gagal mencerna seluruh peringatan Amarylis. Saat itu, layaknya gadis bodoh, aku hanya merasa sedih karena para istrinya yang lain bisa memanggil namanya begitu saja dan sesekali bersikap informal. Hanya aku yang selalu membungkuk, memanggilnya "Yang Mulia", dan merendahkan pandangan di hadapannya.

Setelah mendapat pendidikan yang sepantasnya dan mampu berpikir untuk diriku sendiri, barulah aku tersadar bahwa di dalam surga kemewahan orang-orang ningrat ini, hanya aku yang tinggal di dalam bilik neraka kecilku.

Aku masih seorang budak, rantaiku hanya berpindah tangan.

Aku akan mati, dan kubiarkan seluruh hidupku berlalu hanya mengabdi padanya tanpa pernah memikirkan diriku sendiri. Sekarang, siapa lagi yang akan mengenangku selain dirinya? Para bangsawan hanya berkawan dengan sesamanya, tidak ada yang sudi berhubungan dengan mantan budak sepertiku. Hubunganku dengan kedua istri lainnya tidak sedekat itu—mereka akan melupakanku setelah masa berkabung usai. Takkan ada yang menuturkan kisah-kisah tentang Myosoti meski aku terlibat di garis depan saat peperangan berlangsung.

Aku tak ingin reinkarnasi. Jika aku harus mati, maka usaikanlah hidupku sampai di sini. Biarkan aku pergi ke surga dan menetap di sana tanpa harus kembali ke neraka dunia. Atau setidaknya, jangan biarkan aku terlahir ke dunia pada waktu yang sama. Biarkan aku reinkarnasi setelah berdekade lewat dan masa kerajaan ini berlalu. Aku tidak sanggup menatap Alpestrias yang barangkali akan mencari istri baru.

Seluruh kesadaran itu terlambat menghampiriku ketika aku telah terbaring sekarat lantaran jatah umurku telah berkurang separuh.

"Pernahkah sekali saja, Yang Mulia mencintai saya?" tanyaku lagi. "Maukah Yang Mulia mengenang saya?"

Kupicingkan mataku, berusaha mematri sosoknya untuk terakhir kali di balik tirai air mata. Dia mengenakan jubah ksatrianya yang dikait dengan emblem keemasan simbol kerajaan. Aku yakin ini ilusi, tetapi mungkinkah itu sekuntum Forget-Me-Not yang dulu kupetik dan kuawetkan dengan sihir sebagai hadiah ulang tahunnya.

"Tahukah Yang Mulia, bahwa manusia yang meninggal takkan meninggalkan surga selama dirinya masih dikenang oleh yang masih hidup? Saat manusia itu dilupakan, tak ada lagi yang mengenangnya, dia akan bereinkarnasi—terlahir kembali ke dunia ini untuk membuat kenangan baru. Maukah Anda mengenang saya, agar saya bisa menetap lebih lama di surga?"

Lantaran tak mendapat respons, aku menjadi kian emosional. Dengan mata hampir buta dan telinga yang tak lagi berfungsi sebelah, kuhempaskan tubuhku turun dari pembaringan. Aku jatuh berlutut, tangan Alpestrias yang kokoh memegangi lenganku agar aku tidak jatuh ke kakinya.

Kucengkram jubahnya. Air mataku berjatuhan ke lantai. Suaraku pecah saat aku melanjutkan, "Pernahkah saya menuntut atau memohon sesuatu? Pernahkah saya mengeluh? Saya mohon, setidaknya kabulkanlah permintaan terakhir saya. Kenanglah saya! Hanya untuk beberapa tahun saja! Biarkan saya menetap di surga setidaknya untuk waktu yang lama, hanya sampai masa-masa kerajaan ini berlalu! Jika beberapa tahun terlalu banyak untuk Anda, saya mohon, tuturkanlah separuh saja jasa saya di medan perang pada salah satu istri Anda! Biarkan mereka meneruskan kisah itu pada anak-anaknya kelak! Ja-jangan biarkan, saya ... kembali—ke tempat ... i-ini .... Saya tidak ingin diabaikan lagi—di kehidupan se-selanjutnya—"

Bahkan sang Pencabut Nyawa menolak membiarkanku menyelesaikan wasiat. Dalam keadaan masih bersimpuh dan mencengkram jubah Alpestrias, tanpa sempat mendengar jawabannya, aku mengembuskan napas terakhir.

Berapa lama kenangan akan diriku hidup dalam ingatannya? Satu tahun? Dua?

Aku tahu cepat atau lambat aku harus meninggalkan surga dan kembali terlahir sebagai manusia. Alpestrias pasti akan melupakanku suatu hari jika bukan Maut yang menemuinya lebih dulu.

Namun, tak jadi masalah selama apa pun aku dikenang. Kami mustahil akan bertemu kembali. Begitu aku terlahir kembali, Alpestrias masih akan berada di surga. Dia seorang pahlawan. Seluruh kerajaan tahu namanya. Kisahnya dituturkan hingga ke seberang lautan. Dirinya takkan lahir kembali setidaknya sampai beberapa generasi berlalu.

Ketika membuka mata kembali, aku masih memiliki seluruh ingatan tentang kehidupan yang lalu—mungkinkah ini karena garis keturunanku. Aku terlahir kembali di sebuah istana megah, dikelilingi wajah-wajah yang gembira menyambutku. Ayahku memiliki mahkota bertatahkan berlian yang kukenali merupakan simbol kekaisaran nan jauh di seberang lautan pada masa diriku masih hidup dulu. Ibuku adalah permaisuri dan satu-satunya istrinya.

Aku ingin tahu seberapa lama Alpestrias sanggup mengenangku. Maka, begitu aku tumbuh sedikit lebih tua dan diajari aksara, hal pertama yang kulakukan adalah menghitung tanggalan—jarak antara kelahiranku dengan kematian Myosoti, diriku yang lalu.

Aku bereinkarnasi hanya satu bulan setelah kematianku.

***

Kami hidup di dunia yang keji penuh derita bagai neraka, setidaknya sampai hari ini ketika aku sadar bahwa kehadirannya senantiasa menjanjikan sepetak kecil surga untuk diriku.

"Yang Mulia Alpestrias." Suaranya yang manis masih bergaung dalam kepalaku, menciprati benakku dengan kerinduan, lalu menyelubunginya dengan duka dan rasa pahit, Mengapa kau tidak pernah memanggilku Alpestrias saja? Mengapa kau selalu menundukkan pandanganmu, Myosoti?

Cinta adalah kelemahan. Ibu dan kakak-kakakku dibantai saat ayahku berusaha melindungi mereka. Andai saat itu Ayah tak menampakkan rasa sayangnya yang mendalam kepada keluarganya, pasukan raja mungkin takkan menyentuh mereka.

Begitulah yang dikatakan kepala pelayan kami. Saat itu dia membawaku dan adik perempuanku yang masih bayi kabur dari kediaman kami yang habis terbakar. Kami berdua lolos karena Ayah melupakan kehadiran kami, yang mana tidak membuatku kaget. Ayahku memiliki empat istri. Ibuku adalah yang paling dicintainya. Mereka memiliki lima anak, tetapi tiga kakakku adalah favoritnya. Saat aku dan adik perempuanku lahir, cintanya sudah terkuras habis. Maka, pasukan raja tak menganggapku dan adikku cukup penting karena kematian kami takkan memberi luka apa-apa pada ayah kami.

Saat pasukan raja akhirnya menghabisi seluruh orang di kediaman Ayah, barulah mereka memiliki waktu untuk mengejar kami. Saat melihat betapa tak berdayanya kami sebagai anak-anak tanpa kepala pelayan, mereka memenggalnya. Saat melihat betapa eratnya aku memeluk adik perempuanku, mereka merebutnya dan membuangnya ke jendela—lantai tiga.

Saat itu aku selamat hanya karena keberuntungan—aku kabur, hampir berakhir di pasar budak, dan hidup bagai tikus di jalanan sampai pemberontakan pecah. Raja berganti. Roda kehidupanku berputar, tetapi aku belajar bahwa cinta adalah kelemahan.

Setiap kali aku mengatakan bahwa aku menyayangi seseorang, mereka akan hilang—ibuku, ayahku, rumahku, kakak-kakakku, kepala pelayan, adik bayiku ....

Jadi, apa yang membuatku tergerak membebaskan gadis itu dari rantai budaknya? Aku tahu jelas itu bukan cinta.

Simpati?

Karena kami memiliki nasib yang hampir sama?

Kecantikannya?

Suara merdunya saat menyanyikan lagu tradisional klannya yang telah punah?

"Kau tidak mengambil istri lagi setelah Myosoti," singgung Lily, istri keduaku. "Ada apa? Bukankah kau pernah bilang bahkan jika raja mengirimimu seribu istri lagi kau takkan peduli? Sekarang, kau malah menolak tiap lamaran yang masuk."

Lily dua puluh tahun lebih tua dariku, dijual padaku oleh keluarganya yang bangkrut, dan memiliki kekasih gelap yang tak disembunyikannya sama sekali.

Ini pernikahan politik. Sama seperti pernikahanku dengan istri yang pertama, Amarylis. Hanya saja, Amarylis tak mengharapkan apa-apa dariku sejak awal. Dia semata menyambar kebebasannya dari keluarganya, menetap di salah satu wilayahku di utara, dan mengambil kesempatan belajar sihir yang diidam-idamkannya di sana.

Sementara istri keduaku, Lily, sempat mengharapkan suami yang mencintainya. Aku tidak bisa memberikan itu, maka kubiarkan dirinya memiliki kekasih lain sebanyak yang dia ingini. Meski hubungan kami sempat dingin, Lily justru menjadi teman bicara terbaikku saat ini.

Saat menikahi Myosoti, aku memberinya izin serupa—untuk memiliki kekasih lain. Bertahun-tahun berlalu, Myosoti masih setia padaku. Tidak pula dirinya balas mengabaikanku seperti yang Amarylis lakukan. Bertahun-tahun berlalu, kudapati gagasan dirinya akan mendapat kekasih gelap juga suatu hari nanti mulai menggangguku.

"Kenapa kau tidak membiarkannya ikut naik saat menerima gelar dari raja?" tanya Lily lagi. "Jujur, aku merasa tidak nyaman—dia bisa saja berada di sana menggantikanku."

"Pengikut setia raja terdahulu masih mengawasiku." Aku menjawab. "Aku tidak bisa membiarkan dia terekspos di depan khalayak ramai, di mana pembunuh bayaran bisa saja mengintai."

"Oh, tapi tidak masalah kalau istri-istrimu yang lain kena panah saat kau dapat gelar?"

"Mereka bahkan mencoba menenggelamkan Myosoti ke laut," kualihkan pembicaraan. "Itu terjadi di medan perang, ketika salah satu penyusup menyadari dia istriku. Beruntungnya, artefak sihir yang kudapat sebagai hadiah dari Amarylis bekerja—artefak itu mengubah wajahku menyerupai Myosoti, dan mereka menenggelamkanku. Ironisnya, Myosoti yang menyelamatkanku. Bahkan saat para penyusup itu bergerak di tengah gunung salju, mereka masih mengintai Myosoti"

Istri keduaku mengangkat wajah dari cangkir tehnya. Wajahnya mengernyit heran. "Kau tahu garis keturunan Myosoti dulunya penyihir agung, 'kan? Ditenggelamkan ke dasar samudra tidak akan membunuhnya. Amarylis bisa saja belajar sihir seumur hidupnya dan takkan pernah menandingi Myosoti."

Untuk suatu alasan yang tak kuketahui, wajahku terasa panas. Mungkin karena asap tehnya. "Aku tidak berpikir jernih."

"Bisa kulihat pikiranmu sudah tidak pernah jernih sejak ada Myosoti," sindirnya lagi. "Mendadak kau bertanya bagaimana caranya agar seorang perempuan mau berjalan di sisimu dan bukannya di belakangmu, tapi kau makhluk berkepala batu yang alih-alih meminta langsung padanya, malah memberinya kode-kode tak jelas."

"Tiap kali aku memintanya melakukan sesuatu, dia selalu patuh seolah itu perintah. Aku ingin dia melakukannya atas keinginannya sendiri."

"Sudah kubilang, kau harus menghabiskan waktu dengannya lebih sering. Tapi kau selalu mundur di saat-saat terakhir dan malah mengiriminya barang-barang mewah yang tak dibutuhkannya!"

"Dia akan bosan bicara denganku—obrolan yang kutahu hanya masalah berkuda, berpedang, dan mengintai buruan."

"Dan apa-apaan kau ini, selalu memakai Forget-Me-Not pemberiannya tapi disembunyikan di balik jubah! Takkan ada yang bisa melihatnya!"

Kutangkup dada jubahku. "Aku takut ini hilang atau kotor."

"Pernahkah kau sekali saja mengatakan betapa kau bersyukur punya pasangan seperti dirinya?"

"Aku berterima kasih saat Myosoti menyelamatkan nyawaku di laut saat itu."

"Myosoti menyelamatkan nyawamu ratusan kali," cetusnya. "Dia bahkan memberikan separuh nyawanya begitu saja demi otak udang sepertimu—"

"Apa?" Aku berdiri dan menjatuhkan kursi yang sejak tadi kududuki. "Apa katamu tadi?"

Dia terpana. "Kau tidak tahu? Gadis bodoh itu memberikan separuh umurnya untuk memperpanjang umurmu. K-ami pikir kau sudah tahu.

"Kami?"

"Amarylis yang memberi tahuku. Saat dia memeriksa keadaanmu dengan artefak sihir waktu kau pulang perang ... separuh energi kehidupan Myosoti ada padamu. Itulah sebabnya dia jatuh sakit sekarang. Kami benar-benar mengira kau sudah tahu—hal sepenting itu, tidakkah dia mengatakannya padamu?"

Aku tidak tahu.

Aku benar-benar tidak tahu.

Kenapa Myosoti tidak memberitahukannya padaku?

Kemudian, kudapati istriku makin layu di atas pembaringan. Matanya menerawang ke atas—apa gerangan yang dilihatnya? Pendengarannya tidak lagi berfungsi sebelah—bisakah dia menyadari kehadiranku yang terus berada di sebelahnya belakangan ini?

Aku menyelamatkannya karena simpati, menikahinya untuk menjaganya dari kekejaman dunia di luar sana, dan membiarkannya bertahan di sisiku bertahun-tahun karena merasa nyaman dengannya.

Entah sejak kapan dimulainya, tetapi aku mulai menyadari betapa mataku terus terarah padanya, memaut sosoknya, mengikuti pergerakan tubuhnya. Telingaku mencari-cari suaranya. Aku ingin dia berjalan di sisiku, memanggil namaku tanpa gelar kehormatan, mengulurkan tangannya untuk kukecup seperti pasangan bangsawan lain.

Namun, cinta adalah kelemahan. Aku mencintai adik perempuanku yang umurnya bahkan belum genap dua bulan—saat aku menunjukkan rasa sayang itu, dia meluncur jatuh lewat jendela, dan aku bahkan tidak bisa memakamkannya. Aku pernah menyayangi ayah dan ibuku—mereka dibantai. Aku tidak pernah mencintai istri-istriku, rekan ksatriaku, sang Raja, atau siapapun di kerajaan ini, dan lihatlah betapa panjang umurnya mereka semua.

Jika aku mengakui bahwa aku jatuh cinta pada Myosoti suatu hari, akankah dia menghilang seperti yang lainnya?

Saat Myosoti mengulurkan tangannya, aku hanya bisa terpaku di sana. Apa yang tadi dikatakannya? Apakah dia bisa mendengar dirinya sendiri? Mungkinkah dia sudah kehilangan kedua pendengarannya secara total hingga tak menyadari bahwa tak satu pun kalimatnya yang utuh hingga dapat kumengerti?

Namun, apa pula yang kulakukan selama ini, saat dirinya masih sanggup bicara? Pernahkah aku benar-benar menjawab perkataannya? Pernahkah aku membalas perhatiannya?

Kupandangi tangannya, lalu menatap tanganku sendiri. Seharusnya aku tidak memandikan kuda-kuda sebelum pergi ke sini. Seharusnya aku membersihkan diri sebelum menjenguknya.

Lalu Myosoti jatuh merosot dari atas pembaringannya—jantungku seakan ikut melesak ke lantai bersamanya.

Saat itulah kata-katanya tertangkap oleh telingaku, lantaran dia memekikkannya dengan putus asa hingga darah mengucur dari bibirnya.

"Pernahkah saya menuntut atau memohon sesuatu? Pernahkah saya mengeluh? Saya mohon, setidaknya kabulkanlah permintaan terakhir saya. Kenanglah saya! Hanya untuk beberapa tahun saja! Biarkan saya menetap di surga setidaknya untuk waktu yang lama, hanya sampai masa-masa kerajaan ini berlalu! Jika beberapa tahun terlalu banyak untuk Anda, saya mohon, tuturkanlah separuh saja jasa saya di medan perang pada salah satu istri Anda! Biarkan mereka meneruskan kisah itu pada anak-anaknya kelak! Ja-jangan biarkan, saya ... kembali—ke tempat ... i-ini .... Saya tidak ingin diabaikan lagi—di kehidupan se-selanjutnya—"

Dan begitu saja, istriku meninggal dunia, masih dalam keadaan duduk bersimpuh di hadapanku.

Sejak dulu telah dikisahkan bahwa seseorang takkan terlahir kembali kecuali kenangan akan dirinya hilang dari ingatan mereka yang masih hidup.

Sejak pemakamannya, sosoknya terus menghantuiku saat aku menutup mata. Suaranya mengiang dalam kepalaku. Ruangan-ruangan yang dulu dihuninya masih beraroma tubuhnya. Kututup semua jendela, takut sisa kehadirannya akan terbang pula ke luar dan memudar bersama udara malam.

Cinta adalah kelemahan. Setiap orang yang kucintai akan mati meninggalkanku lebih cepat. Namun, Myosoti mencintaiku selama sepuluh tahun lamanya tanpa menunjukkan tanda-tanda dirinya akan menghilang sama sekali. Saat itulah kusadari bahwa yang membunuhnya bukanlah rasa cintanya atau cintaku, melainkan ketidakpedulianku.

"Suamiku, Alpestrias," sapa Amarylis saat aku bertandang ke utara. Tangannya menarik tirai di belakang tubuhnya, menutupi kekasihnya dari pandanganku. "Seusai pemakaman Myosoti, aku tahu kan akan datang kemari untuk meminta bantuan, tapi saat ini sama sekali bukan waktu yang tepat—"

Kuserahkan surat gugatan cerai dan pengganti mahar yang akan kubayarkan padanya serta Lily. "Apakah sekarang sudah waktu yang tepat?"

Amarylis memandangi surat itu dengan terkejut. "Lily menyetujui ini? Bagaimana jika keluarga kami merasa terhina dengan tindakanmu? Bagaimana dengan Yang Mulia Raja—"

"Biarkan mereka datang padaku. Mereka hanya akan menjadi satu lagi di antara banyaknya musuhku selain simpatisan raja terdahulu."

Amarylis menarik gelang lengannya yang berdengung oleh sihir. "Bantuan apa yang kau butuhkan?"

Kucabut Forget-Me-Not pemberian Myosoti. "Buat seluruh kerajaan dan seisi daratan melupakanku. Biarkan aku Alpestrias mati dalam ingatan mereka."

***

Kami tidak mungkin hidup di dunia yang sama. Dirinya akan menetap di surga untuk waktu yang lama sementara aku hidup sebagai manusia. Saat dirinya terlahir kembali nanti, aku pastilah sudah mati ratusan kali.

Belakangan kuketahui, Alpestrias tewas hanya satu bulan setelah diriku yang dulu mati. Aku terlahir kembali bukan karena dia melupakanku, tetapi karena satu-satunya orang yang mengenang Myosoti sudah mati. Hal itu sama sekali tidak membuatku lebih lega.

Aku tidak pernah menyesal membantunya. Aku tidak pernah menyesali separuh umurku yang hilang untuk menyelamatkannya.

Justru aku merasa pedih, Alpestrias yang merupakan seorang pahlawan, kasus kematiannya tidak mendapat perhatian yang layak. Namanya sepintar berlalu di benak rakyat dan rajanya. Tidak ada lagi yang menyanyikan himne-himne untuk mengenangnya. Tiada seorang pun menggaungkan epos mengenai jasanya. Alpestrias seolah terlupakan pasca kematiannya dan tak ada yang menyinggungnya dua kali.

"Yang Mulia Putri," panggil salah satu dayangku, "kami membawakan semua kandidat pengawal Yang Mulia."

Aku tidak bisa memberi pengaruh pada ayahku untuk menghapus perbudakan di kekaisarannya. Maka, kuambil semua kandidat pengawal dan pelayanku dari pada budak yang melarikan diri ke kaisaran kami. Kuberi mereka identitas baru. Takkan kubiarkan mereka mengalami nasib yang serupa denganku di kehidupan yang lalu.

Seorang pemuda masuk menghadapku. Di balik balutan jubah ksatriaku yang membawanya, aku bisa melihat lehernya yang masih dijerat rantai berkarat. Dia masih mengenakan pakaian budaknya.

"Anak tangguh ini akan menjadi calon pengawal yang layak," ujar sang ksatria yang membawanya padaku. "Dia kuat, Yang Mulia, seolah anak ini memiliki pengalaman di medan tempur bertahun-tahun. Sayangnya, mereka memotong lidahnya."

"Tidak masalah," kataku. Kupandangi wajah pemuda itu, yang kelihatannya familier.

Kuulurkan tanganku, berniat melepaskan kalung rantainya, tetapi pemuda itu langsung meraih tanganku.

"Hei—" Sang Ksatria nyaris menghunus pedangnya saat aku mengangkat tanganku yang satu lagi untuk menghentikannya.

Pemuda di hadapanku membungkuk, lantas mengecup punggung tanganku. Di balik jubahnya, tersemat pada pakaian budaknya, sekuntum Forget-Me-Not yang diawetkan dengan sihir.

Forget-Me-Not Side-Story—di medan perang.

"Myosoti, perhatikan langkahmu." Alpestrias memberi peringatan pada istrinya. "Ini ladang ranjau. Meski artefak sihir dari Amarylis melindungi kita, kita tetap harus waspada. Sebentar lagi kita juga harus menyeberangi parit."

Sesampainya di hadapan parit pertahanan menuju gerbang benteng tempur, Myosoti mencoba berpegangan pada Alpestrias. Namun, pemuda itu kepalang melangkah selangkah lebih cepat. Gadis itu lantas terperosok ke genangan lumpur.

"Sudah kubilang perhatikan langkah—" Alpestrias menginjak ujung jubahnya dan jatuh ke parit berisi buaya.

.

.

.

"Si cewek kejungkal duluan, tapi si cowok nyungsepnya lebih brutal." Adalah pengertian harfiah "She fell first, but he fell harder" trope.

Next>>> 9 Juni 2023

'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro