|5|

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Aku sudah menemukan semuanya."

Aku mengatakan empat kata tersebut sebagai awal. Kedua tanganku terkepal erat di pangkuanku, pandanganku mengarah ke dua buku yang membantuku memecahkan masalah ini. Aku terlalu takut untuk melihat reaksi dari Atsumu.

"Benarkah?" Aku bisa mendengar nada senang di suaranya. "Lalu apa yang terjadi dengan Osamu sebenarnya?"

Aku menelan paksa salivaku. Ayolah [Name], kau pasti bisa mengatakannya. "Pengorbanan emosi." Kudengar diriku menjawab seperti itu, tanganku merespon dengan membuka salah satu buku yang menjelaskan tentang hal itu. "Seseorang melakukan ritual tersebut dengan mengorbankan orang lain di sekitarnya. Emosi yang dimiliki Osamu, hilang karena telah dirampas oleh orang tersebut. Di sini dijelaskan, emosi rubah sangat aktif terhadap pengendalian kekuatan, maka dari itu banyak yang mengincar emosi dari suku rubah."

Tak ada yang bicara. Keheningan menari-nari di sekeliling kami.

Cukup lama kami semua diam, hingga Atsumu mulai membuka kembali suaranya. "Sebentar...," ujarnya bingung, "jadi Samu tidak terkena gangguan mental yang kau ucapkan sebelumnya?"

"Tidak. Hal itu dialami oleh manusia, mungkin bisa menjangkit di kalian juga. Namun semua itu tak mungkin, aku sudah mengetesnya beberapa hari yang lalu dan Samu kehilangan emosinya bukan karena kebetulan."

"Lalu?" Atsumu bertanya lagi. Tanganku semakin berkeringat, ketika dia bertanya. Aku tak siap mengatakan semua pemikiranku. "Lalu apa kau tahu siapa yang merampas emosinya? Kurasa Samu tak pernah terlibat pertengkaran atau semacamnya."

Ini dia. Pertanyaan ini.

Aku menghembuskan napasku pelan. Tiba-tiba aku merasa lidahku kelu, tetapi aku harus mengatakannya, aku harus. Atsumu masih menunggu jawabanku, aku tidak boleh membuatnya menunggu. Osamu di sampingku juga sama, menunggu, anak yang malang.

"Aku." Suaraku tercekat ketika mengatakannya. Perutku tiba-tiba terasa diserbu oleh serangga. Merasa bodoh dengan suara yang kukeluarkan, akupun mengatakannya lagi. "Aku. Aku yang melakukannya."

Sebelum Atsumu merespon dengan heboh atau apapun itu, aku mengambil alih percakapan. Aku harus menjelaskan semuanya. "Aku yang merampas emosi Atsumu. Lebih tepatnya aku yang lain. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengan aku yang lain, entah itu dari masa lalu atau masa mendatang, tetapi dia juga yang meminta Osamu mendatangkanku ke sini. Aku rasa dia melakukan kesalahan dan ingin memperbaikinya, maka dari itu dia menyuruh Osamu menyelamatkanku waktu aku sekarat."

"Aku tidak tahu apa kesalahannya dan kenapa dia bisa merampas emosi Samu, tetapi yang pasti dia sangat menyesal. Aku tahu itu." Kuatarik napas sejenak, menjeda penjelasanku. "Waktu Samu bilang di kuil Kita-san, dia melihat siluet seseorang. Itu adalah aku. Akupun juga melihatnya dengan jelas, dia berdiri di sana, kedua matanya memancarkan perminta maafan yang sangat mendalam."

"Dan waktu aku sekarat, aku juga mendengar suaranya. Dia memintaku untuk menyelamatkan kalian-lebih tepatnya menyelamatkan Samu, yang mendefinisikan bahwa aku yang hanya bisa mengembalikkan emosi Samu. Aku yang berulah, aku juga yang hanya bisa memperbaikinya." Pandanganku kini teralih ke Osamu. Aku tidak tahu bagaimana respon mereka berdua, tetapi aku sudah mengatakan semua pemikiranku. Rasanya beban di kedua bahuku seakan terangkat. "Maafkan aku Samu. Aku sungguh menyesal, aku tidak tahu bahwa aku yang melakukan semua ini, sungguh. Aku akan mengembalikan emosimu. Aku janji."

Tak ada yang bicara, lagi.

Aku merasakan tanganku kebas sekarang.

Akhirnya, sebuah desahan. "Wow! Gilaa! Aku tidak menyangka ternyata kenyataannya seperti ini-"

"Tsumu-"

"Tidak, jangan merasa bersalah [Name]. Jujur saja otakku ini masih tak dapat mencerna, tapi yeah itu bukan salahmu."

"Tapi aku-"

"Sudahlah. Santai saja. Ngomong-ngomong itu pikiranmu kan? Jadi belum tentu benar dan salah-"

"Tapi instingku mengatakan benar-"

"Ya, instingmu memang selalu bagus." Atsumu melirik ke arah Osamu sebentar, lalu kembali melirikku. "Jadi, bagaimana kita akan menyelesaikan ini? Kau sudah punya rencana, bukan?"

Aku mengangguk, kali ini anggukanku mantap. Aku sudah memikirkan ini dan aku benar-benar berharap rencana ini berhasil. Tunggu, memang seharusnya berhasil, jika tidak aku yang lain tidak akan memanggilku ke sini.

"Aku... Kita akan menemui aku."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro