1 - Namanya Raeshangga

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jakarta, Juli 2006

Aku mengutip sebagian dari monolog Edward Bloom pada film Big Fish. They say when you meet the love of your life, time stops, and that's true. Kata-kata itu terlintas dalam benakku kala aku bertemu dia untuk pertama kalinya.

"Selama MOS, tempat duduk kalian harus sesuai seperti di kertas yang ditempel di depan kelas," ujar seorang kakak senior yang menjadi pendamping MOS kelas X-5. Selama tiga hari ke depan, satu meja akan diisi oleh murid laki-laki dan perempuan. Katanya supaya tidak ada yang asik ngobrol sendiri.

Ketika aku menghampiri mejaku sesuai dengan denah yang tertera di kertas yang ditempel di jendela kelas, di sana sudah ada anak lelaki yang duduk di bagian pojok. Anak laki-laki kurus dengan rambut yang dipangkas habis, alisnya yang tebal hampir sama seperti alisku dan kumis tipis khas anak remaja tanggung. Peraturan MOS mewajibkan seluruh anak laki-laki mencukur habis rambutnya. Entah apa gunanya peraturan itu. Padahal kalau hanya ingin rapi, tidak perlu sampai cepak.

RAESHANGGA RASHID

Begitu yang tetera di nametag-nya. Dia hanya melirik ke arahku ketika aku duduk di kursi sebelah dia duduk. Jantungku berdetak seperti satu ketukan pada drum. Seperti ada perasaanku yang mengatakan bahwa aku akan berteman baik dengannya. Maka dari itu aku melempar senyum padanya dan dia membalas senyumku. Kami mulai berbasa-basi menanyakan asal sekolah masing-masing. Tapi sudah, segitu saja.

Tidak banyak yang bisa dibicarakan dengan Raeshangga selama kami menjadi teman sebangku selama tiga hari. Dia sepertinya tidak suka bicara, karena ketika sesi diskusi pro-kontra dibuka, dia tampak tidak tertarik untuk berpartisipasi mengemukakan pendapat. Tidak seperti aku yang tanpa ragu mengangkat tangan.

Tema diskusi saat itu adalah tentang kebijakan sekolah akan parkiran untuk kendaraan pribadi. Baris pertama dan kedua menjadi tim yang pro akan kebijakan tersebut, sedangkan baris ketiga dan keempat menjadi tim kontra. Jelas lebih mudah menjadi tim kontra, karena peraturan sekolah sendiri tidak memperbolehkan siswa-siswi kelas sepuluh membawa kendaraan pribadi. Kendaraan pribadi yang boleh diparkir di halaman sekolah hanya untuk kelas XI dan XII, itupun hanya untuk kendaraan roda dua.

"Saya mau menyanggah pendapat Didan soal hubungan membawa kendaraan dan kepemilikan SIM. Batas umur membuat SIM adalah tujuh belas tahun, sedangkan batas tertinggi umur calon peserta didik baru kelas sepuluh adalah 21 tahun. Sehingga bisa saja pada kelas sepuluh ada yang sudah memiliki SIM. Jadi, menurut saya kepemilikan SIM dan tingkat kelas tidak relevan. Terima kasih," begitu kurang lebih sanggahanku terhadap pendapat Didan yang menyebut bahwa alasan pelarangan siswa kelas sepuluh membawa kendaraan pribadi adalah karena umur mereka belum mencapai batas minimum untuk memiliki SIM yang sah. Tentu saja setelah sesi diskusi itu aku langsung dapat tawaran untuk ikut seleksi masuk OSIS.

Saat duduk, aku nggak sengaja melihat Raeshangga sedang menatap ke arahku dengan senyum tipis. Aku balas saja dengan cengiran karena sebenarnya aku malu udah sok berani berargumen. Sejak senyuman itu, kami mulai mengobrol lebih banyak.

Selesai MOS, Raeshangga memilih duduk sebangku dengan Didan di bangku kedua dari belakang. Sedangkan aku duduk dengan Sierra di bangku kedua dari depan. Ternyata dia tidak sependiam waktu MOS. Karena kadang dia suka nyeletuk kalau gurunya nggak galak dan suka berisik kalau lagi nggak ada guru. Didan memanggilnya dengan memotong namanya menjadi Angga saja. Jadi, aku dan teman-teman sekelas juga memanggilnya Angga.

Suatu hari aku sedang makan dengan teman-temanku di kantin saat jam istirahat. Aku lihat Raeshangga dan teman-temannya berkumpul di meja paling pojok dekat koperasi sekolah. Raeshangga bergabung dalam obrolan mereka dengan tidak terlalu fokus. Karena dia mengobrol sambil memainkan dua sumpit bekas mie ayam seperti sedang memegang stik drum. Lengkap dengan aksinya yang menggebuk-gebuk meja kantin dengan kedua sumpit itu. Nggak bisa diam, petakilan banget tuh anak.

Terus tiba-tiba dia berhenti berlagak seperti drummer dan bangkit dari kursinya. Dia berdiri di belakang Fadlan kemudian mengarahkan ujung mata sumpit yang dia pegang ke bawah bangku plastik kantin.

"ANJING APAAN TUH!" Fadlan refleks mengumpat dan berdiri. Ternyataaaa si Raeshangga menusuk-nusuk pantat Fadlan dari lubang kursi plastik dooong! Dia ketawa terbahak-bahak melihat reaksi Fadlan dan Fadlan masih nggak ngerasa kalau itu adalah ulah Raeshangga!

Merasa menang, dia berulah lagi kali ini ke Tito. Tito yang bertubuh gemuk, nggak berasa sama sekali kalau pantatnya itu ditusuk-tusuk sama Raeshangga pakai sumpit.

"Oh, elo pelakunya! Jingan!" Seru Fadlan yang melihat tingkah Raeshangga terheran-heran.

"Si Tito nggak berasa sama sekali anjiiirrr kulit dia kulit badak apa gimana sih?!" Komentar Raeshangga sambil tertawa-tawa. Mundur-mundur... mundur-mundur... yak! Sudah kuduga adegan selanjutnya. Raeshangga kejeblos ke selokan dekat koperasi! Padahal hari itu hujan, sehingga sudah pasti lumut di dalam selokan itu basah dan bercampur dengan kotoran-kotoran yang menjadi lumpur ketika basah. Jelas sepatu dan celananya di bagian bawah langsung kotor. Jelas di mampus-mampusin sama teman-temannya. Lagian, jahil banget sih!

Waktu jam pulang, aku ketemu dia lagi di parkiran motor. Setahuku anak kelas X belum boleh membawa kendaraan pribadi (motor ataupun mobil), soalnya sudah pasti belum legal untuk punya SIM juga. Ternyata dia berjalan ke arah seorang cowok, anak kelas XII. Aku mengetahui nama kakak senior itu adalah Hangga. Anak kelas XII IPA 1, anggota tim sepakbola sekolah. Ada teman sekelasku yang suka sama dia, makanya aku tahu.

"Nggak bawa helm satu lagi gua. Lu sih, kebanyakan polah!" Omel Hangga ke Raeshangga.

"Masa gue naik angkot begini?" Raeshangga menunjuk sepatu dan celananya yang kotor. Tadi di kelas dia lepas itu sepatu dan kaus kakinya yang kotor. Mencuci kaus kakinya di kamar mandi dan dengan sembarangan dia gantung di penyangga punggung kursinya biar kering terkena angin AC.

"Ya elah udah kering juga."

"Tapi males banget. Plis, nanti lo boleh pake PS seminggu full deh. Gue nggak ganggu!"

Nampak Hangga menghembuskan nafas dan dengan berat hati menerima permohonan Raeshangga. Katanya, "Pokoknya kalo ada polisi, lo turun, jalan kaki! Bodo amat!"

"Iyeee!" Ucap Raeshangga seraya naik ke boncengan motor bebek yang dikendarai Hangga.

Oh, mereka kayaknya adik-kakak ya? Nggak terlalu mirip sih. Hangga putih bersih, tinggi, bibir agak tebal, rahangnya nampak tegas. Hmm paham kan, kenapa teman sekelasku ada yang naksir dia? Ya, dia emang se-eye catching itu penampilannya. Sementara Raeshangga... hmm nggak berkulit gelap banget sih, tapi lebih coklat gitu dan tingginya mungkin sekitar 170-175 sentimeter. Standar cowok Indonesia. Tapi memang mereka punya raut yang agak mirip dan sama-sama punya alis yang tebal.

Waktu mereka melintas melewatiku. Aku refleks menoleh sedikit. Raeshangga lagi cengengesan sambil bilang, "Bye, Shanaz!" dan aku cuma membalasnya dengan senyum. Aku mengenalkan nama panggilanku adalah Lasha, tapi Raeshangga kadang suka memanggilku Shanaz. Dia memang rada aneh.

****

Raeshangga ini nggak bisa diam. Tangannya suka menggebuk-gebuk meja kalau dia sedang mendengarkan lagu di headset-nya saat jam kosong. Nggak salah sih dia pilih ekstrakurikuler perkusi. Padahal katanya dia nggak pernah belajar drum sama sekali. Apa orang tuanya nggak pernah mengarahkan dia untuk les drum aja ya, biar energinya teralihkan? Daripada pecicilan nggak jelas kayak gini.

Silabus mata pelajaran Kesenian untuk kelas X tahun ini memang lebih banyak bagian seni musik dibandingkan seni rupa. Maka, biasanya guru Kesenian kami memberikan beberapa menit terakhir dari jam pelajarannya untuk free time yang dapat digunakan untuk kami bermain musik. Didan semangat membawa gitar setiap Kamis, jadwal mata pelajaran Kesenian untuk kelas kami.

Hari itu Didan memainkan lagu Oh, It Is Love milik band Hellogoodbye dengan gitarnya. Raeshangga memberikan ketukan di meja kayu untuk mengiringi alunan gitar Didan. Raeshangga mulai ikut menyanyikan lagu itu. "Oh, it is love... from the first time I set my eyes upon yours..." 

Aku menoleh ke arah Raeshangga dan Didan yang ada di baris belakang. Jari-jariku ikut mengetuk-ngetuk meja mengikuti beat yang diberikan Raeshangga.

"Thinking, oh, is it love?"

Lalu aku mulai memberanikan diri ikut bernyanyi pelan, "We'll be holding hands once again..."

Raeshangga yang menyadari aku mulai ikut bernyanyi menatapku dan tersenyum. Kemudian dia mengangkat dagunya, menyuruhku untuk mengeraskan suara. Maka kubesarkan volume suaraku, "All our broken plans I will mend... I will hold  you tight so you know..." Lalu dia tersenyum puas.

Suaraku memang tidak sebagus diva, tapi setidaknya aku tidak buta nada. Kata orang, untuk ukuran perempuan suaraku sedikit berat dan terdengar seperti suara penyanyi-penyanyi jazz. Selanjutnya aku jadi ikut bergabung pada jammin' session-nya Didan dan Raeshangga.

Beberapa hari kemudian aku mengobrol dengan Raeshangga, Didan, dan Sierra di sela-sela waktu pergantian mata pelajaran. Raeshangga meminjam iPod nano yang sering aku bawa.

"Wah, lo anaknya indie brit-pop ya?" Ujar Raeshangga ketika menscroll-scroll daftar lagu di iPodku yang isinya antara lain The Cardigans, Feist, Tahiti 80, Belle and Sebastian, Club 8. Sebenarnya kayak Tahiti 80 gitu nggak masuk pop Britain sih, tapi kami nggak tau genre yang lebih tepat untuk indie pop asal Eropa itu apa. Jadi, ya udah asal kelompokkan mereka ke pop Britain. "Wah, Tahiti 80 lo lengkap ya! Bagi dong!"

Bukannya berbangga hati dengan pembajakan lagu, tapi nggak semua orang bisa membeli lagu di iTunes karena kartu kredit tidak dimiliki banyak orang di Indonesia. Sukur-sukur bisa mendapatkan CD band-band itu di toko Aksara. Kalau nggak, ya cuma bisa numpang dengerin sample-nya di MySpace. Jadi kalau ada teman yang punya, ya lumayan juga untuk minta sharing.

"Oke, nanti gue copy dari komputer dulu."

"Lo mau barter sama gue nggak?"

"Lo punya apa?"

"Hmm... gue lagi dengerin The Ramones, Hoobastank, Yeah Yeah Yeahs—"

"Mauuu The Ramones sama Yeah Yeah Yeahs!" Aku memang nggak pernah mendengarkan musik di satu genre aja. Kebetulan banget kemarin aku habis lihat profil MySpace orang dan mereka pasang now playing lagu Blitzkrieg Bop dari The Ramones di profilnya. Aku jadi pengen dengerin lagu The Ramones lainnya.

Itulah awal mula persahabatan aku dan Raeshangga. Kami suka bertukar flash disk yang berisi mp3 file untuk nantinya aku simpan di iPod nanoku. Ayahnya punya koleksi lagu-lagu rock era 60 sampai 80-an. Aku mengumpulkan koleksi CD-CD yang ditemukan di Aksara oleh kakakku, Abi.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro