2 - JUDGE A PERSON BY NOW PLAYING

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nih, thanks ya. Gue kasih bonus Secondhand Serenade di dalam," ujar Raeshangga yang tiba-tiba menaruh flash disk berwarna putih dengan gantungan bergambar tumpukan buku dengan font klasik warna pink salem. Tertulis "Pride and Prejudice, Persuasion, Sense and Sensibility, Emma, Northanger Abbey, Mansfield Park, Lady Susan."

"Wah, thanks banget! Gue baru mau nanya, lo punya Secondhand Serenade sama Dashboard Confessional nggak, hahahaha..."

"Dashboard Confessional gue belum punya. Eh, lo nggak mau nonton Hoobastank bareng?" Dengar-dengar band itu mau konser di Jakarta. Tapi aku nggak begitu tertarik.

"Gue udah coba dengerin sealbum tapi ternyata cuma 'kena' di The Reason doang."

Wajah Raeshangga nampak kecewa. "Pengen nonton tapi nggak ada temen nih."

"Ajak Didan lah, Tito? Fadlan?"

"Sama kayak lo, pada sukanya cuma The Reason-nya doang."

"One hit wonder ya berarti dia."

"Ya, lagu-lagunya yang lagi tuh hit or miss sih. Gue masih dengerin beberapa. Cuma kayaknya yang lumayan easy listening The Reason doang."

Aku jadi teringat kenapa The Reason tuh bisa hits banget. Soalnya diputar di stasiun-stasiun TV. Jadi ingat juga lagu-lagu yang keluar di era yang sama dengan lagu itu. Ingat banget pernah ada band yang namanya Rooster, lagunya berjudul Staring At The Sun.  "Eh, Ngga, lo pernah dengar lagu Staring At The Sun nggak?"

"Rooster?" Aku suka nih pengetahuan musik nih anak bagus. Tapi ya waktu itu lagu itu juga suka diputar di TV-TV juga sih.

"Iya. Punya nggak?"

"Hmm..." dia mengeluarkan mp3 player-nya yang berbentuk seperti flash disk. Bukan brand yang sama dengan yang aku punya. Memang sih ponsel kami udah cukup pintar, bisa memutar mp3 file, tapi kapasitasnya nggak cukup. Memory card sebesar 512 MB aja udah besar banget rasanya. Nggak sebesar pemutar musik seperti iPod, Creative Zen, Sony, dan yang Raeshangga punya ini nggak tahu brand apa, yang bisa menampung mulai dari 1 GB sampai 8 GB.

"Itu apa, Ngga?"

"IPod versi low budget," jawabnya sambil tertawa kecil. Aku mengulurkan tangan ingin melihat benda itu. Dia menyerahkannya sambil kemudian duduk di kursi milik Sierra yang kosong karena yang punya kursi masih di kantin. "Merk nggak jelas sih, produksi Cina gitu kayaknya. Tapi suara lumayan lah kalau pakai headset bawaan hape." Ponsel dia memang Nokia seri express music. Jadi pasti headset bawaannya sudah lumayan bagus.

"Berapa memorynya? Terus masukin lagunya gimana?"

"Cuma 2 giga. Tapi lumayan lah, biar hape nggak cepat habis batrenya. Kalau disita sama Bu Ida nggak sayang-sayang amat," ujarnya sambil terkekeh pelan. "Masukin lagunya ya tinggak copy file aja, kayak copy ke flash disk gitu."

Aku manggut-manggut mengerti sambil coba mendengarkan lagu dari alat itu. Ya, suaranya lumayan sih. Nggak sebagus dari iPod atau ponselku, cuma untuk sekadar mendengarkan masih oke. Mengoperasikannya juga lebih simpel. Nggak seperti iPod, masukin lagu aja harus lewat software bernama iTunes.

"Gue nggak punya Rooster ternyata, Las. Kalo The Postal Service pernah denger?"

"Belum."

"Lo harus denger sih. Sekalian sama Phoenix... Interpol... nanti gue kasih."

"Kayak apa tuh musiknya?"

"The Postal Service kayaknya masuk selera lo deh. Indie-electronics gitu." Dia main nge-judge aja karakteristik seleraku hanya dari koleksi lagu yang aku punya. Padahal aku sering minta dia lagu-lagu genre alternatif dan emo juga.

"Mereka punya MySpace kan? Nanti gue coba cek page MySpace mereka dulu. Eh, lo punya MySpace? Mungkin kita bisa temenan di situ?"

"Punya sih, tapi temen gue cuma si Tom hahaha..." ceritanya sambil terkekeh. Tom itu adalah founder aplikasi MySpace. Kalau kita pertama kali membuat akun MySpace, sudah otomatis berteman dengan Tom. MySpace sendiri adalah media sosial seperti Friendster, tetapi punya fasilitas music player yang bisa ditampilkan di profil penggunanya. Yeah, so we could judge a person by their media playing. Kemudian media sosial itu akhirnya dimanfaatkan oleh band-band indie untuk memasarkan musiknya ke pasar internasional. Bahkan untuk halaman milik musisi, mereka punya fasilitas upload lima lagu mereka di halaman tersebut serta jadwal manggung mereka. Dari situ lah aku banyak mendapatkan referensi lagu-lagu indie terbaru.

***

Saat selesai UAS, sekolah biasanya mengadakan classmeeting. Biasanya selama seminggu ada kegiatan lomba olahraga antar kelas. Tentu saja Raeshangga selain ikut ekstrakurikuler perkusi, juga bergabung dalam ekstrakurikuler sepakbola seperti kakaknya, Hangga. Maka waktu acara classmeeting, Raeshangga pun ikut turun ke lapangan untuk bertanding mini soccer.

Itu kali pertama aku memerhatikan dia bermain bola. Biasanya dia juga main bola sih kalau jam pelajaran olahraga, tapi aku nggak pernah memerhatikannya sebelumnya. Baru kali ini. Dia mengambil posisi midfielder, jadi seringkali dia harus merebut bola dan mengatur serangan. Rambutnya yang sudah tidak cepak lagi, sudah mulai menampakkan bentuk aslinya. Hitam, tebal, dan lurus. Walau sedikit lepek karena keringat. Tapi menurutku dia cocok jadi bintang iklan shampoo Lifebuoy.

Oh ya, bicara soal rambut, setiap sekolah pasti memiliki satu guru killer yang kerjaannya ngurusin kerapihan murid. Setiap hari matanya begitu jeli kalau ada murid yang pendek lengan kemejanya lebih dari dua jari di atas siku, rok yang terlalu ketat, rambut yang sudah melewati batas kuping bagi anak laki-laki. Aku jelas bukan anak bandel yang tidak suka menaati peraturan. Kemejaku tidak pernah ketat dan pendek, aku juga memilih rok rempel agar tidak pernah ditegur karena terlalu ketat, lagipula rok rempel lebih nyaman daripada rok span untukku yang bertubuh curvy. Untung dadaku tidak besar kalau dibandingkan lekukkan tubuhku yang lain, jadi kemeja sekolahku nggak akan pernah kelihatan ketat di bagian badan.

Kalau Raeshangga sih, dia bukan anak badung yang jadi target guru-guru juga. Walaupun dia suka nyeletuk di tengah pelajaran, tapi bukan celetukkan yang kurang ajar. Dia juga nggak pernah pakai seragam yang pendek atau ketat, atau jadi tukang bolos, atau telat. Tapi kalau soal urusan rambut, jelas... Bu Ida adalah musuh bebuyutannya. Dia sebal banget kalau dikit-dikit rambutnya kena barbershop gratis Bu Ida. Karena katanya potongan rambutnya jadi jelek.

Tapi pernah suatu ketika, entah kenapa Raeshangga baru pesan soto di kantin saat sudah mepet dengan bel masuk kelas. Waktu lihat Bu Ida yang dari kejauhan udah bawa-bawa penggaris kayu yang siap memukul meja-meja kantin untuk mengusir anak-anak yang masih nongkrong di kantin selepas bel masuk, Raeshangga langsung ngibrit dong ngumpet di balik kompor ibu penjual soto! Bu Ida sibuk pukul-pukul meja kantin sambil ngomel-ngomel, "Ayo, ayo, balik ke kelas! Udah bel!"

"Aaak!" Si dodol, dia yang ngumpet, dia juga yang lengannya nyosor sendiri ke panci soto yang baru selesai mendidih, kaget sendiri!

Bu Ida langsung menginspeksi booth soto. "Heeeh Angga ngapain kamu di sini! Ayo balik!"

"Tanggung, Bu, ini tinggal abisin telornya!"

"Bukannya daritadi. Ayo, ibu tungguin sampe kamu abis!"

"Kan Ibu belum selesai inspeksi kantinnya. Tuh, Bu, masih banyak yang duduk-duduk..." bisa aja alasannya dia tuh.

"Ah kamu, ngeles aja... ayo cepet!" Bu Ida pukul-pukul tembok pembatas antara booth soto dan nasi uduk.

"Iya, iya udah, Bu..." Raeshangga menaruh mangkuk soto di tempat cucian piring.

"Udah bayar belum?"

"Ibu mau bayarin? Hehehe..."

"Ih, ogah." Pas Raeshangga permisi untuk lewat dan kembali ke kelas, Bu Ida tampaknya menyadari sesuatu, "Eh, Eh, sini kamu Angga!"

Raeshangga nampaknya sudah tahu kemana arah aksi Bu Ida selanjutnya.

"Ini apa? Mau saya potong nih?" Ujar Bu Ida seraya menarik rambut Raeshangga bagian pinggir yang sudah menyentuh kuping. Padahal tadi udah dia umpetin di balik kuping biar nggak ke-notice Bu Ida. Tapi mata Bu Ida ternyata jeli juga!

"Jangan, Ibuuu! Nanti berkurang ganteng sayaaa! Besok, Bu, janji deh. Sueeerrr!"

Untung aja Bu Ida lagi nggak megang gunting, jadi dia melepaskan Raeshangga begitu saja.

****

Pada puncak classmeeting saat semester genap yang diadakan hari Jumat, tim perkusi tampil pada acara panggung tahunan itu. Mereka memainkan lagu Don't You Worry 'Bout The Thing milik band beraliran acid jazz, Incognito. Aku memperhatikan Raeshangga yang nampak bahagia menepuk-nepuk alat perkusinya. Wajahnya yang tersenyum dan sesekali memejamkan mata, seolah menumpahkan seluruh kesenangan, cinta, dan hasratnya di sana. Badannya bergerak mengikuti irama ketukan yang ditabuhnya. Lalu dia melihat ke arahku yang sedang ikut mengangguk-anggukkan kepala dan menyentak-nyentak kaki mengikuti irama ketukan musik itu. Kemudian dia tersenyum padaku sambil berkomat-kamit menyanyikan lirik lagu tersebut, seolah mengajakku untuk bernyanyi. Aku membalas senyumannya dengan hangat.

Aku rasa, aku mulai menyukainya.

***

Tapi tentu saja perasaan itu tidak aku sampaikan. Aku mencoba berlaku biasa saja di depannya. Tentu aku bertanya-tanya, apa dia juga menyukai seseorang saat ini? Selama aku mengenalnya, aku tidak pernah lihat dia dekat dengan anak perempuan manapun. Ya, dia main sama cewek-cewek juga, tapi bukan dekat yang seperti khusus begitu.

Saat kenaikan kelas XI, aku memilih jurusan IPA dan Raeshangga memilih jurusan IPS. Aku memilih IPA karena kata ibuku, kalau sudah masuk IPA, aku masih bisa memilih kuliah jurusan IPS. Sedangkan kalau aku sudah terlanjur di IPS, aku akan kesulitan kalau mau memilih jurusan perkuliahan IPA. Jadi karena nilaiku mencukupi untuk masuk IPA, ya udah aku pilih IPA aja. Kalau Raeshangga sih jelas karena dia nggak suka mata pelajaran-mata pelajaran IPA.

Aku pikir pertemanan kami akan mulai merenggang karena sudah beda kelas. Dia juga sudah jarang menanyakan koleksi lagu-laguku, begitupun aku. Aku cuma bisa melihatnya kalau kami berpapasan di kantin saat jam makan siang atau kalau bertemu di koridor saat mau pulang.

Sampai suatu ketika bubaran sekolah, aku menghampiri Sierra yang sedang mengobrol dengan Didan dan kawan-kawannya di pinggir lapangan. Ada Raeshangga juga di sana. Aku yang sedang excited karena baru saja mendapatkan buku Harry Potter and The Deathly Hallows, membawanya kemana-mana agar bisa selalu dibaca di waktu senggang. Karena bukunya yang sangat tebal dan hardcover (karena menunggu versi paperback-nya lama sekali), jadi aku tidak memasukkannya ke dalam ranselku dan menentengnya seperti kitab suci di lenganku.

Raeshangga menghampiriku. "Lo udah punya Harry Potter ketujuh?" Serunya semangat.

Aku menenggak untuk menatapnya. Walaupun dia hanya sekitar 170-an, tapi tetap saja aku yang hanya 160 sentimeter lebih pendek darinya. Rasanya ada yang merekah dalam dadaku kala bersisian dengannya.

"Liat dong!" Serunya meminta lihat buku yang ada dalam dekapanku. Lalu aku memberikan padanya.

"Emang lo ngerti baca bahasa Inggris?" Tanyanya kala melihat bukuku. Iya, versi bahasa Indonesianya belum selesai diterjemahkan, jadi aku nggak sabar dan membeli versi Inggrisnya. Dia bertanya dengan nada takjub, bukan nada merendahkan.

"Ngerti dikit-dikit hehe. Kalo nggak ngerti, gue tandain dan gue cari lagi nanti di kamus."

Dia langsung membuka halaman terakhir lalu mundur-mundur ke bab terakhir.

Aku langsung berkomentar, "Heh, lo nggak takut spoiler ya?"

"Penasaraaan! Lagian tahu endingnya doang kan nggak mengurangi esensi perjalanan menuju endingnya."

"Jangan spoiler-in gue!"

Dia terkekeh, "Happy ending kok." Dia kemudian menutup buku itu dan mengembalikannya padaku. "Lo suka Harry Potter banget?"

"Suka banget! Lo juga suka?" Mataku mulai menyala-nyala karena penasaran apakah Raeshangga juga menyukai hal yang aku sukai.

"Sama, suka gue. Ngikutin dari jaman SD."

"Samaaa! Gue suka banget sih dunianya dibangun sempurna banget."

"Iya, gue sampai ngumpulin majalah-majalah Cinemagz lho buat ngumpulin summary Wizarding World sama kumpulin merchandise-nya juga sih hehehe."

Aku juga belum lama beli majalah Cinemagz cuma buat merchandise-nya! Kebetulan banget edisi kemarin itu bonusnya tongkat sihir. "Lo dapat tongkatnya siapa kemarin? Dumbledore apa Voldemort?"

"Dumbledore."

"Yah, gue Voldemort."

"Mau tukeran?"

"Lho? Emangnya kenapa?"

"Biasa banget. Lebih keren punya Voldemort kan ada aksen kayak tulang gitu kan..."

"Iya. Bener mau tukeran?"

"Iya, nggak pa-pa."

Besoknya aku betulan bertukar tongkat sihir merchandise itu. Kocak banget, kayak orang gila bawa-bawa ke sekolah. Sejak itu aku dan Raeshangga juga kadang suka SMS-an nggak penting bahas Harry Potter. Terutama setelah akhirnya buku terjemahan Bahasa Indonesianya terbit dan Raeshangga langsung membaca sebelum aku spoiler habis-habisan hehehe.

****

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro