[05. Naomi's Side]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Crystal Aura pemain sinetron Janji Suci mengungkapkan akan segera mengurus masalah rumah tangganya ke pihak berwenang, minggu lalu Aura mendapati sang suami Andrew Danudirja tengah menghadiri acara reuni sebuah sma bersama dengan seorang perempuan yang disebut-sebut sebagai selingkuhannya-"

Naomi mematikan layar televisi dengan cepat, berita tentang dirinya yang seorang selingkuhan sudah diketahui oleh seluruh Indonesia. Ingin rasanya ia mengklarifikasi berita itu bahwa ia juga sudah dibohongi dan ditipu oleh Andrew. Namun pasti tidak ada yang mempercayai dia.

Suara ponsel yang bergetar membuat Naomi segera mengambil ponsel berkamera tiga yang terletak diatas meja.

Oma, nama yang tertera disana.

Jantungnya sudah berdetak tak karuan, pasti Oma sudah mengetahui hal ini.

"H-halo Oma," suara Naomi gugup.

"Naomi, Oma sudah lihat di berita tentang kamu dan Andrew Danudirja, itu bohong kan?"

"Oma i-itu salah faham, Nao emang pacaran sama Andrew tapi Nao sama sekali nggak tahu kalau Andrew sudah menikah dan istrinya seorang selebriti."

"Pulang ke rumah Oma Nao," pinta Oma dengan suara lembut.

"M-maaf Oma, Nao nggak mau ketemu Mama."

"Oma ke apartemen Naomi ya?"

"Nggak usah Oma, nanti Oma kecapekan perjalanan jauh dari Bali ke Jakarta. Nao disini udah merasa aman Oma ada sahabatnya Nao disini," bohong Naomi nyatanya ia sendirian di apartemen itu.

"Ya sudah Naomi, kalau kamu butuh apa saja langsung bilang Oma ya Nao?"

"Oke Oma."

Naomi menyandarkan tubuhnya ke sofa, memandang langit di pagi hari dengan sendu.

"Andai Papa masih ada, Nao nggak mungkin kaya gini Pa."

"Nao butuh Papa, Nao mau dilindungi sama Papa," racau Naomi yang telah menumpahkan air matanya.

•••

10 tahun yang lalu

"Aku mau cerai, Mas!" teriakan Anajeng Winata menggema di penjuru rumah.

Naomi yang tengah menyantap sarapan menatap ke arah tangga kala sang ibu berteriak. Selalu, setiap pagi selalu saja seperti ini.

Yunanda Nareswara hanya bisa terdiam setiap sang istri meminta hal tersebut. Berbagai cara dilakukan istrinya untuk membuatnya mengucapkan kata itu, namun sia-sia. Yunand telah berjanji pada orangtua Anajeng untuk tidak pernah berpisah sampai maut memisahkan mereka. Janji itulah yang membuatnya kuat menghadapi tabiat buruk istrinya.

"Mas! Aku mau kita cerai! Untuk apa kita pertahanin pernikahan ini kalau aku maupun kamu ngak bahagia!"

"Diam, Anajeng! Ada Naomi disini!"

"Oh aku tahu kenapa kamu nggak juga ceraiin aku, itu karena Naomi kan? Anak yang nggak pernah aku harapkan kehadirannya, penghalang kebahagiaanku. Harusnya aku bisa pergi ke Belanda dan raih cita-cita aku tapi karna dia aku terpaksa tinggal dan jadi ibu rumah tangga."

"Cukup, Anajeng! Silahkan keluar dari rumah ini kalau kamu mau tapi jangan harap saya mau menceraikan kamu bahkan saat saya mati pun!" Anajeng berjalan keluar dengan penuh emosi. Yunand menghela nafas selalu saja pertengkaran seperti ini.

"Pa, Naomi berangkat sekolah dulu."

"Nao, omongan Mama jangan kamu masukan ke hati ya?" ucap lembut Yunand pada sang putri. Naomi hanya mengangguk dan pamit.

Naomi hanya duduk diam di meja mendengarkan Jeffano dan Hanin yang membahas makanan kura-kura apa yang paling sehat. Hanin menatap Naomi yang terlihat lesu sejak masuk kelas.

"Nao, kamu nggak sakit kan?"

"Kamu sakit? mau ke Uks? atau mau dibeliin bakso kuah Pak Usman?" cecar Jeffano membuat Naomi langsung menoyor kepalanya.

"Enggak sakit, cuma lagi bete aja."

"Eh, ujian kan udah selesai gimana kalau kita bertiga pergi ke tempat karaoke ada diskon lho pas aku lihat," ujar Jeffano semangat.

"Boleh, entar mampir makan juga ke Mc'D mau makan Mc'Flurry," jawab Naomi yang sudah kembali ceria.

"Aku nggak bisa ikut, Ayah pulang ke Jakarta hari ini jadi aku mau nemenin Ayah," ucap Hanin ditengah kegembiraan itu.

"Yaah, gimana Jeff? Lanjut nggak nih?"

"Kalian lanjut aja, kapan-kapan kan kita bisa jalan bareng lagi."

"Ya udah deh, habis pulang aku tunggu di parkiran ya Nao. Hanin dijemput Om Seno kan?"

"Iya Jeff."

Motor matic kebanggaan Jeffano yang ia beri nama Si Hitam telah terparkir bersama sang pemilik di depan gerbang sekolah. Naomi yang telah memperbaiki riasannya di kamar mandi sekolah selama 10 menit akhirnya datang juga.

"Ayo, Jeff!" Jeffano memasangkan helm ke kepala Naomi, jarak sedekat itu membuat Naomi berdebar-debar.

Setelah bersahabat lama dengan Jeffano akhirnya Naomi mendapatkan kesempatan berdua dengan Jeffano tanpa Hanin. Perasaan suka milik Naomi mendapat angin segar, mungkin ini saatnya ia ungkapkan saja perasaannya.

"Kita ke Mc'D dulu apa ke tempat karaoke?" tanya Jeffano diatas motor yang sudah melaju perlahan.

"Ke Mc'D dulu ya Jeff, aku laper banget," Jeffano mengendarai motor dengan santai bahkan sambil bernyanyi-nyanyi membuat Naomi tak henti tertawa sejenak melupakan penatnya kehidupan keluarganya.

"Nah kan cantik kalau senyum gini daripada tadi merengut aja, ada masalah apa sih? Masih mikir mau kuliah dimana?"

"Hehe, makanya ajak jalan terus biar aku bisa ketawa dan bahagia," Naomi menampilkan senyum paling indah miliknya berharap Jeffano melirik dari kaca spion.

"Kamu jadi kuliah di Jepang, Nao?"

"Enggak tahu, kalau kamu gimana Jeff?"

"Aku mana boleh pergi kuliah di luar kota, paling juga di UI kemarin Papi udah bilang buat daftar kesana aja."

"Kalau gitu aku juga di Jakarta aja deh, eh kamu jadi ambil jurusan apa?"

"Kamu tau orang yang paling aku kagumi?" Naomi menggeleng.

"Papi kamu?"

"Bukan."

"Terus siapa?"

"Om aku, adiknya Papi. Dia orang yang paling aku kagumi, dan aku selalu berharap bisa jadi seperti Om," Jeffano mulai menceritakan impian-impiannya yang membuat Naomi ingin selalu berada lebih dekat.

"Jadi gitu aku mau ambil jurusan Akuntansi dan kerja di perusahaan Om Jizou. Kalau kamu, Nao?"

"Aku masih bingung,"

"Mau aku kasih saran?" Naomi mengangguk, "Kamu itu orangnya easy going, talk active, social butterfly dan itu semua cocok banget buat masuk jurusan Komunikasi,"

"Beneran?"

"Iyap."

"Makasih Jeff, nanti pas pulang aku mau langsung kasih tahu Papa."

Kian hari Naomi mulai mendekati Jeffano, mulai dari membawakan bekal sampai belajar bersama. Hingga hari kelulusan tiba, di tengah riuhnya koridor kelas 12 Naomi menarik Jeffano menuju kursi taman di bawah pohon angsana yang telah berguguran daunnya.

"Aku suka sama kamu Jeff."

"Aku suka bagaimana cara kamu memperlakukan aku, perhatian kamu buat aku jatuh cinta ke kamu." Jeffano terdiam ketika tangan Naomi menggenggam tanganya.

"Tapi Nao-" Jeffano tercekat sebenarnya ia tidak tega mengatakan itu.

"Maaf, aku nggak bisa nerima perasaan kamu. Aku lebih dulu jatuh cinta sama Hanin, Nao." Naomi tertawa, menertawakan dirinya sendiri lebih tepatnya.

Hari itu harusnya hari bahagianya, hari dimana ia lulus dan mulai beranjak dewasa serta hari dimana ia nyatakan perasan cintanya pada Jeffano. Namun semua tak berjalan lancar, penolakan Jeffano melukai hatinya. Dengan emosi dan tindakan gegabahnya, ia putuskan untuk mengakhiri persahabatannya.

Naomi pulang ke rumah dengan mood yang sudah berantakan, tapi di rumah kedua orangtuanya bertengkar lagi. Kali ini orangtua Papa dan Mamanya juga turut andil, berusaha memperbaiki hubungan mereka. Dan mereka menemui kesepakatan untuk bercerai.

"Nao sayang, ikut Eyang ke Tokyo ya? Kita cari kampus terbaik disana, kamu dan Papa kamu pindah kesana oke?" suara Kakeknya yang lembut membuat Naomi segera memeluk tubuh renta itu.

"Maafin Oma yang tidak bisa mendidik Mamamu untuk jadi Ibu yang baik, Naomi. Oma minta maaf sayang,"

"Ini bukan salah Oma."

"Di Jepang nanti, Oma harap kamu selalu memberi Oma kabar. Kalau kamu pulang ke Indonesia jangan lupa bilang Oma, oke?" Naomi memeluk nenek kesayangannya erat.

"Nao, Papa minta maaf tidak bisa berikan Nao keluarga yang utuh."

"Nao cuma butuh Papa, jangan tinggalkan Nao ya Pa?"

"Papa juga, Nao."

•••

Bel apartemen terus berbunyi membuat Naomi yang tertidur terganggu. Cahaya matahari sore menyapa Naomi yang masih berbaring di sofa dengan meja yang berserakan cup mie instan.

Naomi berdiri kemudian merapikan rambut panjangnya, dengan penampilan yang dirasa sudah rapi Naomi membuka pintu.

"Kalian berdua ngapain disini?" tunjuk Naomi pada Jeffano dan Hanin yang tersenyum tidak lupa juga aneka snack dan minuman yang mereka peluk sedari tadi.

"Kita nggak disuruh masuk dulu? pegel nih Nao!" gerutu Jeffano yang menenteng barang lebih banyak. Dengan wajah yang masih diam Naomi bergeser sedikit, membuat Jeffano leluasa untuk masuk diikuti Hanin.

Jeffano menaruh semua snack diatas meja makan kemudian menyingkirkan semua sampah berserakan diatas meja. Hanin membuka box berisi ayam goreng tepung dan juga nasi yang masih terlihat panas.

"Kamu belum makan kan, Nao?"

"Wait a minute, maksud kalian kesini mau ngapain?"

"Nggak ngapa-ngapain kita mau numpang makan sore disini," ucap Jeffano yang sudah duduk di sofa sambil memilah channel.

"Whats! Kenapa harus rumah gue? rumah kalian kan juga cuma disebelah."

"Udahlah Nao, ayo duduk kita makan." terpaksa Naomi duduk dan menyantap ayam goreng yang lezat itu.

"Jadi, apa alasan kalian dateng kesini?" Hanin menatap Jeffano untuk segera menjawab.

"Nao, sebenarnya kita berdua khawatir sama kamu."

"Kita juga nggak nyangka kalau lo-"

"Pacaran sama Andrew Danudirja?" Naomi tersenyum sinis.

"Santai, pertanyaan kalian bisa gue tebak kok. Kalau udah selesai makan, kalian boleh keluar, dan terimakasih makanan juga perhatian kalian."

"Kita nggak bisa sahabatan lagi ya?" ujar Hanin.

"Kita mulai jadi sahabat lagi, kita mulai dari awal seperti orang baru."

"Kalian silahkan keluar."

"Kita balik dulu ya Nao, kalau butuh bantuan nomor telfon aku sama Jeffano udah aku taruh di kertas ini. Kita selalu ada kalau kamu butuh, Nao."

•••

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro