[06. Hari Patah Hati Jeffano]

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Nin, tunggu!" anak laki-laki berseragam merah putih mengejar anak perempuan berkuncir dua.

"Hiks hii..Hiks," anak perempuan itu menghentikan jalannya sehingga membuat anak laki-laki itu menabrak punggungnya.

"Kenapa berhenti mendadak sih?"

"Denger suara nangis nggak? Kayanya dari balik pohon deh Jep."

"Ayo pulang aja Nin, nanti Mami nyariin."

"Aku penasaran,"

"Jangan Nin! Kamu nggak takut emangnya, kalau dia bukan manusia gimana?"

"Ih, Enjep itu cowok jangan jadi penakut dong!"

Hanin kecil mendekati pohon beringin tinggi berharap yang ia dengar bukan suara ghaib. Jeffano pun hanya bisa pasrah sejujurnya ia benar-benar ingin menangis karena takut.

"Kalian siapa?" perempuan kecil berambut panjang dan berkulit pucat itu menatap Jeffano dan Hanin bergantian.

"Aku Hanin dan ini sahabatku Jeffano, kalau kamu?"

"Naomi."

"Tadi kamu yang menangis ya?" Naomi mengusap jejak airmatanya dengan cepat.

"Iya."

"Kamu kenapa nangis?"

"Aku-"

"Naomi!" seorang laki-laki dewasa menghampiri mereka.

"Darimana saja kamu? Papa takut kamu hilang, Nao."

"Naomi nggak mau pulang Pa," Papa Naomi mensejajarkan diri dengan putri kecilnya.

"Kenapa nggak mau pulang hm?"

"Nao takut Mama marah-marah lagi,"

"Nanti Papa bilang ke Mama untuk nggak marah-marahin Nao oke? Sekarang kita pulang ya?" Naomi mengangguk dan menggandeng tangan Papanya.

Papa Naomi mengelus pucuk kepala Jeffano dan Hanin seraya tersenyum, "Terimakasih sudah menemani Naomi ya."

•••

Jeffano menatap city light Jakarta, kembali memikirkan bagaimana cara untuk menyatukan tali pertemanan. Helaan nafas yang entah keberapa kali ia hembuskan menjadi tanda bahwa masalah yang ia pikirkan cukup pelik.

"Saya percaya Nak Jeffano bisa menjaga putri Om dengan baik, uhuk-" suara lemah ditengah heningnya kamar rumah sakit mengalihkan lamunan Jeffano.

"Saya tidak bisa janji, Om."

"Saya sudah lama tidak berkontak dengan Naomi, dan bahkan persahabatan kami juga tidak berjalan dengan baik," Yunand tertawa.

"Kalau pun kamu tidak bisa berjanji untuk jadi temannya, Om mohon kamu untuk sesekali melihat Naomi dari jauh memastikan ia tidak sakit, hanya sesekali saja. Om tidak tahu bisa bertahan seberapa lama lagi, Jeffano."

"Jeffano usahakan ya Om Yunand."

Puntung rokok yang tinggal sedikit itu ia matikan. Langkah pertama harus ia ambil untuk menjernihkan masalah yang semakin keruh ini. Jeffano mengontak salah satu kenalannya yang bekerja di salah satu portal berita nasional, temannya itu biasanya bekerja untuk membantu para pejabat men-takedown pemberitaan buruk mereka.

"Hallo, Micheline?"

"Hallo, kenapa Jeff?" suara alunan musik terdengar dari seberang telefon.

"Lagi diluar ya?"

"Iya nih, gue lagi keluar sama Ezra."

"Pacar lo yang kuliah di Jepang?"

"Iya, ada apa? lo telfon malam-malam gini pasti ada hal urgent kan?"

"Iya, gue mau minta tolong lo takedown pemberitaan tentang perselingkuhan Andrew Danudirja, bisa kan?"

"Tumben lo perhatian sama klien lo?"

"Ya begitulah."

"Bisa ya Chel? Seminggu ini usahain udah clear ya?"

"Oke, Jeff. Besok meet up aja di Caffe depan kantormu biar kamu juga lihat prosesnya."

"Boleh, habis pulang kerja ya?"

"Siap 86!"

Sambungan telefon dimatikan, Jeffano biarkan angin malam menidurkannya di balkon sambil berharap besok akan berjalan lancar sesuai harapan.

•••

Kepulan uap kopi masih setia menemani Hanin begadang, dengan balutan sweater rajut ia mulai mengetik bab lanjutan dari novelnya. Rania-editornya sudah mulai galak alias sudah memberi deadline untuk segera menyelesaikan novel.

Disela mengetik Hanin kembali teringat tentang masalah yang ia bebankan pada Jeffano. Apa ia terlalu jahat pada sahabatnya itu, Hanin meletakan kacamata disamping laptop.

"Aku nggak boleh diam aja," ujar Hanin selepas menyeruput kopi.

"Masalah ini bukan cuma Jeffano yang harus selesaikan tapi aku dan Naomi pun juga harus andil," gumamnya.

"Tapi aku harus apa?"

Bila ditanya apa ia juga suka pada Jeffano jawabannya adalah tidak, Hanin menyayangi Jeffano sebagai seorang kakak saja. Bagi Hanin bertemu Jeffano dan keluarganya merupakan anugrah yang dikirim Tuhan untuk menjaganya agar tidak kesepian setelah kepergian Bunda.

Dengan keyakinan penuh ia menelfon Jeffano,"Hallo!"

"Kenapa Nin?"

"A-aku pingin bantu kamu untuk perbaiki persahabatan kita, sebelumnya aku minta maaf untuk menggantung perasaan kamu selama ini."

"Jeff, maaf aku belum bisa balas perasaan kamu ke aku dan selama ini aku selalu menganggap kamu adalah kakak untuk aku yang saat itu kesepian. Untuk kedepannya tolong jadi sahabatku saja ya?"

"Gak papa Nin, aku udah bisa menerima keputusan kamu. Meski berat terimakasih sudah memberi kepastian. Mungkin saat ini prioristas kita adalah perbaiki hubungan persahabatan kita aja."

"Maaf Jeff," suara Hanin melemah.

"Gak papa kali, kita kan masih teman."

"Lalu kamu udah temuin rencana belum? Naomi kayaknya semakin jauh dari terakhir kita ketemu dia. Dia nggak mau keluar apartemen lagi deh kayaknya."

"Aku udah hubungin temenku untuk bantu take down beritanya Nin, paling seminggu ini udah clear."

"Terus cara kita deket sama Naomi lagi gimana, Jeff?"

"Besok ketemuan aja ya di Caffe depan kantor aku sekalian meet sama orang yang bantuin aku take down beritanya."

"Oke, malam Jeff."

"Malam, Nin."

•••

Suasana kantor JIC (Jizou Investama Company) di pagi hari begitu lengang, Jeffano mengamankan satu cup kopi hitam digenggaman.

"Woi Bro!" teriakan Lintang menggema ke penjuru lobi.

Jeffano menatap jengah rekan kerja sekaligus temannya, pagi-pagi sudah gaduh. Tak lupa ia lihat Mario yang berjalan disampinya sedang menutup telinga.

"Berisik lo!" ucap Jeffano ketus.

"Tau tuh bestie lo," balas Mario.

"Calon adik ipar lo itu Mar."

"Iya juga, harusnya gue bilang sama Rania buat nggak usah mau jadi pacar si tiang ini." Lintang merengut.

"Weits! Kakak ipar nggak boleh gitu ya!"

Mereka bertiga kembali berjalan menuju kantor masing-masing, namun sebelum mencapai ruang kantornya Jeffano berbelok menuju kantor HRD.

"Gue ke HRD dulu lo semua duluan aja."

"Oke deh Bro, yuk Mar."

Jeffano memasuki ruangan itu di dalamnya hanya terdapat beberapa orang saja.

"Cari siapa Mas Jeffano?" tanya perempuan berkerudung yang menyadari eksistensi Jeffano.

"Eh Mbak Ira, bagian absensi karyawan belum pada dateng ya Mbak?" tanya Jeffano.

"Belum nih, biasanya Mas Dwi datengnya agak mepet biasalah anterin anak sekolah."

"Oh gitu, kalau nitipin izin temen bisa Mbak?"

"Boleh kok, emang siapa yang izin?"

"Naomi Jelita Nareswara anak Humas," jawab Jeffano.

"Oke, eh sebentar Naomi absen kerja udah lama kemana ya dia?" ucap Ira sambil menjelajah data absensi di meja Mas Dwi.

"Ada hal penting yang perlu di urus Mbak, kalau bisa mau ajuin cuti juga nih buat dia."

"Waduh, belum bisa Jeff. Naomi aja baru kerja lho minimal udah enam bulan kerja baru boleh ajuin cuti."

"Oke deh Mbak, gue ke kantor dulu."

"Iya."

Sedari tadi Mario menguping pembicaraan Jeffano dengan Mbak Ira. Kenapa Jeffano sepeduli itu dengan Naomi yang bahkan bukan anak buahnya? batin Mario.

Jeffano yang baru keluar kantor HRD terkejut melihat Mario yang anteng berdiri depan pintu sambil menyilangkan kedua lengannya.

"Lo ada hubungan sama karyawan baru itu?"

"Tetangga gue," jawab Jeffano seadanya.

"Lebih spesifik."

"Lo lama-lama kaya Si Ucup, kepoan."

"Ganteng gini disamain kaya OB."

Jeffano berjalan menuju kantornya mau tak mau Mario pun juga mengikuti. Dari sudut yang Mario lihat, Jeffano tampak tidak baik-baik saja. Kantung mata yang menghitam seperti panda menjadi salah satu tanda mungkin saja temannya sedang patah hati atau ada masalah.

"Lo kalau ada masalah cerita, gue kan temen lo. Jangan sampai nih ya tiba-tiba lo Bundir cuma karena patah hati."

Jeffano memukulkan tas pada tubuh Mario.

"Amit-amit Mario, lo kalau ngomong ngasal aja."

"Ya gue cuma menyampaikan kemungkinan-kemungkinan aja." ucap Mario pelan.

"Jadi kenapa nih? Galau gara-gara ditolak cinta pertama lo?" tepat sasaran, begitulah batin Jeffano yang kini hanya mengangguk lemah.

"Beneran?" terkejutnya Mario membuat Jeffano mendengus, "Iya gue ditolak, selama ini dia nganggep gue cuma kakak."

"Turut berduka ya Jeff," ucap Mario sambil menepuk punggung Jeffano.

•••

Maaf banget telat update 🐥

Please enjoy, selamat membaca Bestie!

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro